• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak Autis

2.1.2 Ciri-Ciri Anak Autis

Secara umum anak dengan autisme memiliki ciri-ciri dimana tidak memiliki ketertarikan dan motivasi untuk berinteraksi dengan lingkungan luar. Mereka seakan-akan memiliki dunianya sendiri sampai pada akhirnya mereka terisolasi dengan lingkungan sekitar. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk belajar yang mengakibatkan terhambatnya proses belajar bahasa di usia dini. Akhirnya anak mengalami keterlambatan bicara bahkan sampai tidak bisa bicara sama sekali. Anak dengan autisme juga memiliki kemampuan bahasa yang berbeda dan memiliki keterbatasan dalam komunikasi dua arah seperti mereka mengetahui dan paham akan benda yang di pegangnya tetapi mereka sulit dan bingung untuk menyampaikan apa nama benda yang sudah dipegangnya tersebut dan di lain waktu mereka berbicara tetapi hanya meniru dan mengulang-ngulang kata tanpa makna.

Menurut Dessy, Meilanny dan Yessi (2017), secara umum ada beberapa ciri-ciri anak penyandang autisme yaitu seperti :

1. Aspek interaksi sosial

Tidak mampu menjalani interaksi sosial yang memadai, seperti kontak mata sangat kurang hidup, ekspresi muka kurang hidup, ekspresi mata kurang hidup, dan gerak-geriknya kurang tertuju dan tidak dapat bermain dengan teman sebaya.

2. Aspek Komunikasi

Sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang-ulang dan jika bicara, biasanya tidak dipakai untuk berkomunikasi

3. Aspek perilaku

Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya dan seringkali sangat terpukau pada benda.

Selain itu Menurut Sunu dalam Jojor (2017), adapun ciri-ciri anak autis sebagai berikut :

1. Kurangnya motivasi, anak autis biasanya terlihat menarik diri dari lingkungan sosial dan sibuk dengan dunianya sendiri. Beberapa anak autis biasanya tidak memiliki keinginan untuk ingin tahu dunia yang ada di sekitarnya. Mereka tidak memiliki keinginan untuk memberitahu lingkungan dan memperluas ruang lingkup mereka.

2. Selektif terhadap stimulasi rangsang dari lingkungan sekitarnya, sehingga seringkali kesulitan menangkap informasi secara maksimal dan sekitarnya. Sikap ini sering membuat anak autis menjadi kurang peka jika ada bahaya di sekelilingnya. Misalnya saat anak tersebut berada di kolam renang atau di jalan raya.

3. Motivasi untuk stimulasi diri tinggi. Anak autis sering terlihat sibuk menghabiskan waktunya untuk menstimulasi diri sendiri dengan banyak cara,

seperti mengibas-ngibaskan tangan (flapping) atau menggerak-gerakkan jarinya dan memandanginya sendiri.

4. Merespon imbalan secara langsung. Hal ini akhirnya menjadi salah satu cara yang dipakai dalam terapi perilaku, seperti dengan memanfaatkan respon langsung anak autis pada imbalan sebagai sarana untuk mengetahui perilaku baru yang diinginkan.

2.1.3 Penyebab Terjadinya Autis

Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang mengalami autisme belum diketahui secara pasti tetapi kemajuan teknologi memungkinkan untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi dan metabolik.

Hasil-hasil penelitian lebih banyak menunjukkan bahwa autisme lebih dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan), faktor biologis, faktor lingkungan, dan faktor pemicu lainnya.

