• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNAMET dan Konsultasi Rakyat

KONTEKS, KEKUASAAN, DAN STRATEGI

1. Konteks Sejarah dan Politik

1.5 UNAMET dan Konsultasi Rakyat

Pengumuman Indonesia pada 27 Januari 1999 itu juga mengubah kerangka acuan untuk kelanjutan perundingan yang disponsori oleh PBB. Fokusnya mulai berubah dari rincian paket ‘otonomi’, ke cara-cara menghimpun pendapat rakyat Timor Timur mengenai status politik wilayah itu. Pergeseran itu meletakkan dasar bagi keterlibatan langsung PBB dalam menyelenggarakan pemungutan suara mengenai masa depan politik Timor Timur.

Hal yang mengejutkan bagi para perunding PBB dan Portugal, pada Maret 1999 Indonesia siap menerima usulan tentang pemungutan suara secara langsung, walaupun menolak penggunaan istilah ‘referendum’. Setelah perubahan ini, perundingan dengan cepat mengarah pada perumusan serangkaian kesepakatan yang dikenal dengan sebutan Kesepakatan 5 Mei, yang ditandatangani oleh Indo-nesia, Portugal, dan Sekretaris Jenderal PBB. Kesepakatan itu menguraikan kerangka konstitusional bagi status Timor Timur di masa mendatang, dan memberi kepercayaan kepada PBB untuk menyelenggarakan ‘konsultasi rakyat’ Timor Timur mengenai usulan tersebut.13

Kesepakatan utama, yang ditandatangani Indonesia dan Portugal serta disaksikan oleh PBB, menyatakan bahwa rakyat Timor Timur akan ditanya, apakah mereka menerima atau menolak paket otonomi. Penolakan paket itu, seperti tertera dengan jelas dalam kesepakatan tersebut, akan menempatkan Timor Timur dalam jalur menuju kemerdekaan. Kedua pilihan pada pemungutan suara itu dirumuskan sebagai berikut: “Apakah Anda MENERIMA usul otonomi khusus untuk Timor Timur di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia?” atau “Apakah Anda MENOLAK usul otonomi khusus bagi Timor Timur, yang akan mengakibatkan berpisahnya Timor Timur dari Indonesia?” Terlepas dari adanya kekhawatiran bahwa rumusan seperti itu akan menimbulkan kebingungan, bagian dari kesepakatan ini mendapat sambutan luas.

Kesepakatan mengenai keamanan – yang ditandatangani Indonesia, Portugal, dan PBB – jauh lebih kontroversial karena menempatkan tanggungjawab pemeliharaan keamanan dan ketertiban selama dan sesudah konsultasi rakyat di

13 Isi selengkapnya dari kesepakatan itu terdapat dalam Report of the Secretary-General (A/53/951-S/1999/513), 5 Mei 1999. Laporan itu berisi “Annex I: Agreement Between the Republic of Indonesia and the Portuguese Republic on the Question of East Timor” (kesepakatan utama) yang padanya dilampirkan “A Constitutional Framework for a Special Autonomy for East Timor” (proposal otonomi); “Annex II: Agreement Regarding the Modalities for the Popular Consultation of the East Timorese Through a Direct Ballot” (kesepakatan tentang pelaksanaan); and “Annex III: East Timor Popular Consultation” (kesepakatan keamanan).

1. Konteks Sejarah dan Politik 19

tangan aparat keamanan Indonesia, dan khususnya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Kontingen PBB di Timor Timur akan mencakup sebanyak 300 orang Polisi Sipil (Civpol – Civilian Police), tetapi hanya dalam kapasitas sebagai penasehat dan tidak akan membawa senjata. Kesepakatan ini menekankan tanggungjawab pihak berwenang Indonesia dalam menjamin suasana yang bebas dari kekerasan dan intimidasi serta kondusif bagi pelaksanaan konsultasi rakyat. Kesepakatan ini juga menekankan bahwa netralitas dan ketidakberpihakan mutlak dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri sangat diperlukan dalam hal ini.

Terlepas dari ketentuan itu, potensi bahaya dari kesepakatan keamanan itu tidak luput dari perhatian para pengamat luar, maupun dari mereka yang terlibat dalam perundingan mengenainya.14 Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan jelas sangat khawatir mengenai kesepakatan itu dan karena itu dalam sebuah memorandum, yang diserahkannya kepada pihak-pihak yang menandatangani kesepakatan tersebut, ia menjabarkan sejumlah kriteria yang digunakannya untuk menilai apakah situasi keamanan dapat diterima atau tidak.15 Kriteria ini mencakup pelarangan segera terhadap pertemuan umum oleh kelompok bersenjata, penangkapan dan penghukuman segera terhadap mereka yang memicu atau mengancam penggunaan kekerasan, dan penarikan pasukan militer Indonesia. Ia juga mengatakan dengan jelas bahwa ia akan menghentikan proses jika kriteria tersebut tidak dipenuhi.

