• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dr Qomariah Alwi, SKM, M.Sc PDBK’ers Kab Kupang

sreg/pas. Kemudian masalah ini saya ceritakan kepada beliau, siapa tahu ada tanggapan. Katanya: “Kalau ada sponsor kenapa tidak menggali informasi tentang ibu-ibu Papua, saya dengar mereka kalau melahirkan harus pergi ke hutan, betulkah? Kalau betul, mengapa? Ini menarik untuk diketahui, sekalian menggali informasi yang berkaitan dengan itu, misalnya tentang pelayanan kesehatannya”.

Pemikiran ini timbul tenggelam di hati saya. Cukup besar hambatannya untuk mewujudkan gagasan itu. Pertama, ini harusnya studi etnograi sedangkan saya bukan antropolog jadi harus belajar banyak. Kedua, sponsornya dari mana? Di Badan Litbangkes, pada waktu itu, dana yang disediakan untuk satu penelitian maksimal Rp 30 juta. Itupun susah sekali.

Akhirnya ide itu saya lupakan dan mencari-cari alternatif lain. Suatu ketika dalam pembicaraan di telpon dengan anak saya yang bekerja di PT Freeport Indonesia, dia menawarkan kalau saya mau jalan-jalan nengok mereka sekeluarga di sana. Saya katakan bagaimana kalau ibu melakukan penelitian di sana, apakah PT FI ada dananya. “Coba aja ibu ajukan, kalau tidak salah dana untuk community research tersedia, ini alamat emailnya dan ini nama kepala community research PT FI”. Iseng-iseng surat ke

PT FI pun saya layangkan. Kemudian dalam suatu kesempatan browsing internet saya membaca ada penawaran pendanaan dari salah satu foundation dari negeri Belanda bagi yang akan melakukan penelitian terkait kesehatan ibu, maka iseng-iseng surat permohonanpun saya layangkan.

Singkat cerita setelah kedua sumber tersebut menanggapi surat saya barulah saya serius kembali mengingat apa yang disarankan bu Endang dan terfokus membuat proposalnya. Selain itu ada juga respon dari Badan Litbangkes untuk membiayai penelitian bagi pembuatan disertasi sebesar Rp 27 juta, pak Ano yang mengaturnya waktu itu. Selama dalam proses penelitian, dalam kesempatan hanya sekali lewat ketemu bu Endang. Saya katakan kepada beliau, “Bu, saya jadi ikuti saran ibu untuk disertasi saya.” Beliau tersenyum, dan menjawab: “O, ya, bagus.”

Hari berganti hari, tahun-tahun pun berlalu. Suatu saat di tahun 2003 saya memberanikan diri mengetuk kamar kerjanya dengan membawa lukisan kulit kayu Suku Kamoro Kabupaten Mimika yang sudah dibingkai 0,5 x 0,5 m. Saya ingin sekali memberikan kenangan kepada beliau tetapi saya harus hati-hati karena saya dengar beliau kurang begitu suka dibawakan “sesuatu”.

Saya pikir kalau ditolak tidak apa-apalah yang penting saya sudah berusaha. Ternyata beliau tersenyum riang memperhatikan lukisan dengan kanvas kulit kayu itu .“Cantik, ya. Kreasi penduduk asli,” katanya membuat hati saya tidak jadi kecewa. Belakangan saya ketahui, ketika saya mengintip kamar kerjanya, lukisan itu sudah terpasang di dinding.

Dalam kesempatan itu saya juga membawa tulisan saya yang dimuat di Rubrik Opini Surat Kabar Sinar Harapan yang berjudul “Manajeman HIV AIDS di Kabupaten Mimika”. Saya tahu beliau adalah pakar HIV AIDS. Saya mencoba membuat tulisan itu meski sama sekali tidak terkait dengan disertasi saya tetapi saya kumpulkan datanya sambil mengumpulkan data untuk disertasi, lalu mencoba memodiikasinya menjadi tulisan ilmiah populer

yang dapat dibaca untuk umum. Kembali ia tersenyum dan berkata, “Tulisan seperti ini sangat bermanfaat dan dibutuhkan semua kalangan.”

