• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengakuan Politik dan Hukum

MILISI DAN PIHAK BERWENANG

6. Milisi: Sejarah, Pembentukan, dan Pengakuan Hukum

6.3 Pengakuan Politik dan Hukum

Milisi secara efektif diberi status hukum dan politik oleh para pejabat Indone-sia. Pengakuan semacam itu membawa sejumlah keuntungan praktis tertentu bagi milisi, dan memberikan mereka akses ke lingkaran inti kekuasaan. Lebih penting lagi, ini berarti bahwa pihak berwenang Indonesia mengemban tanggungjawab hukum dan politik untuk tindakan-tindakan mereka, termasuk pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap umat manusia.

Pejabat-pejabat militer, kepolisian, dan sipil pada awalnya tidak menutup-nutupi dukungan mereka kepada kelompok-kelompok pro-otonomi, dan kepada milisi. Mulai akhir tahun 1998, dan dengan frekuensi yang meningkat pada awal tahun 1999, para pejabat TNI, Polri, dan pemerintah sipil mengambil bagian dalam

24 Sydney Morning Herald, “Silence over crime against humanity,” 14 Maret 2002.

25 Timor-Leste, Wakil Jaksa Penuntut Umum untuk Kejahatan Berat, Surat Dakwaan Wiranto dan lain-lain, Februari 2003, paragraf 10.

6. Milisi: Sejarah, Pembentukan, dan Pengakuan Hukum 91

berbagai upacara yang menandai pembentukan kelompok-kelompok milisi, atau memberikan semangat kepada kelompok-kelompok yang telah terbentuk untuk bertindak melawan kekuatan pro-kemerdekaan.26 Kegiatan yang terdokumentasikan mencakup upacara peresmian di Cassa, (12 Desember 1998), Same (11 Maret 1999), Viqueque (11 Maret 1999), Dili (17 April 1999), Maliana (April 1999), Suai (pertengahan April 1999), Oecussi (1 Mei 1999), Manatuto (8 Mei 1999), Lolotoe (10 Mei 1999), Laclubar (18 Mei 1999), dan Gleno (April atau Mei 1999). Tanpa kecuali, Dandim, Kapolres, dan Bupati masing-masing wilayah hadir di semua upacara ini. Dalam beberapa kasus, upacara dihadiri oleh pejabat dari jajaran yang lebih tinggi, termasuk komandan militer Timor Timur, Kolonel Tono Suratman.27

Salah satu contoh yang paling jelas mengenai dukungan publik semacam itu terjadi pada tanggal 17 April 1999 ketika para pejabat penting – termasuk Gubernur Timor Timur, Bupati Dili, Kolonel Tono Suratman, dan Mayor Jenderal Kiki Syahnakri28 – berkumpul di depan kantor Gubernur untuk menyaksikan rapat umum pro-otonomi, yang dihadiri oleh ratusan anggota milisi dari seluruh Timor Timur.29 Menurut berbagai kesaksian tentang pawai tersebut, pemimpin milisi Eurico Guterres menyerukan kepada semua yang hadir untuk “melaksanakan pembersihan terhadap semua orang yang telah mengkhianati integrasi. Tangkap dan bunuh mereka kalau perlu.”30 Kemudian pada siang itu, diperkirakan 1.645 anggota milisi bergerak mengamuk di seluruh Dili, menembak-nembakkan senjata mereka, dan menyerang rumah tokoh pro-kemerdekaan yang terkenal, Manuel Carrascalão, serta membunuh setidaknya 12 orang. (Lihat Studi Kasus: Pembantaian di Rumah Carrascalão).

Tidak ada satu pun suara pemerintah Indonesia yang disampaikan untuk memprotes pernyataan Guterres yang membakar itu, dan tidak ada usaha serius yang dibuat untuk mencegah kekerasan milisi. Sebaliknya, para pejabat yang berkuasa sungguh-sungguh berusaha menolak bertindak, dan dengan berbuat demikian secara efektif memfasilitasi dan mendukung kekerasan. Dari antara mereka yang gagal bertindak adalah komandan militer Timor Timur, Kolonel Tono Suratman. Ketika amukan milisi dimulai, Manuel Carrascalão datang ke kantor Tono Suratman dan meminta Danrem itu untuk bertindak. Menurut Menteri Luar Negeri Irlandia, David Andrews, yang berada di sana, Kolonel Suratman tidak perduli dan tidak melakukan apa-apa.31

