• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MUSIK DIATONIS DALAM BEBERAPA ASPEK

2.8 Musik Diatonis di Sekolah-Sekolah

2. Renaisanse (1450-1600) 3. Barok (1600-1750) 4. Klasik (1750-1820) 5. Romantik (1820-1900) 6. Modern (1900-1950) 7. Kontemporer (1950- )

2.8. Musik Diatonis di Sekolah-Sekolah

Pelajaran musik di sekolah-sekolah umum di Indonesia wajib diisi dengan materi pembelajaran lagu-lagu nasional yang juga kita kenal sebagai lagu-lagu wajib nasional. Sejak Sekolah Dasar, bahkan Taman Kanak-Kanak, hingga Sekolah Menengah Tingkat Atas anak-anak Indonesia secara tidak langsung sudah fasih menyanyikan lagu-lagu yang berdasarkan sistem nada diatonis. Selain dari pelajaran musik di sekolah, anak-anak Indonesia juga terbiasa dengan musik-musik populer Indonesia dan Barat (Amerika) yang juga didominasi oleh sistem nada diatonis.

PaEni (2009) menuliskan, bahwa di sekolah-sekolah pelajaran menyanyi masuk ke dalam kurikulum, dan isinya adalah menyanyi dalam sistem nada

64Ibid. hal. 283. Silakan periksa halaman 283-304.

c

diatonik65

Sebagai sebuah karya musik, lagu kebangsaan kita Indonesia Raya diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman melalui aturan nada yang umum dikenal di seluruh dunia. Aturan nada yang dikenal di seluruh dunia ini disebut diatonis (Remy Sylado, 1983:8)

. PaEni berpendapat bahwa orientasi musik anak sekolahan adalah ‘ke Barat’. Bersama dengan sistem nada diatonik tersebut diperkenalkan pula instrumen-instrumen musik dari Eropa seperti biola, piano, gitar, dan sebagainya.

Sekali dalam hidup, kita tentu pernah mengalami peristiwa musik.

Setidak-tidaknya setiap upacara bendera khususnya pada hari kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus semua murid Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Perguruan Tinggi, kantor-kantor pemerintahan, dan organisasi-organisasi sosial politik serta seluruh rakyat Indonesia, secara langsung atau pun tidak, tentunya pernah menyanyikan lagu Indonesia Raya.

66. Sylado mengatakan bahwa perkataan diatonis dipetik dari bahasa Latin, diatonicus, maksudnya nada-nada yang terdiri dari tujuh jenis bunyi yang ditulis di atas garis titi, yaitu do re mi fa sol la si67

2.9. Tetrachord Diatonis dalam Lagu-Lagu Tradisional Minangkabau .

Karawitan Minangkabau yang berasal dari Darek (Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, Luhak Lima Puluh Kota) juga memiliki sistem tangga nada yang mirip dengan konsep diatonis seperti yang dikemukakan dalam kajian sejarah

65 Mukhlis PaEni, 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Pertunjukan dan Seni Media. Hal. 102.

66 Remy Sylado, 1983. Apresiasi Musik. Hal. 8

67Remy Sylado, Ibid. hal.8

musik68

a. Lagu Malereang Tabiang:

. Lagu tradisional Minangkabau berikut ini memenuhi konsep dasar tangga nada diatonis:

Gambar 14. Notasi lagu Malereang Tabiang dari Agam (Bukittinggi)

b. Lagu Duo-duo:

Gambar 15. Notasi Lagu Duo Duo dari Muara Labuh

c. Lagu Tak Tong Tong:

Gambar 16. Notasi lagu Tak Tong Tong dari Darek

d. Lagu Simarantang:

68 Periksa Karl Edmund Prier sj, 2006. Sejarah Musik jilid 1.

cii

Notasi 17. Lagu Simarantang dari Kabaupaten 50 Kota

2.10. Musik Diatonis di Indonesia (Awal Penyebaran)

Triyono Bramantyo dalam bukunya Disseminasi Musik Barat Di Timur mengungkap bagaimana penyebaran musik Barat di Indonesia dan Jepang. Buku ini sebenarnya merupakan sebuah desertasi yang berjudul Studi Historis Penyebaran Musik Barat di Indonesia dan Jepang lewat aktivitas misionaris pada kbad ke16. Tesis ini diselesaikan oleh Triyono Bramantyo di Universitas Osaka, Jepang pada bulan Desember 1996. Buku ini merupakan studi komparatif tentang sejarah penyebaran musik Barat di Indonesia dan Jepang pada abad keenam belas khususnya dari Serikat Yesus.

