• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adik dari Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih

Dia kakak. Pintar. Dari muda suka belajar. Dia menari dan menyanyi. Hobi berenang dan yoga. Gesit. Pekerja keras. Kalau berjalan seperti angin puyuh, cepat. Tepat janji, sangat perhatian. Dan, kami bersahabat. Setelah Mbak Enny pergi,

“My world is not the same anymore”

Sebagai Adik Bungsu

Endang Rahayu Sedyaningsih – Mamahit, atau mbak Enny, adalah kakak tertua saya. Saya lahir sebagai anak bungsu, dengan usia terpaut cukup jauh dengan kakak-kakak saya. Jarak umur mbak Enny dan saya adalah 13 tahun. Beda jarak usia saya dengan kakak saya yang lain, 9 tahun, dan dengan mas Budy beda usia 6 tahun. Saya punya 2 kakak lagi, Mas Yayuk, yang meninggal waktu kecil dan mbak Nina, meninggal pada usia 17 tahun. Dengan beda umur yang cukup jauh, saya cukup dimanja oleh kakak-kakak saya.

Nama saya Damaryanti Suryaningsih. Semua anak perempuan diberi nama “Ningsih” oleh orang tua kami. Panggilan kecil saya Dama. Tetapi di kantor dan sekolah, teman-teman memanggil saya Damar.

Hubungan kami sangat dekat, terutama yang perempuan.

Kami jarang bertengkar. Menurut orang-orang, mbak Enny itu orangnya galak. Tapi terhadap saya, tidak sama sekali. Saya ingat, pernah waktu kecil, saya main di luar terlalu lama, sampai tidak tidur siang dan lupa mandi sore. Mbak Enny memarahi saya, hingga saya menangis sesengukan di kursi.

Dimarahinya sebenarnya tidak seberapa, tapi dasar cengeng, baru dimarahin sedikit, sudah langsung menangis tersedu-sedu sambil telungkup di kursi. Tanpa saya sadari mbak Enny mendekati saya, dan mengelus rambut saya sambil ikut menangis. Mbak Enny bilang dia marah karena sayang pada saya. Saya tertegun dan tidak menyangka dengan reaksinya. Sejak saat itu seingat saya, mbak Enny tidak pernah lagi marah kepada saya. Begitu manjanya saya dengan kakak saya yang satu ini, sampai-sampai kami pernah menemukan kaset rekaman lama suara kami. Dan, saya mendengar suara saya yang sangat manja, “Maunya sama mbak Enny....” Ih, malu-maluin bangeet....

Saat saya masih kecil, saya lebih sebagai “tukang ngintil” kakak- kakak saya yang perempuan. Saya yang masih kecil suka terkagum-kagum kalau mengamati kakak-kakak saya ngobrol dengan temannya, atau kalau sedang berdandan. Kalau kakak saya pergi makan atau berenang dengan teman-temannya, saya

juga suka ikut. Beberapa teman yang saya ingat adalah, Dr. Jaja, Dr. Susi, Dr. Arvid, Dr. Didi dan Dr. Laila. Kakak saya juga bangga kalau saya mengatakan hal-hal yang “smart” di depan temannya. Pernah saya ikut satu mobil bersama kakak saya dan teman- teman kuliahnya. Saat itu Jakarta belum macet. Jadi waktu jalanan macet, saya bilang, “wah stagnasi, nih.” Padahal saya waktu itu masih berusia sekitar 6 tahun, dan tak paham juga maksud kata itu. Teman-teman kakak saya langsung terkagum-kagum. “Wah, adik loe kecil-kecil, pinter, ya, En.” Kakak saya kelihatan bangga sekali mendengar pujian itu.

Kakak saya juga pandai bermain piano. Piano klasik yang selalu saya minta beliau mainkan adalah “Come back to Sorento”. “Susah” katanya, tapi kenyataannya setiap saya minta, kakak saya pasti mau memainkannya untuk saya.

