• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MUSIK DIATONIS DALAM BEBERAPA ASPEK

2.13 Komposisi dan Aransemen

2.13.2 Aransemen

Aransemen(arrangement) merupakan gubahan dari sebuah musik yang sudah ada. Mengaransemen adalah sebuah tindakan menghasilkan sebuah struktur musik baru dari sebuah musik yang sudah ada sebelumnya.

Pono Banoe memberikan pengertian aransemen sebagai gubahan lagu untuk orkes atau kelompok paduan musik, baik vokal maupun instrumental86

86Pono Banoe, 2003. Kamus Musik.

. Orang yang melakukan tindakan menggubah musik disebut arranger atau penggubah. Dalam The New Grove Dictionary of Music And Musician, istilah arrangement diartikan sebagai The reworking of a musical composition, usually for a different medium from that of the original. Jadi, aranging dapat dipahami

sebagai tindakan menata kembali melodi atau lagu yang sudah ada sehingga terkesan sebagai sesuatu yang baru.

cxxiv

BAB III

KARAWITAN MINANGKABAU DAN JURUSAN KARAWITAN INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG

Berdasarkan visi dan misi Jurusan Karawitan Institut Seni Indonesia Padangpanjang yang diturunkan dari visi dan misi Institut Seni Indonesia Padangpanjang tertulis bahwa bidang yang didalami di Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang adalah pengkajian, penciptaan, dan penyajian seni rumpun Melayu. Minangkabau sebagai salah satu rumpun Melayu mendapat tempat istimewa dalam kajian-kajian akademis yang ada di ISI Padangpanjang. Oleh karena itu, Karawitan Minangkabau mendapat porsi lebih besar pula dalam pengkajian, penciptaan, dan penyajian seni di Jurusan Karawitan ISI Padangpanjang.

Ciri-ciri utama rumpun Melayu adalah diterapkannya nilai-nilai Islam dalam sendi-sendi kehidupan mereka. Khususnya di Minangkabau ada pepatah yang menggambarkan sinergi antara adat dan agama yang merupakan sendi baru bagi adat Minangkabau yang berbunyi: adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah87

87 Ikrar ini diberlakukan di zaman Paderi, yang diperkirakan terjadi pada tahun 1837. Tiga orang Minangkabau yang berada di Tanah Arab ketika revolusi Wahabi berkobar, yaitu Haji Sumanik dari Tanah Datar, Haji Piobang dari 50 Kota, dan Haji Miskin dari Luhak Agam terinspirasi dengan gerakan wahabi. Ketiganya, pada tahun 1803, pulang ke Luhak masing-masing dengan misi memurnikan ajaran Islam di Minangkabau yang sebelumnya didominasi oleh Golongan Syiah. Ketika itu, pelanggaran hukum Islam seperti berjudi, menyabung ayam, minum tuak, mabok-mabokan, dan berbagai kebatilan merajalela. Ulama Syiah tidak mampu melarang praktik-praktik itu. Setelah penganut Wahabi cukup kuat, pada tahun 1809 mereka mulai bertindak membersihkan Islam di Minangkabau dari praktik-praktik tersebut. Perang saudara ini dalam sejarah Minangkabau dikenal sebagai Perang Paderi. Periksa Amir MS, 1997 dalam buku Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, halaman 123-124.

. Menurut Mahdi Bahar (2004), berdasarkan kehadiran nilai-nilai Islam itulah dapat dilacak, bahwa: sub-kultur atau rumpun Melayu yang meliputi

masyarakat Aceh, masyarakat Melayu Sumatera Utara, Minangkabau,Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, Banjar, Brunai Darussalam, Bugis, Betawi, dan sebagainya telah secara ideal menggunakan nilai-nilai Islam sebagai inti dari kebudayaan Melayu88

Secara geografis, ISI Padangpanjang terletak di kota Padangpanjang.

