• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peristiwa Utama Hak Asasi Manusia

Mungkin karena kelemahan AHI dan kekuatan relatif Falintil dan CNRT di kabupaten tersebut, sepanjang periode pra-pemungutan suara tidak tercatat adanya pembunuhan. Namun, bulan-bulan tersebut tidak sepenuhnya bebas dari kekerasan. Sering ada laporan mengenai penahanan, pemukulan, dan penyiksaan terhadap orang-orang yang diduga anggota CNRT dan Falintil. Kadang-kadang pemukulan ini terjadi di markas AHI, tetapi sering pula pemukulan terjadi di markas Kodim atau di salah satu markas Koramil. Juga dilaporkan terjadinya beberapa tindakan pelecehan seksual dan kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan yang bersimpati pada CNRT.

Sebagaimana di daerah lain di seluruh Timor Timur, hari pemungutan suara keadaannya relatif damai di Aileu, dan ketenangan ini berlanjut setidaknya sampai tanggal 3 atau 4 September 1999. Namun, saat hasil pemungutan suara diumumkan, keadaan berubah dengan dramatis. Menurut beberapa keterangan, kekerasan dimulai pada hari tersebut dengan pembunuhan sistematis terhadap binatang ternak. Para prajurit TNI memulai pembantaian, dengan menggunakan senjata berkekuatan tinggi, dan kemudian memberikan senjata kepada orang-orang milisi untuk melanjutkan tugas tersebut. Sejak itu, kekerasan dengan cepat meningkat.

Prajurit TNI dan Polri sering berperan langsung dalam kekerasan. Para perwira TNI dilaporkan memerintahkan pemimpin milisi Tomás Mendonça mengorganisir pembakaran gedung-gedung di kota Aileu. Para perwira Polisi Sipil UNAMET melaporkan bahwa Polisi Indonesia hanya berdiri membiarkan milisi membakar habis kantor CNRT di kota Aileu. Pada 8 September Kapten Dolok Seribu dan Sersan Mayor Cocoleu mengumpulkan sekitar 20 prajurit TNI di Kodim. Setelah mereka berkumpul, Sersan Mayor Cocoleu dilaporkan memberi perintah untuk bergerak membakar dan membunuh.

Antara 4 dan 14 September, setidaknya 15 orang dibunuh di kabupaten ini. Sebelas dari 15 orang itu dibunuh di Kecamatan Aileu Kota, dan empat lainnya dibunuh di Kecamatan Laulara. Tampaknya, tidak ada yang dibunuh di Kecamatan Lequidoe dan Kecamatan Remexio. Informasi yang tersedia tentang pembunuhan yang dilaporkan itu lagi-lagi menunjuk pada peran langsung aparat keamanan. Para perwira TNI atau Polri secara langsung terlibat dalam setidaknya 8 dari 15 pembunuhan, dan mereka adalah pelaku tunggal dalam sedikitnya lima kasus. Misalnya pada tanggal 9 September Domingos Maukinta ditembak mati di dekat desa Hohulu, di Kecamatan Aileu Kota oleh seorang sersan TNI yang beroperasi

9. Ringkasan Kabupaten 133

bersama sejumlah milisi. Pembunuhan terjadi dalam operasi pembakaran dan pemindahan paksa yang dilakukan bersama oleh TNI-milisi di bawah pimpinan Sersan Mayor TNI Alex Cocoleu.

Seperti di kabupaten-kabupaten lain, periode setelah pemungutan suara juga ditandai dengan perusakan besar-besaran harta benda, intimidasi, dan pemindahan paksa. Dalam hal ini peran TNI dan Polri juga tampak jelas. Pembakaran kota Aileu dimulai pada 5 September dan dilaksanakan dengan sengaja dan sistematis. Prajurit-prajurit TNI dan milisi tiba di desa-desa dengan membawa kaleng-kaleng berukuran lima liter berisi bensin atau minyak tanah, yang mereka siramkan ke gedung-gedung sebelum menyulut dan membakarnya. Desa-desa yang berada di sekitar kota Aileu dibakar satu demi satu pada hari-hari selanjutnya.

