FUNGSI DAN PERAN ORANG TUA DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANAK AUTIS
BERINTERAKSI DI LINGKUNGANNYA
(STUDI PADA KOMUNITAS KASIH IBU KOTA MEDAN)
T E S I S
OLEH
TRI QUARI HANDAYANI 167047010
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
FUNGSI DAN PERAN ORANG TUA DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANAK AUTIS
BERINTERAKSI DI LINGKUNGANNYA
(STUDI PADA KOMUNITAS KASIH IBU KOTA MEDAN)
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sosiologi dalam Program Studi pada Magister Sosiologi
Universitas Sumatera Utara
Oleh
TRI QUARI HANDAYANI 167047010
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Telah diuji pada
Tanggal : 20 Februari 2020
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Robert Tua Siregar, M.Sc., Ph.D.
Anggota : 1. Dra. Ria Manurung, M.Si
2. Prof. Rizabuana Ismail, M. Phil., Ph.D.
3. Drs. Henry Sitorus, M.Si
Judul Tesis
“FUNGSI DAN PERAN ORANG TUA DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANAK AUTIS
BERINTERAKSI DI LINGKUNGANNYA
(STUDI PADA KOMUNITAS KASIH IBU KOTA MEDAN)”
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sosial pada Program Studi Magister Sosiologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian –bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, 20 Februari 2020 Penulis,
Tri Quari Handayani
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang fungsi dan peran yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak autis dalam meningkatkan interaksi dengan lingkungannya di Komunitas Kasih Ibu, Kota Medan. Penelitian ini menggunakan studi kasus dengan pendekatan kualitatif fenomenologis. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi dan wawancara secara mendalam. Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tindakan sosial, teori fungsi dan sosialisasi. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa peneliti mendapatkan fungsi informan orang tua terhadap anak autisnya antara lain fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, dan fungsi perlindungan. Peneliti juga mengungkapkan bahwa peran informan orang tua yang memiliki anak autis yaitu pola asuh dan tindakan sosialnya seperti pendidikan anak, terapi, dan sosialisasi lanjutan yang diperoleh dari peran ayah, peran ibu, peran saudara kandung, peran keluarga, dan peran terapis agar anak autis tersebut bisa memenuhi teori dan fungsi AGIL. Dari hasil analisa dengan menggunakan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peran orang tua terhadap anak autis sangat berperan. Hal inilah yang menjadi bentuk usaha-usaha mereka yang harus di tentukan dan diterapkan dalam penanganan anak autis sehingga anak-anak mereka dapat terjun ke dalam lingkungan bermasyarakat.
Kata Kunci : Autis, Peran, Fungsi, Orang tua
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T karena atas rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini. Serta tidak lupa penulis mengucapkan shalawat beriring salam atas junjungan nabi besar Muhammad S.A.W yang tauladannya sangat diharapkan di hari kelak. Penulisan tesis ini merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar master dari Departemen Magister Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Adapun judul dari tesis ini yaitu : “Fungsi dan Peran Orang Tua Dalam Meningkatkan Kemampuan Anak Autis Di Lingkungannya (Studi Pada Komunitas Kasih Ibu Kota Medan)”
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan tesis ini. Penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.
Dengan selesainya penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu proses penyusunan tesis ini. Secara khusus penulis mempersembahkan tesis ini kepada suami saya Muhammad Yamin, S,Sos., serta orang tua saya tercinta yaitu Ibunda Alm. Hj. Mardiana Susilawati, B.E., ibunda Ivo Fauziah Zain, ibunda Alm. Ike Kamariah, S.E., Ibunda Irianti Dewi, M.Pd, ayahanda Abdul Manan, dan ayahanda dr. H.Yutu Solihat, Sp.An, KAKV yang merupakan sumber motivasi saya serta mendapat dukungan penuh, kasih sayang dan pengorbanan mereka yang telah diberikan kepada penulis sampai saat ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada :
1. Dr. Muriyanto Amin, S.Sos, M.Si selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Rizabuana, M.Phil., P.hD., selaku Ketua Program Studi Magister Sosiologi sekaligus dosen pembanding yang telah bersedia meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, masukan, pemikiran, dan dukungan dalam penulisan tesis ini.
3. Bapak Robert Tua Siregar, M.Sc., P.hD., selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan, dorongan motivasi dan arahan dalam proses penyelesaian penulisan tesis ini.
4. Ibu Drs. Ria Manurung, M.Si., selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dorongan motivasi dan arahan dalam proses penyelesaian penulisan tesis ini.
5. Bapak Drs. Henri Sitorus, M.Si., selaku dosen pembimbing penguji tamu dalam ujian tesis ini, yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis ini.
6. Seluruh Dosen Program Magister Sosiologi yang telah memberikan berbagai materi kuliah selama penulis menjalani perkuliahan dan Staf Administrasi Program Magister Sosiologi Kak Ade Karthika Damanik yang selama ini membantu penulis dalam urusan administrasi di kampus.
7. Abang-abang, kakak-kakak ipar dan adik-adik tersayang, M.Andri Febrian,S.E., Andra Aksari, S.E., Dede Ardhi Sumartha, A.Md., Eriza Yolanda, A.Md., Nada Nabilah Afaf dan Bilqis Fadiyah yang telah memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis.
8. Anakku tersayang, Annisa Cahya Gandana yang selalu setia menemani saya belajar di rumah serta menemani saya bimbingan di kampus. Berkat kamu, ummi semakin mengerti dan menikmati dalam membagi peran dan waktu serta semakin mengerti kalau belajar itu sangat penting dan harus tetap gigih walaupun peran dan beban ummi sudah berubah. Harapan yang lebih dari kami buat kamu ke depannya ya nak dan harus tetap gigih dan semangat dalam mengejar ilmu. Aamiin Allahumma Aamiin
9. Sahabat tercinta Yoga Winandar, S.Sos yang sudah banyak sekali membantu dari hal pemikiran, ide dan tindakan yang sangat membantu dalam proses penyelesaian penelitian tesis ini.
10. Seluruh rekan sahabat seperjuangan pada Program Studi Magister Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sudah banyak membantu selama proses perkuliahan.
11. Seluruh informan Komunitas Kasih Ibu Kota Medan yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan informasi akurat selama proses penelitian berlangsung demi penyelesaian tesis ini. Kalian sangat hebat dan doa terbaik buat kalian semua.
12. Semua pihak yang turut membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Atas dukungan berbagai pihak tersebut, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Penulis berharap tesis ini dapat berguna bagi berbagai pihak yang
membutuhkan.
