• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Pendanaan Pemerintah

8.1 ‘Sosialisasi’ dan Pendanaan Milisi

8. Milisi: Pendanaan dan Dukungan Material

8.2 Sumber Pendanaan Pemerintah

Dokumen-dokumen pemerintah dan kesaksian dari para mantan pegawai negeri sipil memberikan informasi penting tentang sumber-sumber pendanaan pemerintah untuk milisi dan kelompok-kelompok pro-otonomi. Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa dana-dana dialihkan, dengan persetujuan resmi, dari anggaran berbagai departemen pemerintah (termasuk Departemen Pendidikan dan

14 Bupati Manufahi, “Proposal Sosialisasi Otonomi Khusus di Manufahi,” Mei 1999 (Koleksi SCU, Doc #2). 15 Ibid.

16 Bupati Bobonaro, “Proposal Kegiatan Sosialisasi Otonomi Khusus dan Luas Propinsi Timor Timur,” 24 Mei 1999 (Koleksi HRU, Doc. BOB #2).

17 Mirip dengannya, satu dokumen internal Aitarak menunjukkan bahwa kelompok milisi ini memiliki anggaran gaji Rp 356.340.000 ($ 47.512) yang darinya Rp 221.104.000 ($ 29.480) dikeluarkan p ada tanggal 23 Agustus 1999. Lihat: Komando Pasukan Aitarak, memorandum dari Bendahara kepada Eurico Guterres, 24 Agustus 1999 (Koleksi SCU, Doc #79).

8. Milisi: Pendanaan dan Dukungan Material 117

Kebudayaan, Departeman Pekerjaan Umum dan Transmigrasi) ke anggaran ‘sosialisasi’ dari mana milisi-milisi itu dibayar. Dokumen-dokumen itu juga mengkonfirmasikan dugaan bahwa sebagian dari anggaran ‘sosialisasi’ secara langsung datang dari Jakarta di bawah naungan satu rencana pembangunan yang didanai melalui Kantor Kepresidenan.

Sebagian dari bukti-bukti kunci datang dari Kabupaten Bobonaro, dan meliputi: (i) satu dokumen dari Dinas Anggaran Kabupaten Bobonaro, mengenai Proyek Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II;18 (ii) satu buku kas dari Dinas Anggaran Kabupaten Bobonaro bertanggal 5 Juli 1999;19 dan (iii) sepucuk surat dari Bupati Bobonaro kepada Gubernur yang meminta izin untuk mengalihkan dana dari mata anggaran lain untuk digunakan kampanye ‘sosialisasi.’20 Secara bersama-sama, dokumen-dokumen ini mengkonfirmasikan bahwa dana untuk milisi, dan untuk kampanye ‘sosialisasi’ secara lebih umum, dialihkan dari anggaran normal pemerintah, dan bahwa sebagian jika bukan seluruh dana itu didatangkan secara langsung dari Jakarta.

Yang pertama dari dokumen-dokumen ini, yang menyebut ‘Proyek Pembangunan Regional dan Daerah’ Bobonaro menunjukkan bahwa total anggaran untuk proyek tersebut adalah Rp 3,162 milyar – tepat sama dengan jumlah anggaran sosialisasi yang diajukan oleh Bupati kepada Gubernur di akhir bulan Mei 1999. Kesesuaian yang tepat ini menegaskan bahwa pemberian dana untuk kampanye ‘sosialisasi’ disetujui dan didanai dengan nama ‘Proyek Pembangunan Regional dan Daerah,’ dan bahwa kampanye ‘sosialisasi’ dan program ‘pembangunan’ tersebut adalah hal yang sama.