Mbak Enny dari dulu sangat tekun belajar. Saat menjalani pendidikan di fakultas kedokteran UI, hampir tiap malam, saat semua orang sudah tidur, beliau belajar sendirian di ruang makan kami sampai malam. Saya sering terbangun tengah malam, dan suka menemani beliau belajar. Saya senang melihat cara kakak saya belajar. Catatannya diberi warna berbeda dan gambar anatomi diwarnai dengan pinsil warna warni. Supaya lebih mudah menghafalnya, kata kakak saya. She is a very organize person! Begitu juga waktu kakak saya belajar di Harvard. Saya ingat, saat weekend saya pagi-pagi pergi untuk kursus bahasa Inggris. Kakak saya biasanya sudah duduk di meja belajar menghadap jendela. Setelah keluar dari apartment, saya biasanya mendongak ke atas dan saya melihat kakak saya sedang belajar. Sore harinya, waktu saya pulang, sebelum naik, saya mendongak lagi dan melihat dari balik jendela, beliau masih juga duduk disitu dan belajar. Berarti kakak saya itu sudah belajar seharian!

Saat Saya Besar

Setelah besar, hubungan kami berkembang menjadi lebih sebagai sahabat. Apapun yang terjadi dalam kehidupan saya, saya pasti cerita ke mbak Enny. Hal-hal pribadi yang saya ceritakan

cukup detail, sampai-sampai suami saya pun suka kesel. “Kalau ada apa-apa, mbok cerita dulu donk ke saya, saya kan jadi tidak enak sama mbak Enny,” begitu katanya.

Masalahnya, pemikiran saya terkadang cukup “nyeleneh” untuk ukuran perempuan Indonesia. Belum tentu semua orang bisa menerimanya. Kalau saya cerita ke kakak saya, mbak Enny tidak pernah bilang, “Kamu tidak boleh begitu.” Melainkan berbalik menceritakan pengalamannya juga dan membiarkan saya membandingkannya. “I’ve been through that too Dam,” katanya. Boleh dibilang semua keputusan penting saya adalah melalui diskusi dengan mbak Enny terlebih dahulu. Karir saya pun dipengaruhi oleh kakak saya. Saya yang sarjana sastra, akhirnya bekerja di LSM lingkungan public health, dan kemudian mengambil S2 di bidang kesehatan masyarakat. Kakak saya juga pernah bilang “Kita seperti mama dan mbah putri. Perempuan Banyumas memang punya jiwa pemberontak, but that’s who we are, do not worry”. Dari keluarga ibu saya, memang dari dulu sudah mengaplikasikan kesetaraan gender. Perempuan dan Laki-laki boleh berpendidikan setinggi-tingginya, tidak ada perbedaan sama sekali!

Beberapa tahun belakangan ini, kakak saya mulai aktif berenang lagi. Karena kebetulan kompleks tempat saya tinggal, di Kemang Pratama, mempunyai kolam renang ukuran olympic. Kakak saya suka berenang di situ setiap hari minggu. Itulah saat-saat yang paling saya sukai. Saya biasanya ikut berenang dan setelah itu kita makan dan diskusi panjang sampai siang. Mba Enny pandai bercerita dan punya “sense of humor” yang tinggi, sehingga saya tidak bosan-bosan mendengarnya. O,ya, kakak saya adalah seorang perenang yang hebat. Biasanya bisa berenang 1.000- 2.000 m tanpa henti. Saya sampai sekarang belum sanggup seperti itu.

Kakak Saya jadi Menteri Kesehatan

sedang ada acara di luar rumah. Sehingga, saya sama sekali tidak tahu tentang berita gembira ini. Ketika dalam perjalanan pulang, Ibu Harni, Ketua IBI menelepon saya dan memberitahukan hal itu. Saya coba menelepon kakak saya, tapi sibuk terus. Setelah sampai di rumah barulah saya melihat beritanya dari TV. Saya hanya kirim SMS, mengucapkan selamat “congrats mba, I always knew and always trust you.” Begitu kira-kira bunyi SMS saya. Setelah agak malam, kakak saya menelepon dan mengucapkan terima kasih.

