• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketidakbertindakan dan Keterlibatan Polisi

HAK ASASI MANUSIA TAHUN 1999: POLA DAN

4. Pola dan Variasi

4.2 Ketidakbertindakan dan Keterlibatan Polisi

Pandangan bahwa kekerasan yang terjadi itu direncanakan, dan bukan spontan, memperoleh dukungan lebih jauh dalam pola perilaku Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pola yang paling jelas adalah kegagalan terus-menerus Polri dalam menangani tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok milisi ketika kekerasan itu berlangsung, atau dalam mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menyelidiki atau menghukum mereka setelah terjadinya kekerasan tersebut. Satu contoh yang paling jelas dari pola ini adalah tindakan Polri terhadap serangan milisi terhadap rombongan bantuan kemanusiaan di Liquiça pada tanggal 4 Juli. Meskipun ada peringatan jelas bahwa rombongan tersebut kemungkinan diserang, dan walaupun ada permintaan berulang-ulang dari UNAMET agar Polri melakukan pengawalan resmi, namun tidak satu pun permintaan itu yang dipenuhi. Polri juga gagal untuk melakukan tindakan ketika serangan terjadi, walaupun kantor Kepolisian Resor (Polres) hanya berada dalam jarak beberapa menit dari tempat kejadian ditempuh dengan menggunakan mobil. Lebih lanjut, setelah serangan itu

Polri tidak berusaha untuk menangkap, atau bahkan menanyai satu pun anggota milisi yang terlihat menyerang rombongan tersebut dengan senjata. Sebaliknya, mereka bekerjasama dengan milisi untuk menangkap orang-orang yang melarikan diri dari serangan tersebut. Ketika petugas UNAMET dan organisasi-organisasi non-pemerintah berkendaraan menuju Dili dengan mobil mereka yang rusak, mereka dihalangi perintang jalan di depan kantor Kepolisian Resor (Polres) Liquiça. Perintang jalan itu dijaga oleh dua orang anggota milisi yang salah satunya membawa sebuah senapan otomatis (Lihat Studi Kasus: Penyerangan terhadap Rombongan Bantuan Kemanusiaan).

Para anggota milisi yang diketahui melakukan tindakan-tindakan kekerasan hampir tidak pernah ditahan atau diproses hukum atas kejahatan apa pun. Satu-satunya pengecualian terjadi di tengah munculnya tekanan internasional yang kuat dan intervensi politik pada tingkat tertinggi. Sebagai tanggapan pada tekanan semacam itu, sejumlah anggota milisi ditahan dan dituntut sehubungan dengan serangan terhadap rombongan bantuan kemanusiaan pada tanggal 4 Juli, dan serangan terhadap kantor UNAMET di Maliana pada tanggal 29. Namun, kasus-kasus tersebut tidak dengan sungguh-sungguh diproses hukum dan, setelah menerima penangguhan hukuman yang pendek selama empat atau lima bulan, semua tertuduh dibebaskan.9

Persoalannya bukan ambiguitas hukum. Bahkan di Timor Timur, hukum In-donesia jelas melarang pembunuhan, penculikan, penghancuran harta benda, dan membawa senjata api tanpa izin, sehingga ada dasar hukum yang cukup jelas bagi Polri untuk menindak milisi. Lebih lagi, di bawah kerangka Kesepakatan 5 Mei, Polri diberi tanggungjawab tunggal untuk memelihara keamanan dan ketertiban selama Konsultasi Rakyat. Persoalannya juga bukan pelatihan dan keahlian yang kurang memadai. Kadang-kadang polisi bertindak tegas dan profesional, walaupun itu biasanya dalam mengejar seseorang dari pihak pro-kemerdekaan yang dituduh melakukan tindakan kriminal.

Persoalan sebenarnya adalah bahwa Polri secara politik dan operasional berada di bawah TNI.10 Dalam hal milisi Timor Timur didukung oleh TNI – dan Polri jelas mengetahui hal ini – kesempatan menjadi amat sangat kecil bagi Polri untuk berani menindak mereka. Sesungguhnya, para perwira Polri mengatakan kepada para Polisi Sipil PBB (UN Civpol) bahwa mereka terkendala oleh TNI. Ini bukan hanya persoalan mengikuti tuntutan atau perintah TNI. Tetapi ini juga akibat dari sebuah persepsi umum bahwa sebagian anggota milisi sebenarnya adalah prajurit TNI, mungkin bahkan Kopassus. Dalam keadaan seperti ini, Polri takut untuk bertindak dengan sungguh-sungguh.