Kesimpulan tersebut dikonfirmasikan oleh dokumen kunci kedua, buku kas dari Dinas Anggaran Kabupaten Bobonaro bertanggal 5 Juli 1999 yang memberikan perincian dari anggaran ‘Proyek Pembangunan Regional dan Daerah.’ Butir-butir yang terdaftar dalam buku kas sepenuhnya sama dengan yang terdaftar dalam proposal ‘sosialisasi’ Bupati. Lebih jauh, dokumen ini mengkonfirmasikan bahwa sekitar dua per tiga dari seluruh anggaran proyek (Rp 3,162 milyar atau $ 421.600) telah diterima dan disalurkan pada tanggal 30 Juni 1999, sementara sekitar sepertiganya sedang ditunggu oleh pemerintah kabupaten ini.21

Dokumen yang ketiga, yaitu sepucuk surat dari Bupati Bobonaro kepada Gubernur, bertanggal 27 Juli 1999, memberikan informasi penting tentang sumber-sumber lain pendanaan untuk kampanye ‘sosialisasi’ di Bobonaro, dan memberikan gambaran mengenai mekanisme pemeriksaan keuangan yang mungkin telah digunakan di kabupaten-kabupaten lain. Dalam surat ini Bupati menjelaskan kepada Gubernur bahwa Kabupaten Bobonaro kekurangan dana untuk membiayai kampanye ‘sosialisasi,’ dan secara khusus meminta izin untuk mengalihkan sejumlah Rp 2,5 milyar ($ 333.333) dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas Pekerjaan Umum untuk kampanye ‘sosialisasi.’22 Bahasa permohonan Bupati itu

18 Kabupaten Daerah Tingkat II Bobonaro, “DIPDA [Daftar Isian Proyek Daerah] Proyek Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II Tahun Anggaran 1999/2000” (Koleksi HRU, Doc. BOB#3).

19 Kabupaten Daerah Tingkat II Bobonaro, “Laporan: Keadaan Kas Bendahara Per 30 Juni 1999,” Maliana, 5Juli 1999 (Koleksi HRU, Doc. BOB #4).

20 Bupati Bobonaro kepada Gubernur Timor Timur. Surat Rahasia No. 195/UM/VII/1999, 27 Juli 1999 (Koleksi HRU, Doc. BOB #5).

21 Kabupaten Daerah Tingkat II Bobonaro, “Laporan: Keadaan Kas Bendahara Per 30 Juni 1999,” Maliana, 5 Juli 1999 (Koleksi HRU, Doc. BOB #4).

22 Jumlah tepat yang diharapkan Bupati untuk dialihkan adalah: Rp 850.790.000 ($ 113.438) dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan Rp 1.165.000.000 ($ 155.333) dari Dinas Pekerjaan Umum. Bupati Bobonaro kepada Gubernur Timor Timur. Surat rahasia No. 195/UM/VII/1999, 27 Juli 1999 (Koleksi HRU, Doc. BOB #5).

begitu terus terang:

“Sehubungan dengan itu, dimohon persetujuan kiranya diperkenankan menggunakan dana yang telah diadakan untuk membiayai beberapa program proyek dalam DIPDA TA. 1999/2000, dialihkan penggunaannya untuk kegiatan sosialisasi Otonomi.”23

Satu lampiran pada surat ini memperjelas bahwa uang yang dialihkan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan aslinya dialokasikan untuk pembangunan dan perbaikan sekolah-sekolah dasar di kabupaten tersebut.

Namun, Kabupaten Bobonaro sama sekali tidak sendiri dalam mengalihkan dana dari pos anggaran lain ke kampanye ‘sosialisasi.’ Sebenarnya, bukti dokumenter memperjelas bahwa pengalihan dana untuk sosialisasi diperintahkan oleh Gubernur, dengan sepengetahuan penuh pemerintah pusat. Di bulan Mei 1999 dalam surat yang dikirimkan kepada Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) semua Departemen di Timor Timur, dan ditembuskan kepada menteri-menteri penting di Jakarta, Gubernur secara jelas menginstruksikan bahwa antara 10 persen dan 20 persen dari semua anggaran departemen harus dialihkan untuk membiayai kampanye sosialisasi.24 Bagian dalam surat yang terkait langsung dengan hal tersebut terbaca sebagai berikut:

“Dalam kaitan itu, maka semua potensi yang dimiliki di daerah sepantasnyalah kita kerahkan seoptimal mungkin untuk mensukseskannya. Kepada semua instansi vertikal diharapkan kontribusinya dengan menyisihkan dana 10 % s/d 20 % dari alokasi anggaran pembangunan … demi sosialisasi otonomi …”25