Besoknya, mba Linda menelepon apakah saya tidak datang ke Duren Sawit. Saya tadinya berpikir untuk apa saya datang karena toh sudah mengucapkan selamat melalui telepon. Tapi akhirnya saya datang juga, dan rumah mbak Enny sudah ramai dengan wartawan dan tamu lain yang mengucapkan selamat.

Sebenarnya jadi menteri kesehatan atau tidak, buat saya, Mbak Enny adalah tetap seorang kakak buat saya. Walaupun sudah menjabat menjadi menteri, kami tetap berusaha meluangkan waktu untuk bertemu.

Awalnya kakak saya tetap ingin beberapa kegiatan rutinitasnya tidak berubah, seperti berenang di kompleks rumah saya itu. Namun setelah dicoba beberapa minggu, pengawal pribadi kakak saya mengajukan keberatan karena alasan keamanan. Karena kebetulan kolam renang di Duren Sawit sudah jadi (walaupun tidak ukuran olympic). Akhirnya, kakak saya dan saya pindah tempat berenang. Setelah berenang, kami juga memanggil guru Yoga. Jadi, setelah berenang 1 jam, kami pun yoga selama 1-2 jam.

Pada saat yoga, kakak saya juga mengajak mbak Linda, Rayi (anak bungsunya), mak Iis (sahabatnya), dan ajudan. Lucunya para ajudan yang polisi itu malah tidak tahan ikut yoga. Jadi, sebelum dipanggil kakak saya, mereka sudah ijin dulu sama saya untuk tidak ikut, “Mbak Damar, saya ijin tidak ikut, ya.” Terus dilanjut dengan bisikan, “Waduh, mbak. Saya mending disuruh

lari keliling lapangan daripada disuruh gaya yoga kayak gitu.” Ha ha ha...

Kakak saya sebenarnya jarang belanja dan jarang ke mall. Tapi, setelah jadi menteri, beliau perlu beberapa baju dan sepatu yang “sesuai dengan baju menteri”. Karena selera kakak saya itu berbeda dengan saya dan mbak Linda, maka pada awalnya kakak saya berkeras untuk membeli sendiri dan minta ditemani saya. Saya pun kebetulan hanya suka pergi ke mal tertentu, misalnya PS dan Senayan city; karena kantor saya kebetulan di Ratu Plaza. Maka saya ajaklah kakak saya kesitu.

Kakak saya yang tidak biasa diikuti ajudan, awalnya agak merasa risih diikuti dan dikawal. Kakak saya lalu minta ajudan untuk berjalan di sampingnya atau sekalian berjalan agak jauh supaya tidak menyolok. Setelah itu kami biasanya makan siang bersama. Kebiasaan ini berjalan hanya pada beberapa bulan pertama. Setelah itu kakak saya sudah sangat sibuk. Sabtu dan Minggu pun ada acara. Dan, kenyataannya pun baju dan sepatu hasil pilihan kakak saya tetap saja terlalu “casual” untuk acara-acara resmi. Sehingga, akhirnya dia mau baju dan sepatu dibelikan oleh mbak Linda.

Agar saya punya kesempatan untuk bertemu Mbak Enny, saya juga rela pagi-pagi ikut Mbak Linda --yang juga bertugas sebagai asisten pribadi Mbak Enny-- ke jalan Denpasar. Sebagai asisten pribadi, tiap pagi Mbak Linda membantu Mbak Enny menyiapkan segala sesuatunya. Biasanya pagi-pagi sekali itu, Mas Renny sudah berangkat ke Tangerang, sehingga Mbak Enny makan pagi di kamarnya sendiri.

Saya lalu menemani kakak saya makan pagi sambil lihat berita di TV. Kami ngobrol ngalur-ngidul. Setelah mandi, kakak saya duduk di depan cermin untuk berdandan. Saya pun duduk di belakangnya sambil mendengar kakak saya bercerita tentang pekerjaannya. Pengalaman yang diceritakan, terutama setelah menjadi menteri menarik sekali, dan terkadang lucu-lucu juga. It was my favorite times!

