• Tidak ada hasil yang ditemukan

Senjata: Bukti Dokumenter

MILISI DAN PIHAK BERWENANG

7. Milisi: Perekrutan, Pelatihan, Operasi, dan Senjata

7.5 Senjata: Bukti Dokumenter

Di samping bukti kesaksian semacam itu, sejumlah dokumen rahasia yang terungkap sejak tahun 1999 mengkonfirmasikan pertanggungjawaban langsung TNI dalam membagikan senjata kepada, dan mentoleransi kepemilikannya oleh, kelompok-kelompok milisi. Lebih jauh, dokumen-dokumen ini menunjukkan bahwa para perwira TNI mengendalikan dengan hati-hati arus senjata, mengeluarkan, dan menariknya kembali sesuai dengan tujuan politik dan militer mereka.

Satu bukti penting adalah dokumen dari Komando Distrik Militer Baucau (Kodim 1628/Baucau) bertanggal 3 Februari 1999. Dokumen itu mendaftar 91 anggota Kompi Khusus Pusaka, yang dikenal sebagai milisi Saka. Berjudul “Daftar: Nominatif Anggota Kompi Khusus Pusaka, Kodim 1628/Baucau,” dokumen itu mencatat jenis dan nomor registrasi senjata yang dibagikan kepada semua, kecuali satu orang, anggota kelompok tersebut. Senjata yang didaftar mencakup: 1 PMI/Pindad, 19 G-3, 56 SP-II, 10 SP-I, 1 FNC, 1 M16A1, 1 AK, dan 1 Mauser. Dokumen itu ditandatangani oleh seorang pemimpin milisi yang terkenal, Joanico C. Belo, yang disebutkan sebagai Sersan Satu dan Komandan Kompi Khusus Pusaka.41

Dokumen kedua yang relevan dengan persoalan pembagian senjata TNI adalah satu daftar yang dibuat oleh Kodim Viqueque, yang berisi lebih dari 49 anggota milisi Makikit. Berjudul “Daftar: Nominatif Pemegang Senjata Team Makikit,” dokumen ini merinci jenis dan nomor registrasi senjata yang dibagikan kepada setiap anggota. Senjata yang terdaftar di dalamnya meliputi tiga pucuk M16A-1, 35 pucuk SP-1, dan 11 pucuk Garand. Dokumen ini tak bertanggal, tetapi satu catatan pinggir menunjukkan bahwa dokumen itu ditemukan di Kodim 1630/Viqueque pada tanggal 28 Oktober 1998.42

Bukti dokumenter ketiga yang berhubungan dengan persoalan senjata adalah satu lembar telegram rahasia, bertanggal 2 Februari 1999, dari Danrem kepada semua Dandim dan Komandan Satgas Tribuana, yang dikeluarkan untuk mengantisipasi kunjungan delegasi PBB ke Timor Timur di bulan tersebut.43 Dokumen itu menunjukkan dengan jelas bahwa TNI telah menarik untuk sementara waktu senjata dari milisi dan kemudian mengembalikannya lagi kepada milisi. Telegram itu memerintahkan kepada semua Dandim dan Komandan Satgas Tribuana V untuk mempersiapkan laporan tentang tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak pro-kemerdekaan terhadap kelompok-kelompok milisi, dan menginstruksikan mereka untuk memfokuskan pada “periode penarikan senjata terhadap Surwan/ Ratih sampai dengan pemegang/inventaris senjata terhadap Surwan/Ratih.” Fakta bahwa perintah ini juga disampaikan kepada Komandan Satgas Tribuana menunjukkan bahwa Kopassus secara integral – walaupun tidak eksklusif – terlibat dalam pembagian dan pengendalian senjata.44

41 Kodim 1628/Baucau, “Daftar: Nominatif Anggota Kompi Khusus Pusaka, Kodim 1628/Baucau,” 3 Februari 1999 (Koleksi Yayasan HAK, Doc #9).

