1 Loka Penelitian Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang KP
2 Pusat Penelitian Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP
Pendahuluan
Tsunami dapat terjadi dimana saja di daerah yang berbatasan dengan lautan lepas. Walaupun tsunami sering terjadi di daerah yang memiliki patahan paling aktif, tsunami yang banyak menelan korban jiwa terkadang terjadi di daerah yang memiliki patahan kurang aktif seperti kawasan di Lautan Atlantik dan Lautan Hindia. Tsunami Portugal yang terjadi pada tahun 1755 diakibatkan oleh gempa lepas pantai di lautan Atlantik yang membunuh ribuan orang sepanjang pantai Portugal. Tsunami Aceh tahun 2004 yang menelan korban jiwa lebih dari 200 ribu jiwa merupakan salah satu kejadian yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh banyak pihak karena daerah ini (lepas pantai Sumatera bagian Utara hingga Myanmar) relatif jarang mengalami gempa bumi yang diikuti tsunami (Subarya et al., 2006). Selain itu, tsunami juga tidak selalu dihasilkan oleh gempa bumi. Letusan gunung di bawah laut (contohnya: Letusan Krakatau tahun 1883), tanah longsor di pesisir berbukit (contohnya: Longsor di Teluk Lituya tahun 1958), dan hantaman meteor dari angkasa luar adalah faktor-faktor lainnya yang berpotensi menimbulkan tsunami di pesisir. Oleh karena itu, mengingat tsunami yang dapat menjalar dengan cepat di lautan lepas tanpa banyak kehilangan energinya, daerah-daerah pesisir di lautan luas seperti Lautan Hindia, Pasifik dan Atlantik sangat rentan terkena dampak dari tsunami.
Wilayah Indonesia merupakan salah satu wilayah langganan gempa bumi dan tsunami. Latief et al. (2000) menyebutkan bahwa sejak tahun 1600 - 1999 telah terjadi 105 kali kejadian tsunami di Indonesia dimana 90% dari total kejadian disebabkan oleh gempa bumi dan sisanya disebabkan oleh kejadian letusan gunung berapi bawah laut dan tanah longsor. Dari seluruh total kejadian tsunami, kawasan Maluku dan Banda (kawasan Timur Indonesia) menempati tingkat frekwensi kejadian lebih dari 50%. Namun, dari segi total kerugian (contohnya: korban jiwa) kawasan Barat Indonesia mengalami kerugian tertinggi akibat kejadian letusan Gunung Krakatau pada tahun 1833. Kerugian akibat tsunami di wilayah Barat Indonesia tentu saja
56 akan semakin besar bila ditambah dengan kejadian-kejadian gempa bumi dan tsunami di Aceh tahun 2004, Tsunami Pangandaran pada tahun 2006 dan tsunami Mentawai pada tahun 2010. Kejadian gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada wilayah Barat dari Busur Sunda (Western Sunda Arc) telah menjadi fokus berbagai studi mengingat skala dan kejadian serupa dengan gempa bumi dan tsunami Aceh 2004 diperkirakan akan terjadi lagi di sepanjang wilayah ini (Natawidjaya et al., 2006). Wilayah Busur Sunda barat ini meliputi seluruh Pulau Sumatera dari Selat Sunda di Selatan hingga Kepulauan Andaman di Utara (Latief et al., 2000). Menurut studi serupa, daerah Sumatera Barat, khususnya Kota Padang dan sekitarnya yang merupakan kota terbesar di pesisir Sumatera bagian Barat merupakan salah satu daerah yang sangat rentan terkena bencana gempa bumi dan tsunami di masa yang akan datang (Wisemann et al. (2011), Huang et al. (2009) dan Sieh
et al. (2008)).
Wilayah Pulau Simelue di Provinsi Aceh dan sekitarnya juga menjadi perhatian para peneliti yang tertarik dengan proses-proses alam karena melimpahnya tanda-tanda fisik dan proses geologi yang terlihat dari karakteristik bebatuan, lapisan sedimen dan pepohonan. Legenda "smong" yang lahir di Pulau Simelue merupakan salah satu bukti nyata akan keampuhan dari pengetahuan lokal untuk mitigasi bencana gempa dan tsunami. Smong dipercaya telah menyelamatkan banyak jiwa di Pulau Simelue karena sebagian besar penduduk di pesisir langsung berlari ke bukit-bukit menghindari tsunami segera setelah bumi berguncang pada Desember 2004. Selain itu, legenda "Teteu" juga hadir di Kepulauan Mentawai. Berbeda dengan smong, "Teteu" tidak berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat akan bencana Tsunami Mentawai yang terjadi pada Oktober 2010, sehingga ratusan korban jiwa melayang (Gambar 1).
57
Gambar 1: Dampak dari bencana tsunami Mentawai 2010, hutan yang rusak dan karang yang terangkat menyimpan informasi sejarah kebencanaan saat ini dan masa lalu (Sumber foto: Widjo Kongko).