Menurut Soetjiningsih dan Ranuh (2015), Autisme dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain adanya pengaruh psikososial terkait dengan pengasuhan orangtua, masalah saat kehamilan, saat melahirkan dan ketika sesudah proses melahirkan, adanya riwayat penyakit autoimun yang berasal dari orangtua, pengaruh genetik, terdapat masalah dalam neuroanatomi dan neurotransmiter serta adanya pertumbuhan jamur berlebih yang menyebabkan gangguan pada sistem pencernaan anak dengan autisme. Menurut Mega,dkk (2018), penyebab autis karena adanya kerusakan bagian otak sehingga mempengaruhi pikiran, persepsi, dan perhatian. Kelainan ini dapat menghambat, memperlambat, atau mengganggu

sinyal dari mata, telinga, dan organ sensori yang lain. Hal ini umumnya memperlemah kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain, mungkin pada aktivitas sosial atau penggunaan keterampilan komunikasi seperti bicara, kemampuan imajinasi dan menarik kesimpulan. Sehingga kelainan ini mengakibatkan gangguan atau keterlambatan pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial sedangkan menurut Leonardo dan Paolo (2018), penyebab autis lebih besar pengaruhnya berasal dari gen tetapi faktor lingkungan juga menentukan dimana termasuk usia orang tua, komplikasi kehamilan dan kondisi ibu, racun organik, polusi udara, atau paparan obat selama kehamilan.

Selain dari beberapa faktor diatas, beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa banyak orang tua yang mengalami keterlambatan kesadaran orang tua pada identifikasi perkembangan anak autis. Menurut Muhammad, dkk (2018) keterlambatan kesadaran orang tua disebabkan karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan yang cukup tentang autisme di antara orang tua. Selain tanda dan gejala, orang tua juga tidak menyadari metode diagnosis dan pengobatan. Hal ini mengakibatkan keterlambatan identifikasi dan intervensi orang tua terhadap anak autis.

Selain itu, peran dan fungsi di dalam suatu keluarga yang telah berubah dan mengalami pergeseran juga mempengaruhi perkembangan terhadap anak autis.

Menurut Seffia (2015), Anak autis memerlukan perhatian yang lebih banyak dari orang tua terutama ibu yang terlibat langsung dalam kepengasuhan anak sepanjang hari tetapi fungsi pengasuhan oleh keluarga akhir-akhir ini cenderung

dikesampingkan, dan pergeseran peran keluarga jelas mempengaruhi kesehatan mental anggota keluarga terutama pada anak autis. Menurut Faturohman dalam Nunung (2014), Orang tua yang sibuk bekerja menyebabkan berkurangnya interaksi orang tua dengan anak. Hal ini akan memberikan sumbangan dan berdampak pada perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku sosial tertentu pada anak yang lambat laun akan mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut biasanya tanpa sengaja dan mengakibatkan krisis internal dan eksternal yang salah satunya adalah mempunyai anak yang mengalami mental disorder. Banyak orangtua yang menganggap keterlambatan berkomunikasi dan interaksi yang terjadi pada anaknya tersebut adalah hal yang wajar atau tidak menganggap gangguan autis yang terjadi pada anak mereka.

2.1.4 Gejala Anak Autis

Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hal ini juga dijelaskan pada DSM IV bahwa autis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan, dengan perbandingan 4-5:1 untuk kasus autis pada laki-laki dan perempuan terutama untuk jenis autistic disorder. Penanganan autisme ini dapat diawali dengan deteksi dini pada anak-anak yang mempunyai karakteristik autis. Deteksi dini dapat dilakukan oleh orang tua, dokter anak, keluarga ataupun guru anak. Mayoritas orangtua yang memiliki anak dengan autisme biasanya terdeteksi dari usia 1 tahun sampai 3 tahun disaat anak normal sudah pandai berbicara dan komunikasi, sementara anak dengan autisme memiliki

keterlambatan bicara atau memiliki bahasa yang aneh. Menurut Khaula (2018), ASD dapat dideteksi mulai usia 18 bulan dan dapat didiagnosis dengan pasti sejak usia 2 tahun.

Menurut Samantha (2018), secara umum gejala autis sudah terlihat dimana orang-orang dengan ASD memiliki beberapa bentuk perilaku terbatas atau berulang yang dapat mencakup: ucapan berulang atau gerakan; keinginan kuat untuk kesamaan, dapat diprediksi dan rutin; minat yang intens atau luar biasa dan sensitivitas hipo atau hiper untuk dalam sensorik seperti cahaya, suara dan sensasi fisik. Gejala-gejala ini hadir dalam kombinasi yang berbeda dan dengan variabilitas yang hebat dalam presentasi dan dampaknya pada fungsi harian seseorang. Namun, pada beberapa kasus, anak sudah memperlihatkan gejala autisme sejak bayi.