Selain pengakuan politik de facto semacam itu, pemerintah Indonesia juga memberikan status legal resmi kepada kelompok-kelompok milisi. Dalam beberapa bulan pertama di tahun 1999, pihak berwenang Indonesia menggolongkan milisi sebagai Wanra, Hansip, dan Ratih dan kadang-kadang Surwan (singkatan dari

26 Sebagaimana yang ditulis oleh kepala misi UNAMET, Ian Martin: “… tidak ada penyembunyian tentang tingkat persetujuan resmi pada keberadaan milisi: para pejabat militer, kepolisian, dan pemerintah sipil menghadiri upacara peresmian dan acara-acara lain dengan milisi di seluruh Timor Timur.” Ian Martin, Self-Determination in East Timor, halaman 25.

27 Upacara di Manatuto – yang dipimpin oleh Bupati dan dihadiri oleh sekitar 5.000 orang – dihadiri oleh Danrem Kolonel Tono Suratman. Lihat Kodim 1631/Manatuto, Laporan Harian Intelijen Rahasia, 12 Mei 1999 (Koleksi Yayasan HAK, Doc #23).

28 Menurut keterangan yang belum dikukuhkan, Mayor Jenderal Adam Damiri dan Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim juga hadir.

29 Satu laporan intelijen TNI tentang up acara tanggal 17 April memperkirakan bahwa yang hadir 1.645 anggota milisi. Menurut laporan itu, kelompok-kelompok yang hadir meliputi: Aitarak (760), BMP (400), Laksaur (75), Mahidi (75), AHI (80), Naga Merah (75), Morok (80), Alfa (50), dan Saka (50). Lihat: Dan Sat Gas Pam Dili kepada Dan Rem Up. Kasi Intel Rem 164/WD dan lain-lain. Telegram rahasia No. STR/200/1999, 17 (18?) April 1999 (Koleksi Yayasan HAK, Doc #16).

30 Dikutip dalam Amnesty International, Seize the Moment (AI Index ASA 21/49/99), 21 Juni 1999, halaman 20. 31 Ian Martin, Self-Determination in East Timor, halaman 27.

Sukarelawan) – yaitu, sebagai kesatuan-kesatuan pertahanan warga yang resmi yang telah ada selama bertahun-tahun. Ini bukanlah sekadar tindakan hubungan masyarakat; terminologi yang sama digunakan dalam laporan-laporan dan memo-memo rahasia TNI. Misalnya, dalam sepucuk surat di bulan Maret 1999, seorang personil Kopassus di Baucau menyebut kelompok milisi Saka, Sera, dan Alfa sebagai ‘Ratih.’32 Makna dari penggolongan ini adalah bahwa hal ini menegaskan bahwa kelompok-kelompok milisi telah diberi kedudukan hukum oleh pemerintah In-donesia.

Kedudukan hukum semacam itu bermakna hubungan istimewa dengan badan-badan pemerintah, terutama TNI dan kesatuan-kesatuan Kopassus. Sifat dari hubungan khusus itu ditunjukkan melalui berbagai dokumen di tahun 1999. Misalnya, dalam sepucuk surat pada bulan Maret 1999, seorang perwira Kopassus meminta kepada kantor dinas kesehatan Baucau untuk menyediakan obat-obatan kepada sekitar 600 anggota Ratih dan keluarga mereka. Tidak ada alasan medis yang mendesak untuk permintaan tersebut. Sebaliknya, tujuan eksplisitnya adalah untuk memberikan penghargaan kepada para anggota ‘Ratih’ atas bantuan mereka dalam mendukung operasi TNI dan untuk meningkatkan semangat mereka.33

Bahkan Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jenderal Wiranto, jelas menganggap kelompok-kelompok milisi sebagai satu unsur yang dapat diterima dan sah dalam strategi militer. Dalam satu rencana darurat yang dikutip oleh Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur (KPP-HAM), Wiranto menggambarkan milisi sebagai berikut:

“Kekuatan bersenjata berjumlah kurang lebih 1.100 orang dengan 546 pucuk senjata berbagai jenis termasuk rakitan, mereka tergabung dalam organisasi-organisasi pro-integrasi. Massa pendukung militan 11.950 orang tergabung dalam organisasi-organisasi perlawanan seperti Besi Merah Putih, Aitarak, Mahidi, Laksaur Merah Putih, Sakunar, Ahi, Jati Merah Putih, Darah Integrasi, Dadarus Merah Putih, Guntur Kailak, Halilintar Junior, Tim Pancasila, Mahadomi, Ablai dan Naga Merah.”34

Walaupun menurut pandangan mereka kelompok-kelompok milisi itu sah, namun dengan meningkatnya kemungkinan pengamatan internasional, pihak berwenang Indonesia membuat satu usaha untuk memberikan legalitas sipil baru kepada kelompok-kelompok milisi. Mulai bulan April 1999, kelompok-kelompok milisi penting secara resmi digolongkan sebagai organisasi keamanan sukarela warga, atau Pam Swakarsa. Istilah tersebut telah digunakan untuk mengabsahkan kelompok-kelompok pemuda yang dimobilisasi untuk memberikan ‘keamanan’ di wilayah-wilayah lain Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam pembicaraan dengan UNAMET, dan dalam pernyataan- pernyataan publik, para pejabat pemerintah bersikeras bahwa kelompok-kelompok di Timor Timur bukanlah milisi tetapi Pam Swakarsa, dan bahwa aktivitas mereka sepenuhnya sesuai dengan hukum.

Status resmi kelompok-kelompok milisi sebagai Pam Swakarsa dikonfirmasi

32 Lihat: Komandan Satuan Lapangan-A, Satuan Tugas Tribuana-VIII, kepada Kepala Dinas Kesehatan Tingkat II Kab. Baucau, “Permohonan Dukungan Obat Bulanan Pos dan Kes Satlap-A,” Maret 1999 (Koleksi Yayasan HAK, Doc #14).

33 Ibid.

34 Wiranto, dikutip dalam Laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur (Internal), Jakarta, Januari 2000, paragraf 40.

6. Milisi: Sejarah, Pembentukan, dan Pengakuan Hukum 93

oleh dua dokumen. Dokumen pertama adalah satu perintah dari Gubernur Timor Timur, Abílio Osório Soares, dan Komandan Korem Timor Timur, Kolonel Tono Suratman, bertanggal 23 April 1999 yang memerintahkan pembentukan Pam Swakarsa di seluruh wilayah Timor Timur.35 Sedang yang kedua adalah satu instruksi yang datang dari pemerintah Kabupaten Dili, juga dari bulan April 1999, yang secara resmi memasukkan milisi Aitarak sebagai unsur integral dari Pam Swakarsa, dan memberikan daftar sejumlah pejabat sipil dan militer sebagai pemimpin mereka.36

Bahkan setelah seruan untuk membentuk Pam Swakarsa menyebar di seluruh Timor Timur, pejabat-pejabat TNI dan yang lain terus menggambarkan milisi sebagai bagian dari aparat pertahanan sipil yang telah lama berdiri; yaitu sebagai Wanra, Hansip, dan Ratih. Dalam satu laporan Perwira Penghubung Militer UNAMET di Kabupaten Viqueque bertanggal 5 Agustus 1999 dicatat bahwa latihan TNI dengan milisi “dijelaskan sepintas sebagai kegiatan Wanra yang sah atau sebagai kegiatan kemasyarakatan dari TNI … Sama halnya dengan PAM-Swakarsa-isasi milisi di Dili, kami melihat milisi yang punya hubungan dengan TNI tampil sebagai Wanra dan Hansip.”37

Karena adanya kaitan historis di antara kesatuan-kesatuan bantuan sipil dan milisi baru, klaim ini mungkin agak mendekati kebenaran. Klaim itu sekaligus menyembunyikan fakta bahwa di bulan Juni 1999, kelompok-kelompok milisi secara resmi telah diorganisasikan ke dalam satu struktur tunggal gaya militer, dengan nama yang eksplisit militer ‘Pasukan Pejuang Integrasi’ (PPI), dan mendapatkan komando dan instruksi dari para pemimpin organisasi tersebut. Struktur tersebut, yang secara resmi diakui oleh pihak berwenang Indonesia, menambah bobot pada klaim bahwa kelompok-kelompok milisi diorganisasikan secara resmi, bukan spontan, dan bahwa aksi-aksi mereka – termasuk tindak kekerasan – dikoordinasikan.