Dengan latar belakang seperti ini TNI dan milisi mulai meringkus ribuan penduduk desa dan mengangkut mereka, atau memaksa mereka untuk berjalan, menuju ke kota Aileu. Seperti juga di sejumlah kabupaten lain, penduduk yang tinggal paling dekat dengan jalan-jalan utama adalah yang paling banyak diringkus. Setelah menunggu di Aileu selama beberapa hari, pada 14 September mereka yang diringkus dipindahkan dari Aileu ke Dili. Beberapa hari kemudian mereka dinaikkan ke truk-truk dan diangkut dari Dili ke Atambua di Timor Barat.

9.2 Ainaro (Kodim 1633)

Dandim: Letnan Kolonel Paulus Gatot Rudianto Bupati: Evaristo Doutel Sarmento

Kapolres: Mayor (Pol.) Drs. Rizali, SH Milisi: Mahidi, Laksaur

Jumlah yang dibunuh: 34 orang

Kabupaten Ainaro mengalami tingkat kekerasan dan penghancuran yang jauh lebih tinggi daripada Kabupaten Aileu.4 Setidaknya 34 orang dibunuh pada 1999. Hampir semua korban diketahui atau diduga pendukung kemerdekaan. Lebih dari setengah dari pembunuhan ini (18 orang) terjadi di Kecamatan Ainaro. Diperkirakan 13.000 orang dipindahkan secara paksa di masa setelah pemungutan suara, dan sekitar 3.700 bangunan dibakar atau dihancurkan. Para anggota TNI dan kelompok milisi setempat, Mahidi, bertanggungjawab atas mayoritas besar pelanggaran hak asasi manusia di kabupaten tersebut, termasuk pembunuhan, upaya pembunuhan, penyiksaan dan penganiayaan, intimidasi, pemindahan paksa, dan perusakan tempat tinggal dan harta benda.

Milisi dan Pihak Berwenang

Kelompok milisi utama di kabupaten Ainaro adalah Mahidi (Mati Hidup Integrasi Dengan Indonesia). Mahidi secara resmi didirikan dalam sebuah upacara di Cassa pada bulan Desember 1998.5 Upacara peresmiannya tercatat dihadiri sejumlah pejabat pemerintah, termasuk tokoh nasional pro-otonomi Francisco Lopes da Cruz. Namun unsur-unsur unit intelijen, SGI, yang dipimpin oleh Kopassus, disebut

4 Kecuali dikemukakan lain, penjelasan ini didasarkan pada: UNTAET, DHRO-Ainaro, “Report on Human Rights Violations in 1999, Ainaro District,” Mei 2001.

5 Sumber-sumber berbeda dalam menyebutkan tanggal tepat upacara tersebut. Banyak saksi yang mengatakan bahwa peresmian itu terjadi tanggal 17 Desember, tetapi yang lain mengatakan t anggal 31 Desember 1998. Satu memo tulisan tangan yang rinci dari bulan Juli 1999 menyatakan bahwa Mahidi pertama kali dibentuk di Cassa pada tanggal 31 Desember (Koleksi SCU, Doc #268).

sebagai penyelenggara utama acara itu.6 Pada saat peresmian, kelompok milisi itu disebut sebagai ‘Halilintar 612’ dan ‘Batalyon 612’ yang mengesankan hubungan dengan TNI di Bobonaro.

Selama beberapa bulan berikutnya, cabang-cabang milisi Mahidi didirikan di tiap kecamatan dan desa di Ainaro. Pertengahan 1999 Mahidi diperkirakan berkekuatan setidaknya 1.000 orang yang dibagi ke dalam struktur bergaya militer, mulai dari Kompi, Peleton, dan Sel.7 Ada empat kompi utama (A, B, C dan D) ditambah satu kompi markas dan satu kompi perempuan.