Tsunami berasal dari bahasa jepang, “tsu” dan “nami”. “Tsu” berarti pelabuhan dan “Nami” berarti gelombang. Artinya tsunami adalah gelombang besar yang kerap melanda dan manghancurkan pelabuhan-pelabuhan di Jepang terutama setelah kejadian gempa bumi. Istilah tsunami juga dijumpai dalam bahasa lokal di Indonesia. Tentu saja hal ini terjadi karena Indonesia merupakan salah satu negara yang juga langganan terkena bencana tsunami. Dalam kosakata Bahasa Indonesia tradisional, misalnya, masyarakat lokal di provinsi Lampung menyebut gelombang tsunami sebagai gelombang “Klebu-klebu” dimana kata tersebut mulai dikenal warga sejak kejadian letusan Gunung Krakatau yang diikuti oleh gelombang tsunami. Masyarakat di Pulau Simeulue telah mengenal bahaya gelombang tinggi setelah kejadian gempa bumi dan tsunami 1907 dengan istilah “Smong” yang berarti lautan yang masuk ke darat (Mc. Adoo, et al., 2006). Sementara itu, masyarakat Pulau Jawa diyakini menambahkan mitos berbau mistis Nyi Roro Kidul untuk menggambarkan bencana tsunami yang kerap melanda wilayah Selatan Pulau Jawa.
58 Gambar 2. Beberapa rekaman kejadian tsunami di Pulau Sumatera (dari
berbagai sumber).
59
Tsunami merupakan rangkaian gelombang panjang yang dihasilkan karena adanya gangguan di bawah laut pada massa air. Statistik menunjukan bahwa gempa bumi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya tsunami dengan frekwensi lebih dari 72% (Mc. Creery, 2007) dan sisanya disebabkan oleh faktor lain seperti letusan gunung berapi, longsor dan hantaman meteor. Pergerakkan tiba-tiba yang terjadi di bawah laut menyebabkan seluruh kolom air terhentak dan menjalarkan energi yang terkandungnya dalam bentuk perubahan dan pergerakkan muka air ke segala arah. Di laut dalam, amplitudo tsunami sangatlah kecil dan sangat sulit dikenali dengan mata telanjang. Namun demikian, tsunami menjadikan laut dalam membawa energi yang sangat besar dan menjalar dengan cepat. Penjalaran gelombang tsunami di laut dalam dapat diwakili oleh teori gelombang linear di perairan dangkal (linear shallow water wave theory) sehingga kecepatan gelombang tsunami hanya bergantung pada gravitasi dan kedalaman perairan. Contohnya, untuk kejadian Tsunami Aceh tahun 2004 dimana kedalaman garis patahan (fault line) gempa sekitar h = 4000 m, maka kecepatan rambatan tsunami menurut persamaan (1) dapat mencapai 700 km/jam (~200 m/detik) dan melambat hingga ~10 m/detik pada kedalaman h
10 m sejalan dengan merambatnya tsunami ke perairan dangkal. Hal inilah yang menyebabkan Sri Lanka dihantam tsunami Aceh hampir bersamaan dengan pantai Barat Thailand (~ 2 jam setelah gempa bumi terjadi) padahal Sri Lanka berjarak tiga kali lebih jauh dari jarak garis patahan ke pantai Barat Thailand (Rossetto et al., 2007). Saat tsunami menjalar di perairan dangkal, proses pendangkalan (shoaling) dan pembelokan (refraction) dapat memperbesar tinggi gelombang dan memperpendek periode gelombang. Selain itu, di perairan sekitar pantai (nearshore), gelombang lebih ‘merasakan’ efek gesekan permukaan bawah laut yang menyebabkan panjang gelombang memendek, tinggi gelombang meninggi dan kecepatan gelombang melambat. Berkaca pada sejarah gempa dan tsunami di Sumatera, Indonesia merupakan wilayah yang paling sering "kecolongan" dengan berbagai bencana yang terjadi di masa lampau dan masa kini. Kejadian tsunami Aceh tahun 2004 jelas bukan kejadian yang pertama. Kejadian gempa dan tsunami serupa dari sudut paling Utara hingga paling Selatan Pulau Sumatera pernah terjadi sebelumnya (Gambar 1). Tsunami yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh fenomena gempa bumi, tetapi juga akibat letusan gunung api bawah laut dan longsoran bawah laut. Catatan gempa dan tsunami di Sumatera mulai
60 muncul ke permukaan setelah berbagai kegiatan penelitian di bidang geologi dan oseanografi semakin intensif dilakukan baik itu oleh pihak dalam maupun luar negeri. Paparan selanjutnya akan menjelaskan tentang konsep, kejadian tsunami dan pelajaran dari kejadian tsunami di masa lampau dan yang akan datang.