• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ancaman dari Selat Sunda hingga Laut Andaman

Dalam dokumen ISBN /e-ISBN (Halaman 66-75)

"Gelegar suara langit memekak daun telinga. Bumi berguncang dahsyat, awan pekat nampak menjulang tinggi ke langit. Hujan abu vulkanik dan batu-batu panas menerjang setiap sudut Selat Sunda. Siang hari yang seharusnya cerah berubah manjadi kegelapan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dentuman dahsyat dari perut bumi menghancurkan 2/3 dari tubuh Gunung Krakatau dan mendorong air laut hingga ke daratan dalam hitungan menit. Dalam sekejap, Pesisir Lampung dan Banten terendam tsunami hingga 35 m dan lebih dari 30000 jiwa pun melayang".

Sepenggal kisah dalam paragraf di atas yang tercatat dalam berbagai catatan sejarah, surat kabar dan publikasi ilmiah menggambarkan kedahsyatan bencana meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883 di Selat Sunda dan diikuti dengan bencana tsunami. Ledakan Gunung Krakatau bahkan terdengar hingga Sri Lanka dan Pesisir Barat Australia. Guncangan runtuhan gunung yang menghunjam lautan menimbulkan bencana tsunami yang untuk pertama kalinya terekam dengan baik oleh sejarah Nusantara dan Dunia. Pada masa di mana ilmu pengetahuan dan teknologi sedang berkembang, rambatan gelombang tsunami ini terekam ke belahan dunia lainnya hingga mencapai Kepulauan Inggris dan Pesisir Kanada. Bencana alam di penghujung abad 19 tersebut begitu hebatnya sehingga selain menghancurkan pesisir Lampung dan Banten, dampak dari letusan Gunung Krakatau juga mengakibatkan anomali iklim dunia hingga beberapa tahun setelah letusan. Perubahan iklim dunia terjadi karena terbawanya material vulkanik yang menembus lapisan-lapisan atmosfer bumi (Gambar 3).

61

Gambar 3. a) Lokasi dan keadaan kepulauan Krakatau saat ini, b) Litograf tentang letusan Gunung Krakatau tahun 1883 (Symons, G. J, 1888) dan c) Batu karang yang terangkut tsunami (Woodbury, W. B, 1885).

Meletusnya Gunung Krakatau merupakan salah satu fenomena sejarah yang menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat modern terutama yang berada di sekitar Pulau Sumatera. Pulau Sumatera dan sekitarnya menyimpan informasi kebencanaan (gempa bumi, gunung api dan tsunami) yang terekam olen berbagai fenomena fisik dan non-fisik seperti bebatuan,

a

62 karang, dan lapisan-lapisan sedimen serta dongeng - dongeng atau karya sastra masa lampau yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai dasar

kewaspadaan akan bencana yang akan datang. Sejarah dunia mencatat, selain kejadian letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 dan Gempa/Tsunami Aceh 2004 yang merupakan salah satu bencana terbesar umat manusia, Pulau Sumatera juga pernah mengalami bencana dahsyat yang mengubah iklim bumi yaitu Letusan Super Gunung Api Toba (sekarang menjadi Danau Toba, Sumatera Utara) yang terjadi pada 73000 tahun yang lalu (Williams et al., 2009) dan Letusan Krakatau pada abad ke-6 Masehi (Keys, 2000). Kelalaian dan ketidakmampuan dalam mambaca sejarah alam dan pengetahuan lokal telah menyebabkan manusia manjadi tidak berdaya ketika bencana Gempa dan Tsunami Aceh tahun 2004 menghantam pesisir Sumatera Bagian Utara dan seluruh pesisir di Samudera Hindia. Seakan mengulang kejadian letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, Tsunami Aceh 2004 menelan korban jiwa lebih dari 200.000 jiwa di mana sebagian besar korban berasal dari Provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD).

Gambar 4. Jejak tsunami Sumatera di Sri Lanka di masa lampau diabadikan dalam wujud patung sang putri raja, Vihara Devi. Tsunami dari Sumatera dapat mencapai Sri Lanka dalam 2 jam (simulasi tsunami dari USGS).