2.1.5 Interaksi Sosial Anak Autis

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang bersifat dinamis yang dapat berupa hubungan antar individu, antar individu dan kelompok, maupun antar kelompok. Di dalam interaksi sosial juga terdapat simbol-simbol yang diartikan sebagai sesuatu yang dianggap nilai atau maknanya yang diberikan oleh mereka yang menggunakannya. Thibaut dan Kelley dalam Ditha (2017), bahwa interaksi sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.

Interaksi sosial dalam penelitian ini merupakan sebagai hubungan timbal balik dari keterlibatan dan ketertarikan anak autis terhadap sesuatu yang berada di lingkungannya. Biasanya interaksi ini menggunakan simbol-simbol tertentu atau dengan menggunakan gerakan-gerakan untuk bisa mengutarakan ke orang lain. Hal ini dikarenakan bahwa anak autis kurang mampu menjalin hubungan dengan baik, seperti kontak mata sangat kurang ketika berinteraksi dengan orang lain, ekspresi wajah yang kurang hidup, gerak gerik yang kurang fokus, tidak bisa bermain dengan teman sebaya, tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, serta kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

Beberapa gangguan interaksi sosial pada anak autisme yang telah disebutkan, menimbulkan hambatan sosial bagi anak autis. Hambatan sosial anak autis akan berubah sesuai dengan perkembangan usia. Menurut Asrizal (2016), sejak tahun pertama, anak autis mungkin telah menunjukkan adanya gangguan pada interaksi sosial yang timbal balik, seperti menolak untuk disayang atau dipeluk, tidak menyambut ajakan ketika akan diangkat dengan mengangkat kedua lengannya, kurang dapat meniru pembicaraan atau gerakan badan, gagal menunjukkan suatu objek kepada orang lain, serta adanya gerakan pandangan mata yang abnormal;

Permainan yang bersifat timbal balik mungkin tidak akan terjadi. Sebagian anak autis tampak tidak acuh atau tidak beraksi terhadap pendekatan orang tuanya, sebagian lainnya malahan merasa cemas apabila berpisah dan melekat pada orang tuanya. Anak autis gagal dalam mengembangkan permainan teman-temannya, mereka lebih suka bermain sendiri. Keinginan untuk menyendiri yang sering tampak pada masa kanak-kanak akan makin menghilang dengan bertambahnya

usia, walaupun mereka berminat untuk mengadakan hubungan dengan teman, sering kali terdapat hambatan karena ketidakmampuan mereka untuk memahami aturan-aturan yang berlaku dalam interaksi sosial. Kesadaran sosial yang kurang inilah yang mungkin menyebabkan mereka tidak mampu untuk memahami ekspresi wajah orang, ataupun untuk mengekspresi perasaannya, baik dalam bentuk vokal maupun ekspresi wajah.

Hambatan-hambatan sosial yang dapat terjadi terhadap anak autis dalam berinteraksi membuat peran orang tua sangat diharapkan guna meningkatkan interaksi sosial pada anak autis. Menurut Suharni dkk (2016), cara untuk meningkatkan interaksi sosial pada anak autis yang cukup maka peran orang tua sangat diharapkan memberi dukungan kepada anak autis untuk melakukan interaksi sosial yang cukup. Dalam hal ini perlu kerjasama antara orang tua dan anak karena kerjasama merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang utama dan sebagai suatu usaha untuk memberikan proses penyembuhan yang baik terhadap anak autis.

Sedangkan yang harus dilakukan orang tua dalam melakukan interaksi sosial dengan anak autis yakni melakukan kontak langsung dengan anak autis seperti berbicara, tersenyum dan bahasa isyarat. Disamping orang tua sebagai pembimbing dan penolong bagi anak-anaknya, mereka juga harus memperkaya ilmu untuk memilih terapi yang tepat dan sesuai sehingga dapat menentukan dalam membantu anak untuk mencapai perkembangan dan pertumbuhan optimal.