Pernah juga sekali saya diajak ikut rombongan kakak saya keluar kota. Saat itu kebetulan kakak saya ada kunjungan ke Jawa Tengah. Kami juga merencanakan ingin berkunjung ke makam papa di Solo. Saya ikut dengan biaya pribadi kakak saya. Tapi akhirnya hanya beberapa kali saja saya ikut rombongan beliau. Kapok saya ikut rombongan kakak saya yang seperti “angin puyuh” itu. Mbak Enny itu orangnya gesit dan kalau jalan cepat sekali. Ajudan beliau yang polisi pun sering suka kalah gesit. Selain itu acaranya penuh dari pagi sampai malam. Apalagi kakak saya orangnya sangat tepat waktu, sehingga sering datang lebih dulu dari yang lainnya. Perasan, di tempat kerja saya, saya juga sering ke luar kota, tapi bagaimanapun padatnya agenda, saya pasti luangkan waktu untuk melihat-lihat kota yang saya kunjungi. Kalau dengan rombongan “angin puyuh” itu... phhuiih ke toilet pun harus lihat-lihat situasi. Meleng sedikit sudah ditinggal rombongan.

Kakak saya dan Media

Waktu ditunjuk menjadi menteri, perasaan saya, media tidak begitu ramah terhadap kakak saya. Begitu juga masyarakat, mungkin karena belum dikenal, dan begitu ditunjuk sudah ditiupkan rumor yang tidak baik. Saya suka gemas kalau lihat di TV, baca di koran atau baca di internet tentang kakak saya. Sering saat kakak saya cerita ke saya tentang apa-apa yang sudah dikerjakan, saya lalu menyahut, “Tapi, Mbak, media dan masyarakat kelihatannya tidak begitu ngeh.”

Karena saya kebetulan bekerja di lingkungan public health, saya mengerti apa saja yang sudah dicapai atas kerja keras jajaran staf di Kementerian Kesehatan. Tapi tidak begitu dengan masyarakat di luar lingkungan kesehatan. Padahal, karena kakak saya sering bekerja dengan LSM, kakak saya cukup terbuka. Saya lihat beliau memberikan alamat e-mail kepada siapa saja yang meminta, tidak terkecuali. Biasanya saat sedang di mobil, adalah waktu luang beliau, dan kakak saya akan membalas email yang masuk, serta menjawab BBM.

Memang banyak juga berita-berita positif tentang Kementerian Kesehatan, dan bila ada berita positif, pasti saya sampaikan ke kakak saya supaya beliau tetap semangat. Tentang berita yang tidak baik, kakak saya tetap tenang-tenang saja, beliau bilang “Tidak apa-apa, Dam. Nantinya juga akan terlihat sendiri bila masyarakat sudah merasakannya,” Saya tidak menyangka apa yang disampaikan kakak saya benar adanya. Sekarang, setelah beliau tiada, berita tentang beliau berubah menjadi sangat positif!

Berita Tidak Baik

Setahun setelah menjadi menteri, kakak saya melakukan check up rutin. Pada saat saya bertemu beliau, kakak saya menyampaikan bahwa hasilnya kurang baik, tapi pemeriksaan akan dilakukan lebih lanjut. Beberapa minggu kemudian kakak saya menelepon saya dan mengabarkan bahwa beliau kena kanker paru stadium 4. Tidak ada tanda-tanda sama sekali kalau kakak sakit. Di antara kami bersaudara, hanya Mbak Enny dan Mas Budy yang aktif berolah raga baik saat sekolah maupun sesudahnya. Dibandingkan saya dan Mbak Linda, Mbak Enny adalah orang yang paling aktif. Apalagi setelah menjadi menteri, kegiatan tidak berhenti dari pagi sampai malam, senin sampai minggu. Saya saja yang lihatnya, capek. Belakangan kakak saya bilang, kalau saat tidur suka terbatuk. Tapi kakak saya hanya mengira itu alergi. Apakah itu salah satu tanda-tandanya? Waallahuallam. Setelah adik-adiknya ditelepon, besoknya kami semua berkumpul di Duren Sawit.

