• Tidak ada hasil yang ditemukan

Senjata: Bukti Kesaksian

MILISI DAN PIHAK BERWENANG

7. Milisi: Perekrutan, Pelatihan, Operasi, dan Senjata

7.4 Senjata: Bukti Kesaksian

Sejumlah bukti paling jelas tentang hubungan TNI dengan milisi terletak dalam fakta bahwa perwira-perwira militer memasok milisi dengan senjata api modern, dan membolehkan mereka untuk membawa senjata-senjata lain yang bertentangan dengan hukum. Keterlibatan TNI di dalam pembagian senjata kepada milisi, dan penolakan mereka untuk menegakkan hukum yang melarang kepemilikan senjata, merupakan satu kasus yang jelas tentang keterlibatan pihak berwenang dalam tindakan-tindakan kekerasan yang mereka lakukan. Lebih-lebih lagi kalau diingat bahwa komandan-komandan militer mengetahui penggunaan senjata-senjata itu – pengetahuan yang telah dikonfirmasikan oleh bukti dokumenter.

Bukti yang paling awal bahwa senjata-senjata dibagikan kepada milisi datang dari pernyataan-pernyataan terbuka para perwira tinggi TNI, dan dari dua pemimpin penting milisi. Di awal tahun 1999, Kepala Staf Korem Letnan Kolonel Supadi mengatakan kepada para wartawan bahwa militer telah memasok senjata kepada milisi. “Bila kami tidak mempersenjatai mereka,” katanya, “akan ada banyak korban di pihak kami. Lebih baik banyak korban di pihak mereka.”28 Kemudian di bulan Februari, Wakil Komandan Korem Kolonel Mudjiono, mengatakan kepada seorang wartawan bahwa senjata api telah dibagikan kepada kelompok-kelompok pro-integrasi agar mereka bisa melawan Falintil.29 Panglima Daerah Militer IX Mayor Jenderal Adam Damiri juga mengatakan kepada media bahwa TNI telah membagikan senjata kepada milisi, walaupun ia menolak bahwa tujuan tindakan tersebut adalah untuk mendukung pihak pro-integrasi.30 Di awal bulan Februari, Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Subagyo Hadisiswoyo mengatakan bahwa Angkatan Darat mempersenjatai ‘Wanra’ untuk membantu TNI mengamankan Timor Timur.31 Pada pertengahan bulan Februari, Kepala Pusat Penerangan TNI di Jakarta, Jenderal Sudrajat menegaskan bahwa senjata memang telah dibagikan kepada milisi tetapi menegaskan bahwa “kami memberikan senjata hanya kepada yang dapat kami percaya.”32

Pada saat yang kira-kira sama pemimpin milisi Mahidi, Cancio Carvalho, mengatakan kepada para wartawan bahwa TNI telah memberikan 20 pucuk senapan otomatis SKS buatan Cina kepada kelompoknya di akhir bulan Desember 1998, yang kemudian dipergunakan untuk melaksanakan sejumlah serangan mematikan

28 “Lt. Col. Supadi,” Masters of Terror, http://yayasanhak.minihub.org/mot/booktoc.htm. 29 “Up in Arms,” Far Eastern Economic Review, 18 Februari 1999.

30 Dikutip dalam East Timor International Support Center (ETISC), Indonesia’s Death Squads: Getting Away With Murder, Darwin: ETISC Occasional Paper No. 2, Mei 1999, halaman 12. Damiri membuat pernyataan yang sama beberapa saat sebelum serangan terhadap Gereja Liquiça, yang menegaskan bahwa militer telah memasok senjata kepada “sejumlah terbatas” kelompok milisi. Lihat “Timor Needs No Foreign Soldiers,” Indonesian Observer, 5 April 1999.

31 “KSAD Jelaskan Soal Sipil Dipersenjatai,” Media Indonesia, 2 Februari 1999. 32 Dikutip dalam ETISC, Indonesia’s Death Squads, halaman 13.

terhadap desa-desa tetangga.33 Serangan-serangan tersebut dilaporkan termasuk satu serangan terhadap desa Galitas, di Zumalai, pada tanggal 25 Januari 1999. Di dalam serangan tersebut sejumlah orang dibunuh, termasuk seorang perempuan yang sedang hamil, dan seorang anak laki-laki berusia 15 tahun34 (Lihat Ringkasan Distrik: Covalima).