Secara kewilayahan adat Minangkabau, Kota Padangpanjang merupakan bagian dari Luhak Tanah Datar yang merupakan luhak pertama orang Minangkabau. Di Luhak Tanah Datar inilah terdapat Pariangan Padangpanjang yang merupakan nagari tertua bagi orang Minangkabau.Elisabeth E. Graves (2007:6) menyebutkan Tanah Datar, yang secara geografis dan kosmologis terletak di pumpunan tempat asal sejarah dan kebudayaan Minangkabau, serta pusat kekuasaan politik Kerajaan Pagaruyung dengan bukti-bukti peninggalan kebesaran sejarah Kerajaan Minangkabau masih dapat dilihat bekas-bekasnya

.

89.

Penulis berpendapat bahwa letak Institut Seni Indonesia Padangpanjang sekarang ini yang berada di kota Padangpanjang jika dikaitkan secara historis telah menyiratkan sebuah ikhtiar untuk meneruskan, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan Minangkabau yang dahulunya memang bermula dari daerah ini.

88 Mahdi Bahar, 2004. Fenomena Globalisasi dan Kebudayaan Melayu dalam Konteks Pendidikan Kesenian Tradisional. Bunga Rampai: Seni Tradisi Menantang Perubahan. STSI Padangpanjang Press.

89 Elizabeth E. Graves, 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX.

cxxvi

3.1. Minangkabau (Sebuah Nama)

Banyak sekali sumber yang menerangkan tentang istilah Minangkabausehingga sulit bagi kita untuk menentukan sumber mana yang layak diyakini. Beberapa sumber tersebut adalah tambo Minangkabau, sejarah, dan pendapat para ahli.

Amir MS (1997:138) menuliskan, bahwa dalam tambo Minangkabau kata Minangkabau berasal dari karena menang mengadu kerbau dengan orang yang datang dari Jawa90. Cerita ini telah diterima secara turun-temurun oleh orang Minangkabau. Keyakinan mereka diperkuat dengan perasaan etno-sentris tanpa mempedulikan kritik sejarah. Selanjutnya Amir MS menuliskan, untuk masa sekarang barangkali lebih sesuai jika cerita tambo tersebut dianggap sebagai hasil seni sastra kuno Minangkabau yang diterima sebagai pencerminan watak orang Minangkabau yang lebih menyukai penyelesaian persengketaan secara diplomasi dari pada secara fisik91

Asmaniar Idris dalam makalahnya untuk seminar nasional Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau pada tahun 1970 memaparkan beberapa pendapat tentang asal kata Minangkabau yang bersumber dari legenda maupun dari teori-teori

.

92

“Menurut legenda misalnya, Minangkabau berarti tanduk kerbau diberi minang, yaitu sejenis timah yang runcing, yang diletakkan di ujung tanduk kerbau. Ini dilakukan sewaktu kerbau sedang diadu dahulunya (demikian menurut cerita). Menurut Buya Hamka, kata Minangkabau berasal dari mainang kabau, yakni mengasuh atau menggembalakan kerbau. Orang Minangkabau memang suka :

90Amir MS, 1997. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Hal.138

91Ibid. hal. 138.

92Asmaniar Idris, 1970 makalah berjudulKerajaan Pagaruyung dalam buku kumpulan makalah berjudul Menelusuri Sejarah Minangkabau. 2002. halaman 50-51.

memelihara kerbau, bahkan kekayaan seseorang dilihat dari kerbau peliharaan mereka. Sedangkan menurut Prof. Purbacaraka, Minangkabau berasal dari Minangawamwan. Wamwan sama dengan tamwan dalam bahasa Jawa Kuno atau tamwan dalam bahasa jawa Kuno muda, atau temon dalam bahasa Jawa baru.

Maksudnya adalah “pertemuan dua buah sungai yang sama besarnya”, yaitu Kamparkanan dan Kamparkiri. Pertemuan kedua sungai ini dinamakan Minangakamwan, atau Minanga Kembar.

Inilah yang diucapkan oleh orang Sumatera Barat dengan Minangakamwan yang lama-kelamaan menjadi Minangkabau.

Sedangkan Van der Tuuk berpendapat bahwa perkataan itu berasal dari Pinang Khuboe yang berarti tanah asal. Ada juga yang menyebut asal Minangkabaudari dan nan ingka bahu. Demikian banyaknya asal kata Minangkabau sehingga susah bagi kita memilih mana yang paling benar dan layak dipercaya”.