Status resmi dari kelompok milisi, dan hubungan dekat mereka dengan TNI, lebih jauh dikonfirmasi oleh satu laporan rahasia tertanggal 21 Juni 1999, dari Kodim Dili kepada Korem. Laporan itu merupakan jawaban atas permintaan dari kepala seksi intelijen militer Timor Timur untuk klarifikasi tentang sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan oleh organisasi non-pemerintah setempat, Yayasan HAK. Dalam rangka memeriksa laporan ini, Kodim Dili memberikan daftar pelanggaran hak asasi manusia itu kepada Aitarak, yang anggota-anggotanya merupakan pelaku utama pelanggaran yang disebutkan dalam laporan. Tidak mengejutkan, pimpinan Aitarak menyatakan bahwa semua tuduhan tersebut tidak benar. Penting dicatat bahwa pernyataan pimpinan Aitarak diterima tanpa diperiksa lebih lanjut dan disampaikan kepada Korem sebagai temuan Kodim.38

Para pemimpin milisi juga diberi status setengah resmi di dalam badan-badan negara yang bertanggungjawab untuk urusan politik dan keamanan. Para pemimpin milisi secara rutin diundang ke berbagai rapat dan penjelasan dengan pejabat-pejabat TNI, Polri, dan sipil. Sebagian dari pertemuan ini bersifat rahasia, tetapi banyak yang bersifat publik. Ketika ditanya mengenai pertemuan-pertemuan

35 Surat itu sendiri belum pernah ditemukan hingga kini, namun dokumen-dokumen resmi lain menyebut dengan eksplisit dokumen itu.

36 Lihat: Bupati Dili, “Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk. I Dili, No. 33 Tahun 1999, Tentang Pengamanan Swakarsa (Pam Swakarsa) dan Ketertiban Kota Dili,” 14 Mei 1999 (Koleksi SCU, Doc #304).

37 UNAMET Viqueque, “Outline of Pro-Integration Militia in Viqueque Area,” 6 Agustus 1999. Dimuat dalam UNTAET, Political Affairs Office, Briefing Book on Political Affairs and Human Rights in East Timor, November 1999.

38 Lihat: Dandim 1627/Dili kepada Danrem Up. Kasi Intel Rem 164/WD, dan lain lain. Telegram rahasia No. STR/137/1999, 21 Juni 1999 (Koleksi Yayasan HAK, Doc #30).

semacam itu, para pejabat pemerintah dan militer kadang-kadang menyatakan bahwa mereka bermaksud mendesak milisi untuk menghentikan tindakan-tindakan di luar hukum. Namun, para peserta dan saksi pertemuan tersebut memberikan laporan yang konsisten kepada UNAMET bahwa tujuan umum dari pertemuan-pertemuan tersebut adalah untuk menyampaikan rencana strategis dan taktis untuk tindak kekerasan yang terencana – termasuk pembakaran rumah, pemukulan, dan pembunuhan – terhadap para pendukung kemerdekaan.

Selain pertemuan tingkat rendah yang tak terhitung jumlahnya, di tahun 1999 ada sejumlah pertemuan antara para perwira tinggi militer dan para pemimpin milisi. Misalnya, dalam bulan Maret 1999 Mayor Jenderal Damiri tercatat menghadiri satu pertemuan para pemimpin kelompok pro-otonomi dan milisi di sebuah hotel mewah di Bali, dan mengatakan kepada mereka bahwa Indonesia “100 persen di belakang mereka dan tidak akan pernah meninggalkan mereka.”39 Di markas Korem pada tanggal 18 Juni, Mayor Jenderal Kiki Syahnakri, Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim, Brigadir Jenderal Glenny Kairupan, Kolonel Tono Suratman, dan beberapa pemimpin milisi bertemu untuk membahas rincian rencana darurat untuk mempengaruhi pemungutan suara, dan untuk menciptakan kekacauan kalau pihak pro-kemerdekaan menang.40 Pertemuan tingkat tinggi lebih lanjut dilaporkan terjadi di Dili yang diadakan segera setelah pemungutan suara. Pertemuan yang dihadiri oleh Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim, Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsuddin, dan beberapa perwira tinggi TNI lainnya itu dilaporkan membahas rencana-rencana untuk menghancurkan infrastruktur vital, dan membunuh tokoh-tokoh utama kemerdekaan, kalau hasil penghitungan suara menunjukkan kemenangan pro-kemerdekaan.41