Kejadian tsunami Aceh 2004 kembali menyadarkan Bangsa Indonesia khususnya yang berada di daerah pesisir Sumatera bagian Barat dan juga seluruh negara di dunia bahwa kawasan Samudera Hindia merupakan daerah yang rawan akan bencana gempa dan tsunami. Sri Lanka yang merupakan negara paling menderita akibat bencana tsunami Aceh setelah Indonesia

63

sama sekali tidak pernah membayangkan akan mendapat kiriman tsunami dari Pulau Sumatera. Padahal sejarah Sri Lanka mencatat bahwa negeri ini pernah dilanda tsunami di masa Kerajaan Kelaniya (abad ke-2 SM) di mana diceritakan peran sang Putri raja bernama Vihara Maha Devi berkorban untuk meredam murka para dewa yang menyebabkan tsunami. Sosok sang putri raja diabadikan di salah satu candi di salah satu distrik Kota Colombo, ibukota Sri Lanka (Gambar 4).

Gambar 5. Dampak langsung kejadian gempa dan tsunami Aceh 2004 dan Gempa Nias pada tahun 2005 seperti perubahan pada rona alam, gerusan pada tanah dan pengangkatan/penurunan muka tanah (sumber foto: Widjo Kongko).

Setelah kejadian gempa bumi dan tsunami Aceh 2004, gempa bumi susulan yang terkadang diikuti oleh tsunami terus terjadi di sepanjang lepas pantai barat Sumatera hingga saat ini seperti terlihat pada Tabel 1 dan Gambar 6. Frekwensi gempa yang cukup tinggi tersebut merupakan konsekuensi dari letak Pulau Sumatera yang berada di perbatasan dua lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Lempeng Indo-Australia secara konstan bergerak relatif ke arah utara mendesak lempeng Sunda yang merupakan sub-bagian dari Lempeng Eurasia dengan kecepatan 50 s.d 70 mm/tahun. Lempeng Indo-Autralia yang berupa Kerak Samudera (Oceanic Crust) memiliki densitas lebih tinggi dibanding Lempeng Sunda (Indo-Australia) yang berupa Kerak Benua (Continental Crust) sehingga Lempeng Indo-Australia cenderung bergerak menunjam dibawah Lempeng Sunda (subduksi). Pertemuan dua lempeng tersebut membentuk palung di dasar laut yang disebut dengan Palung Sunda (Sunda Trench),

SEBELUM

64 dimana palung tersebut dimulai dari lepas pantai barat Pulau Sumatera hingga selatan Jawa-Bali-NTT. Subduksi tersebut sering disebut sebagai

“Megathrust” atau sesar anjak besar yang aktif, dimana Lempeng Sunda

dianggap sebagai dinding gantung (hanging wall) dan Lempeng Indo-Australia yang menunjam sebagai dinding kaki (foot wall)-nya. Subduksi di Barat Sumatera termasuk Megathrust oblik dimana gelinciran sesarnya memiliki komponen tegak (dip-slip) dan komponen mendatar (strike-slip).

Tabel 1. Kejadian gempa bumi dan tsunami pasca gempa bumi dan tsunami Aceh 2004 di sekitar Pulau Sumatera dengan kekuatan gempa lebih dari 6 (disarikan dari http://earthquake.usgs.gov dan sumber-sumber lainnya)

No Tanggal Lokasi gempa Kekuatan

gempa1) Tsunami Keterangan

1 01 Januari 2005 5.09 N92.30E 6.7 - Lepas pantai barat Sumatera Utara

2 28 Maret 2005 2.074°N97.013°E 8.6 -

Lepas pantai barat Sumatera Utara, korban jiwa 1.313 3 10 April 2005 1.660°S 99.540°E 6.7 - Kepulauan Mentawai 4 14 Mei 2005 0.586°N, 98.401°E 6.8 - Pulau Nias

5 19 Mei 2005 1.965°N, 96.976°E 6.9 - Pulau Nias 6 05 Juli 2005 1.836°N, 97.034°E 6.7 - Pulau Nias 7 19 September 2005 2.220°N, 96.763°E 6.5 - Pulau Simeulue 8 16 Mei 2006 0.081°N, 97.073°E 6.8 - Pulau Nias

9 06 Maret 2007 0.512°S,100.524°E 6.4 - Sumatera bagian selatan, 67 korban jiwa 10 12 September 2007 4.520°S,101.374°E 8.5 < 60 cm Sumatera bagian selatan, 25 korban jiwa

11 12 September 2007 2.506°S,100.906°E 7.9 - Kepulauan Mentawai

12 20 September 2007 2.025°S,100.136°E 6.7 - Sumatera bagian selatan

13 25 Oktober 2007 3.838°S,100.909°E 6.8 - Sumatera bagian selatan

14 20 Februari 2008 2.778°N, 95.978°E 7.4 - Pulau Simeuleu, 2 korban jiwa

65

15 25 Februari 2008 2.352°S,100.018°E 7.2 - Kepulauan Mentawai 16 16 Agustus 2009 1.486°S, 99.469°E 6.7 - Kepulauan Mentawai

