• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak Autism Spectrum Disorder atau autisme secara umum merupakan kombinasi dari beberapa kegagalan perkembangan antara lain pada keterlambatan dalam hal interaksi sosial, masalah dalam bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial, perkembangan bahasa sangat lambat serta fungsi saraf. Hal tersebut dapat terlihat dengan tidak ada kontak mata, adanya keganjilan perilaku dan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitar dan seakan-akan mempunyai kehidupannya sendiri. Anak penyandang autis berserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, maupun perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak berbicara, ada juga yang terbatas bahasannya sehingga sering ditemukan mengulang-ngulang kata ataupun kalimat. Ada juga diantara mereka yang memiliki kemampuan tingkat bahasannya yang tinggi sehingga mereka menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep yang abstrak.

Cara bermain anak autis sangat kurang variatif, kurang imajinatif serta tidak dapat meniru. Anak autis secara tiba-tiba sering menangis tanpa sebab, menolak untuk dipeluk, tidak menengok atau menoleh bila dipanggil namanya bahkan tidak tertarik pada berbagai jenis atau bentuk permainan, namun seringkali bermain dengan benda-benda yang bukan permainan, misalnya bermain sepeda bukan dinaiki tapi sepeda tersebut dibalik dan ia memutar-mutar bolanya, dapat

menggambar sesuatu objek secara baik dan rinci tetapi sebaliknya tidak dapat mengancing bajunya, pintar atau trampil bongkar pasang permainan tertentu tapi sangat sulit/sukar mematuhi dan mengikuti perintah, dapat berjalan tepat pada usia normal tapi tidak dapat berkomunikasi, sangat lancar membeo bicara tapi tidak dapat atau sulit berbicara dari diri sendiri, pada suatu waktu dapat secara tepat dan cepat melakukan sesuatu tapi pada lain waktu tidak sama sekali. Anak tersebut hanya bermain sendiri, tidak dapat bermain dengan anak yang lain, tidak mengikuti aktifitas kelompok, atau malah hanya malah mengganggu kelompok atau aktifitas kelompok.

Secara sosiologi, ciri-ciri anak autis dapat kita ringkas sebagai anak dalam kategori asosial yang ditandai dengan menarik diri dan menghindar secara sukarela terhadap interaksi sosial apapun. Beberapa gejala sosial, baik dalam komunikasi maupun interaksi sosial yang di alami anak autis, yaitu tidak mampu menjalin interaksi sosial yang memadai, seperti kontak mata yang tidak jelas, ekspresi dan gerak gerik yang kurang tertuju, tidak bisa bermain dengan baik dengan teman-temannya, ia lebih suka bermain sendiri seolah-olah ia mempunyai dunianya sendiri, kurang mampu bahkan tidak mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik, ada satu pola yang dipertahankan sehingga itu menjadi suatu kebiasaan, rutinitas atau kesenangan tersendiri baginya, saat ia mempunyai minat dalam satu hal, maka ia hanya akan fokus pada satu hal saja.

Menurut Leonardo dan Paolo (2018), pada 2016, ada diperkirakan 62.000.000 kasus ASD di seluruh dunia, akuntansi untuk prevalensi 0,83%. Dalam hal beban penyakit, ASD menyumbang secara global selama lebih dari 9.000.000

tahun tinggal dengan cacat dan untuk 121 Cacat disesuaikan hidup tahun per 100.000 populasi, sedangkan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik Indonesia dalam Raden dan Ilmi (2015), jumlah anak autis usia 5 hingga 19 tahun yang berhasil didata pada tahun 2014 ada sekitar 112 ribu jiwa. Mengutip dari klinikautis.com, pada tahun 2015 satu per 250 anak mengalami gangguan autisme dan terdapat kurang lebih 12.800 anak dengan autisme dan 134.000 orang dengan autisme di Indonesia. Jumlah penderita autis di Indonesia diperkirakan mengalami

penambahan sekitar 500 orang setiap tahun

(https://klinikautis.com/2015/09/06/jumlah-penderita-autis-di-indonesia diakses pada tanggal 11 Maret 2018 pukul 23.00). Menurut Diah (2018), berdasarkan dari Badan Pusat Statistik pada 2016 menunjukkan 4,6 juta anak adalah autisme.

Sedangkan Menurut Essie dan Zilda (2014), mengenai data jumlah penyandang anak autisme di Sumatera Utara tahun 2012 yang berasal dari pendataan yang dilakukan oleh Forum Masyarakat Peduli Autis (FMPA) pada April 2012 jumlah anak autis di Sumatera Utara berkisar 1000 orang. Jumlah anak autis yang lahir di Kota Medan, diperkirakan mencapai 250 orang per tahun dan akan terus bertambah dari tahun ke tahun.

Ada beberapa gejala autisme diantaranya sangat ringan, sedang, hingga parah.

Parah atau ringannya gangguan autisme sering diparalelkan dengan keberfungsian.

Gejala-gejala yang dialami oleh anak tersebut membuat orangtua merasa aneh dan menjadi suatu permasalahan bagi mereka. Mengingat sifat gangguan autisme yang kompleks dan mengenai hampir seluruh aspek perkembangan pada anak, maka gangguan autisme tidak dapat dipandang sebelah mata bagi orang tua.