Fransisco Xaverius (1506-1552) menyadari bahwa orang Indonesia dan Jepang memiliki kegemaran dalam musik. Xaverius sudah mempersiapkan katekismus69

69Katekismus: kitab pelajaran agam Kristen dalam bentuk daftar tanya jawab (Bramantyo, 2004:46).

dalam bahasa Melayu untuk misinya di Maluku, Indonesia dan bahasa Jepang untuk misinya di Kyushu, Jepang. Termasuk dalam katekismus tersebut adalah lagu-lagu Gregorian yang untuk pertama kalinya diperkenalkan di

Indonesia dan di Jepang sebagai benih dari musik Barat70

Francisco Xafier tiba di Ambon pada tanggal 4 Pebruari1546. Dia sudah mempersiapkan katekismus dalam bahasa Melayu yang dipahami oleh masyarakat Maluku. Katekismus itu meliputi Credo, Deklarasi, Pater noster, Ave Maria, dan Salve Regina

. Selain lagu-lagu Gregorian juga disebarkan lagu-lagu sekular, khususnya oleh saudagar dan pelaut Portugis. Disebutkan bahwa musik keroncong mendapat pengaruh dari musik sado, salah satu jenis musik rakyat Portugis.

71

Francisco Xafier tinggal di Ambon sampai Juni 1546 sambil berkarya di antara umat Kristen di Morotai dan mengajari anak-anak bernyanyi Credo. Dia melanjutkan tugasnya dengan harapan bahwa seluruh Ambon akan menjadi Kristen. Dia merubah kepercayaan banyak penduduk dan mengajar agama Kristen pada anak-anak dan mengenalkan doa-doa malam untuk orang-orang sekarat dan pendosa

(Jacobs dalam Bramantyo, 2004:46). Peristiwa ini menandai karya Jesuit di Maluku.

72

Dari Ambon, Xavier dikirim ke Ternate dan bertugas di sana hingga September 1546. Di ambon dia menulis katekismus bersajak dalam bahasa Portugis dan mendirikan Misericordia

(Jacobs dalam Bramantyo, 2004:46).

73

70 Triyono Bramantyo,2004. Hal. viii.

71 Bramantyo, Ibid. hal. 46. Periksa buku Disseminasi Musik Barat Di Timur.

72Bramantyo, Ibid. hal. 46.

73 Misericordia: suatu lembaga amal yang didirikanpada tahun 1498 di Portugal.

di Ternate. Dari Ternate, Xavier mengunjungi umat Kristen di Moro. Dia menghabiskan waktunya tidak hanya untuk kegiatan pengajaran agama tetapi juga untuk mengajar anak-anak. Setelah menghabiskan beberapa waktu di Moro, dia berlayar kembali ke Ternate dan

civ

bertugas di sana hingga April 1547, sebelum meninggalkan Ambon lagi guna berlayar kembali ke Malaka dan India74

Selama tinggal di Maluku, Xavier (beserta para Jesuit lainnya) menyadari bahwa apa yang benar-benar dia lakukan untuk menarik umat Kristen pribumi bukan hanya lewat ajarannya saja tetapi berbagai macam seperti upacara-upacara, cahaya lilin, musik ritual gereja (Wicki dalam Bramantyo, 2004:47). Dapat kita pahami bahwa salah satu usaha Xavier dalam menyebarkan ajaran Kristen—selain ajaran—adalah melalui musik khususnya musik ritual gereja. Salah satu trik jitu yang dilakukan oleh Xavier adalah memadukan kecintaan musik pribumi dengan ritual Katolik. Dengan cara seperti ini akan membuat orang Maluku semakin familiar dengan musik diatonis. Andaya (dalam Bramantyo, 2004:47) menggambarkan sebuah contoh dengan menyatakan bahwa “daerah terbuka di Ternate dan di rumah-rumah, para wanita dan anak-anak sepanjang waktu menyanyi Creed (Syahadat), Bapa Kami (Pater Noster), Salam Maria (Ave Maria), Pengakuan (Confiteor), dan doa-doa lain, Firman-firman, dan karya-karya kerahiman”