Berbicara kepada para wartawan segera setelah kejadian ini, Cancio Carvalho – yang bisa diingat memiliki hubungan erat dengan Mahidin Simbolon, Kepala Staf Kodam IX – mengakui keterlibatan pribadinya dalam pembunuhan tersebut: “Serangan terjadi seperti ini. Saya menembak begini. Saya memimpin mereka dan kami menyerang dalam dua barisan. Saya perintahkan mereka untuk menembak dengan gaya menggunting, seperti ini. Perempuan itu tubuhnya hancur. Saya tidak memotongnya.” Ia juga berusaha menjelaskan mengapa perempuan tersebut dan para korban lainnya dijadikan sasaran: “Perempuan ini adalah istri komandan Falintil. Saya tidak tahu apakah orang tua itu pembuat kekacauan atau bukan.”35

Kakak laki-laki Cancio Carvalho, Francisco Carvalho, seorang bekas sekretaris jenderal partai pro-Indonesia Apodeti, tidak begitu ragu bahwa TNI telah membagikan senjata: “Senjata memang sudah diserahkan,” katanya saat itu, “semua orang tahu itu.”36 Sama halnya, pemimpin milisi Aitarak Eurico Gutteres mengkonfirmasikan bahwa senjata telah dibagikan, tetapi menegaskan bahwa: “Saya diberi senjata bukan hanya untuk melindungi diri saya sendiri maupun orang-orang integrasi lainnya tetapi juga untuk melindungi musuh-musuh integrasi.”37

Keterlibatan langsung pejabat tinggi TNI di dalam pembagian senjata dalam periode ini telah diringkaskan di dalam surat dakwaan terhadap delapan pejabat tinggi Indonesia yang dibuat oleh Wakil Jaksa Agung untuk Kejahatan Berat Timor-Leste.38 Surat dakwaan tersebut secara langsung menyebut Mayor Jenderal Kiki Syahnakri, Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim, Kolonel Tono Suratman, dan Letnan Kolonel Yayat Sudrajat dalam tindakan-tindakan ini. Bagian dari surat dakwaan tersebut yang relevan adalah sebagai berikut:

“19. Pada atau sekitar bulan Maret 1999, Kiki SYAHNAKRI bertemu dengan para pemimpin pro Indonesia Timor-Leste di Markas Besar TNI di Jakarta. SYAHNAKRI memberitahukan kelompok tersebut bahwa TNI akan mendukung usaha pro-Indonesia dan bahwa MAKARIM bertanggungjawab atas koordinasi kegiatan menjelang jajak pendapat. SYAHNAKRI memberitahukan mereka bahwa senjata api telah dikirim ke Timor-Leste dan ketika mereka kembali ke Dili, mereka seharusnya menghubungi SURATMAN untuk mengatur pembagian senjata. …

23. Pada atau sekitar bulan Maret 1999, SUDRAJAT dan anggota lain dari TNI mengantar banyak senjata ke seorang pemimpin pro Indo-nesia Timor-Leste. SUDRAJAT minta pemimpin Timor-Leste tersebut untuk memberikan senjata-senjata kepada kelompok-kelompok milisi pro Indonesia.

33 “Crossbows and Guns in East Timor”, Economist, v. 350 n. 8106 (13 Februari 1999), halaman 40.

34 ABC, Four Corners, “A Licence to Kill,” 15 Maret 1999; dan ETISC, Indonesia’s Death Squads, halaman 12. 35 ABC, Four Corners, “A Licence to Kill,” 15 Maret 1999, transkripsi halaman 10.

36 ABC, Four Corners, “A Licence to Kill,” 15 Maret 1999, transkripsi halaman 11. 37 ABC, Four Corners, “A Licence to Kill,” 15 Maret 1999, transkripsi halaman 5.

7. Milisi: Perekrutan, Pelatihan, Operasi, dan Senjata 107

24. Pada bulan April 1999, MAKARIM memberitahukan para komandan TNI dan pemimpin pro Indonesia Timor-Leste bahwa mereka seharusnya bekerja keras untuk otonomi karena kalau otonomi kalah, lebih banyak darah akan mengalir. Dia menawar kepada para pemimpin pro Indonesia Timor-Leste penggunaan senjata api otomatis dan menyuruh SURATMAN untuk mengatur pengambilan dan pembagian senjata-senjata tersebut.

