• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KARAWITAN MINANGKABAU DAN JURUSAN KARAWITAN

3.4 Jenis-Jenis Karawitan Minangkabau

3.4.1 Salueng

3.4.1.4 Salueng Paueh

Paueh merupakan nama sebuah nagari di Kota Padang. Nama Paueh dipakai untuk menamai alat musik atau sebuah kesenian salueng.

Salueng Paueh tumbuh dan berkembang di Nagari Paueh, Kecamatan Lubuk Begalug, Kota Padang. Dari Nagari Paueh itu Salueng Paueh berkembang ke daerah sekitarnya seperti Kecamatan Lubuk Bagalung dan Kecamatan Koto Tangah, Kota padang.

Martamin mencatat, bahwa perbedaan dua salueng terakhir (Salueng Sungai Pagu dan Salueng Paueh) dengan kedua salueng sebelumnya (Salueng Darek dan Salueng Sirompak ) terletak pada teknik pembuatan, bunyi yang dihasilkan, wilayah perkembangan, dan lagu-lagu yang dimainkannya.

Penulis menyimpulkan bahwa Salueng Darek berasal dari dan berkembang di daerah inti Minangkabau yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Sedangkan, Salueng Sirompak juga berasal dari Darek tetapi khusus tumbuh dan berkembang di daerah Taeh-Simalanggang yang termasuk ke dalam Luhak Lima Puluh Kota.

Martamin menyimpulkan persamaan dan perbedaan keempat salueng yang ada di Minangkabau. Persamaan terletak pada bahan pembuatan dan bentuknya, sedangkan perbedaan terletak pada ukuran, tangga nada, bunyi yang dihasilkan, teknik memainkan dan barangkali juga fungsinya di tengah-tengah masyarakat125

Selanjutnya mengenai alat penghasil bunyi, ukuran panjang dan diameter salueng disimpulkan oleh Martamin sebagai berikut: Salueng termasuk jenis alat .

125Ibid. Hal. 33

musik tiup yang tidak memakai lidah. Pada umumnya ukuran panjang salueng berkisar antara 50-75 cm. garis tengah lobang di ujung-pangkal salueng berkisar antara 2-3 cm. Makin besar rongga talang yang dijadikan salueng semakin sulit pula untuk membunyikannya126

Berdasarkan fungsi salueng dalam masyarakat Minangkabau, Martamin menuliskan bahwa salueng berfungsi sebagai pengiring dendang biasa maupun dendang kaba

.

127

5.4.2. Rabab

. Dendang biasa lebih kerap diringi oleh salueng. namun salueng juga dapat ditampilkan sendirian tanpa dendang.

Rabab merupakan alat musik gesek. Martamin (1983) menuliskan, bahwa rabab di Minangkabau terdiri dari tiga jenis, yaitu Rabab Darek, Rabab Pariaman, dan Rabab Pesisir.

Alat musik rabab, berdasarkan sumber bunyinya, diklasifikasikan sebagai alat musik chordophone128(chordo berarti dawai atau tali, sedangkan phone berarti bunyi). Berdasarkan sumber bunyi tersebut Erizal (2000:29) mengatakan dalam tulisannya, bahwa alat musik chordophone Minangkabau terdiri dari Rabab Pariaman, Rabab Pesisir, Rabab Darek, Rabab Tanjung Beringin, Kecapi, dan Talempong Sambilu yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota129

126Ibid. Hal. 34

127Sejenis cerita rakyat yang disampaikan melalui dendang (nyanyian)

128 Chordophone – Kordofon. Alat musik berdawai (bersenar). Menilik cara membunyikannya, kordofon terbagi atas dawai gesek(senar gesek: biola); dawai petik(senar petik: gitar); dawai pukul (senar pukul: piano). Pono Banoe, 2003. Kamus Musik.

129Erizal, 2000. Instrumen Musik Chordophone Minangkabau. Hal. 29.

.

cl

Beberapa alat musik kordofon Minangkabau yang dikemukakan Erizal dapat kita bagi lagi berdasarkan tipe dasarnya. Menurut Ruth Migley, alat musik kordofon mempunyai lima tipe dasar yaitu: (1) bow, (2) Lyre, (3) Harp, (4) Lute, dan (5) Zithers130. Dari lime tipe dasar alat musik kordofon di atas, menurut Erizal, maka dapat diklasifikasikan alat musik rabab Minangkabau yang termasuk kelompok bowed lute131adalah Rabab Pesisir, dan yang termasuk jenis folk fiddle132adalah Rabab Periaman, Rabab Darek, dan Rabab Tanjung Beringin133

5.4.2.1. Rabab Darek

.