42 Kodim 1630/Viqueque, “Daftar: Nominatif Pemegang Senjata Team Makikit,” tak bertanggal tetapi ditemukan di Kodim 1630/Viqueque tanggal 28 November 1998 (Koleksi Yayasan HAK, Doc #4).

43 Danrem 164/WD kepada Dandim 1627-1639, Dansatgas Tribuana V, dan lain-lain. Telegram rahasia No. TR/46/1999, 2 Februari 1999 (Koleksi Yayasan HAK, Doc #8). Menurut isi telegram ini akan ada kunjungan oleh “Ketua Komisi Hak Asasi Manusia PBB” pada tanggal 29 Februari 1999.

Peran Kopassus dalam pembagian senjata dan pelatihan telah dikonfirmasi dalam sidang-sidang pengadilan yang dilaksanakan sejak tahun 1999. Pada bulan April 2000, seorang pemimpin kelompok milisi Sakunar di Oecussi, Laurentino Moko, bersaksi di hadapan pengadilan Indonesia bahwa ia telah diberi sejumlah senapan di tahun 1999 oleh dua orang perwira Kopassus45 (Lihat Ringkasan Distrik: Oecussi). Sama halnya, dalam pengadilan terhadap beberapa anggota milisi Tim Alfa yang didakwa membunuh lima orang agamawan dan empat orang lainnya pada tanggal 25 September 1999, pemimpin milisi tersebut, Joni Marques, bersaksi bahwa dirinya telah dilatih oleh Kopassus sejak tahun 1986, dan telah menerima sejumlah senjata dari perwira-perwira Kopassus setelah pemungutan suara tanggal 30 Agustus.46

Dalam penilaiannya mengenai kasus ini, Pengadilan Distrik Dili menyimpulkan bahwa: “Pasukan Khusus Kopassus memberikan senjata dan pelatihan kepada anggota-anggota Tim Alfa”47 (Lihat Studi Kasus: Pembunuhan Rohaniwan Los Palos). Penting untuk dicatat bahwa, selain menunjukkan keterlibatan langsung TNI dan Kopassus di dalam mempersenjatai milisi, bukti ini juga mengkonfirmasikan bahwa milisi tidak diberi akses yang tidak terbatas pada senjata api modern. Sebaliknya, senjata-senjata disimpan – biasanya di sebuah pos komando militer – dan dibagikan kepada milisi sebelum operasi militer tertentu dilancarkan. Sesudah operasi dilaksanakan, senjata-senjata dikembalikan kepada militer. Berbicara kepada para jaksa penyidik Indonesia di akhir tahun 1999, Jenderal Wiranto memperjelas persoalan ini: “Kadang-kadang senjata diberikan,” katanya, “tetapi tidak berarti [para milisi] membawa senjata ke mana saja mereka pergi. Senjata-senjata disimpan di markas Komando Rayon Militer.”48

Pola kontrol TNI atas akses milisi kepada senjata, yang sering disebut dalam kesaksian saksi, juga dikonfirmasi oleh dokumen militer yang lain. Salah satu dokumen semacam itu adalah satu telegram rahasia bertanggal 28 Januari 1999 dari Danrem Kolonel Tono Suratman, kepada semua 13 orang Dandim di Timor Timur. Telegram itu memerintahkan para Dandim untuk:

“Melaksanakan penarikan senjata yang dipegang oleh anggota-anggota Wanra atau Ratih selama tidak melaksanakan tugas khusus atau operasi tempur di wilayah Kodim masing-masing.”49

Perintah ini tidak hanya menunjukkan bahwa para perwira TNI melakukan pengendalian yang signifikan atas akses milisi pada senjata, tetapi juga menambahkan bobot pada bukti bahwa para pejabat militer secara langsung terlibat dalam perencanaan dan koordinasi operasi-operasi milisi, termasuk operasi yang mengakibatkan pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk pembunuhan.