Hakekat persoalannya tergambarkan dengan baik melalui pengalaman satu tim UNAMET yang pergi menuju Kecamatan Atsabe pada tanggal 31 Agustus 1999 untuk menyelidiki pembunuhan terhadap João Lopes, salah satu dari dua staf lokal UNAMET yang dibunuh di wilayah itu oleh milisi pada hari pemungutan suara. Ketika mendekati bangunan di mana jenazah Lopes terbaring, tim UNAMET melihat bahwa jenazah itu dikelilingi oleh sekitar 50 orang anggota milisi – yang sebenarnya adalah orang-orang yang telah membunuh João Lopes – bersenjatakan

9 Lihat UNAMET, Political Affairs Office, “Weekly Sitrep #4 (26 July-1 August),” halaman 3-4; “Weekly Sitrep #5 (2 August-8 August),” halaman 4; “Weekly Sitrep #6 (9 August-15 August),” halaman 4. Dicetak ulang dalam UNTAET, Political Affairs Office, Briefing Book, Dili, November 1999.

10 Berbicara kepada seorang wartawan Australia di akhir tahun 1999, misalnya, seorang mantan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan: “Tentang siapa yang memiliki otoritas tertinggi, kit a semua tahu itu TNI.” ABC, Four Corners, “The Vanishing,” 18 Oktober 1999, transkripsi, halaman 9.

4. Pola dan Variasi 59

parang, senjata api rakitan, dan senapan. Bercampur bersama para milisi adalah para anggota Polri dan TNI. Pembicaraan panjang dengan Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) setempat dan seorang perwira Polri yang berbasis di Ermera, menghasilkan jaminan bahwa kerumunan milisi itu akan dibubarkan dan dikendalikan. Tetapi tidak ada tindakan yang diambil, dan milisi tetap berada di tempat yang berdekatan, dengan senjata di tangan. Sebagai tanggapan terhadap protes dari pihak UNAMET, Kapolsek dan perwira dari Ermera tersebut menjelaskan bahwa mereka tidak berani memerintahkan milisi untuk melakukan sesuatu, karena mereka sangat mungkin akan berbalik menyerang Polri (Lihat Studi Kasus: Pembunuhan Staf UNAMET di Boboe Leten).

Polri juga mengambil bagian dalam operasi-operasi yang memfasilitasi kekerasan TNI dan milisi. Beberapa dari operasi tersebut, dinilai dari jangkauannya, pasti direncanakan di tingkat provinsi ataupun di tingkat yang lebih tinggi. Bukti pa-ling kuat tentang hal tersebut bisa dilihat pada periode setelah pemungutan suara, dan khususnya pada perilaku Polri dan TNI selama evakuasi personil UNAMET dari kantor-kantor tingkat kabupaten di awal September. Peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan terjadinya evakuasi besar-besaran itu memiliki kesamaan besar yang mengerikan dengan, dan tanda-tanda dari, suatu operasi perang psikologis yang terencana dengan baik. Satu laporan UNAMET mengenai evakuasi dari lima kantor kabupaten pada tanggal 3 dan 4 September menyimpulkan bahwa kekerasan yang terjadi merupakan bagian dari satu “strategi yang terencana dengan baik untuk memaksa UNAMET mundur dari beberapa wilayah tertentu kembali ke Dili.”11

Jika ditinjau kembali, jelas bahwa tujuan penting dari operasi tersebut adalah untuk menteror staf internasional UNAMET dan semua pengamat internasional lainnya, dengan maksud untuk membuat mereka meninggalkan Timor Timur.

Dalam setiap kejadian, urutannya dimulai dengan milisi berkeliaran secara bebas di seluruh kota utama, dilengkapi dengan persenjataan yang lebih berat daripada biasanya. Lalu mereka menembak, menyulut api dan membakar gedung, serta membunuh. Dalam setiap kasus, Polri maupun TNI tidak berusaha melakukan tindakan untuk menghalangi milisi, justru giat membantu mereka. Dalam waktu beberapa jam, Polri di kabupaten yang terkena serangan memperingatkan bahwa mereka tidak lagi bisa mengendalikan keadaan, dan menyarankan agar semua staf UNAMET mengungsi ke kantor Polres. Setelah mereka mengumpulkan staf PBB di kantor mereka, tiba-tiba mereka menyatakan bahwa mereka akan pergi, dan menyarankan UNAMET untuk mengikuti. Karena tidak memiliki penjamin untuk keamanan mereka sendiri, dan terputus dari semua sumber informasi independen, para pejabat UNAMET di tingkat kabupaten tidak memiliki pilihan kecuali pergi bersama polisi. Demikianlah, mereka bergabung dengan konvoi Polri keluar dari kota kabupaten dan kembali ke Dili.