Rabab Darek, pada mulanya, tumbuh dan berkembang di daerah inti Minangkabau. Itulah sebabnya diberikan nama Rabab Darek, karena daerah inti orang Minangkabau juga disebut sebagai daerah Darek, terutama oleh orang dari pesisir Sumatera Barat.

Badan (rongga resonansi) Rabab Darek terbuat dari kayu yang dilobangi seperti bentuk tempurung kelapa. Kayu yang digunakan biasanya kayu nangka yang bersifat keras tetapi mudah dibentuk. Garis tengah rongga rabab berukuran kira-kira 24 cm. Kulit kayu yang menganga sesudah dilobangi dengan pahat, ditutup dengan kulit perut kerbau yang diperkuat dengan perekat kulit. Tempelan

130 Rugh Migley, Musical Instrument of the World. Hal. 164

131Lute – alat musik petik yang banyak dipergunakan antara abad ke-15-18, berbadan cembung dengan leher berpapan nada mirip gitar (frets) berdawai 5 ganda dan 1 tunggal.

Termasuk keluarga lute antara lain: gambus, mandolin. Istilah lain luth, luit, alud, laute, laud.

Sumber: Pono Banoe, 2003. Kamus Musik.

132Folk fiddlebentuk dasarnya ada dua macam yaitu: a) spike fiddle long neck (rebab bulir dengan leher panjang), b) short neck fiddle(rebab bulir dengan leher pendek). Rebab bulir biasa ditemui di Timur Tengah, Asia, dan Afrika Utara, dan jarang ditemui di tempat lain. Rebab rakyat dengan leher panjang paling banyak ditemui di Eropah. (Ruth Migley, tth: 202)

133 Erizal opcit. Hal.9

kulit perut kerbau itu diperkuat lagi dengan paku payung yang sekali gus berfungsi sebagai hiasan atau ukiran rabab.

Leher rabab terbuat dari talang. Antara leher dan badan rabab dihubungkan dengan tangkai yang terbuat dari kayu. Kepala rabab yang berukir diletakkan di ujung leher. Alat pemutar tali, sebanyak dua buah sesuai dengan jumlah tali, terdapat di kepala rabab.

Ukuran Rabab Darek juga tidak mutlak atau absolut. Garis tengah badan rabab pada umumnya sepanjang 24 cm, tetapi tentu ada yang kurang atau lebih.

Ukuran tangkai dan leher kira-kira sepanjang satu setengah garis tengah badan rabab, yaitu kira-kira 36 cm. Panjang tangkai 12 cm dan leher 24 cm.

Tali Rabab Darek hanya dua buah, berukuran besar dan kecil. Tali terbuat dari tali atau benang bola kadang-kadang terbuat dari tali rami. Tali yang kecil terdiri dari 4 lembar benang yang dipintal jadi satu sedangkan tali yang besar terdiri dari lima lembar benang yang juga dipintal menjadi satu.

Tangkai penggesek terbuat dari kayu yang dibengkokkan dan tali penggeseknya terbuat dari ekor kuda atau, sekarang, dipakai juga benang nilon halus. Untuk memperhalus dan menyaringkan bunyi dipakai minyak tanah denga cara mengoleskannya pada tali penggesek. Jika bunyi yang dihasilkan masih lembab maka kulit kerbau diolesi dengan sedikit air.

Nada-nada yang dihasilkan dari Rabab Darek hampir sama dengan nada-nada Salueng Darek, yaitu do-re-mi-fa-sol.

clii

5.4.2.2. Rabab Pariaman

Orang Pariaman sendiri menyebut nama rababnya dengan sebutan Rabab Piaman. Kata piaman adalah sebutan pengganti untuk kata Pariaman.

Bentuk Rabab Pariaman, secara keseluruhan, hampir sama dengan bentuk Rabab Darek. Walau pun bentuknya hampir sama, tetapi terdapat pula perbedaan yang sangat prinsipal.

Badan Rabab Pariaman terbuat dari tempurung kalapa yang sesuai besarnya, dalam arti tidak terlalu kecil atau terlalu besar. Asalkan rongga tempurung sudah dapat menghasilkan bunyi yang diharapkan oleh sipembuat maka itu sudah dianggap cukup.

