• Tidak ada hasil yang ditemukan

APBD KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BALI

Dalam dokumen KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL (Halaman 106-111)

KEUANGAN PEMERINTAH

4.3. APBD KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BALI

4.3.1. Anggaran dan Realisasi Pendapatan APBD Kabupaten/Kota

Total anggaran pendapatan yang dialokasikan oleh 9 Kabupeten/Kota di Provinsi Bali mencapai Rp 15,96 triliun. Total nilai APBD ini jauh lebih besar dibanding anggaran pendapatan APBD Provinsi dan APBN yang dialokasikan untuk Provinsi Bali. Anggaran terbesar dimiliki oleh Kabupaten Badung dengan nilai sebesar Rp 3,83 triliun dan share sebesar 23,97% terhadap total anggaran pendapatan APBD 9 Kabupaten/Kota di tahun 2016. Sementara anggaran pendapatan yang terkecil adalah Kabupaten Bangli dengan nilai sebesar

Rp 908 miliar dan share sebesar 5,68% terhadap total anggaran pendapatan APBD 9 Kabupaten/Kota.

Pendapatan transfer merupakan komponen pendapatan yang memiliki alokasi anggaran terbesar yaitu mencapai Rp 8,6 triliun atau dengan share sebesar 53,75% terhadap total seluruh anggaran pendapatan 9 Kabupaten/Kota di Bali. Besarnya pendapatan transfer ini menandakan ketergantungan fiskal pemerintah kabupaten/kota yang masih cukup tinggi terhadap Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Secara keseluruhan, rata-rata derajat desentralisasi fiskal untuk pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali sebesar 23,62%. Berdasarkan data anggaran pendapatan tahun 2016, derajat desentralisasi fiskal tertinggi diraih oleh Kabupaten Badung dengan rasio mencapai 76,64% dan terendah di Kabupaten Bangli dengan rasio sebesar 8,36%. Rendahnya pendapatan

Anggaran Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, 2016

Sumber: Biro Keuangan Provinsi Bali

Grafik 4. 4

berupa pajak yang dianggarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bangli disebabkan karena masih relatif terbatasnya perkembangan aktivitas usaha di Kab. Bangli dan merupakan salah satu wilayah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi yaitu mencapai 5,45% (berdasarkan data 2013), sehingga ketergantungan kabupaten tersebut terhadap pendapatan transfer dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi masih tergolong tinggi.

Secara Keseluruhan pada triwulan I 2016, realisasi pendapatan APBD kabupaten/kota mencapai 19,76%. Capaian realisasi ini terhitung cukup tinggi, bahkan lebih tinggi bila dibanding dengan realisasi pendapatan Provinsi Bali di periode yang sama. Tingginya realisasi pendapatan kabupaten/kota di triwulan I 2016 ini, terutama didorong oleh realisasi pendapatan transfer yang mencapai 24,89%. Tabel 4. 5 Anggaran dan Realisasi Pendapatan Kabupaten/

Kota di Provinsi Bali 2016

Anggaran 2016 Realisasi Tw 1 2016 (Rp Miliar) (Rp Miliar)

Pendapatan 15.995 3.161 19,76

Pendapatan Asli Daerah 5.165 940 18,20

Pendapatan Transfer 8.598 2.140 24,89

Lain-lain Pendapatan Yang Sah 2.232 81 3,63

Jenis Pendapatan % Realisasi

Sementara itu, realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap capaian realisasi pendapatan di triwulan laporan, dengan tingkat realisasi sebesar 18,20%. Salah satu komponen yang mendorong cukup tingginya realisasi PAD adalah pendapatan pajak daerah khususnya terkait dengan pendapatan pajak hotel dan restoran, seiring dengan peningkatan kinerja lapangan usaha penyediaan akomodasi makan minum yang tumbuh signifikan pada periode triwulan laporan sebesar 6,61% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 4,87% (yoy). Tingginya pertumbuhan lapangan usaha ini diindikasikan ikut membantu peningkatan penerimaan kabupaten/kota di Bali pada triwulan laporan.