25. Pada atau sekitar bulan April 1999, SURATMAN, setelah diminta oleh MAKARIM untuk menyediakan senjata api otomatis kepada para pemimpin pro Indonesia Timor-Leste, menyuruh bawahannya SUDRAJAT untuk mengatur pengambilan dan pembagian senjata-senjata tersebut.”

Berhadapan dengan meluasnya kecaman internasional atas pembantaian di Liquiça dan Dili di bulan April 1999, para pejabat Indonesia mulai menyangkal bahwa senjata telah dibagikan, dan berbagai usaha dilakukan untuk menyembunyikan pembagian selanjutnya.39 Namun keseluruhan bukti yang substansial menunjukkan bahwa senjata-senjata terus disediakan kepada milisi setelah bulan April.

Mungkin bukti yang paling nyata adalah fakta bahwa anggota-anggota milisi di seluruh Timor Timur terlihat membawa dan mempergunakan senjata modern standar TNI dan Polri, termasuk M-16, SKS, S-1, dan granat tangan, sementara sebagian besar memiliki senapan Mauser dan G-3 dari zaman penjajahan Portugis. Bahkan jika seseorang menerima pernyataan yang tidak masuk akal bahwa senjata-senjata ini tidak dibagikan oleh TNI atau Polri, faktanya tetap bahwa pihak yang berwenang tidak mengambil tindakan apa pun untuk menyita senjata, atau memproses hukum orang-orang yang memiliki senjata tersebut. Penjelasan yang paling masuk akal adalah bahwa pihak yang berwenang ingin memastikan bahwa milisi bisa mendapatkan senjata api.

Kesimpulan yang sama dapat ditarik dari tindakan para perwira dan pemimpin milisi ketika menghadapi persoalan perlucutan senjata, yang telah lama menjadi pembahasan hangat dan mencapai puncaknya di pertengahan bulan Agustus 1999. Seperti yang dikemukakan dalam Bab I, di awal bulan Agustus 1999 Falintil mulai menarik mundur satuan-satuan bersenjatanya ke dalam empat wilayah ‘kantonisasi’ di berbagai tempat di Timor Timur. Mereka tetap berada di sana, walaupun ancaman kekerasan oleh milisi dan TNI semakin meningkat seiring dengan mendekatnya hari pemungutan suara. Para pejabat UNAMET mengungkapkan penghargaan pada komitmen Falintil untuk menghindari konflik bersenjata melalui kantonisasi, dan menyerukan kepada milisi dan TNI untuk melakukan hal yang sama.

Para pemimpin TNI dan milisi secara tegas menolak melakukan hal yang sama, namun di hadapan meningkatnya tekanan internasional, di pertengahan bulan Agustus mereka menyelenggarakan empat ‘upacara kantonisasi’ dalam mana para anggota milisi menyerahkan berbagai macam senjata kepada para pejabat militer dan kepolisian setempat. Sebagian besar pengamat asing, termasuk Perwira Penghubung Militer UNAMET mengungkapkan keraguan yang mendalam bahwa senjata-senjata yang dalam upacara di depan umum diserahkan itu hanyalah

39 Penyangkalan itu bahkan menjadi lebih kuat setelah terjadinya kekerasan yang mengerikan di bulan September 1999. Bersaksi di hadapan sidang Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia di Jakarta, Kolonel Tono Suratman secara tegas menolak bahwa militer telah memasok senjata kepada milisi. “Kami tidak pernah memberi mereka senjata,” katanya. Lihat “Tono Bantah Keterlibatan TNI dan Polri,”Media Indonesia, 23 Oktober 2002.

sebagian sangat kecil dari senjata yang berada di tangan milisi. Mereka juga mencatat bahwa, mengingat fakta bahwa orang-orang milisi kenyataannya tidak berada di kantonisasi, tidak ada jaminan bahwa senjata-senjata yang sudah dikembalikan itu tidak akan dibagikan kembali kepada milisi segera setelah upacara itu selesai.