Tangkai, leher, dan kepala Rabab Pariaman sama dengan Rabab Darek, perbedaan hanya terletak pada ukuran saja. Rabab Pariaman umumnya berukuran lebih kecil dari pada Rabab Darek.

Tali Rabab Pariaman berjumlah tiga buah, yaitu yang dinamakan tali satu, tali dua, dan tali tiga atau juga disebut dengan nama tali kecil, tali menengah, dan tali besar.

Jika badan rabab menghadap kita, tali kecil terletak di sebelah kanan, tetapi waktu memainkannya, badan rabab menghadap ke sebelah luar (membelakangi pemainnya) dan pada waktu itu tali kecil terletak di sebelah kiri, tali besar di kanan, dan tali menengah di tengah.

Tali terbuat dari benang cap rantai nomor 8. Tali kecil terbuat dari tiga helai benang, tali menengah terbuat dari empat helai benang, dan tali besar terbuat dari lima helai benang yang dipintal menjadi satu dengan tidak terlalu kuat.

Karena talinya berjumlah tiga buah, maka alat pemutar tali yang juga berfungsi sebagai penstem nada berjumlah tiga buah pula. Alat penstem terletak di kepala rabab, sama seperti Rabab Darek.

Tangkai penggesek rabab terbuat dari kayu yang dibengkokkan ujungnya atau dari bambu yang mudah dibengkokkan ujungnnya. Tali penggesek terbuat dari ekor kuda atau benang nilon halus. Agar bunyi nada lebih nyaring, maka tali penggesek diolesi dengan minyak tanah.

Rongga badan Rabab Pariaman yang terbuka ditutupi dengan selaput tipis.

Selaput tipis tersebut biasanya berasal dari kulit jantung kerbau yang sudah dikeringkan.

Ukuran Rabab Pariaman sangat ditentukan oleh besar tempurung kelapanya, karena ukuran panjang tangkai dan lehernya adalah sepanjang dua kali ukuran garis tengah permukaan rongga tempurung. Sedangkan ukuran badan dibuat sepadan dengan ukuran badan + tangkai + leher digabung menjadi satu.

Umumnya kepala rabab sama panjang ukurannya dengan garis tengah badan rabab. Pada sisi bagian belakang tempurung, persis di tengah-tengah, dibuatkan sebuah lobang sebesar jari kelingking yang berfungsi sebagai rongga resonansi.

Bunyi yang dihasilkan dari Rabab Pariaman lebih kaya dibandingkan dengan Rabab Darek. Dengan jumlah tali sebanyak tiga buah, maka Rabab Pariaman memiliki nada dan warna nada yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan Rabab Darek.

cliv

5.4.2.3. Rabab Pesisir

Rabab Pesisir tumbuh dan berkembang di daerah Pesisir Selatan Sumatera Barat. Berbeda dengan Rabab Darek dan Rabab Pariaman yang bodinya mirip bola, Rabab Pesisir mirip dengan violin atau biola dengan empat tali yang terbuat dari dawai (kawat halus).

Violin atau biola konvensional kerap dijadikan sebagai Rabab Pesisir. Ada juga Rabab Pesisir yang dibuat secara tradisional dan sekarang lazim digunakan.

Rabab tersebut berbahan dasar kayu nangka. Bentuk dasar violin tetap dipertahankan.

Senar Rabab Pesisir yang terbuat dari dawai menghasilkan bunyi yang jauh lebih kaya dibanding Rabab Darek dan Rabab Pariaman. Jenis lagu yang dapat dimainkan dengan Rabab Pesisir lebih bervariasi dan dapat menjangkau nada-nada sampai beberapa oktaf.

5.4.3. Talempong

Berdasarkan bahan dasar pembuatannya talempong dapat di bagi atas tiga jenis, yaitu: (1) Talempong Kayu, (2) Talempong Bambu, dan (3) Talempong Tembaga atau Perunggu. Talempong Kayu dan Talempong Bambu sudah tinggal nama saja, karena tidak terlihat lagi pada daerah yang disurvei, kecuali pada beberapa daerah yang kelihatannya sudah dibuat dalam masa sekarang ini, misalnya di Kecamatan harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Sekarang telempong yang paling umum digunakan adalah Talempong Tembaga/Perunggu. Dapat

dikatakan, bahwa Talempong Tembaga/Perunggu inilah yang berkembang di daerah Sumatera Barat bahkan berkembang jauh ke luar Sumatera Barat.

Penamaan jenis talempong tersebut hanya semata-mata karena bahan pembuatannya saja. Talempong Kayu terbuat dari kayu, Talempong Bambu terbuat dari bambu, dan Talempong Tembaga terbuat dari tembaga atau perunggu.