Realisasi pendapatan tertinggi pada triwulan I 2016 dicapai oleh Kabupaten Bangli dengan capaian sebesar 25,19%. Sementara itu, realisasi PAD yang mencapai 12,5% dan pendapatan transfer sebesar 33,40%, merupakan faktor pendorong utama tingginya realisasi pendapatan kabupaten tersebut. Berdasarkan informasi anekdotal, Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli selalu berupaya untuk menggali peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah, antara lain pajak dari kepemilikan tanah yang belum terdaftar. Selama ini penerimaan pajak daerah bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pajak atas penerangan jalan.

4.3.2. Anggaran dan Realisasi Belanja APBD Kabupaten/Kota

Anggaran belanja dan transfer kabupaten/kota di Bali pada tahun 2016 mencapai Rp 17,36 triliun, dengan

share sebesar 59,56% dari total anggaran merupakan

belanja tidak langsung dengan nilai nominal sebesar Rp 10,34 triliun, sedangkan belanja langsung memiliki share sebesar 40,44% dari total anggaran belanja. Dengan nilai anggaran sebesar Rp 3,8 triliun, Kabupaten Badung merupakan wilayah dengan anggaran belanja daerah terbesar dibandingkan wilayah lainnya. Sementara itu, Kabupaten Jembrana merupakan kabupaten dengan anggaran belanja daerah terendah yang hanya sebesar Rp 1,09 triliun. Secara agregat, belanja modal APBD kabupaten/kota mencapai Rp 3,35 triliun atau sebesar 19,31% dari total anggaran belanja. Rasio belanja modal tertinggi dicapai oleh Kabupaten Badung yakni sebesar 28,41%. Tingginya rasio belanja modal di Kabupaten Badung ini diharapkan dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi secara jangka panjang dan mendukung perkembangan kinerja industri pariwisata di Provinsi Bali, dengan Kabupaten Badung sebagai salah satu sentra pengembangan pariwisata di Bali. Realisasi belanja kabupaten/kota di Provinsi Bali pada triwulan I 2016 sebesar 8,91% atau senilai Rp 1,55 triliun. Realisasi belanja ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi belanja Provinsi Bali Tabel 4. 6 Anggaran dan Realisasi Belanja Kabupaten/ Kota

di Provinsi Bali, 2016

Anggaran 2016 Realisasi Tw 1 2016 (Rp Miliar) (Rp Miliar)

Belanja 17.360 1.546 8,91

Belanja Tidak Langsung 10.340 1.268 12,26

Belanja Langsung 7.020 278 3,96

Belanja Modal 3.353 15 0,44

Jenis Belanja % Realisasi

di periode yang sama yang hanya sebesar 7,70%. Realisasi belanja tidak langsung kabupaten/kota di Provinsi Bali yang mencapai 12,26% dan realisasi belanja modal yang mencapai 3,96% di triwulan laporan, ikut mendorong peningkatan realisasi belanja kabupaten/kota di triwulan laporan. Meskipun demikian, realisasi belanja modal kabupaten/kota di Provinsi Bali masih menunjukkan capaian yang rendah yang baru mencapai 0,44% dikarenakan pembangunan proyek infrastruktur, sebagian besar masih dalam proses lelang dan penyiapan administrasi serta perencanaan.