17 30 September 2009 0.725°S, 99.856°E 7.6 -

Sumatera bagian selatan, 1117 korban jiwa

18 01 Oktober 2009 2.508°S,101.484°E 6.6 - Sumatera bagian selatan

19 06 April 2010 2.36° N 97.132° E 7.7 <10 cm Sumatera bagian Utara

20 09 Mei 2010 3.747°N, 96.013°E 7.2 - Sumatera bagian utara

21 25 Oktober 2010 3.484°S,100.114°E 7.7 > 6 m Kepulauan Mentawai

22 06 September 2011 2.81 N-97.85 E 6.72) -

Sumatera bagian utara, 2 orang korban jiwa3)

23 11 Januari 2012 2.32 N - 92.82 E 7.62) - Lepas Pantai Pulau Simeuleu4)

24 11 April 2012 2.31 N 92.67 E 8.6 - Lepas Pantai Pulau Simeulue

Keterangan:

1) Skala gempa USGS 2) Skala Richter

3) http://www.tribunnews.com/2011/09/06/dua-orang-tewas-digoyang-gempa-aceh, diakses pada 22 januari 2012

66

Gambar 6. Gempa bumi susulan yang terkadang diikuti oleh tsunami terjadi di sepanjang lepas pantai barat Sumatera (disarikan dari http://earthquake.usgs.gov dan sumber-sumber lainnya).

Gambar 7 menunjukkan mekanisme dari suatu sesar aktif, dimana suatu patahan memiliki blok yang disebut dinding gantung (hanging wall) dan dinding kaki (foot wall). Hanging wall adalah blok yang terletak di atas bidang patahan, sedangkan foot wall adalah blok yang terletak dibawah bidang patahan. Sesar yang memiliki arah gelincir relatif naik/turun disebut dip-slip, sedangkan yang memiliki arah gelincir relatif mendatar disebut strike slip. Arah gelincir ditunjukkan oleh sudut yang dinamakan rake. Selain itu sudut kemiringan bidang patahan disebut dip yang dihitung dari arah horisontal/lateral. Sedangkan arah bidang patahan disebut strike yang ditentukan dari arah utara bumi. Istilah strike, dip, rake, secara visual ditunjukkan Gambar 7b.

Lempeng Indo-Australia tidak bergerak mulus ketika menunjam di bawah Lempeng Sunda, akan tetapi terdapat proses saling mengunci (interlocking) dibagian-bagian tertentu antara kedua lempeng yang mengakibatkan terbangunnya tegangan yang cukup tinggi seiring

67

bertambahnya waktu. Pada saat terjadi proses interlocking, sebagian pantai kepulauan di Barat Sumatera akan tenggelam dan ketika tegangan yang terus terbangun tersebut tidak dapat diimbangi lagi oleh kekuatan saling mengunci "interlocking", maka energi regangan yang tersimpan selama proses

interlocking tersebut akan terlepas dan mengakibatkan Pulau-pulau di Barat

Sumatera akan terangkat secara tiba-tiba yang menimbulkan gempa bumi berkekuatan tinggi serta kemungkinan diikuti dengan tsunami seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 2004. Gambar 8a dan 8b memperlihatkan proses terjadinya gempa bumi di sepanjang subduksi yang kemungkinan akan diikuti pula dengan kejadian tsunami.

Gambar 7. Kartun yang menjelaskan istilah-istilah dalam sesar aktif.

Kejadian gempa dengan magnitudo (Mw) lebih dari 8 yang juga diikuti tsunami di Sumatera Barat terekam dengan baik melalui bantuan pembacaan lapisan keberlangsungan hidup tertinggi atau highest level of survival (HLS) dari mikroatol (Natawidjaja et al. (2006) and Sieh et al. (2008). Istilah Mikroatol digunakan untuk menjelaskan bentukan alam dan memahami akumulasi strain tektonik di tepi pantai. Mikroatol tersebut akan hidup dan tumbuh ketika terendam di dalam air dan akan mati ketika terangkat ke atas dan tidak digenangi air. Namun mikroatol tersebut akan tumbuh lagi jika terendam air, dengan demikian jika mikroatol tersebut dipotong melintang maka akan terlihat perlapisan-perlapisan yang menunjukkan waktu dia tumbuh dan mati.