Penulis,
TRI QUARI HANDAYANI
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……….. i
LEMBAR PENGESAHAN ……….. ii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………. iii
PERNYATAAN ……….. iv
ABSTRACT ……….. v
ABSTRAK ……….. vi
KATA PENGANTAR ……….. vii
DAFTAR ISI ……….. x
DAFTAR TABEL ……….. xiii
DAFTAR GAMBAR ……….. xiv
DAFTAR SINGKATAN ……….. xv
DAFTAR LAMPIRAN ………. xvi
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 8
1.4.2 Manfaat Praktis ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ……… 10
2.1 Konsep Anak Autis ... 10
2.1.1 Defenisi Anak Autis ... 10
2.1.2 Ciri-Ciri Anak Autis ... 15
2.1.3 Penyebab terjadi Autis ... 17
2.1.4 Gejala Anak Autis ... 19
2.1.5 Interaksi Sosial Anak Autis ... 20
2.1.6 Penanganan Anak Autis ... 23
2.2 Penerimaan dan Pemahaman Orang Tua Terhadap Anak Autis 25 2.3 Peran dan Fungsi Orang Tua Terhadap Anak Autis ……….. 29
2.4 Landasan Teori ……… .. 36
2.4.1 Tindakan Sosial Menurut Goerge Herbert Mead …….. 36
2.4.2 Sosialisasi Menurut Goerge Herbert Mead ………….. 39
2.4.3 Teori Fungsi ... 42
2.5 Penelitian Yang Relevan ……… .. 45
2.6 Kerangka Berfikir ……….. 50
BAB III METODE PENELITIAN ……….. 53
3.1 Jenis penelitian ... 53
3.2 Lokasi penelitian ... 54
3.3 Unit Analisis dan Informan ... 54
3.3.1.1 Unit Analisis ... 54
3.3.1.2 Informan ... 54
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 56
3.5 Alat Pengumpulan Data ... 57
3.6 Interpretasi Data ………. 58
3.7 Keterbatasan Penelitian ……….. 58
BAB IV INTERPRETASI DATA……… 60
4.1 Gambaran Lokasi Penelitian ……….. 60
4.1.1 Letak Geografis Kota Medan………. 60
4.1.2 Demografi Penduduk Kota Medan ……….. 62
4.1.3 Komunitas Kasih Ibu Kota Medan ……….. 65
4.1.3.1 Latar Belakang Dan Tujuan Komunitas Kasih Ibu Kota Medan ……… ... 66
4.1.3.2 Pengurus Dan Sistem Komunitas Kasih Ibu Kota Medan … ... 66
4.2 Gambaran Informan Orang tua Yang Memiliki Anak Autism Spectrum Disorder ……….. 68
4.2.1 Latar Belakang Orang tua dan anak Autism Spectrum Disorde ……….. 72
4.2.2 Life History Informan Keluarga Ibu AA ………... 82
4.3 Gambaran Kehidupan Orang Tua dan Anak Autism Spectrum Disorder ……….. 86
4.3.1 Awal Mula Dan Respon Orang Tua Mengetahui Anaknya Mengalami Autism Spectrum Disorder ……….. 88
4.3.2 Kehidupan Anak Autism Spectrum Disorder Informan 90
4.3.3 Interaksi Sosial Informan Orang Tua Terhadap Anak Autis ……… ... 93
4.4 Fungsi Orang Tua Terhadap Anak Autisnya ………. 98
4.4.1 Fungsi Sosialisasi ... 99
4.4.2 Fungsi Afeksi ……… 100
4.4.3 Fungsi Penentuan Status ……… 100
4.4.4 Fungsi Perlindungan ……….. 101
4.4.5 Analisis Fungsi Informan Orang Tua Terhadap Anak Autis Terkait Dengan Pengaplikasian Teori Fungsi Dalam Keluarga ……… 103
4.4.6 Analisis Keberhasilan Fungsi Orang Tua Sebagai Informan ……… 104
4.5 Peran Informan Orang Tua ………. 107
4.5.1 Analisis Peran Orang Tua dan Tindakan Sosial Informan 111 4.5.2 Perubahan Peran Orang Tua Informan ……….. 129
4.6 Harapan Informan Orang Tua Kepada Anak Autisnya ……. 131
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. .. 135
5.1 Kesimpulan ……… 135
5.2 Saran ……….. 135
DAFTAR PUSTAKA ……… 138
LAMPIRAN ………... 143
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……….. 171
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel. 1 Luas Wilayah Kota Medan Berdasarkan Kecamatan … 62 Tabel. 2 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Dan Jenis
Kelamin Tahun 2015 ……….. 63
Tabel. 3 Jumlah Kaum Disabilitas di 21 Kecamatan di Kota Medan ………. 64
Tabel. 4 Rekapitulasi Jumlah Kaum Disabilitas di Kota Medan Berdasarkan Usia Tahun 2014 ………. 66
Tabel. 5 Biodata Informan I ……….. 69
Tabel. 6 Biodata Informan II ………. 69
Tabel. 7 Biodata Informan III ……… 70
Tabel. 8 Biodata Informan IV ……… 71
Tabel. 9 Biodata Informan V ………. 71
Tabel. 10 Biodata Informan VI ……… 72
Tabel. 11 Biodata Informan VII ……….. 72
Tabel. 12 Biodata Informan VIII ………. 73
Tabel. 13 Tahapan Sosialisasi Yang Dilakukan Orang tua Terhadap Anak Autisnya ……….. 119
Tabel. 14 Tabel Analisis Teori Tindakan Sosial Dan Konsep AGIL Dalam Implikasi Pada Penelitian ……… 122
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar. 1 Alur Kerangka Berfikir ………. 53
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran I Foto-Foto Informan ………. .. 142 Lampiran II Daftar Kegiatan Sehari-hari Dan Jadwal Terapi
Informan ALT ………. 145
Lampiran III Matriks Penelitian Tesis ………. 157 Lampiran IV Pedoman Wawancara Mendalam ……… 160
DAFTAR SINGKATAN
ABA : Aplied Behaviro Analisis
AGIL : Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency APA : American Psychiatric Association
ASD : Autism Spectrum Disorder BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
D3 : Diploma Tiga
DSM IV : Diagnostic and Stastical Manual of Mental Disorder IV DSM V : Diagnostic and Stastical Manual of Mental Disorder V FMPA : Forum Masyarakat Peduli Autis
Km² : Kilo Meter Persegi P5P : Pyridoxal-5-Phosphate S1 : Strata Satu
S2 : Strata Dua
WIB : Waktu Indonesia Barat
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak Autism Spectrum Disorder atau autisme secara umum merupakan kombinasi dari beberapa kegagalan perkembangan antara lain pada keterlambatan dalam hal interaksi sosial, masalah dalam bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial, perkembangan bahasa sangat lambat serta fungsi saraf. Hal tersebut dapat terlihat dengan tidak ada kontak mata, adanya keganjilan perilaku dan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitar dan seakan-akan mempunyai kehidupannya sendiri. Anak penyandang autis berserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, maupun perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak berbicara, ada juga yang terbatas bahasannya sehingga sering ditemukan mengulang-ngulang kata ataupun kalimat. Ada juga diantara mereka yang memiliki kemampuan tingkat bahasannya yang tinggi sehingga mereka menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep yang abstrak.
Cara bermain anak autis sangat kurang variatif, kurang imajinatif serta tidak dapat meniru. Anak autis secara tiba-tiba sering menangis tanpa sebab, menolak untuk dipeluk, tidak menengok atau menoleh bila dipanggil namanya bahkan tidak tertarik pada berbagai jenis atau bentuk permainan, namun seringkali bermain dengan benda-benda yang bukan permainan, misalnya bermain sepeda bukan dinaiki tapi sepeda tersebut dibalik dan ia memutar-mutar bolanya, dapat
menggambar sesuatu objek secara baik dan rinci tetapi sebaliknya tidak dapat mengancing bajunya, pintar atau trampil bongkar pasang permainan tertentu tapi sangat sulit/sukar mematuhi dan mengikuti perintah, dapat berjalan tepat pada usia normal tapi tidak dapat berkomunikasi, sangat lancar membeo bicara tapi tidak dapat atau sulit berbicara dari diri sendiri, pada suatu waktu dapat secara tepat dan cepat melakukan sesuatu tapi pada lain waktu tidak sama sekali. Anak tersebut hanya bermain sendiri, tidak dapat bermain dengan anak yang lain, tidak mengikuti aktifitas kelompok, atau malah hanya malah mengganggu kelompok atau aktifitas kelompok.
Secara sosiologi, ciri-ciri anak autis dapat kita ringkas sebagai anak dalam kategori asosial yang ditandai dengan menarik diri dan menghindar secara sukarela terhadap interaksi sosial apapun. Beberapa gejala sosial, baik dalam komunikasi maupun interaksi sosial yang di alami anak autis, yaitu tidak mampu menjalin interaksi sosial yang memadai, seperti kontak mata yang tidak jelas, ekspresi dan gerak gerik yang kurang tertuju, tidak bisa bermain dengan baik dengan teman- temannya, ia lebih suka bermain sendiri seolah-olah ia mempunyai dunianya sendiri, kurang mampu bahkan tidak mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik, ada satu pola yang dipertahankan sehingga itu menjadi suatu kebiasaan, rutinitas atau kesenangan tersendiri baginya, saat ia mempunyai minat dalam satu hal, maka ia hanya akan fokus pada satu hal saja.
Menurut Leonardo dan Paolo (2018), pada 2016, ada diperkirakan 62.000.000 kasus ASD di seluruh dunia, akuntansi untuk prevalensi 0,83%. Dalam hal beban penyakit, ASD menyumbang secara global selama lebih dari 9.000.000
tahun tinggal dengan cacat dan untuk 121 Cacat disesuaikan hidup tahun per 100.000 populasi, sedangkan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik Indonesia dalam Raden dan Ilmi (2015), jumlah anak autis usia 5 hingga 19 tahun yang berhasil didata pada tahun 2014 ada sekitar 112 ribu jiwa. Mengutip dari klinikautis.com, pada tahun 2015 satu per 250 anak mengalami gangguan autisme dan terdapat kurang lebih 12.800 anak dengan autisme dan 134.000 orang dengan autisme di Indonesia. Jumlah penderita autis di Indonesia diperkirakan mengalami
penambahan sekitar 500 orang setiap tahun
(https://klinikautis.com/2015/09/06/jumlah-penderita-autis-di-indonesia diakses pada tanggal 11 Maret 2018 pukul 23.00). Menurut Diah (2018), berdasarkan dari Badan Pusat Statistik pada 2016 menunjukkan 4,6 juta anak adalah autisme.