Dengan jaminan yang rentan itu, pada akhir Mei 1999 PBB mulai merekrut dan menempatkan personilnya di Timor Timur dengan tujuan menyelenggarakan re-ferendum pada awal Agustus. Bendera PBB dinaikkan di muka markas misi di Dili pada 4 Juni, dan seminggu kemudian, pada 11 Juni, Dewan Keamanan mendirikan United Nations Mission in East Timor (Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur), yang lebih dikenal dengan sebutan UNAMET.

Misi itu dipimpin oleh Ian Martin, yang secara resmi menyandang jabatan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB (SRSG – Special Representative of the Secretary-General). Komponen utama UNAMET adalah: Polisi Sipil (Civpol), Perwira Militer Penghubung (MLO – Military Liaison Officers), Urusan Pemilihan, Urusan Politik, Keamanan, dan Administrasi. Di markas PBB di New York, operasi UNAMET dikoordinasikan dan diawasi oleh Departemen Urusan Politik. Hubungan diplomatik tingkat tinggi dengan pihak Indonesia ditangani oleh Duta Besar Jamsheed Marker, yang telah menjadi Utusan Pribadi Sekretaris Jenderal PBB untuk Timor Timur sejak 1997.

UNAMET membuka markasnya di ibukota Timor Timur, Dili, dan delapan kantor daerah untuk menjangkau 13 distrik administratif (kabupaten) di wilayah itu. Petugas ditempatkan atau secara teratur mengunjungi sebagian besar subdistrik (kecamatan) dan desa di wilayah itu, untuk menyelenggarakan pendidikan pemilih, mendaftar para pemilih, memantau situasi politik dan hak asasi manusia, menasehati dan berhubungan dengan pasukan-pasukan Polri dan pihak TNI mengenai masalah keamanan, dan akhirnya melaksanakan pemungutan suara itu sendiri.

Selain urusan politik, logistik, dan administratif yang penting, urusan UNAMET yang paling penting adalah merancang dan menjalankan sistem pendaftaran pemilih

14 Tentang perundingan-perundingan yang berlangsung lihat Tamrat Samuel, “East Timor: The Path to Self-Determination,” dalam Chandra Lekha Sriram dan Karin Wermester, penyunting, From Promise to Practice: Strengthening UN Capacities for the Prevention of Violent Conflict, Boulder: Lynne Reiner, 2003.

15 Kriteria tersebut sesungguhnya telah diuraikan dalam surat dari Sekretaris Jenderal PBB kepada Presiden Indonesia Habibie, tetapi ketika Menteri Luar Negeri Alatas menolak menerima surat itu maka surat itu diserahkan kepada kedua belah pihak dalam bentuk memorandum.

yang bisa dipercaya dalam kerangka waktu yang begitu ketat yang tertera dalam Kesepakatan 5 Mei. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat cepat oleh Kantor Urusan Pemilihan UNAMET. Namun pada 22 Juni Sekretaris Jenderal PBB mengumumkan penundaan batas pendaftaran (dan juga pemungutan suara) selama tiga minggu karena alasan operasional dan keamanan. Kekhawatiran mengenai masalah keamanan, dan khususnya terus berlanjutnya kekerasan oleh milisi pro-Indone-sia, berakibat penundaan lagi selama tiga hari pada pertengahan Juli, dan juga adanya kemungkinan untuk menunda lagi, dan bahkan membatalkan, jika situasi tidak berubah secara substansial semasa pendaftaran.

Akan tetapi terlepas dari berbagai kekhawatiran ini, pendaftaran pemilih dimulai pada 16 Juli dan terus berjalan tanpa sela melalui tanggal 25 Juli yang merupakan titik tengah, berdasarkan pemahaman bahwa pihak berwenang Indonesia akan terus memperbaiki suasana keamanan dan keadaan pengungsi di dalam negeri (IDPs – Internally Displaced Persons). Pendaftaran berakhir 6 Agustus, setelah diundurkan selama dua hari dari rencana 20 hari karena desakan dari sebagian pejabat Indo-nesia dan sejumlah pemimpin Timor Timur pro-IndoIndo-nesia. Terlepas dari ancaman terus-menerus dan aksi kekerasan oleh milisi pro-Indonesia selama periode ini, 446.666 orang mendaftar untuk memilih, suatu jumlah yang secara substansial melampaui perkiraan sebelumnya.16