Dari waktu ke waktu Polri bergerak di luar kebiasaannya gagal untuk bertindak, atau memfasilitasi kekerasan milisi, mereka benar-benar berperan langsung sebagai pelaku kekerasan. Hal ini khususnya dilakukan oleh kesatuan Brigade Mobil (Brimob) Polri, yang dalam jumlah beberapa ribu orang ditempatkan di Timor Timur selama Konsultasi Rakyat. Dalam sebuah insiden di Dili, pada hari terakhir kampanye (26 Agustus 1999), seorang anggota Brigade Mobil yang berseragam menembakkan senapan otomatisnya ke arah seorang penduduk sipil pada bagian

11 UNAMET, Political Affairs Office, “Incidents on 3 and 4 September which led to the relocation to Dili of UNAMET staff from Aileu, Ainaro, Maliana, Liquiça and Same regencies.” Dicetak ulang dalam UNTAET, Political Affairs Office, Briefing Book, Dili, November 1999.

punggung, yang langsung menewaskan orang sipil tersebut. Korban sipil itu adalah seorang mahasiswa bernama Bernardino Agusto Guterres (alias Bernardino da Costa). Insiden tersebut disaksikan oleh sejumlah orang yang berada di tempat dan terekam dalam video. Dalam sebuah pernyataan di bawah sumpah kepada Komisi Pemilihan (Electoral Commission) independen yang mengawasi proses pemungutan suara, salah seorang saksi mata menggambarkan insiden tersebut:

Kerumunan orang berteriak kepada Polisi untuk menghentikan milisi yang menembak. Salah seorang dari kerumunan … memprotes Polisi, dengan mengarahkan perhatian Polisi kepada milisi. Seorang Polisi yang tidak menggunakan baret seperti teman-temannya … mengatakan [kepada si pemuda] bahwa ia dapat menembaknya karena si pemuda menghasut orang-orang. [Pemuda itu] berbalik dan lari. Polisi itu lalu menembaknya pada jarak sekitar tiga langkah. Saya kemudian melihat sebuah luka tembak di tengah punggung si pemuda dan satu di belakang lehernya. Pemuda itu meninggal di tempat. Ketika petugas ambulans mengangkat jasadnya kemudian, saya melihat sebuah luka dengan lubang besar menganga di tenggorokan.12

Seorang penduduk lokal yang menelefon UNAMET kemudian pada hari yang sama, mengatakan bahwa Polri terlihat memberikan senjata kepada para anggota milisi sebelum dan sesudah insiden. Orang lain yang ada di tempat kejadian mengatakan bahwa para anggota milisi Aitarak sesungguhnya adalah prajurit TNI. Klaim-klaim ini tidak pernah diuji secara independen, namun sejalan dengan pola dukungan resmi kepada milisi yang sudah kuat.

Ringkasnya, terdapat satu kumpulan besar bukti, berdasarkan pengamatan lapangan, bahwa Polri tidak mau atau tidak mampu bertindak untuk mencegah atau menghentikan kegiatan melanggar hukum yang dilakukan oleh milisi, dan bahwa sebabnya terutama terletak pada subordinasi posisi Polri terhadap TNI. Kesimpulan ini tidak hanya berdasarkan pada satu tindakan atau kejadian semata, tetapi berdasarkan pada analisis mengenai perilaku yang jelas berpola.

Fakta bahwa jenis perilaku yang sama dari Polri terlihat secara konsisten di seluruh wilayah Timor Timur, sangat kuat menunjukkan bahwa ini merupakan persoalan kebijakan, yang setidaknya pada tingkat regional (Polda). Pola perilaku yang sama dan mengerikan pada saat pemindahan paksa penduduk di awal bulan September menunjukkan kesimpulan yang sama. Bukti dokumenter juga menegaskan bahwa peran Polri dalam pemindahan tersebut sudah direncanakan di tingkat provinsi (Polda). Namun, karena kita mengetahui (dari dokumen-dokumen yang dianalisis dalam Bab 5 laporan ini), bahwa perencanaan strategis keseluruhan evakuasi dibuat di markas besar TNI di Jakarta, maka kita dapat meyakini dengan cukup alasan bahwa perilaku Polri yang terlihat ini telah dirancang pada tingkat itu, dan sangat mungkin di bawah pengarahan TNI.

4.3 Modus Operandi Milisi

Gaya dan modus operandi kelompok-kelompok milisi hampir sama di mana pun di Timor Timur. Kesamaan yang luas ini, di seluruh 13 kabupaten, memberikan petunjuk tambahan tentang perencanaan dan koordinasi milisi oleh militer dan pihak-pihak berwenang pemerintah, setidaknya di tingkat provinsi, dan kemungkinan lebih tinggi lagi.