Mahidi berada di bawah komando Cancio Lopes de Carvalho.8 Adiknya, Nemesio de Carvalho, adalah wakil komandan Mahidi yang berbasis di Cassa dan bertanggungjawab untuk operasi di bagian selatan kabupaten ini. Wakil komandan kedua, Daniel Pereira, yang bermarkas di Manutassi, bertanggungjawab untuk operasi di bagian utara.

Seperti banyak milisi yang muncul di tahun 1999, Mahidi memiliki akar historis yang dalam dan hubungan yang telah lama dengan militer Indonesia. Asal-usulnya setidaknya dimulai pada tahun 1991, ketika sebuah organisasi milisi yang bernama ‘Organisasi Sukarelawan’ dibentuk di Ainaro. Pemimpin kelompok tersebut tidak lain adalah Cancio Carvalho, Komandan Mahidi. Lebih jauh, seperti Mahidi, wilayah basis Organisasi Sukarelawan adalah desa Cassa di Kecamatan Ainaro. Bersama dengan desa Manutassi, desa Cassa juga salah satu basis kekuatan partai pro-In-donesia Apodeti pada 1975-1976. Pada pertengahan dasawarsa 1990-an, mereka yang kemudian menjadi pemimpin dan anggota Mahidi ambil bagian dalam pro-gram pelatihan militer yang diselenggarakan SGI di Aileu.

Jalinan kuat dengan militer ini sangat nyata terlihat pada 1999. Para perwira TNI menunjukkan dukungan mereka kepada Mahidi dengan menghadiri upacara peresmiannya, dan dengan mengadakan pertemuan bersama untuk ‘sosialisasi’ opsi otonomi. Di antara mereka yang hadir dalam pertemuan-pertemuan semacam itu adalah Komandan Distrik Militer, Letnan Kolonel Paulus Gatot Rudianto.

TNI juga penting dalam pelatihan Mahidi, dan dalam perencanaan serta pelaksanaan operasi-operasinya. Satu pelatihan yang dijalankan oleh perwira-perwira Kodim, secara langsung diamati oleh para pejabat UNAMET pada Juni 1999. Pelatihan milisi juga dilaporkan diselenggarakan di kabupaten ini oleh perwira-perwira Kopassus yang bertugas di Sektor B. TNI juga merupakan sumber utama pasokan senjata bagi Mahidi. Seorang mantan anggota Hansip mengatakan kepada penyelidik PBB bahwa sejak akhir Desember 1998 senjata-senjata sudah dipasok kepada para komandan Mahidi, yang kemudian membagikannya ke kecamatan-kecamatan (Lihat Bab 7). Para pejabat UNAMET dan lainnya secara rutin menyaksikan anggota-anggota TNI dan Mahidi mengadakan patroli bersama.

Mahidi juga mendapatkan dukungan dari Polri, atau setidaknya mereka bisa beroperasi tanpa khawatir akan adanya campur tangan Polri. Seperti di wilayah Timor Timur yang lain, Polri di Ainaro jelas-jelas tidak berniat bertindak mencegah atau menghentikan tindakan-tindakan melawan hukum yang dilakukan milisi, atau

6 Mereka mencakup Letnan Kolonel Nyus Rahasia, seorang perwira Kopassus – dan wakil Komandan TNI Sektor B – yang juga melatih milisi di Manatuto pada bulan Mei dan Juni 1999 (Lihat Ringkasan Kabupaten: Manatuto).

7 Pada bulan April 1999, beberapa laporan memperkirakan kekuatan Mahidi sekitar 2.000 orang dengan 500 pucuk senjata, tetapi organisasi-organisasi non-pemerintah setempat mengatakan bahwa angka sesungguhnya mendekati 1.000 orang dan 37 pucuk senjat a. UNTAET Peace Keeping Force, Militia Handbook, Dili, 5 April 2001.

8 “Sesudah terjadinya pembantaian Santa Cruz, [Cancio Carvalho] bekerjasama dengan SGI (Intelijen Militer) dalam tindakan mereka memburu aktivis pro-kemerdekaan. Sejak 1996, ia tinggal di Kupang dimana ia bekerja di Departemen Kehakiman, samp ai dengan jatuhnya Suharto.” UNTAET, Militia Handbook.