Ilmu sejarah beserta analisisnya dianggap lebih rinci, lugas, rasional, dan logis dalam menjelaskan perihal kesejarahan yang berhubungan dengan waktu, tempat, tokoh, dan sebagainya dibanding dengan tambo yang bersifat mitos sehingga data sejarah relatif lebih mudah dicerna. Menurut mestika Zed (2002) pandangan ini setidak-tidaknya dianut oleh masyarakat ‘modern’: ditandai oleh spirit rasionalitas; hampir tidak ada wilayah kehidupan sosial yang tak tersentuh oleh teknologi, analisis, perencanaan, dan kontrol...kebanyakan masyarakat

‘modern’ melihat mitos tak lebih dari suatu kepercayaan yang keliru93

Tiap masyarakat atau kebudayaan menciptakan mitosnya sendiri. Bukan karena ia tidak sanggup membedakan mana yang benar dan mana yang salah, melainkan karena berfungsi untuk memelihara dan mempertahankan kebudayaan dari gangguan dan kerusakan. Greggor Sebba dalam Mestika Zed mengatakan, bahwa mitos berperan memelihara kesinambungan agar anggota masyarakat dapat

.

93 Dr. Mestika Zed, M.A.2002. Kata pengantar dalam buku MenelusuriSejarahMinangkabau. Hal. xxvii.

cxxviii

bertahan melawan kekalahan, frustrasi, ketidakpastian dan mitos pada gilirannya berfungsi melindungi institusi sosial dan proses-proses institusional94

Menyangkut hal tentang asal-usul keturunan, orang Minangkabau mempunyai mitos bahwa mereka adalah keturunan Iskandar Zulkarnain. Hal ini dituliskan oleh Asmaniar Idris (1970), bahwa menurut cerita turun-temurun, raja-raja Minangkabau berasal dari Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great) yang mempunyai tiga orang putra. Dari ketiga putra ini, Maharajo Alif menjadi Raja di Turki, Maharajo Japang menjadi Raja di Cina dan Maharajo Dirajo menjadi raja di Minangkabau. Beliau inilah yangg bernama Datuak Sri Maharajo Dirajo

.

95

Penulis berkesimpulan bahwa mitos yang ada dalam tambo Minangkabau ataupun dalam pikiran orang Minangkabau bukan untuk dituntut kebenaran faktualnya tetapi lebih kepada bagaimana pemikiran orang Minangkabau tersebut bisa dihayati, dimengerti, dan dimaknai seturut dengan fungsi mitos yang dikemukakan Sebba dalam Mestika Zed. Dengan demikian, pemaparan tentang

. Mengikut cara pandang tentang fungsi mitos, Mestika Zed menuliskan sebagai berikut:

...mitos genealogis orang Minangkabau, misalnya, yang mengatakan nenek moyang mereka berasal dari Iskandar Zulkarnaen dan turun dari puncak Gunung Merapi selagi (gunung tersebut, pen.) sebesar “telur itik”, tidak bisa serta merta dicap sebagai salah atau tidak benar. Mitos tidak untuk diukur dan dijelaskan dengan ukuran-ukuran kebenaran rasional manusia modern, melainkan untuk dimengerti dan dihayati maknanya.

Pertanyaannya bukan tentang apakah cerita tentang asal-usul nenek moyang Minangkabau itu benar secara faktual atau sebaliknya tidak masuk akal, melainkan mengapa nenek moyang mereka menciptakan mitos demikian.

94Ibid. hal. xxviii

95Op.cit.hal. 56

asal-usul kata Minangkabau juga harus kita pahami secara maknawi bukan secara faktual. Selanjutnya penulis akan meninjau pendapat berdasarkan kesejarahan tentang asal-usul nama Minangkabau.

