• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV INTERPRETASI DATA

4.3 Gambaran Kehidupan Orang Tua dan Anak Autism Spectrum

4.3.3 Interaksi Sosial Informan Orang Tua Terhadap Anak

Peneliti memfokuskan interaksi sosial terhadap informan yang bukan anak tunggal seperti RKH dan RM yang memiliki saudara kandung yaitu sama-sama memiliki adik. Hal ini untuk menggambarkan dan mendeskripsikan proses interaksi tidak hanya kedua orang tua tetapi juga saudara kandungnya.

Peneliti melihat RKH yang usianya 9 tahun dan adiknya berusia 7 tahun memiliki proses interaksi sosial yang sama yaitu kecenderungan rasa ingin bermain dengan ibunya. Terlihat dengan kompetisi untuk mendapatkan perhatian dan rasa ingin bermain terus bersama ibunya bahkan menimbulkan konflik kecil dari kompetisi tersebut. Secara sosialisasi, RKH memposisikan sama dengan adiknya padahal jarak usia mereka 2 tahun. Disini diperlukan respon interaksi yang berbeda harusnya yang diberikan ibunya.

Ibu RKH menambahkan, “ada beberapa point cara bermain yang kita berlakukan sama tanpa membedakan jenis kelaminnya seperti permainan karakter superhero tapi itu harus maunya si RKH walaupun menimbulkan keberatan pada adiknya. Tapi sejauh ini adiknya sudah mulai terbuka untuk ngajak main bersama ya walaupun dia masih banyak tanya kan dengan kita, abang kenapa tidak seperti abang yang lain, kadang juga dia ada nimbul rasa cemburunya. Kita harus bisa menjelaskan pelan-pelan sama adiknya biar tidak ada saling cemburu. Itulah rasa senangnya yang ditimbulkan anak-anak.”

Peneliti melihat orang tua harus lebih ektra dalam merespon interaksi yang siap diberikan oleh anaknya karena dia memiliki anak biasa dan anak berkebutuhan khusus.

Selanjutnya informan yang bernama Ibu NN sebagai orang tua RM yang berusia 5 tahun dan adiknya yang berusia 3 tahun. Perlakuan ini berbeda dengan orang tua RKH. Hal ini terlihat dari usia RM dan adiknya yang dikategorikan anak usia dibawah 5 tahun. Rasa perlakuan tersebut bisa dilakukan sama karena jarak juga tidak terlalu jauh. Yang membedakan hanya cara makan, cara bermain, cara berinteraksi, tetapi masih bisa dikondisikan terhadap perlakuan anak usia dibawah 5 tahun. Yang menjadi perhatian adalah RM sangat suka dengan keripik, apapun yang berhasil di interpretasikan secara interaktif dengan baik oleh RM, Ibu NN memberikan reward berupa keripik karena RM sangat menyukainya.

Terdapat simbol yang berbeda-beda dalam perlakuan interaktif antara orang tua dan anak autisnya diantaranya orang tua harus bisa menginterpretasikan apa yang menjadi kesukaan anak autisnya atau saudara kandungnya.

Ibu NN mengungkapkan bahwa, “walaupun hal sekecil apapun ketika RM berhasil menunjukan dengan benar apa yang kita perintahkan dia harus dikasih apa yang buat dia senang. Kayak reward gitu walaupun RM sukanya hanya keripik.”

Berdasarkan penulisan di atas sesuai dengan kebutuhan dari interaksi sosial orang tua dan anak-anaknya, peneliti melihat ada unsur-unsur proses interaksi yang cenderung sama dengan memposisikan kedua anaknya. Hanya yang membedakan selain usia, pola makan, dan pendidikan karena walaupun usia mereka berbeda, tetapi cara respon kedua anaknya berbeda. Dari situ terbentuklah proses interaksi orang tua dengan anak autisnya. Misalnya RM dan adiknya suka dipeluk ibunya hal ini menunjukan RM harus di posisikan yang sama dengan adiknya yang masih usia 3 tahun. Sementara tidak ada perbedaan perlakuan yang signifikan terlepas dari kebutuhan dan kegiatan sehari-harinya. Kemudian peneliti melihat tidak adanya interaksi sosial yang terlalu memerlukan kebutuhan khusus karena mereka masih dibawah umur 5 tahun hanya saja orang tua sudah memberitahukan bahwa RM adalah kakak dari adiknya.

Dari hal ini dapat dilihat bahwa interaksi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya merupakan suatu hubungan timbal balik yang sengaja dibangun oleh kedua orang tuanya agar anak tersebut dapat terlibat dan tertarik terhadap sesuatu yang berada di lingkungannya. Biasanya interaksi ini menggunakan simbol-simbol tertentu atau dengan menggunakan gerakan-gerakan untuk bisa mengutarakan ke orang lain. Peneliti juga melihat berdasarkan hasil dari beberapa informan bahwa untuk meningkatkan interaksi orang tua dengan anak autisnya adalah dengan penggunaan satu bahasa yang sederhana, pemberian nama pada setiap benda, komunikasi dengan bahasa tubuh, komunikasi yang continiu, dan adanya target pembelajaran. Menurut Sastry & Aguirre (2014), salah satu bentuk dalam melakukan interaksi yang baik yaitu membangun atensi bersama. Atensi

bersama merupakan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain secara verbal maupun tidak, di sekitar pengalaman, objek atau kejadian yang dimiliki bersama. Orang tua dapat membangun atensi bersama dan memampukan anak berinteraksi dengan baik. Walaupun faktor penghambatnya adalah karena perkembangan dan hambatan pada setiap anak autis yang berbeda-beda dengan anak autis yang lain. Hal ini juga dikaitkan oleh Suharni dkk (2016) dimana cara untuk meningkatkan interaksi sosial pada anak autis yang cukup maka peran orang tua sangat diharapkan memberi dukungan kepada anak autis untuk melakukan interaksi sosial yang cukup.