Pendaftaran diikuti dengan periode kampanye resmi yang berlangsung sekitar dua minggu, dari 14 sampai 26 Agustus. Kampanye itu diatur oleh suatu peraturan yang dibuat di bawah pengawasan UNAMET dan diawasi oleh komite-komite yang beranggotakan wakil-wakil dari masing-masing pihak. Selama periode ini, UNAMET juga bekerja agar pasukan pro-kemerdekaan dan pro-Indonesia “meletakkan senjata”. Namun terlepas dari usaha-usaha semacam itu, periode kampanye terus diwarnai tindak kekerasan yang serius, terutama dari pihak pro-otonomi. Pada hari terakhir kampanye pro-otonomi misalnya, sekurangnya delapan orang tewas dibunuh di kota Dili saja (Lihat Ringkasan Kabupaten: Dili).

Sebagai usaha membatasi atau menghalangi konflik yang berdarah, pada Agustus Xanana Gusmão memulai tindakan ‘kantonisasi’ (cantonment) sepihak pasukan-pasukan pro-kemerdekaan. Pada 12 Agustus, Falintil sudah menarik pasukannya ke empat tempat kantonisasi, dan memberikan komitmen bahwa mereka akan tetap tinggal di sana selama proses pemungutan suara. Kelompok milisi pro-Indonesia yang didukung oleh pihak berwenang Indonesia, menolak mengikuti contoh itu. Antara 16 dan 19 Agustus, milisi melakukan serangkaian ‘upacara kantonisasi’, dimana mereka menyerahkan sejumlah senjata, sama sekali bukan semuanya, kepada kepolisian dan militer Indonesia. Namun dalam kenyataannya milisi terus beroperasi tanpa halangan, dan senjata-senjata yang mereka serahkan kemudian dikembalikan kepada mereka.

Terlepas dari kekhawatiran akan adanya kekerasan yang serius, pemungutan suara berjalan seperti direncanakan pada 30 Agustus. Mengejutkan bagi banyak pihak, pada hari itu hanya terjadi sedikit tindak kekerasan, dan 98,6% pemilih memberikan suara. Namun, bisa disesalkan bahwa kedamaian itu tidak berlangsung lama. Begitu pemungutan suara selesai dilakukan, milisi mulai menyerang orang-orang yang mereka anggap pendukung kemerdekaan. Korban-korban pertama serangan ini termasuk staf lokal UNAMET yang dibunuh ketika membawa kotak

16 Jumlah itu mencakup 433.576 orang di Timor Timur dan 13.090 orang yang mendaftar di pusat-pusat pendaftaran di luar wilayah ini.

1. Konteks Sejarah dan Politik 21

suara dari tempat pemungutan suara ke kendaraan mereka.

Sekretaris Jenderal PBB mengumumkan hasil pemungutan suara itu pada pagi hari 4 September. Mayoritas pemilih (78,5%) memberikan suara menolak otonomi dan memilih kemerdekaan. Dalam beberapa jam setelah pengumuman, milisi pro-otonomi dan prajurit-prajurit TNI turun ke jalan dan mulai melancarkan kekerasan yang tingkat kekejamannya belum pernah terjadi sebelumnya. Rumah-rumah pribadi, bangunan-bangunan umum, dan infrastruktur dibakar serta dihancurkan secara sistematis. Lebih dari 400.000 orang dipaksa meninggalkan rumah-rumah mereka dan lari ke bukit-bukit, atau dipindahkan secara paksa oleh TNI dan unit-unit milisi ke luar Timor Timur.

Peristiwa-peristiwa ini terjadi bersamaan dengan dua perubahan penting dalam rantai komando di Timor Timur. Perubahan pertama terjadi 4 September, ketika TNI mengambil-alih tanggungjawab atas semua operasi keamanan di wilayah itu, dan secara resmi menggeser Polri dan pihak berwenang sipil pada peran pendukung. Komando baru ini dinamakan Ko-ops Nusra (Komando Operasi TNI Nusa Tenggara). Ko-ops Nusra dipimpin oleh Mayor Jenderal Adam Damiri, Panglima Kodam IX Udayana yang membawahi Timor Timur.