Sedangkan Menurut Essie dan Zilda (2014), mengenai data jumlah penyandang anak autisme di Sumatera Utara tahun 2012 yang berasal dari pendataan yang dilakukan oleh Forum Masyarakat Peduli Autis (FMPA) pada April 2012 jumlah anak autis di Sumatera Utara berkisar 1000 orang. Jumlah anak autis yang lahir di Kota Medan, diperkirakan mencapai 250 orang per tahun dan akan terus bertambah dari tahun ke tahun.
Ada beberapa gejala autisme diantaranya sangat ringan, sedang, hingga parah.
Parah atau ringannya gangguan autisme sering diparalelkan dengan keberfungsian.
Gejala-gejala yang dialami oleh anak tersebut membuat orangtua merasa aneh dan menjadi suatu permasalahan bagi mereka. Mengingat sifat gangguan autisme yang kompleks dan mengenai hampir seluruh aspek perkembangan pada anak, maka gangguan autisme tidak dapat dipandang sebelah mata bagi orang tua.
Ada beberapa cara dalam penangananya sehingga gangguan autisme dapat dikurangi. Dikutip dari kemenpppa.go.id, menurut Rudy Sutadi (2016), walaupun tidak bisa disembuhkan 100 persen, autis dapat dilatih melalui terapi sehingga ia bisa tumbuh normal tetapi kondisi masing-masing anak sangat berbeda sehingga modal awal dan hasil akhir sangat tergantung pada kuantitas dan kualitas gejala autisme. Di antaranya intensitas penanganan dini, tingkat inteligensi anak, kemampuan komunikasi dan sosial, perilaku, konsistensi pola asuh keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat dalam membantu anak tersebut. Namun walaupun dikatakan bahwa anak autis tersebut sulit disembuhkan , tetapi ada beberapa anak autis yang juga berhasil di tengah lingkungan masyarakat. Dikutip dari kompasiana.com (2015), beberapa contoh bahwa anak autis dapat berhasil di tengah lingkungan masyarakat diantaranya Muhammad Vadil kelahiran 24 Mei 1994, tercatat ia beberapa kali turut memperkuat DKI Jakarta dalam sejumlah kejuaraan renang. Berkat terapi yang dilakukan secara intensif dan terpadu ia dapat berkomunikasi dengan baik dan tampil sebagai pembicara memaparkan perjuangannya melawan autisme, Rendy Ariesta kelahiran Jakarta, 8 Oktober 1997 juga merupakan penderita autis yang berhasil sembuh melalui terapi Aplied Behaviro Analisis (ABA). Ia menjalani kehidupan normal sebagaimana pelajar lainnya dengan perolehan nilai yang bagus dan dapat menjalani aktivitas secara mandiri seperti naik angkutan kota ke sekolah, bergaul dengan teman sebaya dan mengembangkan hobi menyanyi, menulis lagu dan bermain gitar, Hasan Al Faris Tanjung lahir pada 14 Juni 1998 itu berhasil sembuh dan sejak sekolah dasar menempuh pendidikan di sekolah reguler Al Fikri Depok meraih nilai rata-rata 8,8
pada ujian nasional. Faris berhasil sembuh setelah menjalani terapi ABA serta diet dan intervensi biomedis sejak usia 1,5 tahun.
Keluarga merupakan suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh adanya kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat dan sebagainya. Keluarga juga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat dimana di keluarga memainkan peranan sangat penting dalam sosialisasi primer yang mempunyai arti paling strategi dalam mengisi dan membekali nilai-nilai dan aturan- aturan masyarakat yang berlaku di dalam masyarakat dan dibutuhkan anggotanya dalam mencari makna kehidupannya. Nilai-nilai dan aturan dalam masyarakat tersebut dibangun lewat hubungan-hubungan kemanusiaan yang akrab dan harmonis serta lahir dan tumbuh di lingkungan pergaulan keluarga. Bagaimanapun wujud pergaulan dan hubungan tersebut, didalamnya terjalin dan berjalan pengaruh berlangsunya secara kontiyu antara keduanya.
Setiap keluarga juga memiliki karakteristik yang membedakannya dari keluarga yang lain. Sistem-sistem dalam keluarga merupakan sarana untuk menjalani kehidupan berkeluarga dan berinteraksi bagi anggotanya. Keluarga memegang fungsi sentral bagi orang tua untuk mengontrol anak-anaknya dan pemusatan perekonomian, hubungan kekerabatan, dan sosialisasi nilai-nilai budaya. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar berinteraksi dengan lingkungan. Melalui keluarga anak belajar merespon dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Melalui proses interaksi itu anak secara bertahap belajar mengikuti apa yang disosialisasikan oleh orang tuanya.
Orang tua menjadi guru pertama yang mengajarkan nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat kepada anak-anaknya.
Nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan oleh orang tua mencerminkan harapan dan cita-cita mereka. Apa yang disosialisasikan kepada anak-anak akan mempengaruhi perilaku mereka dalam menjalani kehidupannya sendiri. Semua orang tua lazimnya mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak supaya anak memperoleh dasar-dasar pergaulan hidup yang benar dan baik karena setiap orang tua juga memiliki fungsi dan peran untuk membentuk potensi anak.
Makna dan corak fungsi dan peran itu serta penerapannya dipengaruhi oleh kebudayaan sekitar dan intensitas keluarga. Melalui fungsi dan peran orang tua inilah anak lebih mengenal dunia sekitar dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari sehingga anak mengalami proses sosialisasi awal.
Berdasarkan hasil observasi peneliti pada orang tua anak autis di komunitas Kasih Ibu Kota Medan, pemahaman dan pengetahuan tentang anak autis seharusnya dimiliki sejak awal setiap orang tua yang anaknya mengalami anak autis tetapi kebanyakan dari mereka terlambat untuk menyadari bahwa anak mereka memiliki perbedaan dengan anak-anak yang lain saat berinteraksi dengan lingkungannya dan akan menjalani terapi ketika anak tersebut telah di diagnosa sebagai anak autis.
Mereka hanya menganggap autis hanya gangguan mental saja, dan masalah itu adalah hal yang sepele, ada juga sebagian yang menganggap autis adalah hukuman atas dosa yang mereka perbuat di masa lalu, dan sampai ada yang menganggap autis adalah penyakit keturunan. Selain itu, di dalam proses mengasuh anak mereka, banyak tantangan dan permasalahan yang di miliki oleh orang tua terhadap anak
autis. Hal inilah yang menarik bagi peneliti bagaimana mereka melakukan peran dan tanggung jawab kepada anaknya yang menderita autis agar mampu berperan sebagai anggota masyarakat.
Di Kota Medan ditemukan komunitas orang tua yang memiliki anak autis bernama “Kasih Ibu”. Komunitas ini adalah tempat berbagi pengalaman orang tua dalam mendidik anak autis. Peneliti melihat komunitas tersebut memiliki ciri-ciri yang dibutuhkan oleh peneliti. Adapun fokus penelitian ini adalah untuk menganalisis fungsi dan peran orang yang memiliki anak Autism Spectrum Disorder yaitu fungsi orang tua yang berhasil dan disfungsinya serta peran dan tindakan sosial orang tua terhadap anak autisnya agar dapat berinteraksi sosial dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari fokus penelitian tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana analisis fungsi dan peran orang tua dalam meningkatkan kemampuan berinteraksi anak autis di lingkungannya?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah menganalisis fungsi dan peran orang tua dalam meningkatkan
kemampuan berinteraksi anak autis di lingkungannya. Selain itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kehidupan anak autis.
Dengan penelitian ini diharapkan orang-orang bisa lebih memberikan perhatian khusus terhadap anak-anak penyandang autis agar adanya upaya dalam peningkatan kualitas dalam menangani anak yang mengalami autis. Selain itu agar masyarakat memberi perhatian kepada mereka khususnya dalam hal kehidupan sosial mereka dan perlu adanya suatu program atau kegiatan yang dapat menunjang kehidupan sosial mereka dengan masyarakat sekitarnya. Dengan adanya penelitian ini, penulis dan pembaca bisa mengetahui bagaimana kehidupan sosial anak autis.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan bagi para orang tua yang memiliki anak autis dan ilmu Sosiologi Keluarga khususnya terkait dengan peran dan fungsi orang tua yang memiliki anak autis.
