• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.6 Badan-badan Khusus Bentukan Pemerintah

Bagian penting terakhir dari strategi pemerintah adalah pembentukan sejumlah badan politik khusus di Timor Timur. Badan-badan ini – yang paling terkenal adalah

29 FPDK secara resmi didirikan pada tanggal 27 Januari 1999 dan BRTT didirikan pada bulan April 1999. Lihat: Ian Martin, Self-Determination in East Timor: The United Nations, the Ballot, and International Intervention, London: Lynne Rienner Publishers, 2001, halaman 43. Organisasi lain Forum Persatuan Timor Timur (FPTT) didirikan pada tanggal 7 Desember 1998 di bawah kepemimpinan Eurico Guterres. Tampaknya organisasi itu sudah dibubarkan suatu saat pada bulan Januari 1999, dan digantikan oleh FPDK dan Aitarak. Lihat: Forum Persatuan Timor Timur (FPTT) kepada Danrem 164/WD. Surat tulisan tangan (rancangan surat?), meminta pendanaan TNI untuk aktivitas FPTT, [Desember] 1998 (Koleksi SCU, Doc #233); dan Ketua Umum Forum Persatuan Timor Timur (Eurico Guterres) kepada Kepala Biro Keuangan Pemda Tk I Timor Timur, 5 Januari 1999 (Koleksi SCU, Doc #159).

30 Far Eastern Economic Review, 27 Mei 1999.

31 Sebagian orang dari kelompok yang lebih lama berhubungan dengan FPDK, namun ada tanda-tanda ketegangan. Dalam bulan Juli 1999, tokoh yang sudah lama mendukung Indonesia, Hermínio da Silva da Costa mengundurkan diri dari Dewan Penasehat FPDK. Ketika mengumumkan pengunduran dirinya ia meminta perhatian pada peran penting generasi aktivis pro-integrasi yang lebih tua. Suara Timor Timur, 15 Juli 1999.

32 Pembentukan UNIF diumumkan dalam sebuah pernyataan bersama oleh FPDK, BRTT, dan PPI pada tanggal 23 Juni 1999 (Koleksi Yayasan HAK).

2. Indonesia: Kekuasaan dan Strategi 33

Komisi Perdamaian dan Stabilitas (KPS) dan Satuan Tugas Pelaksanaan Penentuan Pendapat di Timor Timur (Satgas P3TT) – berfungsi sebagai semacam mesin pro-paganda. Satgas P3TT juga berfungsi sebagai selubung untuk pengkoordinasian strategi tertutup pemerintah dan militer Indonesia.

KPS adalah produk ‘kesepakatan damai’ yang diperantarai oleh Panglima TNI Jenderal Wiranto dan ditandatangani oleh wakil-wakil dari kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Indonesia di Timor Timur pada tanggal 21 April 1999. KPS seolah-olah didirikan untuk memfasilitasi dialog di antara berbagai kelompok yang berbeda di Timor Timur. Dalam kenyataannya, tugas KPS hampir tidak ada bedanya dengan juru bicara pemerintah Indonesia. Ini sebagian adalah akibat dari komposisi keanggotaan KPS yang sangat berat sebelah, berpihak pada pemerintah Indonesia dan kubu pro-otonomi.34 Selain itu juga akibat posisi yang sangat berpihak dari para wakil Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia yang didatangkan untuk membentuk KPS.

Kampanye hubungan masyarakat KPS yang menggelikan itu adalah bagian dari usaha lebih luas yang dilakukan pemerintah untuk menampilkan versinya tentang keadaan, dan pilihan yang diinginkannya, kepada khalayak Timor Timur dan In-donesia. Dalam usahanya ini KPS dibantu oleh media dalam negeri yang umumnya patuh – meliputi radio, televisi, dan media cetak. Kampanye pemerintah mencakup upaya-upaya disinformasi yang agaknya dengan sengaja dirancang KPS untuk mendiskreditkan UNAMET dan meletakkan dasar bagi penentangan di kemudian hari terhadap kredibilitas proses Konsultasi Rakyat.

Di samping rasa permusuhan mereka terhadap UNAMET, para juru bicara In-donesia dan pro-otonomi juga menyatakan bahwa UNAMET sengaja hanya mempekerjakan para pendukung kemerdekaan. Walaupun tanpa bukti, para juru bicara ini terus-menerus mengulang pernyataan ini dengan frekuensi yang meningkat ketika hari pemungutan suara semakin dekat dan segera dalam masa sesudahnya. Para pejabat militer dan pemerintah, serta para pemimpin pro-otonomi, juga mengeluarkan ancaman langsung maupun terselubung terhadap para staf lokal UNAMET yang menyebabkan beberapa dari mereka mengundurkan diri dan lari ke gunung-gunung.

Badan yang kurang terlihat tetapi lebih berpengaruh yang didirikan oleh pemerintah pada tahun 1999 adalah Satuan Tugas Pelaksanaan Penentuan Pendapat di Timor Timur (Satgas P3TT). Satuan Tugas, demikian nama yang dikenal umum, merupakan turunan dari kelompok nasional yang terdiri atas beberapa menteri (TP4 OKTT), yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.35

Satuan Tugas itu sendiri dipimpin oleh seorang mantan wakil tetap Indonesia untuk PBB di Jenewa, Duta Besar Agus Tarmizi, dan seperti badan yang membentuknya (TP4 OKTT), Satuan Tugas ini terdiri atas wakil-wakil dari beberapa Departemen

34 Para wakil dari pemerintah, TNI, Polri, dan masing-masing dari dua kelompok pro-otonomi bergabung berhadapan dengan hanya dua orang utusan dari CNRT/Falintil. Satu-satunya wakil CNRT yang hadir dalam penandatanganan kesepakatan, Leandro Isaac, dibawa ke tempat pertemuan dari kantor polisi tempatnya berlindung setelah rumahnya diserang. UNAMET sepenuhnya disingkirkan dari KPS sebagaimana juga organisasi-organisasi lokal non-pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat sipil lainnya. Tentang komposisi dan kelemahan KPS, lihat Ian Martin, Self-Determination in East Timor, halaman 30-31, dan 70.