Roda waktu berputar begitu cepat rasanya. Suatu ketika beliau menjadi Kapuslitbang Biomedis dan Farmasi, atasan saya. Pada waktu itu saya agak frustrasi dengan kelanjutan studi saya terkait dengan kebijakan Direktur Pasca Sarjana. Menurut kabar ada sampai 700-an mahasiswa pasca sarjana yang terhambat studinya (termasuk saya).

Saya pun malas ke kantor karena tidak ada yang bisa dikerjakan, proposal-proposal penelitian tidak diterima bertahun-tahun, fasilitas kantor pun tidak mendukung untuk membuat/ mengarang tulisan-tulisan. Ini masa yang mungkin disebut litbang = sulit berkembang. Maka saya pun banyak mengurus yayasan yang mendirikan Stikes. Nah, lalu saya mendapat kiriman surat cinta dari bu Endang agar menghadap beliau pada tanggal, hari, dan jam yang telah ditentukan.

Saya datang dengan berbagai perasaan enak tidak enak, enak karena saya mendapat kesempatan ketemu dan berbicara dari hati ke hati, tidak enak karena mungkin kelakuan saya mengecewakan beliau.

Ternyata beliau kembali tersenyum dan malah tertawa ketika mendengar uraian saya tentang Direktur Pasca Sarjana karena nampaknya beliau sudah tahu tentang itu. Ayah bu Endang pernah menjadi Rektor Universitas Negeri Jakarta, mungkin sedikit banyaknya beliau juga masih mengikuti perkembangan universitas itu.

Bicara tentang proposal litbang yang “litbang” dan fasilitas peneliti yang kurang kondusif, beliau nampak memahami. Namun ketika saya katakan, “mungkin saya kurang cocok bekerja di sini, Bu.” Beliau menjawab, “Kalau masalah tidak cocok, saya rasa saya juga tidak cocok di sini bu Qom. Tetapi kenyataannya

kan kita sudah di sini. Jadi harus kita jalani....”

Bulan September 2009 pun datang menjelang. Suatu kesempatan saya bertemu dan bicara lagi dengan beliau. Saya tidak menyangka dan tidak tahu kalau bu Endang hadir dalam sidang terbuka saya tersebut. Pada saat bersalaman saya mengucapkan banyak terima kasih, ternyata beliau datang sendirian saja. Katanya, “Tadinya mau sama Iis tapi ternyata Iis ada kegiatan lain....”

Selamat jalan motivatorku, guruku, sahabatku.... Mudah- mudahan Allah mempertemukan kita di lain kesempatan.

P

enunjukan Ibu Endang Sedyaningsih selaku Menteri Kesehatan Kabinet Bersatu II pada bulan Oktober 2009 sungguh membuat ‘surprised’’ banyak pihak, tidak terkecuali kami. Banyak yang tidak tahu betul siapa Ibu Endang sesungguhnya, sekalipun beliau pernah menjadi Kepala Pusat Biomedik Badan Litbangkes 2007. Bagi kami yang mengenal beliau sebagai peneliti sebelumnya, beliau adalah sosok cerdas yang low proile, sederhana dan sangat ramah. Gambaran ini ternyata tidak berubah setelah beliau menjadi Menteri Kesehatan, bahkan beliau menjadi semakin keibuan, serasi dan anggun dalam bertindak dan berpenampilan.

Dalam berbagai rapat yang beliau pimpin, perhatian yang diberikan pada apa yang dipaparkan atau dilaporkan sangatlah besar. Karena dasarnya adalah seorang peneliti, maka sejak beliau menjadi Menteri, paparan yang mengandung indikator, angka, atau capaian tidak bisa lagi dicantumkan tanpa acuan yang jelas. Dengan sangat kritis, beliau akan bertanya secara detil dari mana angka itu diperoleh, mengapa demikian, dan lain sebagainya. Kesenangan beliau dalam menulis juga segera dapat kami rasakan ketika berbagai dokumen kebijakan yang harus diterbitkan dengan SK Menkes di tahun 2010 dikoreksi langsung oleh beliau. Kami terkesima saat itu, mengetahui bahwa Ibu Endang sungguh-sungguh membaca setiap dokumen kebijakan yang akan dikeluarkan.

Beliau Mengajarkan