2. Untuk menambah referensi kajian penelitian yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian bagi mahasiswa Sosiologi selanjutnya, serta dapat memberikan sumbangan bagi cakrawala pengetahuan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa, keluarga dan pemerintah Kota Medan khususnya untuk memberikan perhatian khusus terhadap orang tua yang memiliki anak autis
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Anak Autis 2.1.1 Defenisi Anak Autis
Secara etimologi kata “autisme” berasal dari kata “auto” dan “isme” yang artinya “auto” yaitu diri sendiri sedangkan “isme” yaitu paham. Autism Spectrum Disorder atau yang lebih dikenal dengan autisme merupakan gangguan yang terjadi pada otak, yang menyebabkan beberapa area berbeda di otak tidak mampu bekerjasama. Sehingga penderita autisme sulit berkomunikasi dan berhubungan sosial dengan orang lain. Menurut Rury (2018), Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Secara alami anak dengan autisme terlahir memiliki perbedaan sehingga tidak memiliki ketertarikan atau minim terhadap interaksi sosial dengan lingkungannya, yang menyebabkan terhambat tumbuh kembang pada kemampuan bahasa dan sosialnya. Anak yang terlahir dengan autisme tidak memiliki ketertarikan terhadap hubungan antar manusia. Anak dengan autisme didefinisikan sebagai anak yang menolak perubahan, menyukai kesamaan, sangat kaku dengan rutinitas, memiliki stereotipe (stimming), bahasa mereka pun tidak umum seperti robot, echolalia, kesulitan memahami kata ganti orang, dll. Menurut Kanner dalam Rury (2018), sempat melontarkan gagasan bahwa autisme terjadi karena orangtua yang dingin atau sering disebut sebagai model ‘refrigerator mother’. Namun, beberapa tahun kemudian dia meralat bahwa autisme sebagai kelainan di otak.
Menurut Gregorius dan Lubriady (2017), autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan
interaksi sosial. Menurut Mudjito dalam Hevi (2014), autisme adalah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain dan emosi. Menurut Autism Society of America dalam Engelbertus (2015), pengertian autis di bagi menjadi lima jenis autis yaitu : 1. Sindrom Asperger
Jenis gangguan ini ditandai dengan defisiensi interaksi sosial dan kesulitan dalam menerima perubahan rutinitas sehari-hari. Pada sindrom Asperger, kemampuan bahasa tidak terlalu terganggu bila dibandingkan dengan gangguan lain. Anak yang menderita jenis autisme ini kurang sensitif terhadap rasa sakit, namun tidak dapat mengatasi paparan suara keras atau sinar lampu yang tiba-tiba.
Anak dengan sindrom Asperger memiliki kecerdasan rata-rata atau di atas rata-rata sehingga secara akademik mampu dan tidak bermasalah.
2. Autistic Disorder
Autistic disorder disebut juga sebagai true autism atau childhood autism karena sebagian besar berkembang pada tiga tahun awal usia anak. Pada sebagian besar kasus, anak yang terkena autis tidak memiliki kemampuan berbicara dan hanya bergantung pada komunikasi non-verbal. Kondisi ini mengakibatkan anak menarik diri secara ekstrim terhadap lingkungan sosialnya dan bersikap acuh tak acuh. Anak tidak menunjukkan kasih sayang atau kemauan untuk membangun komunikasi.
3. Pervasif Developmental Disorder
Autisme jenis ini meliputi berbagai jenis gangguan dan tidak spesifik terhadap satu gangguan. Tingkat keparahan mulai dari yang ringan sampai ketidakmampuan
yang ekstrim. Umumnya didiagnosis dalam 5 tahun pertama usia anak. Pada gangguan ini, keterampilan verbal dan non-verbal efektif terbatas sehingga pasien kurang bisa komunikasi.
4. Childhood Disintegrative Disorder
Gejala-gejala gangguan ini muncul ketika seorang anak berusia antara 3 sampai 4 tahun. Pada dua tahun awal, perkembangan anak nampak normal yang kemudian terjadi regresi mendadak dalam komunikasi, bahasa, sosial, dan keterampilan motorik. Anak menjadi kehilangan semua keterampilan yang diperoleh sebelumnya dan mulai menarik diri dari semua lingkungan sosial.
5. Rett Syndrome
Rett syndrome relatif jarang ditemukan dan sering keliru didiagnosis sebagai autisme. Sindrom ini terutama memengaruhi perempuan dewasa atau anak perempuan yang ditandai oleh pertumbuhan ukuran kepala yang abnormal. Rett syndrome disebabkan oleh mutasi pada urutan sebuah gen tunggal. Gejala awal yang teramati diantaranya adalah kehilangan kontrol otot yang menyebabkan masalah dalam berjalan dan mengontrol gerakan mata. Keterampilan motorik terhambat dan mengganggu setiap gerakan tubuh,mengarah ke perkembangan stereotip serta gerakan tangan dan kaki yang berulang.
Menurut Rury (2018), jenis-jenis autis yang diatas merupakan bagian dari defenisi Diagnostic and Stastical Manual of Mental Disorder IV (DSM IV) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (APA) tetapi yang digunakan sebagai standar dunia pada tahun 2013 dikeluarkan Diagnostic and Stastical Manual of Mental Disorder V (DSM V) yang semua berada di payung Autism
Spectrum Disorder (ASD). Menurut DSM V ini, individu denga autisme didefinisikan sebagai:
1. Kekurangan dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial diberbagai konteks secara terus menerus yang dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Kekurangan dalam hubungan sosial-emosional timbal balik yang bervariasi misalnya pendekatan susila yang tidak normal, kegagalan dalam percakapan timbal balik, tidak tertarik untuk berbagi ketertarikan, emosi atau perasaan, kegagalan untuk memulai atau merespons interaksi sosial.
2. Kekurangan dalam behavior yang berbentuk komunikasi non-verbal yang digunakan untuk interaksi sosial yang bentuknya bervariasi mulai dari bentuknya verbal dan non-verbal yang kurang terintegrasi, abnormal di kontak mata dan bahasa tubuh atau kekurangan dalam memahami dan menggunakan bahasa tubuh, sampai tidak memiliki ekspresi wajah dan komunikasi non-verbal.
3. Kekurangan dalam mengembangkan, mempertahankan dan memahami hubungan dengan manusia lain yang bentuknya bervariasi. Mulai dari kesulitan menyesuaikan behavior pada situasi sosial tertentu, sampai kesulitan dalam berbagai permainan imaginatif atau berteman, dan tidak memiliki keinginan untuk berteman.
2. Behavior, ketertarikan atau aktivitas yang terbatas dan berulang yang ditunjukkan paling tidak dua dari contoh di bawah ini (saat ini atau sebelumnya) dengan gambaran di bawah ini sebagai ilustrasi:
1. Stereotip atau gerakan motor yang berulang dengan menggunakan objek, suara (contohnya stereotip motor sederhana, membariskan mainan atau membalik-balikkan obyek, echolalia, frasa yang unik dan individu).
2. Bersikeras (menyukai) kesamaan, tidak fleksibel terhadap rutinitas atau pola ritual behavior verbal dan non-verbal (contohnya stres terhadap perubahan kecil, kesulitan pada transisi, cara berpikir yang kaku, ritual pada salam, butuh melalui rute yang sama setiap bepergian atau makan makanan yang sama setiap hari).
3. Minat yang sangat terbatas, terpaku pada ketertarikan terhadap sesuatu yang tidak normal pada intensitas dan fokus (misalnya ketertarikan yang kuat atau easyikan pada benda-benda yang tidak biasa, keterbatasan minat atau ketertarikan yang lama pada minat itu).
4. Hiper atau hipo reaktif terhadap sensori input dan minat yang tidak biasa dalam aspek sensori di lingkugan (ketidakpedulian terhadap perubahan terhadap rasa sakit, suhu lingkungan, respons negatif terhadap suara tertentu atau tekstur tertentu, indera penciuman dan peraba yang berlebihan, ketertarikan yang kuat terhadap cahaya atau gerakan).
3. Gejala-gejala di atas harus terlihat dalam perkembangan anak usia dini (tetapi mungkin tidak sepenuhnya dilihat sampai adanya tuntutan sosial sesuai umurnya, atau mungkin tertutupi oleh strategi terapi yang dilakukan kemudian).