Dengan realisasi belanja sebesar 12,33%, Kabupaten Tabanan merupakan wilayah dengan realisasi belanja terbesar diantara seluruh kabupaten/kota di Bali pada triwulan I 2016. Tingginya realisasi tersebut terutama didorong oleh tingginya realisasi belanja barang dan jasa, belanja pegawai serta belanja bantuan keuangan. Realisasi belanja barang dan jasa telah mencapai 10,78%, sedangkan realisasi belanja pegawai mencapai 15,68%, sementara realisasi belanja bantuan keuangan mencapai 10,56% di Kabupaten Tabanan di periode triwulan laporan. Sementara itu, Kabupaten Badung merupakan kabupaten dengan realisasi belanja terendah di triwulan I 2016 yang baru mencapai 5,61%. Realisasi

Anggaran belanja Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, 2016

Sumber: Biro Keuangan Provinsi Bali

0 5 10 15 20 25 30 (%) Grafik 4. 5

belanja modal yang rendah (share plafon anggaran belanja modal sebesar 28,41% terhadap total anggaran belanja Kabupaten Badung), menjadi salah satu penyebab utama rendahnya realisasi belanja Kabupaten Badung di periode triwulan laporan. Pada tahun 2016, Pemerintah Kabupaten Badung telah menyediakan anggaran yang besar yaitu Rp 1,15 triliun untuk membiayai beberapa proyek pembangunan infrastruktur di Kabupaten Badung. 4. 4. ALOKASI APBN DI PROVINSI BALI

Dalam rangka membiayai belanja daerah, pemerintah pusat telah mengalokasikan sejumlah anggaran APBN untuk direalisasikan di Bali. Anggaran penerimaan APBN tersebut berasal dari penerimaan dalam negeri yang bersumber dari pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), serta hibah. Pada sisi yang lain, belanja APBN disalurkan dalam bentuk belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah melalui dana transfer dan lain-lain pendapatan yang sah. Belanja pemerintah pusat digunakan untuk membiayai gaji pegawai kementrian atau instansi pemerintah pusat yang beroperasi di Bali. Selain itu, anggaran ini dipergunakan juga untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur strategis yang dicanangkan oleh pemerintah pusat yang dikelola antara lain oleh balai jalan dan balai sungai.

Jumlah pagu anggaran APBN untuk Provinsi Bali pada tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 9,50% atau dengan nilai nominal sebesar Rp 891 miliar. Nilai pagu APBN pada tahun 2016 tercatat sebesar Rp 8,49 triliun yang terdiri atas belanja pegawai sebesar Rp 3,5 triliun, belanja barang sebesar Rp 3,2 triliun dan belanja modal sebesar Rp 1,75 triliun serta belanja bantuan sosial sebesar Rp 7,6 miliar. Penurunan pagu anggaran terbesar pada tahun 2016, terutama terjadi pada anggaran belanja modal yang mencapai Rp 626 miliar atau turun sebesar 26,31% dibandingkan tahun 2015.

Sumber: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Provinsi bali Sementara itu, realisasi belanja anggaran APBN pada

triwulan I 2016 tercatat sebesar 13,40% atau dengan nilai nominal mencapai Rp 1,138 triliun. Capaian realisasi ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2015 yang hanya mencapai 10,63%. Peningkatan capaian realisasi belanja APBN di triwulan laporan terutama didorong oleh tingginya

Tabel 4. 7 Pagu dan Realisasi Anggaran APBN 2015-2016 Untuk Provinsi Bali

Jenis Belanja Tahun 2015 Tahun 2016

Pagu (Rp Miliar) Realisasi (Rp Miliar) Realisasi (%) Pagu (Rp Miliar) Realisasi (Rp Miliar) Realisasi (%)

Belanja Pegawai 3.523 674 19,13 3.523 749 21,26

Belanja Barang 3.292 261 7,93 3.207 301 9,39

Belanja Modal 2.379 18 0,76 1.753 88,00 5,02

Belanja Bantuan Sosial 188 44 23,40 7,6 -

Total 9.382 997 10,63 8.491 1.138 13,40

realisasi belanja pegawai yang mencapai 21,26% dan realisasi belanja barang yang mencapai 9,39% di triwulan laporan, jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masing-masing sebesar 19,13% dan 7,93%.

PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR UNTUK MENINGKATKAN

Dalam dokumen KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL (Halaman 106-111)