Bahan pembuatan Talempong Perunggu tidak hanya semata-mata dari tembaga, tetapi campuran antara tembaga dengan timah putih. Makin murni tembaga dan timah putih yang dicampurkan semakin baik kualitas talempongnya.

Ada juga orang yang meancampurkan tembaga dengan besi atau seng, tetapi mutu talempongnya kurang baik. Kurang baik dalam arti tidak dapat menyimpan nada dalam waktu yang lama atau mudah berubah nadanya. Talempong yang berkualitas baik mampu menyimpan nada yang sudah distem labih dari satu tahun.

Talempong yang berkualitas rendah hanya mampu menyimpan nada antara 15 – 30 hari saja.

Berdasarkan cara memainkannya, talempong dapat pula dibagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) Talampong Duduek, dan (2) Talempong Pacik. Dinamakan Talempong Duduek, karena waktu memainkannya posisi si pemain dalam keadaan duduek (duduk). Talempong yang dimainkan diletakkkan pada sebuah tempat khusus yang dinamakan sanggaran.Sanggaran talempong ini bermacam-macam bentuk dan ukurannya. Sanggaran berfungsi sebagai tempat meletakkan talempong waktu dimainkan. Sanggarandibuat sedemikian rupa sehingga kualitas bunyi talempong tidak terpengaruh oleh sentuhan sanggaran tersebut. Talempong

clvi

yang dimainkan berjumlah lima atau enam buah dan dimainkan oleh satu atau dua orang.

Dinamakan Talempong Pacik karena waktu memainkannya talempong itu dipegang dengan tangan kiri dan dipukul dengan tangan kanan sambil berdiri atau berjalan atau pun sambil duduk. Pacik adalah istilah daerah yang artinya pegang (memegang).

Talempong Pacik terdiri dari lima atau enam buah dan dimainkan oleh tiga atau empat orang. Jika dimainkan oleh tiga orang, maka masing-masing memegang dua buah talempong dan kalau dimainkan oleh empat orang, yang dua orang masing-masing memegang dua buah sedangkan yang dua orang lainnya masing-masing memegang sebuah talempong.

Talempong dapat pula dinamakan berdasarkan daerah tempat tumbuh dan berkembangnya. Misalnya, Talempong Unggan tumbuh dan berkembang di daerah Ungggan, kabupaten Sawah Lunto Sijunjung. Selanjutnya Talempong Unggan berkembang ke daerah sekitarnya. Demikian juga, Talempong Padang Magek, Talempong Koto Anau, Talempong Bukik, Talempong Barueh, Talempong Talang Maur, Talempong Agam, Talempong Mungka, dan sebagainya. Nama di belakang kata talempong itu menunjukkan nama daerah dari mana talempong itu berasal. Berdasarkan keadaan demikian, maka di Minangkabau banyak sekali terdapat macam (varian) talempong itu. Setiap perbedaan nama, berarti sekaligus menunjukkan perbedaan nada yang dimilikinya.

Nada-nada yang dihasilkan talempong, sama halnya dengan Karawitan Minangkabau lainnya seperti salueng, rabab, dan lain-lain, tidak mempunyai ukuran yang mutlak (standard) seperti ukuran nada-nada musik modern. Oleh karena itu, nada talempong sudah pasti tidak mungkin diukur dengan ukuran nada musik modern seperti do-re-mi-fa-so-la-si-do’, karena ukuran frekuensi nada tersebut sudah jelas. Walaupun nada talempong itu kedengarannya sama dengan salah satu nada diatonis itu, tetapi frekuensinya pasti tidak sama.

Ukuran nada talempong yang khusus memang belum ada, oleh karena itu orang lebih cenderung mengukurnya dengan sistem solmisasi itu. Sistem nada diatonis itu sudah diketahui dengan baik. Celakanya, cara pengukurannya hanya dengan telinga telanjang saja, sehingga nada non-diatonis itu akhirnya sama saja dengan nada diatonis.

Jika hal yang demikian dilakukan secara terus menerus, berarti kita dengan sengaja ikut memusnahkan nada talempong yang sesungguhnya, walaupun kita tidak menyadari kegiatan yang kita lakukan itu akan ikut memusnahkannya secara berangsur-angsur.