4. Gejala-gejala menyebabkan gangguan yang signifikan secara klinis di dalam sosial, okupasi atau area lain untuk berfungsi sebagai individu normal.
Dari defenisi diatas kita bisa melihat bahwa anak dengan autisme memang memiliki perbedaan. Autisme Spectrum Disorder merupakan tampilan anak yang sangat unik dan berbeda di setiap anaknya karena diagnosa anak autis bisa berbentuk anak yang tampilannya berbeda sehingga kita juga tidak bisa membandingkan antara anak autis yang satu dengan anak autis lainnya tetapi kita bisa melihat tingkat keparahan autisme berdasarkan pada gangguan komunikasi dan pola behavior yang berulang.
2.1.2 Ciri-ciri Anak Autis
Secara umum anak dengan autisme memiliki ciri-ciri dimana tidak memiliki ketertarikan dan motivasi untuk berinteraksi dengan lingkungan luar. Mereka seakan-akan memiliki dunianya sendiri sampai pada akhirnya mereka terisolasi dengan lingkungan sekitar. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk belajar yang mengakibatkan terhambatnya proses belajar bahasa di usia dini. Akhirnya anak mengalami keterlambatan bicara bahkan sampai tidak bisa bicara sama sekali. Anak dengan autisme juga memiliki kemampuan bahasa yang berbeda dan memiliki keterbatasan dalam komunikasi dua arah seperti mereka mengetahui dan paham akan benda yang di pegangnya tetapi mereka sulit dan bingung untuk menyampaikan apa nama benda yang sudah dipegangnya tersebut dan di lain waktu mereka berbicara tetapi hanya meniru dan mengulang-ngulang kata tanpa makna.
Menurut Dessy, Meilanny dan Yessi (2017), secara umum ada beberapa ciri-ciri anak penyandang autisme yaitu seperti :
1. Aspek interaksi sosial
Tidak mampu menjalani interaksi sosial yang memadai, seperti kontak mata sangat kurang hidup, ekspresi muka kurang hidup, ekspresi mata kurang hidup, dan gerak-geriknya kurang tertuju dan tidak dapat bermain dengan teman sebaya.
2. Aspek Komunikasi
Sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang-ulang dan jika bicara, biasanya tidak dipakai untuk berkomunikasi
3. Aspek perilaku
Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya dan seringkali sangat terpukau pada benda.
Selain itu Menurut Sunu dalam Jojor (2017), adapun ciri-ciri anak autis sebagai berikut :
1. Kurangnya motivasi, anak autis biasanya terlihat menarik diri dari lingkungan sosial dan sibuk dengan dunianya sendiri. Beberapa anak autis biasanya tidak memiliki keinginan untuk ingin tahu dunia yang ada di sekitarnya. Mereka tidak memiliki keinginan untuk memberitahu lingkungan dan memperluas ruang lingkup mereka.
2. Selektif terhadap stimulasi rangsang dari lingkungan sekitarnya, sehingga seringkali kesulitan menangkap informasi secara maksimal dan sekitarnya. Sikap ini sering membuat anak autis menjadi kurang peka jika ada bahaya di sekelilingnya. Misalnya saat anak tersebut berada di kolam renang atau di jalan raya.
3. Motivasi untuk stimulasi diri tinggi. Anak autis sering terlihat sibuk menghabiskan waktunya untuk menstimulasi diri sendiri dengan banyak cara,
seperti mengibas-ngibaskan tangan (flapping) atau menggerak-gerakkan jarinya dan memandanginya sendiri.
4. Merespon imbalan secara langsung. Hal ini akhirnya menjadi salah satu cara yang dipakai dalam terapi perilaku, seperti dengan memanfaatkan respon langsung anak autis pada imbalan sebagai sarana untuk mengetahui perilaku baru yang diinginkan.
2.1.3 Penyebab Terjadinya Autis
Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang mengalami autisme belum diketahui secara pasti tetapi kemajuan teknologi memungkinkan untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi dan metabolik.
Hasil-hasil penelitian lebih banyak menunjukkan bahwa autisme lebih dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan), faktor biologis, faktor lingkungan, dan faktor pemicu lainnya.
Menurut Soetjiningsih dan Ranuh (2015), Autisme dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain adanya pengaruh psikososial terkait dengan pengasuhan orangtua, masalah saat kehamilan, saat melahirkan dan ketika sesudah proses melahirkan, adanya riwayat penyakit autoimun yang berasal dari orangtua, pengaruh genetik, terdapat masalah dalam neuroanatomi dan neurotransmiter serta adanya pertumbuhan jamur berlebih yang menyebabkan gangguan pada sistem pencernaan anak dengan autisme. Menurut Mega,dkk (2018), penyebab autis karena adanya kerusakan bagian otak sehingga mempengaruhi pikiran, persepsi, dan perhatian. Kelainan ini dapat menghambat, memperlambat, atau mengganggu
sinyal dari mata, telinga, dan organ sensori yang lain. Hal ini umumnya memperlemah kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain, mungkin pada aktivitas sosial atau penggunaan keterampilan komunikasi seperti bicara, kemampuan imajinasi dan menarik kesimpulan. Sehingga kelainan ini mengakibatkan gangguan atau keterlambatan pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial sedangkan menurut Leonardo dan Paolo (2018), penyebab autis lebih besar pengaruhnya berasal dari gen tetapi faktor lingkungan juga menentukan dimana termasuk usia orang tua, komplikasi kehamilan dan kondisi ibu, racun organik, polusi udara, atau paparan obat selama kehamilan.
Selain dari beberapa faktor diatas, beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa banyak orang tua yang mengalami keterlambatan kesadaran orang tua pada identifikasi perkembangan anak autis. Menurut Muhammad, dkk (2018) keterlambatan kesadaran orang tua disebabkan karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan yang cukup tentang autisme di antara orang tua. Selain tanda dan gejala, orang tua juga tidak menyadari metode diagnosis dan pengobatan. Hal ini mengakibatkan keterlambatan identifikasi dan intervensi orang tua terhadap anak autis.
Selain itu, peran dan fungsi di dalam suatu keluarga yang telah berubah dan mengalami pergeseran juga mempengaruhi perkembangan terhadap anak autis.
Menurut Seffia (2015), Anak autis memerlukan perhatian yang lebih banyak dari orang tua terutama ibu yang terlibat langsung dalam kepengasuhan anak sepanjang hari tetapi fungsi pengasuhan oleh keluarga akhir-akhir ini cenderung
dikesampingkan, dan pergeseran peran keluarga jelas mempengaruhi kesehatan mental anggota keluarga terutama pada anak autis. Menurut Faturohman dalam Nunung (2014), Orang tua yang sibuk bekerja menyebabkan berkurangnya interaksi orang tua dengan anak. Hal ini akan memberikan sumbangan dan berdampak pada perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku sosial tertentu pada anak yang lambat laun akan mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut biasanya tanpa sengaja dan mengakibatkan krisis internal dan eksternal yang salah satunya adalah mempunyai anak yang mengalami mental disorder. Banyak orangtua yang menganggap keterlambatan berkomunikasi dan interaksi yang terjadi pada anaknya tersebut adalah hal yang wajar atau tidak menganggap gangguan autis yang terjadi pada anak mereka.
2.1.4 Gejala Anak Autis
Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hal ini juga dijelaskan pada DSM IV bahwa autis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan, dengan perbandingan 4-5:1 untuk kasus autis pada laki-laki dan perempuan terutama untuk jenis autistic disorder. Penanganan autisme ini dapat diawali dengan deteksi dini pada anak-anak yang mempunyai karakteristik autis. Deteksi dini dapat dilakukan oleh orang tua, dokter anak, keluarga ataupun guru anak. Mayoritas orangtua yang memiliki anak dengan autisme biasanya terdeteksi dari usia 1 tahun sampai 3 tahun disaat anak normal sudah pandai berbicara dan komunikasi, sementara anak dengan autisme memiliki
keterlambatan bicara atau memiliki bahasa yang aneh. Menurut Khaula (2018), ASD dapat dideteksi mulai usia 18 bulan dan dapat didiagnosis dengan pasti sejak usia 2 tahun.