Tentang hal terakhir ini, telegram bertanggal 28 Januari memberikan bukti penting. Bukti ini menyebut secara eksplisit beberapa kasus dalam mana para anggota milisi mempergunakan senjata yang diberikan kepada mereka oleh TNI untuk membunuh atau melukai dengan serius penduduk sipil. Kasus-kasus yang dicatat dalam perintah tersebut mencakup: pembunuhan Julião Gonçalves Sarmento oleh anggota milisi Saka Norberto Lopes, di desa Defauasi, Kecamatan Baguia, Kabupaten

45 Karen Polglaze, “Timor militia leader back in court,” AAP, 10 April 2000. 46 Dili District Court, “Judgement,” Joni Marques et al., halaman 58. 47 Dili District Court, “Judgement,” Joni Marques et al., halaman 53.

48 Dikutip dalam Kevin O’Rourke, Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia, Sydney: Allen & Unwin, 2002, halaman 352.

49 Danrem 164/WD kepada Dandim 1627-1639 dan lain-lain. Telegram rahasia No. TR/41/1999, 28 Januari 1999 (Koleksi Yayasan HAK, Doc #7).

7. Milisi: Perekrutan, Pelatihan, Operasi, dan Senjata 111

Baucau, pada 3 Desember 1998; pembunuhan dua orang pemuda pro-kemerdekaan dan penyerangan yang melukai lima orang lainnya yang dilakukan oleh anggota-anggota milisi Mahidi di desa Manutasi, Kabupaten Ainaro, pada 3 Januari 1999; dan pembunuhan Fernando Cardoso oleh anggota Ratih bernama Alfredo, di desa Raiman, Kecamatan Zumalai, Kabupaten Covalima, pada 23 Januari 1999.

Selanjutnya, seawal tanggal 28 Januari 1999, komandan militer Timor Timur Kolonel Tono Suratman menyadari bahwa kelompok-kelompok milisi telah melakukan tindakan kekerasan serius dengan senjata yang diberikan oleh TNI. Pengetahuan tersebut dimiliki oleh semua Dandim dan sejumlah komandan TNI di jajaran lebih tinggi, kepada siapa telegram itu dikirimkan, yang mencakup: Panglima Komando Daerah Militer IX; Asisten Intelijen, Asisten Operasi, dan Asisten Teritorialnya; Komandan Sektor A dan Komandan Sektor B di Timor Timur; dan Komandan Satuan Tugas Tribuana Kopassus.50 Lebih jauh, mengingat bahwa perintah Kolonel Tono Suratman dikeluarkan beberapa saat sebelum kunjungan delegasi PBB yang akan dilakukan pada bulan Februari 1999, juga cocok dengan pola, yang dibahas dalam Bab 4, perwira TNI dengan seksama mengendalikan kekerasan milisi sesuai dengan tujuan politik yang lebih luas.

Secara bersama, bukti-bukti yang ditampilkan di dalam bab ini menunjuk secara konklusif pada peran TNI yang kuat dalam melakukan perekrutan, pelatihan, dan operasi pasukan-pasukan milisi, serta pada keterlibatan langsung TNI dalam pelanggaran berat yang dilakukan oleh milisi. Secara lebih spesifik, bukti-bukti ini memungkinkan ditariknya kesimpulan-kesimpulan berikut ini.