Di depan adik-adiknya, Mbak Enny tidak pernah menangis. Mungkin karena merasa sebagai panutan, kakak saya tidak mau membuat adiknya sedih. Mbak Enny bilang bahwa ada saran untuk berobat ke Goung Zhou dan beliau tertarik. Saat itu media belum ada yang tahu. Dan kami pun tidak bercerita ke siapa pun, baik saudara maupun teman-teman dekat kami. Sambil berobat, kakak saya tetap menjalankan aktivitasnya sebagai menteri, dan tidak mengurangi sedikitpun kegiatannya. Tidak ada yang

tahu, bagaimanapun canggihnya pengobatan, selalu ada efek samping dan “pain”nya. Hanya kami dan orang terdekatnya yang mengetahuinya. Saat itupun saya bertekad, untuk selalu mensupport, menemani, dan membahagiakan kakak saya sampai tiba waktunya.

Ada sedikit yang ingin saya luruskan. Ketika media mengetahui tentang penyakit kakak Mbak Enny, media pun memberitakannya. Kakak saya menanggapi berita ini dengan tenang sambil bercanda dengan menyanyikan lagu 70-an “Dead Man Walking”. Sebenarnya yang dimaksud kakak saya adalah ilm “Dead Man Walking” yang dibintangi aktor Sean Penn. Di ilm itu Sean Penn dihukum mati, dan pada saat eksekusi, dia berjalan di sepanjang lorong dengan tangan dan kaki di rantai. Petugas sipir penjara lalu berteriak “Dead man walking” dan penghuni penjara semua berdiri di balik jeruji untuk melihat kepergian seorang narapidana yang akan dihukum mati.

Banjaran Hadiwijaya

Kami berdua, hobby menari. Dulu waktu papa masih menjabat rektor IKIP. Papa mengundang guru tari Jawa ke rumah untuk kami belajar. Sebelum berangkat ke Amerika, Mbak Enny juga belajar privat tari Bali. Saya seperti biasa, ikut.

Tahun lalu, Mbak Enny mendapat tawaran untuk ikut menari “Banjaran Hadiwijaya”. Karena di situ juga bergabung Pak Joko Kirmanto (Menteri PU) dan istri, beberapa pejabat dan tokoh lain, serta penari dari Bharata, kakak saya pun tertarik. Kakak saya tadinya ragu mengajak saya karena tahu saya pakai jilbab. Ternyata, sahabat saya, Mita Hendro pun ikut menari disitu. Mita tanya ke Ibu Tinul, pengurus sanggar tari itu. Dia tanya, apakah Damar yang sudah pakai jilbab bisa ikut. Ibu Tinul pun dengan semangat mengatakan bisa. “Ibu Joko Kirmanto juga pakai jilbab, dan beliau akan menjadi salah satu istri raja dari Cina dan muslimah. Damar bisa menjadi dayangnya.” Berita itu pun saya sampaikan pada Mbak Enny. Mbak Enny senang mendengarnya karena jadi ada teman. Dan seperti biasanya, latihannya pun

lebih keras dari saya hehe. Buat saya, selain karena saya senang menari, dan bangga bisa menari bersama para penari dari Bharata, inilah kesempatan saya untuk menyenangkan kakak saya, menemaninya menari. Akhirnya kakak saya tidak saja menari, tapi juga menembang

Hari-hari Terakhir

Pada saat minggu-minggu terakhir kakak saya harus masuk rumah sakit. Kami sebisa dan sesering mungkin menemaninya. Kami ajak ngobrol seperti biasa dan bercerita mengenai kabar terkini supaya tetap semangat. Kakak saya yang matanya sudah mulai susah melihat pun masih bekerja dan menjawab email dan BBM. Terkadang kakak saya hanya menebak saja huruf-huruf yang diketik, tapi saya periksa, yang diketik masih betul. Kalau sudah capek, Ari, anaknya yang paling tua, Sara, mantunya atau saya biasanya membantu menjawab. Kakak saya juga mendengarkan ayat-ayat suci Al Qur’an di Ipod. Tiap malam mba Iis datang untuk membantu mengetikkan buku “Untaian Garnet dalam hidupku” yang dilisankan oleh Mbak Enny. Saya dan mbak Linda suka ikut mendengar juga. Saya yakin, masih banyak sebenarnya yang ingin diceritakan oleh Mbak Enny.