Menurut Samantha (2018), secara umum gejala autis sudah terlihat dimana orang-orang dengan ASD memiliki beberapa bentuk perilaku terbatas atau berulang yang dapat mencakup: ucapan berulang atau gerakan; keinginan kuat untuk kesamaan, dapat diprediksi dan rutin; minat yang intens atau luar biasa dan sensitivitas hipo atau hiper untuk dalam sensorik seperti cahaya, suara dan sensasi fisik. Gejala-gejala ini hadir dalam kombinasi yang berbeda dan dengan variabilitas yang hebat dalam presentasi dan dampaknya pada fungsi harian seseorang. Namun, pada beberapa kasus, anak sudah memperlihatkan gejala autisme sejak bayi.
2.1.5 Interaksi Sosial Anak Autis
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang bersifat dinamis yang dapat berupa hubungan antar individu, antar individu dan kelompok, maupun antar kelompok. Di dalam interaksi sosial juga terdapat simbol-simbol yang diartikan sebagai sesuatu yang dianggap nilai atau maknanya yang diberikan oleh mereka yang menggunakannya. Thibaut dan Kelley dalam Ditha (2017), bahwa interaksi sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.
Interaksi sosial dalam penelitian ini merupakan sebagai hubungan timbal balik dari keterlibatan dan ketertarikan anak autis terhadap sesuatu yang berada di lingkungannya. Biasanya interaksi ini menggunakan simbol-simbol tertentu atau dengan menggunakan gerakan-gerakan untuk bisa mengutarakan ke orang lain. Hal ini dikarenakan bahwa anak autis kurang mampu menjalin hubungan dengan baik, seperti kontak mata sangat kurang ketika berinteraksi dengan orang lain, ekspresi wajah yang kurang hidup, gerak gerik yang kurang fokus, tidak bisa bermain dengan teman sebaya, tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, serta kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
Beberapa gangguan interaksi sosial pada anak autisme yang telah disebutkan, menimbulkan hambatan sosial bagi anak autis. Hambatan sosial anak autis akan berubah sesuai dengan perkembangan usia. Menurut Asrizal (2016), sejak tahun pertama, anak autis mungkin telah menunjukkan adanya gangguan pada interaksi sosial yang timbal balik, seperti menolak untuk disayang atau dipeluk, tidak menyambut ajakan ketika akan diangkat dengan mengangkat kedua lengannya, kurang dapat meniru pembicaraan atau gerakan badan, gagal menunjukkan suatu objek kepada orang lain, serta adanya gerakan pandangan mata yang abnormal;
Permainan yang bersifat timbal balik mungkin tidak akan terjadi. Sebagian anak autis tampak tidak acuh atau tidak beraksi terhadap pendekatan orang tuanya, sebagian lainnya malahan merasa cemas apabila berpisah dan melekat pada orang tuanya. Anak autis gagal dalam mengembangkan permainan teman-temannya, mereka lebih suka bermain sendiri. Keinginan untuk menyendiri yang sering tampak pada masa kanak-kanak akan makin menghilang dengan bertambahnya
usia, walaupun mereka berminat untuk mengadakan hubungan dengan teman, sering kali terdapat hambatan karena ketidakmampuan mereka untuk memahami aturan-aturan yang berlaku dalam interaksi sosial. Kesadaran sosial yang kurang inilah yang mungkin menyebabkan mereka tidak mampu untuk memahami ekspresi wajah orang, ataupun untuk mengekspresi perasaannya, baik dalam bentuk vokal maupun ekspresi wajah.
Hambatan-hambatan sosial yang dapat terjadi terhadap anak autis dalam berinteraksi membuat peran orang tua sangat diharapkan guna meningkatkan interaksi sosial pada anak autis. Menurut Suharni dkk (2016), cara untuk meningkatkan interaksi sosial pada anak autis yang cukup maka peran orang tua sangat diharapkan memberi dukungan kepada anak autis untuk melakukan interaksi sosial yang cukup. Dalam hal ini perlu kerjasama antara orang tua dan anak karena kerjasama merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang utama dan sebagai suatu usaha untuk memberikan proses penyembuhan yang baik terhadap anak autis.
Sedangkan yang harus dilakukan orang tua dalam melakukan interaksi sosial dengan anak autis yakni melakukan kontak langsung dengan anak autis seperti berbicara, tersenyum dan bahasa isyarat. Disamping orang tua sebagai pembimbing dan penolong bagi anak-anaknya, mereka juga harus memperkaya ilmu untuk memilih terapi yang tepat dan sesuai sehingga dapat menentukan dalam membantu anak untuk mencapai perkembangan dan pertumbuhan optimal.
2.1.6 Penanganan Anak Autis
Anak dengan autisme sejauh ini memang belum bisa disembuhkan tetapi masih dapat diterapi. Menurut Thomas dan Joel (2015), diagnosis dini dan penerapan berbasis intervensi, bukti meningkatkan kemungkinan bahwa seorang anak akan memiliki hasil yang lebih baik dan mengurangi gangguan fungsional.
Tujuan pengobatan adalah untuk meminimalkan efek mengganggu dan untuk meningkatkan fungsi adaptif. Dengan begitu adanya intervensi yang tepat, perilaku- perilaku yang tidak diharapkan dari pengidap autisme dapat berkurang dan dirubah tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada, kecepatan diagnosis dan terapi yang didapat.
Gejala yang timbul pada anak autis sangat bervariasi, oleh karena itu terapi sangat individual dan tergantung keadaan dan gejala yang timbul dan harus ditanganin secara holistic oleh tim ahli. Menurut Sri (2014), ada beberapa terapi anak autis di antaranya :
1. Terapi bicara
Terapi bicara yaitu terapi yang melatih dan melancarkan otot-otot mulut anak sehingga membantu anak berbicara lebih baik.
2. Terapi biomedik
Terapi biomedik yaitu penanganan biomedis melalui perbaikan kondisi tubuh agar terlepas dari faktor-faktor yang merusak misalnya keracunan logam berat, allergen, dan lain-lain.
3. Terapi makanan
Terapi makanan beberapa anak autis pada umumnya mempunyai riwayat alergi terhadap beberapa makanan sehingga pengalaman dan perhatian orangtua dalam
mengatur dan menyiapkan menu makanan serta mengamati gejala yang timbul akibat makanan tertentu sangat bermanfaat dalam menentukan terapi selanjutnya.
Terapi diet disesuaikan dengan gejala utama yang timbul pada anak.
4. Terapi perilaku
Terapi perilaku yaitu terapi yang bertujuan agar perilaku anak menjadi terkendali dan mengerti norma sosial yang berlaku. Fokus penanganan dalam terapi perilaku adalah pemberian reinvorcement positif setiap kali anak merespon dengan benar sesuai dengan instruksi yang diberikan dalam terapi perilaku ini tidak menerapkan hukuman bila anak merespon negatif atau salah atas instruksi yang diberikan. Perlakuan ini diharapkan dapat meningkatkan respon positif anak dan mengurangi kemungkinan ia merespon negatif terhadapa instruksi yang diberikan.
Pada penanganan yang tepat, dini, intensif dan optimal, penyandang autisme dapat membantu mereka untuk berkembang dan mandiri di masyarakat bahkan di antaranya ada juga yang berprestasi.
2.2 Penerimaan dan Pemahaman Orang Tua Terhadap Anak Autis
Setiap orang tua pasti menginginkan anak yang sehat dari segi fisik maupun mental dengan harapan dapat menjadi generasi penerus orangtua dan berguna bagi keluarga dan orang lain. Namun ketika orang tua memiliki anak dengan kondisi mengalami hambatan dalam perkembangan yang tidak selayaknya dengan anak seusia yang lain akan menjadi suatu tantangan bagi orang tua tersebut seperti memiliki anak autis. Seperti yang sudah di jelaskan di atas bahwa anak autis
memiliki sindrom yang membuat anak-anak yang menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan sosial secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah.
Saat menerima masalah tersebut, banyaknya reaksi yang ditimbulkan dari orang tua terhadap anak autisme seperti tidak percaya, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami autisme kadang-kadang menyebabkan orangtua mencari dokter lain untuk menyangkal diagnosis dokter sebelumnya. Setelah mengalami fakta yang obyektif dari berbagai sumber, kebanyakan orangtua dengan perasaan amat terpukul dan terpaksa menerima kenyataan bahwa anak mereka mengalami autisme.