Ketika bersaksi di hadapan pengadilan Indonesia di bulan Juni 2002, Sekretaris Wilayah Daerah Provinsi Timor Timur Rajakarina Brahmana, mengkonfirmasikan bahwa antara 10 dan 20 persen anggaran pemerintah daerah telah dialihkan untuk sosialisasi kampanye pro-otonomi, termasuk untuk milisi.26

Juga ada bukti yang kuat bahwa sebagian besar dari sekitar Rp 3 milyar yang disediakan untuk setiap pemerintah Kabupaten di tahun 1999 diambilkan dari proyek ‘Jaring Pengaman Sosial’ (JPS) yang dibiayai oleh Bank Dunia. Bukti pa-ling jelas dalam hal ini adalah surat dari Gubernur kepada semua Bupati di bulan Mei 1999, yang sudah dikemukakan di atas, dalam mana Gubernur menginstruksikan kepada para Bupati untuk menyusun proposal anggaran sosialisasi. Surat tersebut secara eksplisit menyebutkan proyek ‘Jaring Pengaman Sosial’ sebagai sumber dari mana dana akan diambil:

“Menyusul surat kami Nomor: 915/712/II.BIPRAM/V/1999 tanggal 5 Mei 1999 maka pelaksanaan Proyek Pembangunan Regional dan Daerah, Proyek Dukungan Pengaman Jaring Sosial (JPS) di masing-masing Daerah Tingkat II, diminta perhatian Saudara agar segera menyusun rencana penggunaan dana sesuai proposal di bawah ini.”27

23 Surat rahasia No. 195/UM/VII/1999, 27 Juli 1999 (Koleksi HRU, Doc. BOB #5).

24 Surat Gubernur tersebut ditembuskan kepada sejumlah pejabat penting termasuk: Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Keuangan (Koleksi Yayasan HAK).

25 Surat dari Gubernur Timor Timur kepada semua Kepala Kantor W ilayah Departemen di Timor Timur, bertanggal Mei 1999 (Koleksi Yayasan HAK).

26 “Funding for East Timor Militias Came From State,” Jakarta Post, 14 Juni 2002.

8. Milisi: Pendanaan dan Dukungan Material 119

Sejumlah dokumen lain juga mengindikasikan bahwa dana ‘Jaring Pengaman Sosial’ digunakan untuk kampanye sosialisasi. Salah satu proposal anggaran ‘sosialisasi’ (dari Manufahi), dan kedua surat Gubernur tentang persetujuan anggaran, secara tersurat menyebut ‘Jaring Pengaman Sosial’ sebagai proyek dari mana dana ‘sosialisasi’ akan diambilkan.28

Bukti kesaksian mendukung pernyataan bahwa dana ‘Jaring Pengaman Sosial’ dialihkan untuk membiayai kampanye ‘sosialisasi.’ Dalam bulan November 1999, seorang mantan pegawai negeri sipil mengatakan kepada Komisi Penyelidik Internasional mengenai Timor Timur tentang adanya satu rapat di Lautem, dimana dijelaskan bahwa pendanaan untuk sosialisasi di kabupaten itu akan didapatkan dari dana yang sebenarnya dialokasikan untuk ‘kegiatan kesejahteraan’ – yang sangat mungkin adalah dana ‘Jaring Pengaman Sosial.’ Menurut perkataan Komisi Penyelidik Internasional:

“Seorang mantan pejabat pemerintah Indonesia bersaksi bahwa pada suatu rapat resmi tanggal 5 Mei 1999 dibahas persoalan penggunaan dana kegiatan kesejahteraan untuk digunakan menutupi biaya kegiatan memenangkan dukungan pada otonomi. Diputuskan untuk mengeluarkan 3,5 juta rupiah untuk pembagian beras dan berbagai barang lainnya kepada rakyat, dengan tujuan memanipulasi suara untuk memenangkan otonomi.”29

