• Tidak ada hasil yang ditemukan

Endang Sedyaningsih, Peneliti Yang Menjad

Birokrat

Irwan Julianto

menyandang gelar master dan doktor ilmu kesehatan masyarakat dari Universitas Harvard.

Ada saja yang tak suka ia jadi menkes. Misalnya, ia ditunding mencuri virus lu burung dari Indonesia dan dikirim ke Amerika yang diduga bakal dijadikan cikal bakal vaksin yang nantinya akan dikomersialkan tanpa Indonesia menikmati hak dan royaltinya. Ada pula spekulasi bahwa virus lu burung asal Indonesia itu akan dikembangkan menjadi senjata biologis di AS.

Hal yang belakangan berkembang malah tudingan bahwa Endang bertanggung jawab untuk pengadaan reagensia untuk pemeriksanaan infeksi lu burung pada 2006 – 2007, dan ia dianggap menghindari pemeriksaan Komisi Pemberantasan korupsi (KPK). Padahal, sebagai Kepala Puslitbang Biomedis dan farmasi ia tak memiliki wewenang untuk pengadaan barang. Kondisi sakitnya yang parah tak memungkinkan ia datang sebagai saksi kasus korupsi di KPK. Lewat pesan plakberrynya tanggal 3 April lalu ia menjelaskan duduk perkaranya.

“sori nulis salah-salah. I can’t really see. My health problem is serious,” tulisnya. Terapi medik saya pun belum settled. Tim dokter saya sangat besar ... Beberapa hari sekali mendapatkan regimen terapi saya.” Itulah pesan tertulis terakhir yang saya terima. Setelah itu pesan-pesan saya tak pernah dibaca dan dibalas. Yang tersisa adalah personal statusnya yang berbunyi : Be strong.

Ia tetap tegar ketika mengajukan permohonan dirinya untuk mundur sebagai Menkes kepada Presiden SBY yang menjenguknya. Kamis pekan lalu, di RSCM.

Menurut Prof. David Muljono, dokter yang juga peneliti hepatitis di lembaga Eijkman, Endang adalah tokoh yang paling berjasa untuk meloloskan usulan ke sidang Dewan Kesehatan Sedunia di geneva pada Mei 2010. Atas usulan itu hepatitis diakui sebagai wabah dunia dan harus diperingati secara rutin setiap tahun.

“Beliau mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional,” kata David.

Bersahaja

Kebersahajaan Endang sebagai peneliti ilmu kesehatan masyarakat masih lekat di ingatan. Suatu hari di bulan Agustus 1996, di Bandara Logan, Boston, AS, Endang menyambut saya dan keluarga. Sebagai mahasiswa doktoral di Universitas Harvard ia jauh dari kesan snob. Ketika itu ia bergaun terusan panjang di bawah lutut dan memanggul ransel. Apartemennya sederhana, tetapi tertata rapi dan bersih.

Bulan Maret 1997 ia berhasil mempertahankan disertasinya tentang kehidupan para pekerja seks komersial di Kramat tunggak, Jakarta Utara, dan perilaku para pelanggan mereka yang rawan bagi penularan HIV/AIDS. Ketika itu, isu AIDS sedang naik daun di dunia, termasuk Indonesia.

Terkait penyakitnya, Endang menjadi perokok pasif karena Indonesia adalah “surga” bagi perokok. Asap rokok lingkungan (environmental Tobacco Smoke) jauh lebih beracun dan karsinogenik dibandingkan asap rokok utama (mainstream smoke). Ini yang mungkin memicu kanker paru yang diidap Endang. Ia dan keluarganya untuk pertama kali mengetahui bahwa dirinya mengindap kanker paru ketika melihat hasil rontgen parunya pada 22 Oktober 2010.

Enfang tetap tegar. Tanggal 22 Desember 2010 ketika meluncurkan buku Perempuan-perempuan Kramat Tunggak Di Bentara Budaya Jakarta, ia masih terlihat sehat dan segar. Dan ia tetap tegak tegar ketika diwawancarai di rumah dinasnya beberapa pekan kemudian (Kompas, 23 Januari 2011). Malah ia bisa menertawakan dirinya sendiri sambil menyanyikan lagu David Bowie “Dead Man Walking”.

Salah satu perjuangan Endang yang berani melawan arus adalah membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan . Kantor Kemenkes tak jarang

di demo oleh para petani tembakau dan buruh industri rokok. Bahkan fotonya pernah terpampang di baliho besar sebagai salah satu dari 10 musuh petani tembakau dan buruh industri rokok (Buku Indonesia – The Heaven for cigarette Companies and the Hell for the People, FKM UI, 2012).

Padahal tujuan RPP itu tak lain adalah mengamankan mereka yang belum menjadi perokok dan para perokok pasif. Tidak dimaksudkan untuk mematikan industri rokok dan melarang penanaman tembakau.

Disalahpahami dan diitnah memang risiko jabatan bagi pejabat tinggi negara. Namun, Endang telah membuktikan bahwa ia tetap bekerja sampai saat-saat terakhir, sebelum akhirnya menyerah dan harus meminta cuti sebulan untuk berobat. Lalu dipuncaki dengan permohonannya mengundurkan diri. Ini menunjukkan kejujurannya untuk tidak mengangkangi ajabatan yang diamanahkan kepada dirinya.

Dua hari lalu, tepatnya Rabu (2/5), Menteri Kesehatan Nonaktif, Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih dipanggil menghadap Sang Khaliq, All SWT. Ia menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo setelah 1,5 tahun berjuang melawan penakit kanker paru.

Meski sempat diwarnai kontroversi ketika ia ditunjuk sebagai menteri Kesehatan 2009 lalu, Bu Endang telah menunjukkan kepada kita arti kegigihan dan amanah. Di tengah perjuangannya melawan penyakit yang sangat kronis, ia tetap berjuang mengemban tugas untuk membangun kesehatan bangsa. Bangsa ini tentu merasa sangat kehilangan salah satu srikandi terbaiknya.

Meski hanya menjabat 2,5 tahun, banyak sudah capaian yang ia torehkan bagi dunia kesehatan di Indonesia. Di Masa Endanglah program jaminan Persalinan (Jampersal) digulirkan. Dengan program ini, para ibu yang berasal dari keluarga tidak mampu tidak perlu merogoh koceknya untuk biaya persalinan. Di masa beliau pula kewajiban pemberian ASI eksklusif dikuatkan dalam peraturan pemerintah. Ia juga melarang iklan dan tenaga medis menyebarkan pemberian susu formula, serta mewajibkan perkantoran untuk menyediakan ruang menyusui

Hal ini selaras dengan apa yang selama ini teman-temana di Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa perjaungkan, bahwa bayi yang baru lahir hingga usia enam bulan harus diberi ASI secara eksklusif. Semangat yang sama juga Harian Republika (edisi pagi), tanggal 4 Mei 2012

Selamat Jalan