2.1.6 Penanganan Anak Autis

Anak dengan autisme sejauh ini memang belum bisa disembuhkan tetapi masih dapat diterapi. Menurut Thomas dan Joel (2015), diagnosis dini dan penerapan berbasis intervensi, bukti meningkatkan kemungkinan bahwa seorang anak akan memiliki hasil yang lebih baik dan mengurangi gangguan fungsional.

Tujuan pengobatan adalah untuk meminimalkan efek mengganggu dan untuk meningkatkan fungsi adaptif. Dengan begitu adanya intervensi yang tepat, perilaku-perilaku yang tidak diharapkan dari pengidap autisme dapat berkurang dan dirubah tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada, kecepatan diagnosis dan terapi yang didapat.

Gejala yang timbul pada anak autis sangat bervariasi, oleh karena itu terapi sangat individual dan tergantung keadaan dan gejala yang timbul dan harus ditanganin secara holistic oleh tim ahli. Menurut Sri (2014), ada beberapa terapi anak autis di antaranya :

1. Terapi bicara

Terapi bicara yaitu terapi yang melatih dan melancarkan otot-otot mulut anak sehingga membantu anak berbicara lebih baik.

2. Terapi biomedik

Terapi biomedik yaitu penanganan biomedis melalui perbaikan kondisi tubuh agar terlepas dari faktor-faktor yang merusak misalnya keracunan logam berat, allergen, dan lain-lain.

3. Terapi makanan

Terapi makanan beberapa anak autis pada umumnya mempunyai riwayat alergi terhadap beberapa makanan sehingga pengalaman dan perhatian orangtua dalam

mengatur dan menyiapkan menu makanan serta mengamati gejala yang timbul akibat makanan tertentu sangat bermanfaat dalam menentukan terapi selanjutnya.

Terapi diet disesuaikan dengan gejala utama yang timbul pada anak.

4. Terapi perilaku

Terapi perilaku yaitu terapi yang bertujuan agar perilaku anak menjadi terkendali dan mengerti norma sosial yang berlaku. Fokus penanganan dalam terapi perilaku adalah pemberian reinvorcement positif setiap kali anak merespon dengan benar sesuai dengan instruksi yang diberikan dalam terapi perilaku ini tidak menerapkan hukuman bila anak merespon negatif atau salah atas instruksi yang diberikan. Perlakuan ini diharapkan dapat meningkatkan respon positif anak dan mengurangi kemungkinan ia merespon negatif terhadapa instruksi yang diberikan.

Pada penanganan yang tepat, dini, intensif dan optimal, penyandang autisme dapat membantu mereka untuk berkembang dan mandiri di masyarakat bahkan di antaranya ada juga yang berprestasi.

2.2 Penerimaan dan Pemahaman Orang Tua Terhadap Anak Autis

Setiap orang tua pasti menginginkan anak yang sehat dari segi fisik maupun mental dengan harapan dapat menjadi generasi penerus orangtua dan berguna bagi keluarga dan orang lain. Namun ketika orang tua memiliki anak dengan kondisi mengalami hambatan dalam perkembangan yang tidak selayaknya dengan anak seusia yang lain akan menjadi suatu tantangan bagi orang tua tersebut seperti memiliki anak autis. Seperti yang sudah di jelaskan di atas bahwa anak autis

memiliki sindrom yang membuat anak-anak yang menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan sosial secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah.

Saat menerima masalah tersebut, banyaknya reaksi yang ditimbulkan dari orang tua terhadap anak autisme seperti tidak percaya, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami autisme kadang-kadang menyebabkan orangtua mencari dokter lain untuk menyangkal diagnosis dokter sebelumnya. Setelah mengalami fakta yang obyektif dari berbagai sumber, kebanyakan orangtua dengan perasaan amat terpukul dan terpaksa menerima kenyataan bahwa anak mereka mengalami autisme.