Amir MS (1997:138) menegaskan, menurut sejarah, kedatangan orang Jawa pertama kali ke Sumatra ialah sekitar tahun 988, yaitu penyerangan dari Dharmawangsa. Tetapi, jauh sebelum kejadian itu, kira-kira tiga ratus tahun, nama Minang sudah diperkenalkan oleh sejarah dalam prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 68396

Amir MS (1997) mencoba merekonstruksi kejadian kata pinang dan khabu yang menurut Van der Tuuk kedua kata ini adalah asal dari kata Minangkabau.

Berikut adalah petikan rekonstruksi yang ditawarkan oleh Amir MS .

97:

a) pada waktu kedatangan pedagang-pedagang India dalam permulaan tarik Masehi untuk mencari emas antara lain ke daerah pedalaman sungai Kampar yang alirannya berasal dari pegunungan Emas, mereka menemui penduduk asli (orang Khabu atau Kubu) telah mendulang emas. Dalam persentuhan kebudayaan antara kedua bangsa, putra-putri India itu datang kepada kepala suku Kubu dengan membawa semacam candydate (bejana kencan) yang berisi pinang, sirih, dan lain-lain sebagai tanda bahwa mereka menginginkan puteri Kubu sebagai istri.

b) Cara mereka menyampaikan keinginan dengan membawa pinang itu lambat laun disebut me-minang dan candydate itu disebut oleh penduduk asli carano artinya caranya meminang.

c) orang-orang Kubu yang kini disebut suku terasing adalah sisa-sisa dari penduduk asli Minangkabau, mereka kini ditemui hidup di hutan-hutan Sumatera Barat bagian Tenggara, bermasyarakat menurut keibuan (matrilineal system) dan memanggil orang Minangkabau sebagai sanak artinya saudara sepersukuan.

96Op. cit . hal. 138.

97Ibid. hal. 139

cxxx

3.2. Daerah Minangkabau

Daerah Minangkabau adalah daerah yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Propinsi Sumatera Barat Republik Indonesia. Tidak semua daerah yang ada dalam Propinsi Sumatera Barat disebut sebagai daerah Minangkabau contohnya, Mentawai dan Pagai yang memiliki kebudayaan yang khusus sekali dan ciri yang berbeda dengan ciri umum kebudayaan Minangkabau (Martamin dan Rizaldi, 1984: 18)98

Wilayah Minangkabau Lama jauh lebih luas dari daerah Propinsi Sumatera Barat yang sekarang. Dahulu wilayah Minangkabau meliputi wilayah Riau daratan, Sumatera Barat sekarang, dan daerah perbatasan antara Sumatera Barat dan Jambi. Ketiga daerah tersebut dulunya merupakan satu kesatuan wilayah.

Terdapat beberapa kesamaan karawitan di antara tiga wilayah tersebut (Martamin dan Rizaldi, 1984: 18)

98Martamin dan Rizaldi. 1983, Harmoni dalam Karawitan Minangkabau. Hal. 18.

99Ibid.hal. 13.

100 Kamardi Rais Dt. Simulie dan M Rasyid Manggis Dt. Rajo Panghulu (1970) dalam makalah berjudul Ikhtisar Sejarah Minangkabau. Makalah ini ditulis atas nama LKAAM Sumatera Barat dan diterbitkan bersama makalah lainnya dalam buku MenelusuriSejarah Minangkabau (2002).

menuliskan, bahwa penduduk asli Minangkabau berasal dari bangsa Wedda yang datang di Minangkabau setidak-tidaknya 2500 tahun Sebelum Masehi (SM), sebagai lanjutan pengembaraan suatu bangsa yang datang dari Asia Tenggara yang sekitar 600 tahun SM sampai di India Belakang.

Selanjutnya dikatakan bahwa kedatangan rombongan dari India Muka dipimpin oleh Maharajo Dirajo (Zuriyat Iskandar Zulkarnain) yang berlayar dari daerah Indus (Tanah Basa), sezaman dengan Maharajo Alih dan Maharajo Dipang yang

diperkirakan beberapa abad sebelum Masehi. Disebutkan bahwa daerah yang mula-mula ditempati oleh rombongan Maharajo Dirajo ialah Labuan di Tambago, kemudian menurun ke Guguakampang, selanjutnya tempat itu masyhur dengan nama Guguakaceh.