9. Ringkasan Kabupaten 135

menyelidiki laporan adanya tindakan semacam itu. Seorang mantan anggota Polri di Ainaro mengkonfirmasi apa yang sudah dicurigai sejak lama ketika mengatakan kepada para penyelidik PBB bahwa Polri mendapat instruksi untuk melindungi dan membantu kelompok-kelompok pro-otonomi, dan menutup mata atas kejahatan terhadap para pendukung kemerdekaan.

Tentu saja ada perkecualian. Sejumlah anggota Polri asal Timor Timur adalah pendukung kemerdekaan dan melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk membatasi atau mencegah kekerasan milisi. Tetapi konsekuensi dari usaha-usaha semacam itu bisa bersifat fatal. Pada 6 September 1999 misalnya, seorang petugas Polri di kampung Hatu-fae, Kecamatan Maubisse, ditembak mati ketika berusaha mencegah penjarahan dan pembakaran desa yang dilakukan oleh milisi. Khawatir akan mengalami nasib serupa, beberapa polisi yang bersimpati pada pro-kemerdekaan lari ke bukit-bukit atau ke Timor Barat ketika kekerasan meledak.

Selain bantuan yang diterima dari TNI dan Polri, Mahidi juga mendapat dukungan efektif dari pejabat penting pemerintah sipil, dan dari dua kelompok utama pro-otonomi, yaitu FPDK dan BRTT. Kenyataannya, kepemimpinan kelompok-kelompok yang berbeda ini saling tumpang tindih begitu signifikan, sehingga bisa dikatakan mereka sesungguhnya membentuk sebuah entitas tunggal yang berjalin kuat.

Camat Ainaro dan Hatobuilico misalnya, juga menjadi koordinator Mahidi di wilayah masing-masing. Dua wakil komandan Mahidi, Nemesio Carvalho dan Daniel Pereira, juga menjadi pemimpin FPDK, yang mendapatkan dukungan resmi pemerintah. Lebih dari itu, keduanya adalah Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Ainaro. Akhirnya, pemimpin BRTT di Kabupaten Ainaro tidak lain adalah Bupati, Evaristo Doutel Sarmento.

Peristiwa Utama Hak Asasi Manusia

Seperti di kebanyakan wilayah Timor Timur, pelanggaran berat hak asasi manusia terjadi sepanjang 1999, namun dengan puncak intensitas dan frekuensi pada periode pra-UNAMET dan setelah pemungutan suara. Sebanyak 34 pembunuhan tercatat terjadi dalam periode tersebut. Dalam periode ini pula terjadi peningkatan kasus-kasus penculikan, pemukulan, intimidasi, pemindahan paksa, kekerasan seksual, dan perusakan harta benda. Kekerasan paling buruk terpusat di dua kecamatan, yaitu Ainaro dan Maubisse, tetapi semua kecamatan mengalami kekerasan dan perusakan yang serius.

Periode pra-UNAMET ditandai suasana ketakutan dan intimidasi. Sedikitnya lima orang, semuanya pendukung kemerdekaan, dibunuh selama periode ini. Dua dari lima korban tersebut dibunuh dalam satu insiden pada tanggal 3 Januari 1999. Mereka terbukti dijadikan sasaran karena memprotes pembentukan milisi Mahidi di Cassa. Tiga korban lainnya dengan sengaja dibunuh setelah ditahan dan dipukuli oleh prajurit-prajurit TNI dan anggota-anggota Mahidi.

Seperti di bagian lain Timor Timur, insiden pelanggaran berat hak asasi manusia terjadi lebih sedikit dalam periode UNAMET, namun pemukulan, penculikan, dan intimidasi oleh milisi dan TNI tetap berlanjut. Sasaran utama dari tindakan-tindakan ini adalah para pemimpin CNRT, aktivis mahasiswa yang berhubungan dengan DSMPTT, dan staf UNAMET. Pada tanggal 5 Agustus misalnya, milisi Mahidi menyerang suatu pertemuan di kota Ainaro yang diselenggarakan oleh DSMPTT, melukai seorang Polisi Sipil UNAMET. Polri gagal bertindak, dan menolak menyelidiki serangan itu dengan alasan bahwa UNAMET tidak seharusnya

menghadiri pertemuan tersebut. Kemudian, ketika masa kampanye dalam bulan Agustus, satu kelompok Mahidi membakar habis kantor CNRT.