Secara signifikan, dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa dana-dana tersebut tidak dialihkan dengan cara sembunyi-sembunyi, tetapi dilakukan dengan jelas sesuai dengan prosedur birokratis yang sudah tetap.30 Dalam surat persetujuan kepada Bupati Lautem dan Bupati Oecussi, misalnya, Gubernur menjelaskan bahwa ‘Tim Pengendali’ proyek ‘Jaring Pengaman Sosial’ telah memeriksa dan menyetujui kedua proposal tersebut. Dalam suratnya kepada Bupati Lautem bertanggal 21 Mei 1999 itu, Gubernur menulis:

“Dengan hormat diberitahukan bahwa proposal Anda telah dipelajari oleh Tim Pengendali proyek Jaring Pengaman Sosial … yang dikelola oleh pemerintah provinsi, dan bahwa pada prinsipnya proposal Anda … disetujui.”31

Bukti dokumenter dan kesaksian ini mungkin tampak menunjukkan bahwa pendanaan untuk kampanye ‘sosialisasi’, dan untuk milisi, diorganisasikan secara eksklusif di tingkat kabupaten dan provinsi, dan bahwa pihak yang paling bertanggungjawab adalah Gubernur dan 13 Bupati. Namun kenyataannya adalah bahwa, karena sangat sentralistisnya struktur birokrasi Indonesia, pendanaan ini tidak akan dapat dilakukan tanpa persetujuan pejabat-pejabat pemerintah pusat di Jakarta. Atas dasar itu saja, sangat beralasan untuk menyimpulkan bahwa pendanaan untuk milisi dilakukan dengan persetujuan para pejabat pemerintah

28 Surat dari Gubernur Timor Timur kepada Bupati Oecussi, Juni 1999; Surat dari Gubernur Timor Timur kepada Bupati Lautem, 21 Mei 1999; Proposal untuk sosialiasi otonomi khusus di Manufahi, Mei 1999 (Koleksi SCU, Doc #2).

29 United Nations, Office of the High Commissioner for Human Rights, “Report of the International Commission of Inquiry on the Question of East Timor,” 31 Januari 2000, paragraf 63.

30 Satu tuduhan terkait mengenai penggunaan dana ‘Jaring Pengaman Sosial’ sulit untuk dikonfirmasikan. Satu dokumentasi Australia menyatakan bahwa ‘Departemen Urusan Politik’ (sic) [mungkin yang dimaksud adalah kantor Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan] menyalurkan pinjaman kepada kantor Dinas Keuangan Timor Timur, dengan kesepakatan bahwa pinjaman itu akan dibayar kembali ketika dana ‘Jaring Pengaman Sosial’ sudah diterima. Lihat SBS, Dateline, “Timor Terror Fund,” 16 Februari 2000, transkripsi, halaman 25.

pusat yang berwenang.

Juga ada bukti substansial bahwa badan-badan pemerintah pusat – termasuk beberapa departemen, badan intelijen militer BAIS (sebelum April 1999 namanya BIA), dan bahkan Kantor Kepresidenan – secara langsung terlibat dalam pengalihan dana kepada milisi, yang biasanya berselubung kedok kampanye ‘sosialisasi.’ Kesaksian dari sejumlah mantan pemimpin Timor Timur pro-Indonesia, dan pegawai pemerintah daerah Timor Timur menunjukkan bahwa pendanaan yang substansial diberikan, atau disahkan, antara lain, oleh Departeman Transmigrasi, Departemen Penerangan, dan Departemen Luar Negeri. Bukti itu menempatkan tanggungjawab yang bahkan lebih mengena pada pejabat-pejabat pemerintah pusat. Seorang mantan tokoh Timor Timur pro-Indonesia, Tomás Gonçalves, menyatakan bahwa di awal tahun 1999 ia bertemu dengan beberapa pejabat tinggi TNI untuk membahas penyediaan dana dan senjata untuk kelompok-kelompok pro-otonomi. Para perwira yang ia temui disebutkan termasuk Panglima Daerah Militer IX Mayor Jenderal Adam Damiri; Asisten Operasi Kepala Staf Angkatan Darat (dan kemudian Panglima Darurat Militer) Mayor Jenderal Kiki Syahnakri; Menteri Transmigrasi Letnan Jenderal (Purn.) Hendropriyono; dan Menteri Penerangan Mayor Jenderal (Purn.) Yunus Yosfiah. “Yang mereka katakan,” kata Gonçalves, “adalah bahwa jika kami terus mempertahankan bendera merah putih, mereka siap menyediakan dana dan semua jenis senjata, dan semua pasukan di sini bisa membantu kami.”32