Sempat saya pergi seminggu keluar kota dan kaget sekali karena waktu saya bezoek, kakak saya sudah drop. Namun masih bisa mendengar dan bereaksi sedikit-sedikit. Pernah ibu Pretty membacakan syahadat hanya “Asyhadu allaa ilaaha illallah,“ kakak saya melambaikan tangan menyatakan tidak setuju dan ketika ibu Pretty mengucapkan “Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammaddar rosuulullaah,” kakak saya pun mengangguk. Pengunjung pun kami kurangi dan kami jaga ketat. Kami berterima kasih sekali kepada Ibu Pretty yang setia menemani kakak saya, dan Ibu Sekjen serta para esselon 1 yang selalu mensupport kami. Saya mohon maaf kalau ada keluarga atau para sahabat yang tersinggung saya larang untuk masuk. Dibandingkan Mbak Linda dan Mas Renny, memang saya yang paling keras melarang. Saya ingin kakak saya dikenang ketika saat terlihat sehat saja.

Supaya tidak mengganggu pekerjaan negara, sebelumnya, kakak saya telah mengajukan pengunduran diri. Kami sebagai keluarga mendukung apapun keputusan kakak saya. Pada saat Pak SBY menjenguk, kakak saya menggunakan kesempatan ini juga untuk bicara langsung walau sudah sulit berkata, dan kami lega ketika Pak SBY menyetujui. Dan saat itu juga berita sakit kakak saya tercium oleh media sehingga RSCM akhirnya mulai dibanjiri wartawan. Pada saat kondisi kakak saya sudah kritis, lobby dan lantai 7 RSCM sudah dipenuhi wartawan, staf Kemenkes, saudara, dan sahabat. “Seperti lautan manusia,” kata keponakan saya yang kebetulan sedang ada di luar. Kami sendiri hanya di kamar dan tidak keluar. Satu pintu kami kunci dan satu pintu lagi dijaga oleh pengawal.

Denyut nadi kakak saya sudah mulai lemah. Keluarga sudah sepakat bila waktunya, kakak saya tidak akan diberi alat bantu pernapasan dan kami tahu kakak saya tidak akan mau. Mas Renny, anak-anaknya, Mbak Linda, saya dan 1 orang sepupu kami mengelilingi kakak saya. Saat itu Ari, yang berdiri dekat kepala kakak saya masih terdiam. Mas Renny lalu bilang, “Ari, kasih tempat untuk tante Dama” dan saya pun menguatkan hati serta berucap di dekat telinga kakak saya: “Allah, Allah, Allahuakbar!” yang lain pun kemudian mengikuti. Saya sempat tercekat, tapi saya kuatkan hati. Saya harus mengantar kakak saya dengan nama Allah dan mengucapkan syahadat. Para dokter juga sudah berkumpul dan bergantian membacakan syahadat serta surat Yassin. Malam harinya kami terus melafalkan syahadat secara bergantian. Wanda, anak kakak saya yang nomor dua, baru bisa pulang dari Geneva karena baru dapat exit permit. Saat itu

sedang transit tujuh jam di Dubai, sempat menelepon dan bicara di telinga kakak saya. Saya yakin kakak saya masih mendengar semua itu. Malam makin larut, beberapa menteri datang dan turut berdoa bersama kami. Saya sangat menghormati mereka. Mereka datang bukan sebagai menteri, melainkan sebagai sahabat-sahabat kakak saya. Saya ingat kakak saya sering cerita tentang kedekatannya dengan mereka, “Kami di kabinet seperti teman satu kelas saja,” begitu kata kakak saya.

Esok paginya, di luar kamar, lobby sudah mulai kosong. Saya dan Mbak Linda pulang sebentar. Saya lihat di bawah masih banyak wartawan yang menunggu. Agak sedih juga saya melihatnya. Kami kembali sekitar jam 10. Lobby dan lantai 7 sudah mulai