Sehubungan dengan nagari pertama di Minangkabau Kamardi Rais (1970) dalam tulisan yang sama menjelaskan, bahwa karena rakyat semakin berkembang maka dibuatlah Nagari Pariangan kemudian disusul dengan Nagari Padangpanjang. Kedua nagari ini disebut senyawa sebagai Pariangan Padangpanjang. Inilah nagari pertama yang lazim disebut oleh orang Minangkabau sebagai nagari tuo.

Berdasarkan adat, daerah Minangkabau terdiri dari dua bahagian besar, yaitu daerah Luhak Nan Tigo dan Rantau. Kedua daerah ini merupakan daerah inti Minangkabau yang kerap disebut Alam Minangkabau. Luhak Nan Tigo terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota (Martamin dan Rizaldi, 1984: 19)101

Selain di daerah dataran tinggi terdapat pula nagari-nagari Minangkabau yang berada di daeah pantai. Menurut Elizabeth E. Graves (2007:8) Secara geografis nagari-nagari di daerah pantai ini termasuk ke dalam Alam Minangkabau, akan tetapi kebudayaannya tidak sepenuhnya bercorak Minangkabau “asli” dengan komposisi penduduk bercampur baur. Sebagai daerah

. Pendapat diatas diperkuat oleh Asmaniar Idris (1970), bahwa ketiga Luhak ini merupakan daerah asli atau daerah asal yang disebut pangkal tanah atau darek.

101Op. cit .Hal. 19.

cxxxii

pelabuhan, nagari-nagari di pantai ini tidak hanya mendapat pengaruh dari pedalaman Minangkabau tetapi juga dari India.

Orang Minangkabau sangat mengangungkan asal-usul mereka dari dataran tinggi pedalaman Darek. Kawasan Minangkabau yang berupa pantai dan pelabuhan di pantai barat meliputi daerah Padang, Painan, dan Pariaman.

Elizabeth E. Graves (2007:9) menuliskan, penduduk ketiga daerah ini jarang menganggap diri mereka penduduk asli setempat. Mereka selalu mengaitkan asal-usul mereka dengan salah satu daerah-daerah di dataran tinggi pedalaman Darek.

Daerah-daerah di sekeliling Darek disebut rantau. Rantau muncul sebagai akibat bertambahnya jumlah penduduk di Darekditambah lagi dengan pola kehidupan merantau sudah menjadi tradisi adat Minangkabau. Orang-rang dari darek mendirikan perkampungan baru di daerah rantau. Orang-orang rantau tetap patuh pada aturan adat yang berlaku di negeri asal mereka, Darek. Adat yang berlaku di Darek atau Luhak berlaku pula di daerah rantau.

Asmaniar Idris (1970) mengemukakan, menurut tambo, daerah rantau itu jumlahnya tak kurang dari 9 buah102

a) Kuantan (Indragiri);

, yaitu:

b) Siak Sri Indrapura;

c) Rao (Mandahiling);

d) Natal (Aiebangih);

e) Tiku (Agam);

f) Ranah Sungai Pagu (Alahanpanjang);

102 Asamaniar Idris, 1970. Makalah berjudul Kerajaan Pagaruyuang. Dimuat dalam buku Menelususri Sejarah Minangkabau, 2002. Halaman 52-53.

g) Tapan (Indrapura), dan;

h) Jambi Sembilan Lurah.

Pendapat lain yang juga berasal dari Asmaniar Idris (1970) mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan Minangkabau ialah suatu daerah di tengah-tengah pulau Perca meliputi Keresidenan Sumatera Barat, Kuantan, Kamparkiri menurut batas-batas tertentu yakni sampai “ka Sikalang Aie Bangih, Taratak Aie Hitam, ka Sialang Balantak Basi”, sampai ke “Sipisak Pisau Anyuik, Durian Ditakuak Rajo, ka Gunuang Patah Sambilan jo ka Lauik nan Sadidiah”

Selanjutnya Asmaniar Idris memaparkan batas-batas wilayah Minangkabau yang didasarkan atas Tambo Alam Minangkabau sebagai berikut:

...”ke selatan batasnya sampai ke riak nan berdebur (negeri Bandar Sepuluh, atau di selatan Kerinci sekarang), ke timur sampai ke durian ditakuak rajo (batas Indragiri dengan Sumatera Barat sekarang) sampai ke muaro tangkuang mudiak (Alahan Panjang) sekeliling gunung Merapi, selingkung Gunung Singgalang, seedaran Gunung Pasaman sampai ke taratak aie hitam”. Dalam hal ini saya lebih condong kepada batas-batas seperti yang dikemukakan oleh P.E. de Jasseling bahwa Minangkabau adalah suatu daerah yang berbatas dengan daerah Lubuak sikapiang dan Rao di sebelah utara, sepanjang pantai timur dan utara, ke selatan berbatas dengan daerah-daerah sungai Rokan, Tapuang, Siak, Kampar, Kuantan atau Indragiri dan Batanghari dan serta Kerinci di sebelah selatan”.

Menurut pendapat P.E. de Jaslin dan Joustra dalam Asmaniar Idris (1970) bahwa Minangkabau itu terdiri dari dua daerah. Pertama, Minangkabau asli (Minangkabau Praper atau de Pandangsche Bovenlanden) yang oleh orang Minangkabau sendiri menyebutnya sebagai darek. Kedua, Rantau. Daerah Minangkabau asli dan rantau inilah yang disebut sebagai Alam Minangkabau.

cxxxiv

Sekarang umumnya orang menganggap Minangkabau identik dengan Sumatera Barat dan daerah itu pulalah yang dimaksud dengan istilah Alam Minangkabau.

3.3. Adat Minangkabau

Bagi orang Minangkabau adat adalah peraturan hidup sehari-hari. Jika hidup tanpa aturan bagi orang Minangkabau namanya “tak beradat”. Jadi aturan adalah adat. Adat itulah yang menjadi pakaian sehari-hari (Amir MS, 1997:14).103

Bagi orang Minang, duduk dan tegak beradat. Berbicara beradat. Berjalan beradat. Makan minum beradat. Bertamu baradat. Bahkan menguap dan batukpun bagi orang Minang beradat. Adat yang semacam ini disebut dengan adat sopan santun. Masih banyak aturan-atuan lain yang terdapat dalam adat Minangkabau yang mengatur hal-hal yang mendasar.104

Artinya: kalau ingin bertanya kepada seseorang yang baru datang ke tempat kita, apa maksud kedatangannya, maka adat mengajarkan supaya kita harus bersabar, sampai yang bersangkutan hilang lelahnya selama perjalanan. Kalau yang datang

Amir MS mengemukakan sebuah contoh sikap beradat, misalnya;

Batanyo lapeh orak, Barundiang sudah makan (bertanya lepas lelah, Berunding sesudah makan)

103 Amir MS, 1997. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Hal. 14.

104 Amir MS. Ibid. hal.14

sudah tenang, barulah kita mengajukan pertanyaan, untuk memuaskan rasa ingin tahun kita.105

I. NAGARI NAN AMPEK: 1. Pertama Banjar

Menurut Filsuf Adat Minangkabau DATUK PANDUKO ALAM – Koto nan Ampek – Payakumbuh dalam Amir MS (1997:20), yang disebut dengan adat nan ampek adalah:

2. Kedua Taratak 3. Ketiga Koto 4. Keempat Nagari II. ADAT NAN AMPEK: 1. Adat nan sabana Adat

2. Adat nan diadatkan 3. Adat nan teradat 4. adat Istiadat III. HUKUM NAN AMPEK: 1. Hukum Bajinah

2. Hukum Qarinah 3. Hukum Ijtihad 4. Hukum Ilimu

IV. UNADANG NAN AMPEK: 1. Undang-Undang Luhak Rantau 2. Undang-Undang Pembentukan Nagari

3. Undang-Undang dalam Nagari 4. Undang-Undang Nan 20

105 Amir MS. Ibid. hal.14

cxxxvi

5.3.1. Bunyi-Bunyian dalam Konteks Adat Minangkabau

Setiap buni-bunian dalam konteks adat Minangkabau mendapat perlindungan dari undang. undang tersebut bernama Undang-Undang Nan 9 Pucuak. Berdasarkan wawancara dengan bapak Hajizar, menurut beliau, terdapat penjelasan tentang konsep dan konteks buni-bunian dalam adat Minangkabau.