Menurut Gonçalves, Menteri Transmigrasi Letnan Jenderal (Purn.) Hendropriyono, adalah yang paling bersemangat, dan menginstruksikan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi Timor Timur untuk “menyalurkan semua anggaran departemen untuk kepentingan milisi.”33 Menteri Penerangan Mayor Jenderal (Purn.) Yunus Yosfiah juga bersemangat mengenai milisi, menurut Gonçalves, dan menawarkan untuk memperkenalkan para pimpinan pro-otonomi kepada orang-orang penting di Jakarta untuk mendapatkan dukungan pemerintah: “Dalam pembicaraannya tentang persiapan milisi ia bahkan menyebut [Danrem, Kolonel] Tono Suratman pengecut, karena ia begitu lamban untuk bertindak. Kita harus bertindak sekarang karena kita siap untuk mendukung kalian dengan senjata dan apa saja.”34

Seorang mantan pegawai kantor dinas keuangan Timor Timur telah menyatakan bahwa dana juga disediakan oleh Departemen Luar Negeri untuk mendukung kelompok-kelompok pro-otonomi. Setidaknya Rp 9 milyar ($ 1,2 juta), katanya, telah diberikan kepada FPDK di awal tahun 1999. Mengingat fakta yang dirinci berikut ini, dimana FPDK menyalurkan dana dan barang kepada kelompok-kelompok milisi, kesaksian tersebut melibatkan Departemen Luar Negeri dalam pemberian dukungan finansial kepada milisi. Kenyataannya, pengiriman dana kedua kepada FPDK dihentikan ketika Departeman Luar Negeri mengetahui bagaimana dana bagian yang pertama dipergunakan.35

Mungkin yang paling penting, ada bukti dokumenter bahwa pendanaan untuk ‘sosialisasi,’ dan oleh karenanya juga untuk milisi, berasal langsung dari Kantor Kepresidenan. Bukti ini terdapat dalam dua dokumen dari Bobonaro yang sudah

32 Dikutip dalam SBS, Dateline, “Timor Terror Fund,” 16 Februari 2000, transkripsi, halaman 18-19.

33 SBS, Dateline, “Timor Terror Fund,” 16 Februari 2000, transkripsi, halaman 19. Untuk pernyataan yang sama, lihat “Timor Coup Planned,” The Age, 22 Juni 1999.

34 Dikutip dalam SBS, Dateline, “Timor Terror Fund,” 16 Februari 2000, transkripsi, halaman 21. 35 Dikutip dalam SBS, Dateline, “Timor Terror Fund,” 16 Februari 2000, transkripsi, halaman 22.

8. Milisi: Pendanaan dan Dukungan Material 121

dibahas. Yang pertama dari dokumen-dokumen tersebut, yang menyebut ‘Proyek Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II’ Bobonaro, merincikan bahwa sumber dana untuk proyek ini, dan dengan demikian anggaran untuk sosialisasi, adalah ‘INPRES DATI II.’ INPRES berarti ‘Instruksi Presiden’ dan DATI II berarti Daerah Tingkat II atau Kabupaten.36

Apa yang ditunjukkan di sini adalah bahwa uang sebesar Rp 3,162 miliar ($ 421.600) yang dialokasikan untuk kampanye ‘sosialisasi’ di Bobonaro, yang mencakup uang yang dialokasikan untuk milisi, datang langsung dari Jakarta, di bawah wewenang Kantor Kepresidenan. Sangat mungkin bahwa anggaran ‘sosialisasi’ di kabupaten-kabupaten yang lain datang dari sumber yang sama. Jika demikian halnya, ini berarti bahwa pertanggungjawaban untuk pendanaan milisi di tahun 1999 menjangkau hingga ke Kantor Kepresidenan.