Cara melaras (menstem) talempong seperti yang dilakukan oleh pemain talempong di desa-desa dengan cara mendengarkan bunyi pukulan talempong berulang-ulang sampai dianggap sudah cocok atau tidak lagi sumbang dalam pendengarannya. Dengan demikian hampir semua nada yang dihasilkan talempong di desa-desa tidak ada yang sama. Kalaupun terdapat kesamaan itu pun secara kebetulan saja atau orang yang melarasnya berasal dari rumpun perguruan yang sama.

clviii

Namun, karena belum adanya sistem pengukuran nada talempong itu atau sekurang-kurangnya belum dilakukan pengukurannya, maka terpaksa juga meminjam sistem solmisasi (diatonis) untuk menentukan nada yang dihasilkan talempong itu, yaitu nada yang dianggap paling mendekatinya.

Berdasarkan cara yang demikian dapat dikatakan bahwa pada umumnya tangga nada yang dihasilkan talempong terdiri dari tiga macam yang mendekati nada:

a) Sol-la-do-re-mi b) Do-re-mi-fa-sol c) Do-re-mi-fa-sol-la

Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa nada yang tiga macam itu hanya mendekati saja dari yang disebutkan, tetapi sebenarnya tidak persis sama seperti itu, karena frekuensi dan jaarak nadanya pasti tidak sama.

Berdasarkan bunyi nada seperti itu terdapat beberapa variasi susunan nadanya waktu dimainkan oleh masing-masing daerah seperti berikut:

Variasi pada Talempong Duduek:

a) La-re-do-So-mi b) La-re-mi-do-So-so c) Re-fa-mi-do-so d) Re-fa-so-mi-do-la

Variasi pada Talempong Pacik:

a) La-re; So-so; do-mi b) La-re; do-mi; So; so

c) Re-fa; do-mi; so d) Re-fe; mi-so; do-la e) Re-fa; do-mi; so-la f) Re-fa; mi-so; do-la g) Re-fa; do-mi; so; la

Banyak lagi susunan nada itu sesuai dengan lagu yang dimainkan dan kebiasaan setempat. Dengan demikian banyak sekali terdapat susunan nada yang dimainkan pada talempong tersebut, karena tidak ada standard tertentu. Hal yang demikian seyogyanya dipelihara dan dikembangkan, karena di sanalah terletak salah satu kekayaan seni Minangkabau itu. Nada talempong, seperti halnya dengan nada karawitan lainnya, tidak memerlukan standardisasi nada, karena usaha ini akan mematikan sebahagian besar nada talempong yang sudah ada.

Susunan nada seperti yang dituliskan di atas itu jika dibunyikan dan didengarkan oleh orang dari daerah asal talempong itu pasti akan dikatakannya sumbang, karena tidak cocok lagi dengan pendengaran mereka.

Talempong termasuk jenis alat musik pukul. Sewaktu memainkannya selalu diikuti oleh bunyi pukulan gendang, kadang-kadang diikuti oleh bunyi tiupan sarunai atau puput batang padi yang dibesarkan diujungnya dengan lilitan batang padi.

Sekarang ada pula nada talempong yang diatur sedemikian rupa, sehingga seluruhnya memakai nada diatonis seperti Susunan eksperimen ASKI Padangpanjang dan Susunan talempong sanggar Syofiani.

clx

3.5. Konsep Penggarapan Komposisi Musik (Peran Pekan Komponis dan Festival IKI)

Aktifitas kesenian sebuah kelompok masyarakat sangat berkaitan erat dengan aktifitas atau hal-hal lain yang sudah tumbuh dan melekat dari waktu ke waktu dalam masyarakat tersebut. Pembahasan seni pertunjukan tidak dapat terbatas pada permasalahan disekitar gaya dan teknik keseniannya saja, melainkan juga harus menyentuh masalah-masalah yang terkait dengan nilai-nilai dan konsepsi-konsepsi budaya yang melingkupinnya (PaEni, 2009:1). Selanjutnya PaEni mengemukakan bahwa musik, cabang kesenian yang menggunakan media suara merupakan bentuk ungkapan perasaan dan nilai kejiwaan manusia yang dianggap paling tua dan telah ada bersamaan dengan lahirnya (peradaban) manusia di bumi (2009:4). Dengan demikian, memahami musik dari sebuah masyarakat berarti memahami nilai-nilai kehidupan yang telah ada dalam masyarakat tesebut sejak (peradaban) masyarakat itu ada.

Salah satu unsur dasar ekspresi dalam musik karawitan adalah kevariatifan mikro yang berakar pada interaksi semua pemain sambil bermain (Mack, 2004:506)134

134Dieter Mack, 2004. Sejarah Musik. Jilid 4.