Harus diperhatikan bahwa pertemuan-pertemuan antara para pejabat militer, kepolisian dan pemerintah sipil itu bukanlah sesuatu yang khas Timor Timur. Secara bersama-sama, para pejabat ini merupakan suatu lembaga yang bertanggungjawab untuk urusan keamanan yang ada pada setiap tingkat hirarki pemerintahan Indo-nesia. Badan yang dikenal dengan nama Muspida di tingkat kabupaten, dan dengan nama-nama yang berbeda pada tingkat-tingkat struktur pemerintah yang lebih rendah, mengadakan rapat secara rutin, baik di Timor Timur maupun di Indonesia sendiri. Yang tidak lazim adalah di Timor Timur tahun 1999 para pemimpin milisi diundang untuk ambil bagian dalam rapat-rapat seperti itu. Akibatnya, walaupun menjadi penanggungjawab atas terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia, milisi digabungkan dalam aparat pembuatan keputusan resmi negara Indonesia. Status resmi dari milisi, yang terbukti jelas dari partisipasi mereka dalam pertemuan-pertemuan semacam itu, dikonfirmasikan lebih jauh oleh sejumlah dokumen resmi yang penting, yang ditandatangani bersama oleh pejabat Indonesia yang berwenang dan komandan milisi. Misalnya, ini mencakup satu perintah yang ditandatangani bersama oleh seorang Komandan Rayon Militer (Danramil) dan seorang komandan milisi tingkat Kecamatan yang menginstruksikan kepada seorang pemimpin milisi lain dan anak buahnya untuk menghadiri satu pertemuan

39 Dan Murphy, “Spotlight: School’s Out,” Far Eastern Economic Review, 23 September 1999.

40 Douglas Kammen, “The Trouble with Normal: The Indonesian Military, Paramilitaries, and the Final Solution in East Timor,” dalam Benedict Anderson (penyunting), Violence and the State in Suharto’s Indonesia. Ithaca, NY: Cornell Southeast Asia Program, 2001.

41 “Maj. Gen. Zacky Anwar Makarim,” Masters of Terror, http://yayasanhak.minihub.org/mot/booktoc.htm; dan “Sjafrie Sjamsuddin siapkan rencana darurat,” MateBEAN, 1 September 1999.

42 Perintah (No. 02/HMP/Kec.BB/VII/1999), bertanggal 30 Juli 1999, ditandatangani oleh Danramil Bobonaro, Sersan Poniran dan Komandan milisi Hametin Merah Putih di Bobonaro, Alberto Leite (Koleksi HRU, Doc. BOB#10).

6. Milisi: Sejarah, Pembentukan, dan Pengakuan Hukum 95

pada tempat dan waktu yang sudah ditentukan.42 Dokumen-dokumen itu juga mencakup setumpuk ‘surat ijin jalan’ yang ditandatangani bersama oleh komandan milisi Eurico Guterres dan berbagai pejabat militer, kepolisian, dan pemerintah sipil di awal September 1999.43 Di antara yang paling luar biasa dari ‘surat ijin jalan’ ini adalah satu surat yang ditandatangani oleh Eurico Guterres dan Kepala Staf Kodim Dili, Kapten Salmun Manafe.44 Dokumen ini luar biasa karena memberikan ijin perjalanan kepada Kapten Manafe dan keluarganya. Dengan kata lain, di bulan September 1999, bahkan Kepala Staf Kodim membutuhkan dan terbukti menerima otoritas legal seorang komandan milisi dalam urusan keamanan.

Singkatnya, bukti-bukti yang disampaikan di dalam bab ini mengajukan dukungan kuat untuk kesimpulan bahwa milisi bukanlah badan independen yang bertindak di luar jangkauan negara Indonesia, tetapi kenyataannya dibentuk, didukung, dan diarahkan oleh pihak-pihak berwenang Indonesia. Lebih jauh, bukti-bukti ini menunjukkan bahwa dukungan kepada milisi tidaklah sekadar disediakan oleh sejumlah kecil ‘oknum’ di dalam TNI, tetapi merupakan bagian dari kebijakan resmi, dan mendapatkan dukungan dari sebagian pejabat tertinggi dan paling berkuasa di Indonesia. Kesimpulan-kesimpulan ini didasarkan pada tiga temuan utama berikut ini.