Menurut Mangunsong dalam Ade dan Ira (2016), reaksi yang muncul pada orang tua ketika anaknya dikatakan memiliki permasalahan pada kondisi fisik maupun kesehatan adalah tidak percaya, terjadi goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anak mereka. Bukan hal yang mudah bagi orang tua untuk percaya bahwa anaknya dikatakan bermasalah, apalagi anaknya dikatakan menyandang autisme. Beberapa orang tua ada yang memiliki dorongan untuk melarikan diri dari masalahnya, berpurapura bila anak mereka tidak memiliki kekurangan. Mereka merasa tidak nyaman dengan perasaan berpura-pura itu sehingga mereka mengambil tindakan sebaliknya, mereka menjadi terlalu cemas dan terlalu berlebihan dalam menjaga anak. Beberapa orang tua ada yang memiliki dorongan untuk melarikan diri dari masalahnya, berpura-pura bila anak mereka tidak memiliki kekurangan. Mereka takut anaknya hilang dari pandangannya, tidak membiarkannya berinteraksi dengan orang lain, dan bahkan mereka cenderung
melarang anaknya untuk melakukan sesuatu hal sendiri tanpa bantuan mereka.
Selain itu, masih banyak terdapat orangtua yang belum mampu menerima dan bahkan malu ketika mengetahui sang anak mengalami autisme, sementara penerimaan yang ditunjukkan oleh orangtua merupakan aspek yang penting untuk anak dengan autisme (Priherdityo, 2016).
Tidak mudah bagi orangtua yang anaknya menyandang autisme untuk mengalami fase seperti ini sampai pada akhirnya ke tahap penerimaan dan pemahaman. Menurut Rikha (2014), beberapa orangtua dapat menerima buah hatinya dengan ikhlas, dalam artian dapat merawat serta melihat anak agar dapat mandiri dalam mengikuti tumbuh kembangnya seperti anak yang normal. Namun ada beberapa orangtua merasa bahwa dengan memiliki anak seperti itu adalah suatu yang memalukan sehingga orangtua menganggap bahwa anak tidak akan dapat bertumbuh dan berkembang seperti anak yang normal, bahkan banyak orangtua menganggap anak seperti itu membutuhkan banyak finansial sehingga tidak perlu diterapi. Ada indikasi terburuk, apabila orangtua tidak mau merawat anaknya maka orangtua bertindak cuek dan seperti tidak mempunyai anak yang seperti itu. Berikut ciri-ciri orangtua yang memiliki bentuk penerimaan positif:
1. Dapat menerima kenyataan bahwa anaknya autis.
2. Mengupayakan penyembuhan untuk anaknya yang menderita autis yang disesuaikan dengan kebutuhan.
3. Tidak merasa rendah diri dan bersikap terbuka terhadap orang lain tentang kondisi anaknya.
Ciri-ciri orangtua yang memiliki bentuk penerimaan negatif:
4. Tidak dapat menerima kenyataan bahwa anaknya autis.
5. Tidak melakukan upaya penyembuhan apapun terhadap keadaan anaknya (cenderung bersikap acuh, bahkan tidak peduli).
6. Merasa rendah diri dan bersikap tertutup terhadap orang lain tentang kondisi anaknya.
Menurut Selvi dan Shanty (2017), sangatlah penting bagi seorang orangtua yang memiliki anak dengan autisme untuk dapat menerima diri mereka sendiri dan menerima keadaan anaknya sehingga orangtua dapat mengasuh dan merawat anaknya dengan baik meskipun dihadapkan pada situasi-situasi yang unik atau berbeda dalam prosesnya. Menurut Astutik (2014), tingginya penerimaan orangtua akan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif dan suportif bagi anak, serta mampu mengatasi kendala yang dihadapi anak dengan memberikan tritmen sederhana sesuai dengan kebutuhan anak, sehingga optimalisasi perkembangan dapat diupayakan dengan lebih efektif untuk menjadikan anak yang memiliki kebutuhan khusus lebih mandiri. Anak autisme yang diterima oleh orang tua akan dapat mampu bekerja sama dengan orang lain, bersahabat, ceria, dan bersikap optimis. Dari beberapa penjelasan diatas bahwa betapa pentingnya sikap penerimaan orang tua saat bersama anak autism. Hal ini dapat menentukan dan akan mempengaruhi perkembangan anak autisme. Bila orang tua bersikap mengecam, mengkritik, mengeluh dan terus mengulang-ulang pelajaran, anak autism cenderung bersikap menolak dan “masuk” kembali kedunianya dan jika sikap orang tua yang positif, biasanya membuat anak-anak lebih terbuka akan pengarahan dan lalu berkembang ke arah yang lebih positif pula.
Menurut Rikha (2014), pemahaman adalah kemampuan untuk menangkap sifat, arti atau keterangan tentang sesuatu. Dapat juga diartikan sebagai kemampuan untuk memahami tentang sesuatu sehingga muncul konsep-konsep atau sesuatu hal yang kita pahami dan kita mengerti dengan benar. Pemahaman tentang anak autis merupakan pengetahuan yang mencakup segala informasi yang berhubungan dengan gangguan pada anak yang mencakup perilaku, bahasa, dan sosialisasi yang perlu diketahui oleh orangtua. Disini orangtua harus memahami tentang anak autisme dengan cukup baik. Orangtua yang banyak memperoleh pengetahuan tentang autisme akan merasa betapa pentingnya pemahaman tentang autis yang pada akhirnya dapat menerapkan bagaimana memberikan tindakan pada anak penyandang autisme sebaliknya apabila orangtua kurang memiliki pemahaman tentang autisme maka dapat berakibatan kurangnya perhatian dan tindakan yang diambil pada anak dan menganggap anak tersebut mengalami cacat atau bahkan tidak bisa berbicara selamanya. Orangtua adalah penentu kehidupan anak sebelum dan sesudah dilahirkan karena itu adalah tanggung jawab orangtua sepenuhnya untuk menentukan apakah akan menggunakan teknik khusus dalam mendidik anak- anak autis atau tidak.
2.3 Peran Dan Fungsi Orang Tua Terhadap Anak Autis
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang
menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mencapai interaksi yang baik antara orang tua dengan anak-anaknya maka di dalam keluarga itu harus menjalankan peranannya sesuai dengan fungsi dan kedudukannya. Setiap orang tua di dalam keluarga memiliki fungsi-fungsinya tersendiri yang dapat mendukung seorang anak untuk melangsungkan kehidupannya secara normal dan wajar. Fungsi orang tua di dalam keluarga merupakan suatu ukuran orang tua di dalam suatu keluarga agar sebuah keluarga dapat beroperasi sebagai unit dan bagaimana anggota di dalam suatu keluarga dapat berinteraksi satu sama lain. Hal ini dapat mencerminkan gaya pengasuhan, konflik di dalam keluarga, dan kualitas hubungan antar anggota di dalam suatu keluarga. Menurut Khairuddin dalam Randi (2016) fungsi keluarga menurut teori keluarga adalah sebagai berikut :
1. Fungsi pengaturan seksual
Keluarga adalah lembaga pokok yang meruupakan wahana bagi masyrakat untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasan kenginan seksual.
2. Fungsi reproduksi
Urusan memproduksi anak sikap masyarakat terutama tergantung keluarga.
Cara lain hanya lah kemungkinan teoritis saja dan sebagian masyarakat yang menerapkan norma untuk memperoleh anak kecualisebagai bagian keluarga.
3. Fungsi sosialisasi
Fungsi ini diberikan bagi anak-anak kedalam alam dewasa yang dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat.
4. Fungsi efeksi
Keluarga bertujuan memberikan kebutuhan akan kasih sayang atau rasa cinta bagi anggota keluarga.
5. Fungsi penentuan status
Keluarga berfungsi memberikan status keluarga berdasarkan umur, jenis kelamin, dan urutan kelahiran. Ini berfungsi sebagai dasar untuk member status sosial.
6. Fungsi perlindungan
Keluarga berfungsi memberikan perlindungan baik itu fisik, ekonomi, psikologi, bagi seluruh anggota keluarga.
7. Fungsi ekonomi
Keluarga memberikan fungsi ekonomi guna memenuhi semua kebutuhan sandang,pangan, dan papan
Dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga sangatlah dibutuhkan peranan dari orang tua sebagai orang terdekat dengan anak-anaknya. Peranan orang tua menggambarkan pola perilaku interpersonal, sifat dan kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam situasi dan posisi tertentu. Menurut John W. Santrock dalam Aisyah (2016), dalam peran orang tua pada masa anak disini dijadikan sebagai manajerial terutama penting dalam perekembangan sosioemosional anak.