Konsep buni-bunian (bunyi-bunyian) dalam Undang-undang Nan Sambilan Pucuak adalah semua bentuk bunyi yang musikal, baik bunyi itu fungsional sebagai media legitimasi peresmian, seperti aguang (gong), maupun bunyi itu fungsional sebagai media pemberitahuan, seperti canang, tongtong, dan pupuik tanduak, ataupun bunyi yang bersifat ensambel yang tersaji dalam bentuk komposisi musik adalah fungsional sebagai penyemarak alek106

Bunyi canang yang dipukul hilir-mudik dalam kampung oleh seseorang adalah fungsional sebagai media pemberitahuan untuk bergotong royong jalan pada saat akan masuk bulan ramadhan, atau bergotong-royong tali bandar air ke yang bernilai hiburan untuk semua konteks upacara adat atau agama sesuai dengan situasi-kondisi nagari masing-masing.

Bunyi aguang (gong) pada konteks upacara Batagak Pangulu menjadi sesuatu bunyi yang sakral yang fungsional sebagai media legitimasi peresmian seorang penghulu; artinya sempurnalah kebesaran gelar yang disandang seseorang sebagai penghulu dalam suatu nagari setelah berkumandang paluan bunyi aguang di tengah pesta perayaan adat pengangkatan penghulu tersebut.

106 Kenduri; pesta.

sawah pada saat akan masuk musim ke sawah setelah melakukan permainan baalang-alang107

107 Layang-layang

di musim kemarau.

Bunyi tong-tong di surau adalah fungsional sebagai media pemberitahuan untuk telah masuknya waktu shalat, atau sebagai media pemberitahuan untuk acara wirid pengajian di surau tersebut. Sedangkan bunyi tong-tong di pondok atau dangau ladang pada lereng-lereng bukit adalah fungsional sebagai media pemberitahuan untuk masuknya waktu makan tengah hari (siang), atau masuknya waktu minum kopi (minum kawa) di sore hari pada konteks kerja pertanian di ladang tersebut.

Bunyi Pupuik Tanduak di surau adalah fungsional sebagai media pemberitahuan untuk masuknya waktu sahur pada bulan ramadhan. Bunyi

‘komposisi musik tradisional’ yang bersifat ensambel, seperti talempong pacik, talempong unggan, gandang tambua, saluang-dendang, Sijobang, rabab dan sebagainya adalah fungsional sebagai penyemarak alek untuk semua konteks upacara adat atau agama sesuai dengan keadaan nagari masing-masing. Semuanya ini mendapat perlindungan dari para pimpinan adat.

Melalui Undang-Undang Nan Sambilan Pucuak para penguasa adat Minangkabau meletakkan posisi musik tradisional pada tempat yang pantas, dan mengandung peringatan kepada masyarakat untuk tidak meremehkan kehadiran musik itu dalam konteks upacara atau acara yang sedang disemangati kegembiraannya oleh penyajian musik tersebut.

cxxxviii

Semuanya ini bukan didasarkan atas konvensi kesepakatan masyarakat, karena sudah berlaku umum sebagai bagian adat istiadat di seluruh Minangkabau.

Dalam konteks ini, pengertian ‘bunyi’ bukanlah sekedar pelengkap penderita mengisi kehidupan, tetapi kehidupan – baik individual atau kelompok sosial – membutuhkan penetrasi psikologis mereka yang dikandung oleh bunyi-bunyian yang musikal itu. Dalam hal ini, penguasa adat mempunyai kepentingan untuk

Dalam konteks ini, pengertian ‘bunyi’ bukanlah sekedar pelengkap penderita mengisi kehidupan, tetapi kehidupan – baik individual atau kelompok sosial – membutuhkan penetrasi psikologis mereka yang dikandung oleh bunyi-bunyian yang musikal itu. Dalam hal ini, penguasa adat mempunyai kepentingan untuk