Perubahan kedua terjadi saat Presiden Habibie mengumumkan status Darurat Militer di wilayah itu, yang mulai berlaku tepat tengah malam 7 September. Setelah tanggal itu, semua operasi militer, kepolisian, dan sipil di Timor Timur secara resmi berada di bawah kendali Penguasa Darurat Militer, Mayor Jenderal Kiki Syahnakri, yang bertanggungjawab langsung pada Presiden Habibie sebagai Panglima Tertinggi.17

Walaupun ada perubahan-perubahan seperti itu, kekerasan terus meningkat. Akibatnya misi UNAMET terpaksa mengungsikan stafnya keluar dari Timor Timur pada dini hari 14 September 1999. Sekitar 1.400 penduduk sipil Timor Timur yang mencari perlindungan di markas PBB itu juga diangkut dengan pesawat ke tempat yang aman. Kekerasan dan penghancuran semakin tidak terkendali setelah kepergian misi, meskipun ada seruan berulangkali kepada pemerintah Indonesia untuk mengendalikan keadaan dan menjalankan kewajibannya untuk menjaga ketertiban dan keamanan.

Pada 12 September pemerintah Indonesia secara resmi menyetujui kehadiran pasukan penengah internasional di Timor Timur. Pasukan ini yang dikenal dengan sebutan International Force for East Timor (INTERFET – Pasukan Internasional untuk Timor Timur) mulai diturunkan pada 20 September dan langsung mulai menegakkan hukum dan ketertiban serta membantu pembagian bantuan kemanusiaan. Pada Oktober 1999 DPR di Indonesia mencabut undang-undang yang menyatakan Timor Timur sebagai provinsi Indonesia, dan pada akhir bulan yang sama, pasukan Indonesia ditarik seluruhnya dari wilayah tersebut.

17 Walaupun secara resmi bertugas sejak tanggal 7 September, tampaknya Mayor Jenderal Syahnakri tidak memegang komando efektif di Timor Timur sampai beberapa hari kemudian. Ketika Kepala Misi UNAMET Ian Martin pergi ke markas Korem pada malam hari tanggal 8 September, misalnya, ia mendapati Mayor Jenderal Damiri masih bertugas. Satu sumber yang bisa dipercaya mengatakan kepada Martin bahwa Kiki Syahnakri tidak mengambil komando efektif sebelum perintah tertulisnya datang dari Jakarta beberapa saat setelah tanggal 8 September. Komunikasi pribadi dengan Ian Martin, tanggal 1 Juni 2003. Menurut keterangan lain, Kiki Syahnakri mengambil komando efektif pada pukul 11 malam tanggal 9 September. Lihat Don Greenlees dan Robert Garran, Deliverance: The Inside Story of East Timor’s Fight for Freedom, Crow’s Nest, NSW: Allen & Unwin, 2002, halaman 229.

Terlepas dari berbagai perubahan dramatis yang terjadi antara 1998-1999, tanggapan resmi Indonesia terhadap prospek pemungutan suara di Timor Timur dibentuk oleh sikap dan struktur kekuasaan politik dan militer, yang sudah mapan selama sekurangnya tiga dasawarsa. Sikap dan struktur kekuasaan ini menjadi latar dari dan juga memperlancar terjadinya pelanggaran sistematis hak asasi manusia pada 1999.

Lembaga kunci di dalam struktur kekuasaan ini adalah TNI (Tentara Nasional Indonesia). Sekalipun ada tantangan terhadap wewenangnya yang mengiringi kejatuhan Suharto, pada 1999 TNI tetap merupakan lembaga politik terkuat di Indonesia, dan pengaruhnya amat sangat besar di Timor Timur. Kekuasan unik TNI, dan segi-segi tertentu dari doktrin, struktur, dan prosedur operasionalnya, secara bersama-sama menjelaskan pola pelanggaran hak asasi manusia pada 1999. Khususnya yang terpenting adalah doktrin ‘pertahanan rakyat semesta’, struktur komando teritorial, dominasi pasukan khusus serta unit intelijen, dan kecenderungannya memobilisasi pasukan-pasukan milisi sebagai perpanjangan tangan.

Tetapi strategi Indonesia untuk memenangkan pilihan ‘otonomi’ bukanlah semata-mata strategi militer atau paramiliter. Strategi itu juga bersandar pada sejumlah lembaga lain, termasuk Polri dan aparatus pemerintah sipil. Berada di bawah kendali TNI, dan karena itu tidak dapat atau tidak mau menentang strateginya, Polri menyumbang pada terjadinya kekerasan, terutama karena gagal mengambil tindakan efektif untuk mencegahnya. Sama halnya, aparatus pemerintah sipil turut berperan menyumbang, dengan melaksanakan kampanye resmi untuk ‘mensosialisasikan’ pilihan otonomi. Akhirnya, strategi ini bermuara pada mobilisasi kelompok-kelompok politik baru pro-Indonesia, seperti FPDK (Front Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan) dan BRTT (Barisan Rakyat Timor Timur) dan berbagai badan khusus pemerintah, yang bersama-sama menjadi selubung bagi upaya resmi untuk mempengaruhi hasil pemungutan suara dengan cara-cara damai maupun kekerasan.