Menurut kesaksian banyak orang itulah yang sebenarnya terjadi. Ketika hari pemungutan suara mendekat, pembagian senjata kepada milisi sangat meningkat, dan dengan kepergian sebagian besar pengamat internasional setelah tanggal 4 September, para perwira TNI sekali lagi mendapatkan kebebasan untuk membagikan senjata kepada milisi tanpa malu-malu lagi. Kesaksian seorang saksi mata yang dapat dipercaya menyatakan bahwa sejumlah besar – mungkin ratusan – senjata api dibagikan oleh TNI dan Polri setelah pemungutan suara. Pola ini menunjukkan tidak hanya hubungan yang erat antara milisi dan TNI, tetapi juga suatu tingkat perencanaan dan koordinasi TNI, sekurang-kurangnya di tingkat Korem dan mungkin tingkat yang lebih tinggi. Kesimpulan tersebut juga sesuai dengan bukti bahwa perwira-perwira tinggi TNI terlibat dalam penyediaan senjata di dalam masa sebelum pemungutan suara.

Namun akan menjadi salah arah kalau menyatakan bahwa milisi sepenuhnya diperlengkapi dengan senjata api modern yang canggih. Sementara sebagian memang mendapatkan senjata api modern, kebanyakan milisi dipersenjatai dengan apa yang disebut ‘senjata rakitan’ serta parang, pedang, pisau, dan tombak. Dibuat dari dua atau lebih pipa baja yang dilekatkan pada sebatang penampang kayu, sepucuk senjata rakitan ditembakkan dengan menyulutkan korek api mancis atau gas pada bagian atas senjata tersebut, di dasar pipa baja. Ledakan yang dihasilkan mengirim sebuah bola besi atau pecahan logam yang meluncur keluar dari pipa yang sedikit banyak mengarah pada sasaran. Bagi mata yang tidak terlatih, senjata rakitan itu menyerupai senjata api abad ke-17 dan ke-18, dan banyak kesaksian menyebutkan bahwa senjata itu tidak handal.

Sekilas, ketergantungan milisi pada senjata-senjata yang berteknologi rendah semacam itu tampak tidak sesuai dengan klaim bahwa mereka didukung secara resmi oleh TNI, atau bahwa kekerasan adalah sesuatu yang direncanakan dengan seksama. Jika mereka sungguh-sungguh dalam menggunakan milisi untuk mengintimidasi oposisi dan menciptakan kekacauan, tentunya TNI akan memberikan kepada mereka semua akses untuk mendapatkan senjata yang canggih dan membiarkan mereka lepas. Akan tetapi, setelah dianalisis lebih dalam, jelas bahwa penggunaan teknologi senjata sederhana itu sepenuhnya konsisten dengan bukti tentang pembagian senjata dan koordinasi kekerasan milisi oleh TNI.

Dari sudut pandang ahli strategi TNI, senjata rakitan, parang, pisau, tombak, pedang, dan batu setidaknya memiliki tiga keuntungan. Pertama, senjata-senjata itu membuat lebih mudah untuk mempertahankan ilusi bahwa milisi tumbuh secara spontan dari masyarakat. Kedua, jauh lebih kecil bahaya bahwa senjata-senjata sederhana semacam itu akan dapat dibalikkan untuk melawan TNI atau Polri apabila terjadi pemberontakan, atau bila terjadi kehilangan senjata atau penjualan senjata ke pihak musuh.40 Akhirnya, di luar kesederhanaannya, senjata-senjata ini amat sangat efektif untuk menyebarkan teror. Walaupun senjata rakitan sama kemungkinannya untuk melukai pemiliknya maupun sasaran yang dikehendaki,

40 Perwira Penghubung Militer UNAMET di Viqueque menyatakan kekhawatiran ini dalam hubungannya dengan kelompok milisi 59/75 Junior, dalam satu laporan Agustus 1999: “Kami tidak percaya bahwa TNI atau KOPASSUS mempercayai anggota 59/75 Junior untuk diberi senjata dan amunisi.” UNAMET, MLO-V iqueque, Sitrep, 5 Agustus 5, 1999, halaman 3. Laporan ini dimuat dalam UNTAET, Political Af fairs Office, Briefing Book, Dili, November 1999.

7. Milisi: Perekrutan, Pelatihan, Operasi, dan Senjata 109

namun senjata itu dapat menghasilkan luka yang serius, dan menimbulkan dampak yang mengerikan. Begitu pula dengan parang, pisau, tombak, pedang, dan batu.