Karang-karang ini tumbuh dan berkembang di bawah muka surut terendah. Saat gempa terjadi, muka air surut terendah mengalami perubahan. Perubahan-perubahan ini terekam jelas pada sistem mikroatol tersebut sehingga kita bisa menentukan kapan terjadi penurunan atau kenaikan muka bumi akibat terjadinya gempa bumi dimasa yang lampau. Rincian menyeluruh mengenai metodologi penentuan kapan terjadinya

68 penurunan atau kenaikan muka bumi dari mikroatol dapat ditemukan pada Zachariasen et al. (1999) dan Natawidjaja et al. (2006).

Gambar 8. Karakteristik tektonik Pulau Sumatera dan sekitarnya.

Kejadian gempa dan tsunami yang terjadi di Kota Padang pada tahun 1797 dan 1833 sebagaimana disebutkan dalam Latief et al. (2000) meninggalkan jejak yang dapat dibaca pada mikroatol di sepanjang pesisir Sumatera Bagian Barat dan Kepulauan Mentawai (Natawidjaja et al., 2006). Kejadian gempa pada tahun 1797 merupakan gempa terdahsyat (Mw=8.6) yang terjadi sepanjang sejarah Kota Padang karena diikuti pula dengan gelombang tsunami yang memporak-porandakan kapal-kapal dan bangunan-bangunan di sepanjang Muara Sungai Batang Arau. Bahkan, beberapa kapal kecil terbawa gelombang tsunami hingga beberapa kilometer ke daratan. Ketinggian gelombang tsunami di kota Padang yang terjadi saat itu diperkirakan sekitar 5 – 10 m (Natawidjaja et al.,2006). Sementara itu, pada tahun 1833 gempa bumi yang berkekuatan nyaris serupa dengan gempa tahun 1797 menghancurkan sebagian besar Kota Bengkulu di mana tinggi gelombang diperkirakan berkisar antara 3 – 4 m. Bengkulu mengalami kerusakan lebih parah dibandingkan Padang karena lokasi epicenter yang lebih ke Selatan dibanding kejadian sebelumnya pada tahun 1797.

Rangkaian gempa yang terjadi di masa lalu dan kejadian gempa (Mw = 8.4) yang terjadi pada September 2007 memperlihatkan kesesuaian dengan apa yang terekam pada mikroatol. Rekaman pada mikroatol memperlihatkan bahwa dalam 700 tahun terakhir daerah barat Sumatera mengalami gempa dahsyat (kadang diikuti tsunami) dengan periode ulang sekitar 200 tahunan (Sieh, et al., 2008). Gempa yang terjadi pada tahun 2007 teridentifikasi

LEMPENG EURASIA (KERAK BENUA) LEMPENG INDO-AUSTRALIA (KERAK SAMUDERA) Aceh Padang Lampung Palembang

Kep. Mentawai Padang Bukit Barisan

Samudera

Hindia MentawaiSelat

Sumatera megathrust terkunci LEMPENG INDO-AUSTRALIA (KERAK SAMUDERA) LEMPENG EURASIA (KERAK BENUA) Menurun perlahan terlepas Naik tiba-tiba LEMPENG INDO-AUSTRALIA (KERAK SAMUDERA) LEMPENG EURASIA (KERAK BENUA)

Kep. Mentawai Padang Bukit Barisan

Samudera

Hindia MentawaiSelat

Tsunami

Tsunami

a b

69

sebagai bagian dari rangkaian siklus gempa tersebut. Namun, dari hasil analisis lebih lanjut, gempa yang terjadi pada tahun 2007 ternyata belum mengeluarkan seluruh energi yang terpendam oleh patahan yang mengalami penguncian (interlocking) dari dalam. Potensi energi yang masih terpendam ini diperkirakan mampu menghasilkan gempa dengan kekuatan sekitar Mw=8.8 (Sieh, et al., 2008). Jika hal ini terjadi, maka sebagian besar daerah pesisir Sumatera Barat diperkirakan akan mengalami gelombang tsunami seperti apa yang sudah terjadi di Banda Aceh (Borrero et al. (2006), Huang et

al. (2009), dan Wisemann et al. (2011)).

Gambar 9: Microatolls memberikan informasi kejadian gempa bumi dimasa lalu (Natawidjaja, 2006).

Gempa dan Tsunami Sumatera di Masa Depan?

Dalam dokumen ISBN /e-ISBN (Halaman 66-75)