35 TP4 OKTT adalah singkatan dari Tim Pengamanan Pelaksanaan Penentuan Pendapat mengenai Otonomi Khusus Timor Timur. Badan ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 43 tanggal 18 Mei 1999. Lihat: Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata (Letnan Jenderal Sugiono) untuk Panglima TNI (Jenderal W iranto), “Surat Perintah No. Sprin/1096/VI/1999,” 4 Juni 1999 (Koleksi Yayasan HAK Doc #28); dan Panglima TNI (Jenderal Wiranto), “Surat Perintah No. Sprin 1180/P/VI/ 1999,” 16 Juni 1999 (Koleksi Yayasan HAK, Doc #29). Tim menteri TP4 OKTT terdiri atas: Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Kehakiman, Kapolri, dan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS). Ian Martin, Self-Determination in East Timor, halaman 42.

dan lembaga pemerintah pusat lainnya.

Secara formal, Satuan Tugas ini mewakili kepentingan pemerintah Indonesia di Timor Timur, dan bertugas sebagai penghubung langsung dengan UNAMET, dalam kaitannya dengan Konsultasi Rakyat. Namun, karena langsung melapor kepada Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di Jakarta, Satuan Tugas juga merupakan sebuah saluran otoritas penting yang langsung di bawah kendali Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Jenderal (Purn.) Feisal Tanjung.

Lebih jauh, kepemimpinan Satuan Tugas mencakup sejumlah perwira tinggi militer, baik yang aktif maupun pensiunan, dengan pengalaman panjang di Timor Timur, dan latar belakang intelijen militer atau Kopassus atau keduanya. Mereka adalah: H.R. Garnadi, seorang pensiunan Mayor Jenderal Angkatan Darat, dengan latar belakang intelijen militer; dan Brigadir Jenderal Glenny Kairupan, yang pernah bertugas sebagai Wakil Komandan Korem di Timor Timur di pertengahan dasawarsa 1990-an, dan dikatakan memiliki latar belakang Kopassus.36

Namun tokoh kunci dalam Satuan Tugas itu adalah Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim. Seorang perwira karir intelijen, Zacky Makarim bertugas sampai Januari 1999 sebagai kepala Badan Intelijen ABRI (BIA, yang namanya diubah menjadi Badan Intelijen Strategis – BAIS pada bulan April 1999). Secara resmi ditempatkan di posnya di Timor Timur di awal bulan Juni,37 Zacky telah terlibat dalam berbagai operasi militer dan politik di Timor Timur beberapa waktu sebelumnya.38 Di awal dasawarsa 1990-an, Zacky Makarim bertugas sebagai perwira intelijen militer di Aceh, pada saat meningginya operasi kontra-pemberontakan yang pada waktu itu Angkatan Darat memobilisasi kelompok-kelompok milisi untuk membantu usaha mereka menghancurkan gerakan kemerdekaan di Aceh. Sebagai perwira militer paling senior di Timor Timur sebelum pemakluman Darurat Militer pada bulan September 1999, Mayor Jenderal Zacky Makarim adalah kandidat yang paling mungkin untuk berperan sebagai koordinator lapangan keseluruhan untuk strategi pemerintah dan militer di Timor Timur. Sejauh strategi tersebut melibatkan mobilisasi kelompok-kelompok milisi bersenjata, dan pelaksanaan tindak kekerasan sistematis terhadap penduduk sipil, Zacky Makarim juga tersangka utama di antara orang-orang yang membantu dan mendorong terjadinya kejahatan terhadap umat manusia.

36 Anggota ketiga, Kolonel (Pol.) Andreas Sugianto pernah bertugas sebagai Kepala Kepolisian Wilayah (Kapolwil) Timor Timur pada tahun 1994-96. Dalam kedudukan itu, ia bekerjasama erat dengan sejumlah perwira TNI yang berperan penting pada tahun 1999, mencakup Mahidin Simbolon dan Kiki Syahnakri, yang keduanya menjadi Komandan Korem 164 di pertengahan dasawarsa 1990-an, dan Glenny Kairupan yang bertugas sebagai Wakil Danrem pada saat itu.

37 Mayor Jenderal Zacky secara resmi ditugaskan ke Timor Timur sebagai anggota TP4 OKTT pada tanggal 4 Juni 1999. Perintah penugasannya (Surat Perintah No. Sprin/1096/VI/1999) dikeluarkan di bawah kewenangan Panglima TNI Jenderal W iranto, tetapi ditandangani oleh Kepala Staf Umum TNI Letnan Jenderal Sugiono (Koleksi Yayasan HAK, Doc #28).

38 Ia dan Mayor Jenderal Kiki Syahnakri adalah anggota satu tim yang dikirimkan oleh markas besar TNI untuk menyelidiki pembantaian di Gereja Liquiça pada bulan April 1999. Lihat: Greenlees dan Garran, Deliverance, halaman 126-127.

35

BAGIAN II

HAK ASASI MANUSIA