Pertama, para prajurit dan perwira TNI secara integral terlibat di dalam perekrutan milisi di akhir tahun 1998 dan awal 1999, dan sebagian dari mereka benar-benar bertugas sebagai anggota dan pemimpin milisi. Keanggotaan rangkap di TNI dan milisi yang telah didokumentasikan membuat tidak berartinya pembedaan formal antara keduanya, dan secara langsung melibatkan TNI di dalam tindakan-tindakan yang seolah-olah dilakukan oleh kelompok-kelompok milisi secara sendiri. Kedua, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa kelompok-kelompok milisi menerima pelatihan dan pengarahan dari perwira-perwira TNI. Pelatihan tersebut bukanlah pelatihan yang pura-pura, atau yang dilakukan oleh sejumlah kecil ‘oknum.’ Sebaliknya, bukti menunjukkan secara konklusif bahwa pelatihan milisi merupakan tugas rutin, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan prosedur yang sudah tetap yang berasal dari markas besar TNI di Jakarta. Lebih jauh, pelatihan itu dilakukan dengan sepengetahuan penuh para pejabat tinggi TNI, termasuk minimum: Panglima Komando Daerah Militer IX Mayor Jenderal Adam Damiri; Danrem Kolonel Tono Suratman, Komandan Satuan Tugas Tribuana Kopassus; Komandan Sektor A dan Komandan Sektor B; dan kemungkinan semua Dandim dan Danramil di Timor Timur.

Ketiga, TNI secara rutin menjalankan operasi bersama dengan kelompok-kelompok milisi, dan memberikan dukungan dan bantuan untuk operasi-operasi yang seolah-olah dilakukan oleh milisi. Perwira-perwira tingkat tinggi TNI, termasuk Kolonel Tono Suratman dan lain-lain, mengetahui dengan baik bahwa semua operasi itu mengakibatkan tindakan kekerasan yang serius. Mereka juga memahami bahwa kerjasama operasional semacam itu melanggar Kesepakatan 5 Mei. Karena alasan itu, begitu UNAMET mulai bertugas pada bulan Juni 1999, TNI berusaha menyamarkan hubungan operasionalnya dengan milisi, tetapi gagal.

50 Lihat: Danrem 164/WD kepada Dandim 1627-1639 dan lain-lain. Telegram rahasia No. TR/41/1999, 28 Januari 1999 (Koleksi Yayasan HAK, Doc #7).

Keempat, TNI memberikan senjata modern yang canggih secara langsung kepada sejumlah anggota milisi, dan membiarkan yang lain untuk menyimpan dan menggunakan senjata mereka sendiri, yang bertentangan dengan hukum. Para perwira tinggi, termasuk Mayor Jenderal Kiki Syahnakri, Mayor Jenderal Adam Damiri, Kolonel Tono Suratman, dan Letnan Kolonel Yayat Sudrajat mengetahui bahwa senjata-senjata ini dipergunakan untuk melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia, tetapi gagal menindak para pelakunya, atau mengakhiri akses milisi pada senjata.

Terakhir, bertentangan dengan pernyataan-pernyataan resmi bahwa milisi bertindak sendiri, dan bahwa TNI dan Polri telah melakukan yang terbaik untuk membendung kekerasan, jelas bahwa TNI memegang kontrol yang signifikan terhadap akses milisi pada senjata. Penemuan tersebut memperkuat argumen, yang dibuat dalam Bab 4, bahwa pihak yang berwenang membagikan dan menarik kembali senjata sebagai bagian dari usaha yang diatur dengan seksama untuk mempengaruhi irama kekerasan, sesuai dengan tujuan politik dan militer yang lebih luas.

113

Para pejabat pemerintah telah berusaha keras membantahnya,1 tetapi milisi-milisi di Timor Timur menerima dukungan finansial dan material yang besar dari pihak berwenang pemerintah dan militer Indonesia. Sebenarnya, pemberian pemerintah merupakan landasan esensial bagi seluruh operasi milisi. Anggota biasa milisi menerima Rp 200.000 ($ 26,6) pada saat bergabung, dan antara Rp 50.000 ($ 6,66) dan Rp 150.000 ($ 20) per bulan sesudahnya. Selain pembayaran tunai dan akses pada senjata, mereka menerima pembagian beras secara teratur, kendaraan, makanan ketika melaksanakan operasi, transportasi, bahan bakar, ruang kantor, peralatan komunikasi, poster, pakaian, dan obat-obatan. Penyediaan dana dan dukungan material semacam itu melibatkan pejabat-pejabat sipil dan militer dalam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh orang-orang milisi, kepada siapa dukungan itu disalurkan.