(Bramantyo, 2004:47).

75

2.11. Musik Diatonis di Minangkabau (Peran Sekolah Belanda) .

Penyebaran musik diatonis di Minangkabau tidak melalui misi Kristen seperti halnya di Maluku dan Flores. Belanda berusaha agar hanya mencampuri lalu lintas perdagangan dan tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan setempat

74Bramantyo, Ibid. hal. 47. Untuk lebih lengkapnya silakan buka

75Bramantyo, Ibid. hal. 47.

dan kehidupan sehari-hari orang Asia (Denys Lombart, 2005:95)76

Graves menuliskan, bahwa setelah menaklukkan Sumatera Barat pada tahun 1837, Belanda membutuhkan penduduk setempat, yang memiliki keterampilan teknis dasar – membaca, menulis, dan pengetahuan berhitung secukupnya – untuk mengisi struktur birokrasi pemerintah kolonial yang semakin luas

. Selanjutnya Lombard menuliskan, selain tidak terpikir untuk mengekspor agama mereka, orang-orang Belanda juga sama sekali tidak berusaha menyebarluaskan bahasa mereka.

77. Kesempatan-kesempatan tersebut diisi oleh golongan menengah. Golongan inilah yang yang memberikan tanggapan kreatif terhadap kehadiran kekuatan kolonial dan peluang-peluang baru yang ditawarkannya untuk memperoleh kekayaan, prestise, kekuasaan, dan kedudukan. Graves (2007:xii) mengatakan, bahwa golongan menegah ini sangat menyadari bahwa jalan terbaik untuk maju adalah terdapat dalam upaya adaptasi mereka dengan pemerintah kolonial78

Dengan pernyataan Graves di atas dapat kita pahami bahwa ada segolongan orang Minangkabau yang telah memiliki pemikiran bahwa jalan terbaik untuk maju adalah dengan cara beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan

“Barat” dalam hal ini kekuasaan kolonial Belanda. Ini berarti bahwa mempelajari bahasa Belanda, membaca, menulis, berhitung, berperilaku beradab, berkesehatan dan untuk itu mereka harus belajar keterampilan dan teknik-teknik baru yang menjadi prasyarat masuk lapangan kerja baru.

76Denys Lombard, 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid 1 Batas-batas Pembaratan. Hal.

95.

77 Elisabeth E. Graves, 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX /XX. Hal. x.

78 Elisabeth E. Graves, Ibid. hal. xii.

cvi

yang baik, dan – poin berikut ini menjadi bagian penting bagi tulisan penulis – mempelajari aspek-aspek lain dari gaya hidup dan budaya Eropa. Poin terakhir yang berupa gaya hidup dan budaya Eropa tentulah di dalamnya juga termuat hal kesenian yang di dalamnya terdapat musik Barat atau musik diatonis.

Selain untuk kepentingan Belanda dalam urusan perdagangan dan administrasi, pendirian Nagari School merupakan akses bagi orang muda Minangkabau untuk mengenal kebudayaan dan musik Barat (diatonis) secara khusus, karena di Sekolah Nagari musik Barat diperkenalkan, salah satunya, melalui nyanyian atau pelajaran musik.

Sekolah Normal School/”Sekolah Radja” Bukittinggi (dalam bahasa Belanda disebut Kweekschool) didirikan lewat dekrit pemerintah pada tanggal 1 April 1856. Kweekschool menyajikan lebih banyak pelajaran dari pada Sekolah Nagari yang hanya mengajarkan keterampilan dasar membaca, menulis, dan berhitung. Kurikulum di Sekolah Radja diarahkan pada semua mata pelajaran – bahasa Belanda, bahasa Melayu, menulis indah, berhitung, geometri, sejarah dan geografi Hindia Belanda, sejarah Belanda, ilmu alam, survei, menggambar, keahlian membuat draf, teknik-teknik pertanian, pedagogi (ilmu mendidik), menyanyi, dan pendidikan jasmani (Graves, 2007:222)79

Sebuah pemikiran yang masih bersifat sangat umum muncul dari kalangan menengah Minangkabau dalam rangka mencapai kemajuan. Seperti telah dituliskan di atas, golongan ini sangat yakin bahwa kemajuan pada masa itu hanya bisa dicapai dengan jalan beradaptasi dengan pemerintah kolonial. Beradaptasi di

.

79 Elisabeth E. Graves, Ibid. hal. 222.

sisni dalam arti menyesuaikan diri di mana orang Minang dari golongan menegah ini merasa nyaman diperlakukan secara profesional atas keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya. Penulis berkesimpulan bahwa adaptasi yang dilakukan oleh orang Minangkabau lebih kepada tuntutan atas kesetaraan hak-hak hidup, sosial, dan ekonomi.

Jika persoalan adaptasi ini kita tarik ke ranah budaya, sesuai dengan konsep adaptasi, bahwahal yang menghambat atau mengendala suatu teknologi yang sederhana ternyata sering ditanggulangi atau malah diubah menjadi peluang oleh budaya yang memilki sistem lebih maju dalam hal ini kebudayaan Barat (Eropa).

Salah satu putra Minangkabau yang menyelesaikan studi di Kweekschooladalah Mohammad Sjafei. Ia adalah seorang tokoh pendidikan nasional Indonesia yang juga mencintai seni musik. Melalui asuhannya berkembang pula bakat musik dua anak didiknya di INS Kayu Tanam. Mereka adalah dua bersaudara Boestanoel Arifin Adam dan Irsyad Adam.

2.12. Peran Beberapa Tokoh dalam Memperkenalkan Musik Diatonis Di Minangkabau (Sumatera Barat)

Pada bagian ini penulis memaparkan beberapa orang putra Minangkabau yang meraih pendidikan musik Barat di Eropa. Kelak mereka berjasa dalam mendirikan institusi kesenian di Minangkabau. Pendidikan dasar musik mereka adalah musik Barat. Mereka mengajarkan dan mengembangkan ilmu musiknya tidak hanya di jurusan musik Barat tetap juga di jurusan karawitan Minangkabau.

cviii

Mohammad Sjafei pernah bercita-cita untuk mendirikan sekolah musik di Sumatera Tengah. Cita-cita Mohammad Sjafei untuk mendirikan sekolah musik di Minangkabau akhirnya terwujud melalui generasi setelah dia, yaitu dua bersaudara Boestanoel dan Irsyad Adam.

Mohammad Sjafei80 adalah salah seorang figur yang pernah mengenyam pendidikan Belanda. Ayahnya Mara Sutan, seorang pendidik, yang banyak berjasa kepada pendidikan di Indonesia.

Mohammad Sjafei menamatkan Sekolah Guru (Kweekschool) di Bukittinggi dalam tahun 1914. Ia juga seorang pemain violin yang baik. Setelah itu ia menjadi guru pada “Sekolah Kartini” di Batavia (sekarang Jakarta) selama enam tahun.

Atas biaya sendiri, Mohammad Sjafei melanjutkan pelajaran ke Eropa. Ia mendalami mata-mata pelajaran ekspresi: menggambar, pekerjaan tangan, dan seni suara

Mohammad Sjafei mendirikan Ruang Pendidikan model baru di Kayu Tanam pada tahun 1926 sebagai reaksi terhadap pendidikan yang diberikan pada sekolah-sekolah pemerintah Belanda. Sekolah itu ia beri nama Indische Nederland School (INS). M Sjafei meninggal di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1969.

. Ia mengunjungi beberapa negara lainnya di Eropa untuk memperdalam pengetahuannya tentang seluk beluk pendidikan. Ketika pergerakan kebangsaan memuncak, Mohammad Sjafei memutuskan kembali ke Tanah Air.

Sjafei berpendapat bahwa kemajuan pendidikan adalah hal utama untuk memperolah kemerdekaan.

80 Tulisan ini penulis kutip dari sebuah buku karangan dra. Emma Zain dan Djaka Dt. Sati, (tt) berjudul Ilmu Mendidik.

Tujuan INS adalah: 1) memberikan pendidikan kepada rakyat yang ingin merdeka, 2) memberikan pendidikan yang sesuai dengan keperluan masyarakat, dan 3) memberikan pendidikan kepada pemuda supaya percaya kepada diri sendiri dan berani bertanggung jawab.

Azas-azas pendidikan yang digunakan oleh Moh. Sjafei adalah: berpikir logis dan rasional, keaktifan, pendidikan kemasyarakatan, bakat anak-anak harus mendapat perindahan, dan memberantas intelektualisme.

Mohammad Sjafei telah berusaha mengubah manusia dan masyarakat. Ia mementingkan bekerja sebagai alat pendidikan yang baik. Sebagian orang mengatakan: INS lebih condong kepada kesenian yang tidak diperuntukkan bagi sekalian anak.

Boestanoel Arifin Adam dan Irsyad Adamadalah dua bersaudara kandung.

Keduanya adalah putra dari bapak Adam BB. Mereka dilahirkan di Padangpanjang dan dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi nialai-nilai Islam. Sebagai orang Minangkabau yang Islami Ayah mereka cukup toleran dalam memberikan kesempatan mempelajari musik Barat.

Irsyad Adam tak seberuntung uwan-nya (abangnya) karena sejak lahir ia sudah tidak bisa melihat seperti layaknya orang normal alias tuna netra. Tetapi Irsyad dikaruniai indera pendengaran yang tajam. Waktu kecil, menurut penuturan ibu adangRohani Adam (kakak perempuan Irsyad), Irsyad sangat senang mendengarkan bunyi-bunyian. Bahkan, pada suatu hari Irsyad kecil sengaja membanting sebuah piring kaleng berulang kali. Ia mendengarkan bunyi piring dengan seksama seolah-olah ada sesuatu yang ingin diketahuinya dari bunyi itu.

cx

Irsyad memang suka menyanyi, bermain harmonika, dan mendengarkan abangnya, Bustanoel, memainkan violin.

Penulis sengaja datang ke Padangpanjang untuk berjumpa dan mewawancarai bapak Irsyad Adam. Beliau banyak mengetahui seluk-beluk kehidupan musik di sumatera Barat sejak pra kemerdekaan sampai sekarang. Daya ingatnya masih cukup tajam. Beliau masih bisa mengenali suara penulis walaupaun sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. Pak Irsyad baru saja sembuh dari sakit ketika penulis menjumpainya. Dia terlihat segar untuk ukuran orang setua dia, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya agak sedikit kurang jelas karena dulu beliau pernah menderita stroke ringan yang membuat bibirnya sedikit bergeser ke kiri. Tetapi penulis masih dapat menangkap kata-kata yang ia ucapkan dalam bahasa Minang.

Tulisan berikut didapatkan dari wawancara dengan bapak Irsyad Adam di rumahnya, Padangpanjang pada tanggal 01 Juni 2014 sekitar pukul 09.00-10.30.

Penulis ditemani oleh seorang rekan sesama kuliah dulu yang sekaligus mengoperasikan alat perekam audiovisual.

Irsyad Adam memulai penuturannya dengan cerita tentang belajar musik.

Irsyad, awalnya, belajar musik khususnya violin kepada abangnya, Boestanul Arifin. Selain belajar kepada abangnya, Irsyad juga belajar kepada guru dari abangnya itu, yaitu bapak M Yunus Keucik, seorang Aceh yang beristeri dengan orang Payakumbuh dan tinggal di Padangpanjang. Irsyad mengatakan bahwa bapak M Yunus Keucik dulunya adalah murid dari bapak Khatib Sulaiman, seorang tokoh Sumatera Barat. Bapak Khatib Sulaiman adalah murid dari bapak

M Nur. Menurut Irsyad dia pertama kali belajar memainkan klasik dari Lis Wakidi, kakak dari Dirwan Wakidi.

Pada tahun 1942 Irsyad Adam menempuh pendidikan di INS Kayu Tanam sebagai murid non formal. Setiap pagi selapas salat subuh ia barsama Boestanul berangkat ke Kayu Tanam dengan kereta api. Tetapi sejak adanya kecelakaan kereta api di Silaiang mereka takut naik kereta api dan beralih menggunakan padati81

Selama menjadi murid di INS, Irsyad sering mengadakan pertunjukan musik bersama murid-murid lainnya. Pada waktu itu INS sering di datangi tamu dari luar negeri khususnya anggota Komisi Tiga Negara. Komisi Tiga Negara terdiri dari Indonesia, Mesir dan India. Mesir dan India adalah dua negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Irsyad menuturkan bahwa musik yang disuguhkan kepada tamu-tamu asing yang berkunjung ke INS

. Kebetulan kejadian itu sudah di akhir-akhir masa studinya di INS.

Berangkat subuh dan sore harinya kembali ke Padangpanjang. Irsyad belajar di INS selama tiga setengah tahun.

Sekitar tahun 1947 beberapa orang mendirikan sebuah orkestra di Padangpanjang. Pada waktu itu Ibu Kota Negara Republik Indonesia berada di Bukittinggi tetapi kegiatan-kegiatan kesenian dan kebudayaan dipusatkan di Padangpanjang. Irsyad adalah anggota orkes termuda waktu itu. Ia sering di daulat sebagai solis di orkestra tersebut. Pada waktu itu menteri Pendidikan untuk wilayah Sumatera di jabat oleh Mohammad Sjafei, tokoh pendiri INS Kayu Tanam.

81 Kendaraan tradisional berbentuk gerobak yang ditarik oleh seekor lembu atau bisa juga kerbau.

cxii

bukanlah musik tradisional Minangkabau tetapi musik Barat. Mengapa menyambut tamu asing dengan musik barat? Irsyad menjawab, waktu itu dunia internasional masih menganggap Indonesia sebagai sebuah negeri primitif dan Belanda menyatakan di PBB bahwa Indonesia belum pantas untuk merdeka.

Maka, dengan pendidikan dan musik Barat kita menyatakan bahwa kita layak sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Pendidikan dan kesenian merupakan peluru yang lebih ampuh dari pada peluru senapan, ujar pak Irsyad.

Dengan melihat secara langsung aktifitas pelajar Indonesia di INS Kayu Tanam, pahamlah para tamu-tamu asing tersebut. Pernyataan Belanda di PBB berbeda dengan kenyataan yang mereka lihat. Ternyata anak-anak Indonesia sudah maju bahkan bisa memainkan musik Barat. Mereka mamainkan musik klasik dan beberapa karya WR Soepratman. Walaupun orkestra belum terlalu rapi secarat teknis, tetapi mereka sudah memulai memainkan musik diatonis sebagai sebuah wujud usaha dalam memperjuangkan persamaan hak sebagai masyarakat dunia yang beradab.

Di Bukittinggi, pada tahun 1947 terdapat orkes simfoni negara.

Anggotanya terdiri dari tentara pengungsi dari Medan dan Siantar yang kemudian bergabung dengan musisi di Bukittinggi. Konduktornya waktu itu bernama Khalid. Orkestra inilah yang sering digunakan untuk menyambut dan menghibur tamu-tamu negara di Bukittinggi. Orkes di Padangpanjang tetap ada, tetapi lebih kepada orkestra gesek.

Pada tahun 1947 Presiden Soekarno berkedudukan di Yogyakarta dan wakil presiden Mohammad Hatta di Bukittinggi. Ketika itu Bukittinggi sudah

memiliki pelabuhan kapal terbang sebagai peninggalan Jepang tepatnya di Gadut.

Melalui pelabuhan kapal terbang Gadut inilah seorang menteri (menteri baja) utusan dari Jawaharlal Nehru (perdana menteri India kala itu) masuk ke Bukittinggi. Hatta mengajak utusan itu menyaksikan orkestra di Padangpanjang tepatnya di gedung Ruang Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Gedung Mohammad Sjafei). Irsyad Adam, waktu itu adalah pemain yang paling muda dalam kelompok orkestra tersebut. Irsyad juga menyebutkan nama Dirwan Wakidi sebagai salah seorang pemain dalam orkestra tersebut. Pada momen inilah ‘Pak Nait’ (demikian bunyi sebuah nama yang terucap dari mulut pak Irsyad), utusan Jawaharlal Nehru itu menyaksikan permainan violin Irsyad. Utusan itu merasa tertarik dengan permainan violin Irsyad muda yang berbakat. ‘Pak Nait’

mengungkapkan kenginannya kepada pak Hatta untuk menyekolahkan Irsyad ke luar negeri. Pak Hatta seketika itu juga merestui tawaran dari utusan Nehru tersebut. Bagaimana dengan orang tuanya? Tanpa persetujuan dari ayah Irsyad pak Hatta waktu itu langsung mengatakan, “Orang tuanya setuju, saya mau mengurusi, bertanggung jawab”, kata pak Hatta. Pak Irsyad menceritakan ini sembari tertawa mengenang masa lalunya. Selanjutnya pak Hatta memberikan syarat kepada ‘Pak Nait’, bahwa anak ini tentunya tidak bisa berangkat sendirian karena keterbatasannya. Akhirnya diputuskan untuk menyekolahkan kedua bersaudara Irsyad dan Boestanul Arifin.

Pada 1947 itu juga terjadi Agresi Militer I Belanda. Perhubungan komunikasi terputus. Irsyad dan Boestanoel tertunda berangkat ke luar negeri.

Atas saran dari pemerintah pusat keberangkatan ditunda hingga situasi negara

cxiv

dinyatakan tenang. Setelah itu meletus lagi agresi Militer II Belanda pada tahun 1948. ‘Pak Nait’ kerap ke Indonesia mengantarkan bantuan dan obat-obatan dari India untuk Indonesia. pada tahun 1950 ‘Pat Nait’ datang ke Jakarta mengantarkan bantuan pesawat terbang untuk Indonesia, yaitu pesawat Dakota.

Pada saat itu ia teringat kepada dua orang anak muda yang pernah dijanjikannya untuk bersekolah di luar negeri. Ia bertanya kepada wartawan tentang kedua anak itu, apakah keduanya masih hidup? Sebab, situasi beberapa tahun terakhir sangat buruk. Ia ingin menepati janjinya, ujar pak Irsyad. Akhirnya Irsyad mengetahui berita ini dari surat kabar Haluan bahwa seseorang yang dulu pernah menjanjikan untuk menyekolahkannya tidak melupakan janji itu.

Bustanoel mengirim telegram ke pak Hatta menanyakan kepastian keberangkatan mereka. Pak Hatta langsung menanyakan ke India. Ternyata, Indonesia pun tak ingin lepas tangan yaitu dengan cara memberi izin dan biaya belajar untuk dua tahun kepada Irsyad dan Boestanoel. ‘Pak Nait’ menyanggupi, yang penting dia ingin memenuhi janjinya kepada dua pemuda ini. Dengan demikian berangkatlah Irsyad dan Boestanoel ke India. Selama dua bulan di India, lalu keduanya berangkat ke Belgia.

Di Jakarta pada tahun 1951, sebelum berangkat ke India, keduanya berkenalan dengan seorang Melayu Riau yang juga seorang profesor di bidang

Di Jakarta pada tahun 1951, sebelum berangkat ke India, keduanya berkenalan dengan seorang Melayu Riau yang juga seorang profesor di bidang