Ada beberapa cara dalam penangananya sehingga gangguan autisme dapat dikurangi. Dikutip dari kemenpppa.go.id, menurut Rudy Sutadi (2016), walaupun tidak bisa disembuhkan 100 persen, autis dapat dilatih melalui terapi sehingga ia bisa tumbuh normal tetapi kondisi masing-masing anak sangat berbeda sehingga modal awal dan hasil akhir sangat tergantung pada kuantitas dan kualitas gejala autisme. Di antaranya intensitas penanganan dini, tingkat inteligensi anak, kemampuan komunikasi dan sosial, perilaku, konsistensi pola asuh keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat dalam membantu anak tersebut. Namun walaupun dikatakan bahwa anak autis tersebut sulit disembuhkan , tetapi ada beberapa anak autis yang juga berhasil di tengah lingkungan masyarakat. Dikutip dari kompasiana.com (2015), beberapa contoh bahwa anak autis dapat berhasil di tengah lingkungan masyarakat diantaranya Muhammad Vadil kelahiran 24 Mei 1994, tercatat ia beberapa kali turut memperkuat DKI Jakarta dalam sejumlah kejuaraan renang. Berkat terapi yang dilakukan secara intensif dan terpadu ia dapat berkomunikasi dengan baik dan tampil sebagai pembicara memaparkan perjuangannya melawan autisme, Rendy Ariesta kelahiran Jakarta, 8 Oktober 1997 juga merupakan penderita autis yang berhasil sembuh melalui terapi Aplied Behaviro Analisis (ABA). Ia menjalani kehidupan normal sebagaimana pelajar lainnya dengan perolehan nilai yang bagus dan dapat menjalani aktivitas secara mandiri seperti naik angkutan kota ke sekolah, bergaul dengan teman sebaya dan mengembangkan hobi menyanyi, menulis lagu dan bermain gitar, Hasan Al Faris Tanjung lahir pada 14 Juni 1998 itu berhasil sembuh dan sejak sekolah dasar menempuh pendidikan di sekolah reguler Al Fikri Depok meraih nilai rata-rata 8,8

pada ujian nasional. Faris berhasil sembuh setelah menjalani terapi ABA serta diet dan intervensi biomedis sejak usia 1,5 tahun.

Keluarga merupakan suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh adanya kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat dan sebagainya. Keluarga juga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat dimana di keluarga memainkan peranan sangat penting dalam sosialisasi primer yang mempunyai arti paling strategi dalam mengisi dan membekali nilai-nilai dan aturan-aturan masyarakat yang berlaku di dalam masyarakat dan dibutuhkan anggotanya dalam mencari makna kehidupannya. Nilai-nilai dan aturan dalam masyarakat tersebut dibangun lewat hubungan-hubungan kemanusiaan yang akrab dan harmonis serta lahir dan tumbuh di lingkungan pergaulan keluarga. Bagaimanapun wujud pergaulan dan hubungan tersebut, didalamnya terjalin dan berjalan pengaruh berlangsunya secara kontiyu antara keduanya.

Setiap keluarga juga memiliki karakteristik yang membedakannya dari keluarga yang lain. Sistem-sistem dalam keluarga merupakan sarana untuk menjalani kehidupan berkeluarga dan berinteraksi bagi anggotanya. Keluarga memegang fungsi sentral bagi orang tua untuk mengontrol anak-anaknya dan pemusatan perekonomian, hubungan kekerabatan, dan sosialisasi nilai-nilai budaya. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar berinteraksi dengan lingkungan. Melalui keluarga anak belajar merespon dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Melalui proses interaksi itu anak secara bertahap belajar mengikuti apa yang disosialisasikan oleh orang tuanya.

Orang tua menjadi guru pertama yang mengajarkan nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat kepada anak-anaknya.

Nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan oleh orang tua mencerminkan harapan dan cita-cita mereka. Apa yang disosialisasikan kepada anak-anak akan mempengaruhi perilaku mereka dalam menjalani kehidupannya sendiri. Semua orang tua lazimnya mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak supaya anak memperoleh dasar-dasar pergaulan hidup yang benar dan baik karena setiap orang tua juga memiliki fungsi dan peran untuk membentuk potensi anak.

Makna dan corak fungsi dan peran itu serta penerapannya dipengaruhi oleh kebudayaan sekitar dan intensitas keluarga. Melalui fungsi dan peran orang tua inilah anak lebih mengenal dunia sekitar dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari sehingga anak mengalami proses sosialisasi awal.

Berdasarkan hasil observasi peneliti pada orang tua anak autis di komunitas Kasih Ibu Kota Medan, pemahaman dan pengetahuan tentang anak autis seharusnya dimiliki sejak awal setiap orang tua yang anaknya mengalami anak autis tetapi kebanyakan dari mereka terlambat untuk menyadari bahwa anak mereka memiliki perbedaan dengan anak-anak yang lain saat berinteraksi dengan lingkungannya dan akan menjalani terapi ketika anak tersebut telah di diagnosa sebagai anak autis.

Mereka hanya menganggap autis hanya gangguan mental saja, dan masalah itu adalah hal yang sepele, ada juga sebagian yang menganggap autis adalah hukuman atas dosa yang mereka perbuat di masa lalu, dan sampai ada yang menganggap autis adalah penyakit keturunan. Selain itu, di dalam proses mengasuh anak mereka, banyak tantangan dan permasalahan yang di miliki oleh orang tua terhadap anak

autis. Hal inilah yang menarik bagi peneliti bagaimana mereka melakukan peran dan tanggung jawab kepada anaknya yang menderita autis agar mampu berperan sebagai anggota masyarakat.

Di Kota Medan ditemukan komunitas orang tua yang memiliki anak autis bernama “Kasih Ibu”. Komunitas ini adalah tempat berbagi pengalaman orang tua dalam mendidik anak autis. Peneliti melihat komunitas tersebut memiliki ciri-ciri yang dibutuhkan oleh peneliti. Adapun fokus penelitian ini adalah untuk menganalisis fungsi dan peran orang yang memiliki anak Autism Spectrum Disorder yaitu fungsi orang tua yang berhasil dan disfungsinya serta peran dan tindakan sosial orang tua terhadap anak autisnya agar dapat berinteraksi sosial dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar.