• Tidak ada hasil yang ditemukan

S

etahun setelah menjadi warga Balitbangkes (1998), Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih, mengajukan proposal penelitian tentang PMS untuk mendapat dana hibah Risbinkes. Sewaktu dinilai Tim Pakar, proposal tadi mendapat nilai tinggi dan layak dibiayai dari APBN. Namun setelah itu, beliau jarang mengajukan proposal lagi untuk dapat dibiayai dari APBN karena anggaran Balitbangkes yang memang terbatas. Beliau lebih sering memanfaatkan dana hibah dari donor agency. Tahun 2000 saya dipromosi ke Puslitbang Pemberantasan Penyakit (kelak berubah nama menjadi Biomedis dan Farmasi, dan kini Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan). Kerja sama saya dengan Ibu Endang semakin intens. Terlebih lagi sewaktu beliau dipilih para peneliti menjadi Ketua PPI (Panitia Pembina Ilmiah)  Puslitbang Pemberantasan Penyakit. Jika dalam lingkup negara, Ketua PPI dapat disamakan dengan Ketua DPR. Meski bukan merupakan jabatan struktural, Ketua PPI punya pengaruh yang besar bagi Kepala Puslitbang dalam menetapkan berbagai kebijakan. Salah satu usulan beliau adalah pemisahan fungsi KPP (Kelompok Program Penelitian) yang semula juga mencakup fungsi laboratorium sebagai pendukung penelitian. Fungsi laboratorium dijadikan tersendiri, bebas dari pengaruh KPP, sehingga Penanggung Jawab Laboratorium sama kedudukannya

dengan Ketua KPP. Usul ini disetujui oleh dr. Ingerani, SKM (saat itu sebagai Ka Puslitbang). Sayangnya beliau jadi Ketua PPI hanya 1 periode (2002-2003).

Akhir 2004, tsunami meluluhlantakkan Aceh. Sebagai seorang peneliti dan juga dokter, sifat untuk menolong sesama yang sedang dilanda musibah, membuat beliau sudah tidak sabar lagi untuk ditugaskan ke Serambi Makkah. Sempat beliau berujar ke saya: “Pak Ano, saya jadi geregetan nih dengan lambannya upaya penanggulangan yang dilakukan”.  Hancurnya sarana dan prasarana laboratorium menyebabkan Balitbangkes ditugaskan untuk mendirikan laboratorium lapangan (laboratorium lapangan ini kelak menjadi Loka Litbangkes Banda Aceh).

Oleh Ka Puslitbang (saat itu dr. Agus Suwandono), Ibu Endang ditugaskan memimpin Tim Litbangkes untuk menjalankan operasional lab lapangan. Di bawah kepemimpinan Ibu Endang, tim yang terdiri dari para peneliti dan teknisi litkayasa (laboratorium), melaksanakan tugas dengan baik. Dalam bertugas, Ibu Endang banyak menggalang kerja sama dengan lembaga donor dan LSM dari manca negara. Kepiawaian beliau dalam berkomunikasi dan membina hubungan yang baik, mendapat banyak pujian dari berbagai pihak. 

Awal tahun 2007, Ibu Endang diberi kepercayaan untuk menjadi Kepala Puslitbang (saat itu sudah berubah menjadi Puslitbang Biomedis dan Farmasi/BMF). Keputusan pak Triono Soendoro/ pak TS (sebagai Ka Badan Litbangkes) mempromosikan Ibu Endang adalah keputusan yang sangat tepat. Terlebih lagi saat itu Riskesdas baru akan dimulai. Sebuah pekerjaan besar yang belum pernah dilakukan Badan Litbangkes. Sebagai Ka. Puslitbang BMF, beliau bertanggung jawab dalam pelaksanaan Riskesdas di 8 provinsi (Banten, DKI Jakarta, Jateng,  DI Yogyakarta, Kalbar, Kalteng, Kalsel, dan Kaltim). Dalam perjalanan kegiatan, ternyata tanggung jawab pelaksanaan Riskesdas tidak hanya dalam pengumpulan data kesmas saja. Puslitbang BMF pun dibebani tanggung jawab mengkordinir kegiatan pengumpulan data biomedis di 33 provinsi. Alhamdulillah, di bawah kepemimpinan beliau, tugas maha berat tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Tidak salah jika Pak Triono menggelari beliau sebagai ”wanita besi” (iron woman). Tahan bantingan, tidak pernah mengeluh, dan bekerja sepenuh hati.

Selama beliau berada di lingkungan Puslitbang BMF, baik sebagai peneliti maupun Kepala, banyak kenangan manis yang dirasakan para staf, terutama dari kalangan ”akar rumput” (oice boy dan sekuriti).  Ingatan kolektif yang tidak pernah dilupakan oleh ”akar rumput” adalah sesaat menjelang lebaran, beliau selalu membagi-bagikan hadiah lebaran dari uang pribadi beliau. Tidak hanya itu, mereka yang mendapat musibah dan kemalangan, tidak segan-segan Ibu Endang membantu.

Sebagai seorang pemimpin, ada beberapa hal yang membuat saya terkesan dan hal itu membuat kita seharusnya meneladani sifat tersebut. Selama Ibu Endang menjadi Ka. Puslitbang BMF, tidak pernah beliau berkata kasar atau ketus terhadap staf atau bawahan beliau. Meskipun beliau tampak stress dengan pekerjaan yang memburu,   beliau tetap menunjukkan wajah biasa seperti tidak terjadi apa-apa. Marah kepada staf? Selama ini tidak pernah. Hanya pernah sekali beliau ”marah”, itu pun karena ulah staf tsb sudah sangat keterlaluan. Sewaktu kejadian 

”memarahi” tersebut, beliau menyesal tidak dapat bertahan untuk tidak ”marah”. Sengaja saya menuliskan kata marah dengan menggunakan tanda apostrof (”) karena yang namanya ”marah” tetap yang keluar adalah kata-kata santun. Untuk menghindari kata-kata kasar, dalam marah Ibu ERS lebih sering memilih menggunakan kata-kata bahasa Inggris.

Salah satu yang patut kita teladani pada diri Ibu Endang adalah contoh yang diberikan dalam menjalani pekerjaan sehari-hari. Beliau tidak pernah meminta agar staf Puslitbang BMF harus masuk dan pulang pada jam sekian. Hanya sekali-kali beliau mengingatkan masalah kedisiplinan pegawai dalam acara-acara tertentu. Tapi kita melihat bagaimana disiplinnya beliau bekerja, masuk kantor antara pukul 7-7.30 pagi dan keluar kantor bisa terkadang sampai pukul 9 malam. Bahkan hari Sabtu pun, beliau ke kantor. Etos kerja seperti ini tidak hanya beliau perlihatkan sewaktu jadi Ka. Puslitbang; tapi sudah ”berurat-berakar” sejak masuk ke Badan Litbangkes (1997) menjadi peneliti. Beliau pernah menasehati saya: ”Pak Ano,   kita tidak perlu meminta staf untuk datang dan pulang kantor sesuai dengan keinginan kita, cukup dengan kita memberikan contoh datang lebih awal dan pulang lebih belakangan, maka sedikit banyaknya akan menyentuh kesadaran staf untuk lebih disiplin”.

Hal lain yang menjadi kenangan yang tidak pernah terlupakan bagi para peneliti dan para teknisi litkayasa (laboratorium) adalah kepedulian beliau dengan sarana pendukung penelitian. Saat itu porsi anggaran Badan Litbangkes dari APBN terbilang memprihatinkan. Pendingin ruangan (AC) banyak yang sudah tidak berfungsi, lemari pendingin  tempat penyimpan spesimen dan reagen terbatas, peralatan kantor seperti mesin fotocopy tidak ada, demikian juga mesin fax. Dari honor beliau sebagai ketua pelaksana penelitian, peralatan tersebut satu demi satu diadakan. Seminggu setelah saya bertugas di Puslitbang, staf urusan rumah tangga lapor bahwa ada rehabilitasi ruang laboratorium bakteriologi khususnya untuk tuberkulosis. Saya tanya biayanya dari mana. Staf tersebut menjawab bahwa biaya

berasal dari Ibu Endang. Padahal saat itu Ibu Endang masih sebagai peneliti. Namun beliau merasa prihatin dengan kondisi laboratorium tuberkulosis yang kurang aman bagi para teknisi litkayasa yang bekerja.

Kabar wafatnya Ibu Endang, saya terima saat kami Tim PDBK Bulungan berada di ruang tunggu bandara Juwata Tarakan. Semula beberapa dari antara kami tidak percaya berita tersebut.  Pimpinan Tim, Ibu dr. Eka Viora, sibuk menelpon. Akhirnya kepastian beliau wafat kami terima setelah email Pak Triono masuk. Seluruh PDBK-ers terduduk lemas. Meski sebelumnya kami sudah siap andaikata menerima kabar seperti itu,  mengingat berbagai pemberitaan dan info kritisnya kondisi beliau sejak Selasa sore. Pak Yongki terduduk lemas. Pandangan mata mbak Parmi menatap sayu, ada semburat kesedihan di kelopak matanya. Seluruh  PDBK-ers Bulungan langsung turun selera makannya.

Allah swt berkehendak lain untuk Ibu Endang. Beliau disayangi Allah untuk lebih dahulu menghadap dibanding kita semua. Selamat jalan Ibu Endang.

Di akhir tulisan ini, saya persembahkan selarik puisi untuk Ibu Endang.

Ibu Endang ...

limapuluhtujuh tahun menembus waktu, menjalani kehidupan yang patut ditiru. Kala kami berteriak,

Ibu menoleh sejenak,

namun kami tak melihat lagi senyuman Ibu. Kini kesunyian menerkam kami,

karena Ibu terbaring damai di belantara belulang para pejuang, antara Karawang--Bekasi.