4. Pola dan Variasi 61

Gaya milisi dirancang untuk mengelabui. Sekelompok kecil anggota milisi menggunakan seragam militer Indonesia, atau salah satu bagiannya, tetapi sebagian besar berpakaian ‘sipil’ – mengenakan bandana berwarna merah dan putih yang diikatkan di leher atau di kepala, dan kerap mengenakan kaos oblong bertuliskan slogan pro-otonomi dan sejenisnya. Pakaian ‘sipil’ semacam ini agaknya dirancang untuk mempertahankan ilusi bahwa milisi terbentuk secara spontan, dan untuk memberikan dasar yang masuk akal bagi pengingkaran keterlibatan resmi dalam tindak kekerasan.

Jika gaya milisi ditujukan untuk mengelabui, maka modus operandi milisi dirancang untuk menteror dan mengintimidasi. Patut dicatat bahwa tidak ada satu pun dari metode yang digunakan itu hanya terjadi di Timor Timur. Sebagaimana gagasan inti penggunaan pasukan milisi ‘sipil’, modus operandi milisi diambil dari seluruh repertoar yang dikembangkan oleh pasukan-pasukan TNI dalam operasi kontra-pemberontakan dan anti-kejahatan yang dilaksanakan di bagian-bagian lain Indonesia selama lebih dari tiga puluh tahun.13

Unsur yang paling umum dari repertoar milisi mencakup pembuatan penghalang jalan dan pendirian pos pemeriksaan, pemukulan, pembakaran rumah, ancaman mati di muka umum, mengacungkan dan menembakkan senjata api, dan terhadap perempuan, berupa ancaman dan kenyataan kekerasan seksual termasuk pemerkosaan.14 Ketika tidak melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, sebagian besar unit-unit milisi menjalani latihan dan baris-berbaris militer dengan memanggul senjata organik maupun rakitan.

Pembunuhan terencana, jasad yang dipamerkan di hadapan publik, dan pemotongan anggota badan juga merupakan bagian dari repertoar dan, lagi-lagi mengikuti standar praktik TNI, ini semua dimaksudkan sebagai contoh – untuk mengirimkan pesan kepada orang-orang lain di dalam komunitas tentang apa yang akan terjadi pada siapa saja yang tidak memperhatikan peringatan milisi atau TNI. Jasad korban sering dipotong dengan berbagai cara – dipenggal hingga tanpa kepala, dikeluarkan isi perutnya, atau dicincang hingga menjadi potongan-potongan kecil – dan kemudian ditinggalkan di tempat umum. Satu laporan tentang milisi di Viqueque, yang disusun oleh Perwira Penghubung Militer (Military Liaison Officers – MLO) UNAMET pada bulan Agustus 1999 mengatakan bahwa: “Metode pembunuhannya, seperti yang dilaporkan, sangat mengerikan. Misalnya, sesosok korban dengan otaknya ditembus tulang binatang … Tampak bahwa tujuannya adalah untuk menimbulkan pengaruh psikologis dan menggunakan cara kematian tersebut untuk mengintimidasi orang lain.”15

Unsur umum lainnya dari repertoar milisi yang jelas-jelas ditujukan untuk menteror penduduk adalah memberikan tanda pada yang dijadikan sasaran pembunuhan. Seperti yang dijelaskan dalam laporan UNAMET dari Viqueque:

“Ini adalah satu strategi dasar perang psikologis, yang bisa mencakup ancaman terhadap seorang korban yang disampaikan kepada masyarakat luas untuk memastikan ancaman itu sampai ke sasaran. Taktik lainnya yang tercatat di dalam wilayah kami adalah praktek

13 Untuk pembahasan yang rinci tentang repertoar kontra-pemberontakan TNI, lihat Geoffrey Robinson, “Rawan is as Rawan Does: The Origins of Disorder in New Order Aceh,” Indonesia, No. 66 (Oktober 1998) halaman 127-156.

14 Para prajurit TNI juga secara langsung terlibat dalam pemerkosaan dan perbudakan seksual. Untuk rincian yang lebih jauh lihat United Nations, Situation of human rights in East Timor, December 10, 1999, halaman 9-11.