Menurut Mangunsong dalam Ade dan Ira (2016), reaksi yang muncul pada orang tua ketika anaknya dikatakan memiliki permasalahan pada kondisi fisik maupun kesehatan adalah tidak percaya, terjadi goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anak mereka. Bukan hal yang mudah bagi orang tua untuk percaya bahwa anaknya dikatakan bermasalah, apalagi anaknya dikatakan menyandang autisme. Beberapa orang tua ada yang memiliki dorongan untuk melarikan diri dari masalahnya, berpurapura bila anak mereka tidak memiliki kekurangan. Mereka merasa tidak nyaman dengan perasaan berpura-pura itu sehingga mereka mengambil tindakan sebaliknya, mereka menjadi terlalu cemas dan terlalu berlebihan dalam menjaga anak. Beberapa orang tua ada yang memiliki dorongan untuk melarikan diri dari masalahnya, berpura-pura bila anak mereka tidak memiliki kekurangan. Mereka takut anaknya hilang dari pandangannya, tidak membiarkannya berinteraksi dengan orang lain, dan bahkan mereka cenderung

melarang anaknya untuk melakukan sesuatu hal sendiri tanpa bantuan mereka.

Selain itu, masih banyak terdapat orangtua yang belum mampu menerima dan bahkan malu ketika mengetahui sang anak mengalami autisme, sementara penerimaan yang ditunjukkan oleh orangtua merupakan aspek yang penting untuk anak dengan autisme (Priherdityo, 2016).

Tidak mudah bagi orangtua yang anaknya menyandang autisme untuk mengalami fase seperti ini sampai pada akhirnya ke tahap penerimaan dan pemahaman. Menurut Rikha (2014), beberapa orangtua dapat menerima buah hatinya dengan ikhlas, dalam artian dapat merawat serta melihat anak agar dapat mandiri dalam mengikuti tumbuh kembangnya seperti anak yang normal. Namun ada beberapa orangtua merasa bahwa dengan memiliki anak seperti itu adalah suatu yang memalukan sehingga orangtua menganggap bahwa anak tidak akan dapat bertumbuh dan berkembang seperti anak yang normal, bahkan banyak orangtua menganggap anak seperti itu membutuhkan banyak finansial sehingga tidak perlu diterapi. Ada indikasi terburuk, apabila orangtua tidak mau merawat anaknya maka orangtua bertindak cuek dan seperti tidak mempunyai anak yang seperti itu. Berikut ciri-ciri orangtua yang memiliki bentuk penerimaan positif:

1. Dapat menerima kenyataan bahwa anaknya autis.

2. Mengupayakan penyembuhan untuk anaknya yang menderita autis yang disesuaikan dengan kebutuhan.

3. Tidak merasa rendah diri dan bersikap terbuka terhadap orang lain tentang kondisi anaknya.

Ciri-ciri orangtua yang memiliki bentuk penerimaan negatif:

4. Tidak dapat menerima kenyataan bahwa anaknya autis.

5. Tidak melakukan upaya penyembuhan apapun terhadap keadaan anaknya (cenderung bersikap acuh, bahkan tidak peduli).

6. Merasa rendah diri dan bersikap tertutup terhadap orang lain tentang kondisi anaknya.

Menurut Selvi dan Shanty (2017), sangatlah penting bagi seorang orangtua yang memiliki anak dengan autisme untuk dapat menerima diri mereka sendiri dan menerima keadaan anaknya sehingga orangtua dapat mengasuh dan merawat anaknya dengan baik meskipun dihadapkan pada situasi-situasi yang unik atau berbeda dalam prosesnya. Menurut Astutik (2014), tingginya penerimaan orangtua akan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif dan suportif bagi anak, serta mampu mengatasi kendala yang dihadapi anak dengan memberikan tritmen sederhana sesuai dengan kebutuhan anak, sehingga optimalisasi perkembangan dapat diupayakan dengan lebih efektif untuk menjadikan anak yang memiliki kebutuhan khusus lebih mandiri. Anak autisme yang diterima oleh orang tua akan dapat mampu bekerja sama dengan orang lain, bersahabat, ceria, dan bersikap optimis. Dari beberapa penjelasan diatas bahwa betapa pentingnya sikap penerimaan orang tua saat bersama anak autism. Hal ini dapat menentukan dan akan mempengaruhi perkembangan anak autisme. Bila orang tua bersikap mengecam, mengkritik, mengeluh dan terus mengulang-ulang pelajaran, anak autism cenderung bersikap menolak dan “masuk” kembali kedunianya dan jika sikap orang tua yang positif, biasanya membuat anak-anak lebih terbuka akan pengarahan dan lalu berkembang ke arah yang lebih positif pula.

Menurut Rikha (2014), pemahaman adalah kemampuan untuk menangkap sifat, arti atau keterangan tentang sesuatu. Dapat juga diartikan sebagai kemampuan untuk memahami tentang sesuatu sehingga muncul konsep-konsep atau sesuatu hal yang kita pahami dan kita mengerti dengan benar. Pemahaman tentang anak autis merupakan pengetahuan yang mencakup segala informasi yang berhubungan dengan gangguan pada anak yang mencakup perilaku, bahasa, dan sosialisasi yang perlu diketahui oleh orangtua. Disini orangtua harus memahami tentang anak autisme dengan cukup baik. Orangtua yang banyak memperoleh pengetahuan tentang autisme akan merasa betapa pentingnya pemahaman tentang autis yang pada akhirnya dapat menerapkan bagaimana memberikan tindakan pada anak penyandang autisme sebaliknya apabila orangtua kurang memiliki pemahaman tentang autisme maka dapat berakibatan kurangnya perhatian dan tindakan yang diambil pada anak dan menganggap anak tersebut mengalami cacat atau bahkan tidak bisa berbicara selamanya. Orangtua adalah penentu kehidupan anak sebelum dan sesudah dilahirkan karena itu adalah tanggung jawab orangtua sepenuhnya untuk menentukan apakah akan menggunakan teknik khusus dalam mendidik anak-anak autis atau tidak.

2.3 Peran Dan Fungsi Orang Tua Terhadap Anak Autis

Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang

menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mencapai interaksi yang baik antara orang tua dengan anak-anaknya maka di dalam keluarga itu harus menjalankan peranannya sesuai dengan fungsi dan kedudukannya. Setiap orang tua di dalam keluarga memiliki fungsi-fungsinya tersendiri yang dapat mendukung seorang anak untuk melangsungkan kehidupannya secara normal dan wajar. Fungsi orang tua di dalam keluarga merupakan suatu ukuran orang tua di dalam suatu keluarga agar sebuah keluarga dapat beroperasi sebagai unit dan bagaimana anggota di dalam suatu keluarga dapat berinteraksi satu sama lain. Hal ini dapat mencerminkan gaya pengasuhan, konflik di dalam keluarga, dan kualitas hubungan antar anggota di dalam suatu keluarga. Menurut Khairuddin dalam Randi (2016) fungsi keluarga menurut teori keluarga adalah sebagai berikut :

1. Fungsi pengaturan seksual

Keluarga adalah lembaga pokok yang meruupakan wahana bagi masyrakat untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasan kenginan seksual.

2. Fungsi reproduksi

Urusan memproduksi anak sikap masyarakat terutama tergantung keluarga.

Cara lain hanya lah kemungkinan teoritis saja dan sebagian masyarakat yang menerapkan norma untuk memperoleh anak kecualisebagai bagian keluarga.

3. Fungsi sosialisasi

Fungsi ini diberikan bagi anak-anak kedalam alam dewasa yang dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat.

4. Fungsi efeksi

Keluarga bertujuan memberikan kebutuhan akan kasih sayang atau rasa cinta bagi

Keluarga bertujuan memberikan kebutuhan akan kasih sayang atau rasa cinta bagi