Dalam hal ini, informan juga melihat interaksi anak tersebut dengan saudara kandungnya namun sebatas pada interaksi sehari-hari seperti tidur bersama, makan bersama, berdoa bersama, bermain bersama, dan belajar bersama. Dalam penelitian ini, informan mendapatkan dan melihat bahwa ada keterbatasan interaksi antara anak autis dengan saudara kandungnya. Hal ini di tuturkan oleh Ibu Juli:

“Kakaknya HQI, mau bermain dengan HQI tetapi mereka juga terkadang berbeda pendapat atau pilihan saat bermain. Sehingga menimbulkan sedikit konflik tapi itu hal yang sangat minim terjadi karena kakaknya harus benar-benar mengetahui apa yang dia mau.”

Kemudian Ibu RNI sebagai psikolog juga menjelaskan bahwa orang tua harus peka dalam urusan interaksi karena kedua anak mereka memiliki cara interaksi yang berbeda walau menunjukan hal yang sama sehingga sikap sebagai seorang kakak atau saudara kandung ialah menjadi jembatan dalam menginterprestasikan setiap interaksi yang dimaksud anak autis. Semisal, piring untuk makan namun bisa saja

piring sebagai mainan. Disinilah proses interaksi sosial terjadi untuk mengartikan piring tersebut sebagai fungsi semestinya. Orang tua melalui kontrol dan tindakan untuk menjaga agar tidak ada interprestasi interaksi yang salah. Hal ini juga menggabarkan alat-alat yang bisa dijadikan untuk mainan dan dijadikan untuk fungsi lain semestinya.

Peneliti mengetahui bahwa informan memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk selain berinteraksi juga bersosialisasi dengan lingkungan luar dan mengenal keluarga-keluarganya. Hal ini di utarakan oleh Ibu AA :

“Walaupun mereka berkebutuhan khusus, sosialisasi untuk memang harus di ajarkan biar dia mengenal satu sama lainnya.”

Kemudian Ibu AA juga menambahkan :

“Kita tau ya bahwa anak-anak yang memiliki seperti ini sulit kali untuk bermain dengan teman-temannya. Tidak usah dari teman-temannya, dari orang tua atau dari orang terdekat aja pun sulit sekali kan karena mereka memang tidak bisa.

Tetapi kitalah sebagai orang tua mengajarkan dia pelan-pelan, setidaknya untuk duduk ditengah-tengah di antara teman-temannya walaupun dia juga tidak tau apa yang mereka sedang mainkan. Itu perlu sekali buat dia memancing responnya dia terhadap lingkungannya”

Peneliti melihat penerapan sosialisasi merupakan sebuah konsep untuk dikenal, diakui dan dipercaya sebagai unsur dari hak hidup seorang anak karena mereka juga akan tumbuh dewasa. Sosialisasi yang diberikan tidak terbatas pada pengenalan orang-orang di sekitar tetapi juga antar keluarga satu dengan yang lain karena pada dasarnya yang menjadi agen sosialisasi pertama adalah keluarga yaitu orang tua. Agen sosialisasi keluarga memberikan respon yang positif untuk tumbuh kembang kedepannya. Walaupun kedepannya terdapat agen sosialisasi lanjutan seperti sekolah, teman sepermainan dan media menjadi perlengkap proses

sosialisasinya. Dengan demikian, seorang anak baik yang berkebutuhan khusus ataupun biasa harus bisa menjalani proses sosialisasi tersebut dengan sebaiknya.

Peneliti melihat informan keluarga ALT yang telah memberikan kesempatan kepada ALT untuk bersekolah dan kebetulan memiliki keluarga besar yang lengkap sehingga ALT terbiasa selain mengenal dan juga bersosialisasi dengan neneknya, kakeknya, sepupunya, bahkan keluarga yang bekerja di rumah. ALT memiliki kecenderungan untuk gampang bersosialisasi karena ALT pernah tinggal bersama kakek dan neneknya sementara kedua orang tunya bekerja.

Peneliti juga melihat ada upaya orang tua untuk memberikan kesempatan anaknya untuk bersosialisasi dengan tetangga di sekitar dan dengan orang luar. Hal ini sangatlah penting untuk melengkapi proses sosialisasi dan kebutuhan khusus untuknya sehingga orang-orang di sekitar tempat tinggal mengetahui untuk memposisikan anak berkebutuhan khusus itu seperti mengenalnya, mengajaknya dia berbicara, dan perlakuan sosialisasi lainnya. Hal ini dapat kita lihat bahwa di dalam sosiologi, sosialisasi sangat berpengaruh dalam kehidupan anak di dalam keluarga walaupun prosesnya mengalami tahapan-tahapan, dikarenakan keluarga merupakan kelompok sosial yang sangat besar pengaruhnya terhadap proses sosialisasi anak sebelum terjun ke kehidupan masyarakat.