15 UNAMET Viqueque, “Outline of Pro-Integration Militia in Viqueque Area,” August 6 1999, halaman 3. Dicetak kembali dalam UNTAET, Political Affairs Office, Briefing Book, Dili, November 1999.

menandai rumah-rumah dengan tanda ‘X’ berwarna merah yang menyatakan bahwa penghuninya telah ditandai untuk dibunuh.”16

Dalam pandangan para analis UNAMET, maksud dari taktik semacam itu adalah untuk mencapai sebuah tujuan psikologis “… seperti menunjukkan kepada penduduk bahwa milisi memiliki kekuatan untuk membidik dan membunuh seseorang.”

Cara milisi menyerang sasarannya terbukti dimaksudkan untuk menghasilkan akibat psikologis yang sama. Ketika milisi melancarkan sebuah serangan, mereka tidak melakukannya dengan ketepatan yang baik dari regu pembunuh profesional. Tetapi, mereka menciptakan kesan sebagai orang-orang yang penuh amarah, berteriak-teriak, dan membelah udara dengan senjata mereka. Dengan kata lain, mereka berlaku seperti apa yang dibayangkan tentang orang-orang yang ‘mengamuk.’

Gaya ‘amuk’ dari serangan milisi terekam dalam banyak gambar yang disiarkan televisi dari Timor Timur antara Juni dan September 1999. Salah satu dari insiden-insiden yang paling awal dan mengerikan dari jenis ini muncul pada tanggal 4 Juli, ketika para anggota kelompok milisi Besi Merah Putih menyerang rombongan bantuan kemanusiaan yang berhenti sejenak ketika melewati kota Liquiça17 (Lihat Studi Kasus: Penyerangan terhadap Rombongan Bantuan Kemanusiaan). Satu laporan UNAMET tentang serangan tersebut memberikan uraian berikut ini:

“Sekitar lima menit setelah rombongan berhenti di Liquiça, sebuah mobil mini-van berwarna biru-hijau dengan tulisan ‘Miramar’ di sisinya, menuruni bukit dengan cepat dari arah selatan, datang dan berhenti tiba-tiba di tengah deretan kendaraan yang berhenti. Ketika mobil van itu berhenti, sekitar 20 orang pemuda melompat keluar dan mulai mendekati staf organisasi-organisasi non-pemerintah dan UNAMET, sambil berteriak ‘bunuh mereka!’ Sebagian besar membawa parang, pisau, atau senapan rakitan. Setidaknya salah seorang anggota kelompok membawa senapan otomatis. Tanpa peringatan maupun provokasi para anggota milisi mulai menyerang, mengayun-ayunkan parang dan pisau mereka secara membahayakan, mengarahkan senjata mereka kepada para anggota rombongan, dan menghancurkan kaca jendela sebagian besar kendaraan. Serangan berlanjut ketika orang-orang berusaha untuk melarikan diri…”18

Kesamaan yang menonjol di dalam repertoar kekerasan milisi di seluruh Timor Timur tampak menegaskan bahwa para milisi dilatih dan tindakan mereka direncanakan dengan baik oleh TNI. Perilaku milisi yang tersebut begitu menyebar luas, dan begitu konsisten, sehingga hanya dapat dipahami dengan baik sebagai produk dari perencanaan yang terkoordinasi, setidaknya pada tingkat ‘provinsi’ (Korem). Bahkan jika semua tindakan milisi bukan merupakan hasil langsung dari

16 UNAMET Viqueque, “Outline of Pro Integration Militia in Viqueque Area,” August 6, 1999, halaman 4. Dicetak ulang dalam UNTAET, Political Affairs Office, Briefing Book, Dili, November 1999.

17 Serangan tanggal 4 Juli tidak muncul tersendiri. Pada hari-hari sebelumnya, staf PBB di Liquiça telah menjadi sasaran dari serangkaian ancaman dan serangan. Pada umumnya para anggota Besi Merah Putih mencaci-maki staf PBB, sambil mengacungkan senjata api atau parang. Masing-masing insiden telah dilaporkan kepada Polri. Hasilnya beberapa tambahan petugas polisi ditempatkan untuk melindungi staf UNAMET. Tetapi tidak ada yang dilakukan untuk mencegah milisi, yang tetap bersenjata, agar tidak bergerak bebas di kota dan agar tidak melakukan intimidasi.

18 UNAMET, Political Affairs Office, “Report on the Liquiça Incident s of 4 July,” July 12, 1999, halaman 3. Dicetak ulang dalam UNTAET, Political Af fairs Office, Briefing Book, Dili, November 1999.

4. Pola dan Variasi 63

koordinasi TNI, sangatlah jelas bahwa para milisi tidak akan dapat berlaku sebagaimana yang mereka lakukan tanpa persetujuan dan dukungan dari TNI, dan pada tingkat yang lebih kecil, dari Polri.