Pertama, milisi yang menyebabkan kekacauan di tahun 1999 bukanlah kelompok yang baru. Sebaliknya, mereka itu merupakan kelanjutan dari strategi politik dan militer yang sudah mapan dan telah diterapkan oleh angkatan darat Indonesia di Timor Timur sejak invasi di tahun 1975. Kenyataannya, sebagian dari pasukan milisi yang aktif di tahun 1999 telah dimobilisasi oleh angkatan bersenjata Indonesia pada saat invasi, sementara sebagian yang lain telah dibentuk oleh para perwira Angkatan Darat dalam dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Selama 24 tahun pendudukan Timor Timur, kelompok-kelompok tersebut dilatih, dipasok, dan dibina oleh Angkatan Darat Indonesia, dan menggunakan taktik-taktik yang sebenarnya sama dengan yang terlihat di tahun 1999. Pola historis ini menyediakan dasar yang sangat kuat untuk meragukan pernyataan pemerintah Indonesia bahwa kelompok-kelompok milisi tersebut muncul secara spontan dan bertindak sendiri di tahun 1999.

Kedua, pejabat-pejabat tinggi militer di Dili, Denpasar, dan Jakarta, secara aktif terlibat dalam pembentukan kelompok-kelompok milisi baru, dan dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka sejak pertengahan 1998 sampai dengan tahun 1999. Bukti tentang berlanjutnya keterlibatan pihak berwenang didapatkan dari kesaksian mantan pemimpin-pemimpin Timor Timur pro-Indo-nesia, dan dari komunikasi rahasia antara para pejabat sipil dan militer Indonesia pada tahun 1998 dan 1999. Bukti ini menunjuk pada para pejabat tinggi, yang mencakup: Jenderal Wiranto, Letnan Jenderal (Purn.) Feisal Tanjung, Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim, Mayor Jenderal Adam Damiri, Kolonel Tono Suratman, dan Mayor Bambang Wisnumurty.

Terakhir, ada bukti yang tak terbantahkan bahwa milisi-milisi tersebut diberi kedudukan legal dan politik resmi baik oleh pemerintah Indonesia maupun oleh pihak berwenang militer. Pernyataan-pernyataan publik yang mendukung milisi, yang dibuat oleh sejumlah pejabat, merupakan ungkapan tentang pengakuan dan dukungan resmi negara kepada kelompok-kelompok tersebut. Pernyataan-pernyataan itu juga bisa dipandang sebagai mendorong, dan bahkan memicu,

43 Lihat misalnya, Koleksi SCU, Documents #42, 43, 53, 54, 57, dan 283-299.

44 Lihat: Kepala Staf Kodim 1627 (Kapten Salmun Manafe) dan Wakil Panglima PPI (Eurico Guterres), Surat Ijin Jalan, No. SIJ/14/IX/1999, 3 September 1999 (Koleksi SCU, Doc #53).

kelompok-kelompok milisi untuk melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia. Dengan dasar-dasar itu, bisa diajukan pendapat bahwa milisi adalah tangan resmi aparat politik dan keamanan Indonesia, dan bahwa tindakan-tindakan mereka oleh karena itu merupakan tanggungjawab langsung dari pihak-pihak berwenang In-donesia. Lebih lanjut, kedudukan legal milisi bukanlah sekadar bersifat teoretis, tetapi dikonfirmasikan oleh pengikutsertaan secara tetap para pemimpin milisi di dalam pembahasan dan pengambilan keputusan pejabat-pejabat Indonesia dalam bidang politik dan keamanan di semua tingkatan. Jadi, baik dalam hukum dan dalam praktek, milisi bertindak dengan pengesahan penuh pihak-pihak berwenang In-donesia.

97

Hubungan antara milisi dengan TNI dan pejabat-pejabat Indonesia lainnya juga jelas terbukti dalam pola perekrutan, pelatihan, operasi, dan akses milisi pada senjata. Pola-pola itu signifikan karena menunjukkan bahwa milisi bukanlah entitas independen yang berada di luar kontrol pihak berwenang, seperti yang diklaim oleh pejabat-pejabat Indonesia, tetapi ada dan bertindak sesuai dengan arahan dan prosedur TNI. Lebih dari itu, pola-pola tersebut melibatkan TNI, termasuk sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat, dalam pelaksanaan pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh milisi.