Orang tua boleh mengatur kesempatan anak untuk melakukan berinteraksi dengan lingkungan disekitarnya. Selain itu aspek penting lainnya dari peran manajerial adalah pemantauan efektif atas anak yang meliputi mengawasi pilihan anak tentang tempat sosial, aktivitas dan teman. Menurut Istiati dalam Wilda (2017), adapun peran orang tua sebagai berikut :
1. Peran Ayah
Sebagai seorang suami dari istri dan ayah dari anak-anaknya, ayah berperan sebagai kepala keluarga, pendidik, pelindung, mencari nafkah, serta pemberi rasa aman bagi anak dan istrinya dan juga sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat di lingkungan di mana dia tinggal.
2. Peran Ibu
Sebagai seorang istri dari suami dan ibu dari anak-anaknya, dimana peran ibu sangat penting dalam keluarga antara lain sebagai pengasuh dan pendidik anak- anaknya, sebagai pelindung dari anak-anak saat ayahnya sedang tidak ada dirumah, mengurus rumah tangga, serta dapat juga berperan sebagai pencari nafkah. Selain itu ibu juga berperan sebagai salah satu anggota kelompok dari peranan sosial serta sebagai anggota masyarakat di lingkungan di mana dia tinggal.
Kita ketahui bahwa orang tua merupakan pendidik utama bagi anak tetapi banyak hal yang mempengaruhi akan perubahan peran dalam keluarga. Adanya berbagai perubahan dalam bidang kehidupan, sebagai masyarakat akan mengalami perkembangan dan perubahan. Perubahan yang tampak nyata dalam masyarakat khususnya dalam keluarga adalah fungsi-fungsi dari lembaga keluarga itu sendiri yang mulai beralih pada lembaga sosial lainnya sehingga peran di dalam suatu keluarga tersebut juga ikut berubah, diantaranya sebagai berikut:
1. Kekacauan
Yaitu pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika salah satu atau beberapa anggota keluarga gagal menjalankan kewajiban peran mereka secukupnya.
2. Ketidaksahan
Merupakan unit keluarga yang tak lengkap dapat dianggap sama dengan bentuk-bentuk kegagalan peran lainnya dalam keluarga. Setidak-tidaknya ada satu sumber ketidaksahan dalam kegagalan anggota-anggota keluarga baik ibu maupun bapak dalam menjalankan kewajiban peranannya.
3. Pembatalan, perpisahan, perceraian dan meninggalkan
Terputusnya keluarga disini karena salah satu atau kedua pasangan dalam keluarga tersebut memutuskan untuk saling meninggalkan dan dengan demikian berhenti melaksanakan kewajiban peranannya.
4. Keluarga selaput kosong
Anggota-anggota keluarga tetap tinggal bersama tetapi tidak saling menyapa atau bekerjasama antara satu dengan yang lain dan terutama gagal memberikan dukungan emosional satu dengan yang lain. Hal ini menjadikan peranan yang seharusnyadijalankan sesuai dengan semestinya menjadi terhambat bahkan dapat mengalami perubahan karena adanya selaput kosong ini.
5. Ketiadaan seorang dari pasangan karena hal yan tidak diinginkan
Beberapa keluarga terpecah karena suami atau istri telah meninggal, dipenjarakan atau terpisah dari keluarga karena peperangan, depresi atau hal-hal lain. Dengan keadaan seperti ini menjadikan adanya perubahan peranan. Misalnya ayah yang meninggal dunia, menjadikan istri dari ayah tersebut untuk mampu berperan ganda sebagai ibu rumah tangga dan yang menafkahi anak-anaknya (keluarganya).
6. Kegagalan peran penting yang tidak diinginkan
Malapetaka dalam keluarga mungkin mencakup penyakit mental, emosional, atau badaniah yang parah. Misalnya anak yang mungkin terbelakang mentalnya atau seorang anak atau suami atau istri mungkin menderita penyakit jiwa, penyakit yang parah dan terus menerus mungkin juga menyebabkan kegagalan atau perubahan dalam menjalankan peran utamanya dalam peranannya di keluarga.
7. Adanya konflik dalam keluarga
Suatu konflik menjadikan adanya suatu permasalahan yang dapat memicu suatu keegoisan diri. Konflik di dalam suatu keluarga sering terjadi yang akhirnya menjadikan adanya perubahan peranan di dalam keluarga.
8. Perubahan-perubahan nilai
Hal ini membuat penambahan dalam kegagalan karena ada orang-orang yang dapat menerima cara-cara baru dan ada yang tidak.
(https://www.academia.edu/8910928/Analisis_Sosioligi_Dalam_Keluarga diakses pada tanggal 14 Januari 2019 Pukul 13:45 WIB)
Terkait dengan persoalan dengan anak autis, untuk meningkatkan pengembangan diri anak autis agar dapat berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungannya bukan hanya dari pelaku terapis saja tetapi peran dan fungsi orang tua secara langsung sangat diperlukan karena memiliki anak autis berarti juga memiliki kendala yang lebih dibandingkan dengan anak yang normal. Menurut Pamela,dkk (2017), keterlibatan orangtua sangat penting mengingat bahwa memiliki anak dengan ASD menimbulkan banyak tantangan yang unik untuk sistem keluarga, seperti peningkatan kekakuan dari jadwal keluarga karena kesulitan dengan transisi yang dialami oleh banyak anak dengan ASD, peningkatan
isolasi sosial yang dialami oleh orang tua yang sering harus menarik (secara sukarela atau terpaksa) dari lingkungan sosial karena masalah-masalah kelakuan anak-anak; dan sering dibebani dengan menuntut tugas-tugas perawatan anak yang dapat bertentangan dengan orang tua bekerja komitmen, dan yang mungkin dampak keuangan keluarga. Selanjutnya peran ayah dan ibu sangatlah membantu dalam tercapainya perkembangan secara optimal khususnya pada anak autisme.
Menurut Mulyadi dan Sutadi (2014), dalam penatalaksanaan masalah anak, peran orangtua yaitu ayah dan ibu adalah hal yang utama. Peran orangtua merupakan salah satu aspek dalam keberhasilan proses terapi, selain profesional dan terapis. Dibutuhkan penangangan dalam waktu yang lama bahkan bisa dikatakan sampai sepanjang hidupnya. Bila mereka tidak mampu menanganinya sebagi terapis, maka harus menjadi terapi dari seluruh sumber daya yang telah disediakan dan mereka harus menjadi organizer dari semua terapis dalam penanganan anak mereka.
Pada kenyataannya sering dijumpai orangtua menyerahkan sepenuhnya terapi anak autisnya pada klinik terapi yang dipilih. Menurut Dian (2017), hal ini dikarenakan dengan alasan sudah membayar dengan mahal dan terapislah yang memahami metode terapi, padahal kerjasama profesional (psikiater, psikolog, dokter anak, terapis) dan orangtua (ayah dan ibu) diperlukan untuk keberhasilan terapi. Bentuk peran orang tua yang diharapkan dalam pelaksanaan terapi adalah menyediakan waktu untuk mengantar anak terapi, patuh menerapkan diet, menambah ilmu seputar autisme, menjalin komunikasi dengan terapis tentang
kemajuan belajar anak, membaca buku penghubung, konsisten dan menindaklanjuti program terapi di rumah.
Dikutip dari puterakembara.org, menurut Dra. Dyah Puspita peran orang tua dalam penangan anak autisme sebagai berikut :
1. Memahami keadaan anak apa adanya (positif-negatif, kelebihan dan kekurangan).
2. Mengupayakan alternatif penanganan sesuai kebutuhan anak.
3. Melakukan intervensi di rumah
4. Melakukan evaluasi secara periodik atas apapun program penanganan yang diterapkan pada anak.
5. Bersikap positif dan percaya diri dalam menangani perkembangan anak.
(Sumber : http://puterakembara.org/rm/peran_ortu.htm diakses pada tanggal 5 Oktober 2018 pukul 01:33 WIB)
2.4 Landasan Teori
Teori adalah alat untuk menganalisis sebuah penelitian. Penelitian dikatakan ilmiah jika penelitian tersebut dianalisis menggunakan sebuah teori. Adapun teori yang digunakan pada penelitian ini adalah :
2.4.1 Tindakan Sosial Menurut Goerge Herbert Mead
Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang diarahkan pada orang lain dan memiliki arti, baik bagi diri si pelaku maupun bagi orang lain. Dalam tindakan sosial mengandung tiga konsep, yaitu tindakan, tujuan dan pemahaman. Ciri-ciri