. Interaksi seperti ini telah dimulai sejak awal pembuatan (making) musik di mana seorang komposer yang telah memiliki ide dasar untuk komposisi musiknya dapat saja meminta pendapat atau sumbangan saran kepada pemain musik agar komposisi musik tersebut berkembang baik dari segi teknis maupun struktur.

Hajizar (2014), dalam wawancara dengan penulis, mengungkapkan, bahwa idealnya membuat sebuah komposisi musik itu harus dikerjakan oleh satu orang, namun yang umum terjadi di jurusan Karawitan adalah terlibatnya pemain musik dalam pembuatan dan pengembangan sebuah komposisi musik di bawah pengawasan (kendali) dari komposer yang bersangkutan. Berikut petikan wawancara dengan Hajizar:

Pada masa-masa awal ASKI (program sarjana muda) belum ada mata kuliah khusus komposisi musik. Kegiatan praktik musik masih berkutat di seputar musik iringan tari-tari karya Huriah Adam. Ketika ASKI beralih ke program D-3, mulailah dipelajari musik tari Benten dariPesisir Selatan,musik tari Rantak Kudo dari Pesisir Selatan, musik Tari Piring dari Saning Bakar, dan musik tari Bujang Sambilan. Hajizar menjelaskan bahwa mempelajari musik-musik tari tersebut merupakan modal awal bagi mahasiswa untuk membuat karya musik baru.

Ketika ASKI dengan program D3-nya dikembangkan menjadi program S-1 muncullah mata kuliah komposisi karawitan sebagai hasil dari konsorsium ASKI se-Indonesia. Menurut Hajizar, munculnya mata kuliah komposisi karawitan tersebut seiring dengan perkembangan even bertaraf nasional yang bernama Pekan Komponis Muda sejak 1979. Selain pertunjukan karya musik, topik pembicaraan dalam even Pekan Komponis tersebut didominasi oleh persoalan komposisi musik. Walaupun, menurut Hajizar, pemahaman tentang konsep komposisi musik berbeda dan kadang-kadang berbeda sama sekali dengan pemahaman konsep komposisi musik dalam musik Barat, tetapi dianggap inilah konsep komposisi versi Indonesia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

clxii

semangat dari even Pekan Komponis Muda telah memberi pengaruh terhadap insan-insan dalam Konsorsium Seni sehingga muncullah mata kuliah komposisi musik pada program S-1 sebagai salah satu hasil dari konsorsium tersebut.

Dalam Konsorsium Seni ditetapkan mata kuliah-mata kuliah wajib (nasional) dan mata kuliah-mata kuliah lokal untuk setiap jurusan seni. Jadi, pemunculan sebuah mata kuliah dalam sebuah jurusan tidak bisa sekehendak perguruan tinggi yang bersangkutan tetapi harus melalui konsorsium nasional.

Istilah komposisi karawitan hadir di seluruh ASKI sebagai mata kuliah dalam program D-4. Tetapi, ASKI Padangpanjang, saat itu, hanya memiliki program D-3 karena belum memenuhi syarat untuk membuka program D-4. Oleh karena itu, dosen-dosen ASKI Padangpanjang, pada waktu itu, harus meningkatkan level pendidikannya ke level D-4 antara lain dengan belajar di ASKI Solo, Bali, dan Yogyakarta. Gelar kesarjanaan untuk program D-4 adalah Seniman Karawitan (S.Kar). mereka inilah yang diprogram untuk menjadi komposer di bidang karawitan. Di antara tamatan D-4 tersebut135 bahkan ada yang langsung melanjutkan ke program S-2 (Mahdi Bahar, misalnya. Setelah memperoleh S.Kar ia melanjutkan ke Program S-2 UGM). Sekembalinya dosen-dosen tersebut maka terpenuhilah syarat untuk membuka program D-4 ASKI Padangpanjang yang merupakan filial dari ASKI Solo.136

135 Tamatan D-4 dari ASKI Bali di antaranya adalah Elizar Koto dan Yunaidi.

136Salah seorang tamatan ASKI program D-4 adalah Hafif HR yang bergelar S.Kar, sekarang sebagai dosen di jurusan karwitan ISI Padangpanjang.

Dengan demikian, saat itu, ASKI Padangpanjang sudah memiliki beberapa orang tenaga pengajar

Dengan demikian, saat itu, ASKI Padangpanjang sudah memiliki beberapa orang tenaga pengajar