Hari pemungutan suara lebih menegangkan di Ainaro dibandingkan banyak kabupaten lain. Di samping meluasnya intimidasi dan pengacungan senjata api oleh TNI dan milisi, ada usaha yang tidak berhasil untuk membunuh seorang tokoh CNRT di Cassa.

Namun seperti juga di tempat lain di Timor Timur, kekerasan dan penghancuran yang paling buruk terjadi setelah pemungutan suara, dan intensitasnya sangat tinggi setelah pengumuman hasil pemungutan suara pada 4 September. Pola ini hampir sama di setiap kecamatan. Tim gabungan TNI dan Mahidi bergerak secara sistematis dari desa ke desa, pertama memerintahkan penduduk untuk pergi, kemudian menjarah dan membakar semua rumah dan bangunan. Sebagian besar penduduk diperintahkan pergi ke kota Ainaro, dan dari sana diangkut dengan truk ke Timor Barat. Diperkirakan seluruhnya 13.000 orang yang dipindahkan secara paksa dengan cara ini.

Proses pengosongan dan perusakan disertai dengan pelanggaran berat hak asasi manusia, terutama pembunuhan yang selektif atau dengan sasaran tertentu. Sebagian besar dari pelanggaran ini dilakukan oleh tim gabungan TNI dan milisi Mahidi. Dalam beberapa kasus, terutama di Kecamatan Hato Udo, anggota-anggota milisi ABLAI dari kabupaten tetangga, Manufahi, juga terlibat.

Dalam beberapa kasus, pembunuhan dilakukan ketika korban berada dalam tahanan TNI. Salah satu kasus semacam ini terjadi pada 6 September di kampung Aituto Rina, Kecamatan Hatubuilico, di mana dua orang laki-laki dipukuli dan kemudian dibunuh ketika ditahan di markas TNI. Kedua orang itu berada dalam kelompok besar yang ditangkap prajurit TNI dan milisi pada 5 September, lalu ditahan di pos TNI terdekat. Keesokan paginya, para pendukung kemerdekaan dipisahkan dari yang lain sebelum dipukuli dengan berat dan dibunuh.

Seperti dalam kasus di atas, mereka yang dijadikan sasaran umumnya adalah orang-orang yang diketahui sebagai pendukung kemerdekaan, tetapi korban juga termasuk anggota keluarga mereka. Pada 10 September misalnya, seorang anak perempuan berusia dua tahun ditembak di kepala dan mati di rumahnya di kampung Sebagalau, oleh milisi yang berusaha membunuh ayahnya.

Satu-satunya kasus kekerasan yang paling buruk di kabupaten ini adalah pembantaian di desa Maununu pada 23 September. Mahidi dan TNI telah meninggalkan Ainaro pada 21 September, tetapi dua hari kemudian satu kelompok yang terdiri atas enam puluh orang bersenjata kembali ke Maununu. Dalam operasi yang dikoordinasikan dengan seksama dan dilaksanakan dengan cara militer, or-ang-orang bersenjata itu – yang mungkin saja termasuk prajurit TNI – membunuh sedikitnya 11 orang, dan berusaha untuk membunuh lima orang lainnya, membakar sebanyak 165 bangunan, dan memindahkan dengan paksa sekitar 75 orang penduduk desa.

9.3 Baucau (Kodim 1628)

Dandim: Letnan Kolonel Hisar Richard Hutajulu Bupati: Virgílio Marçal

Kapolres: Letnan Kolonel (Pol.) Drs. Sodak C. Marpaung Milisi: Saka, Sera, Forum Komunikasi Partisan (FKP) Jumlah yang dibunuh: 43 orang

9. Ringkasan Kabupaten 137

Kabupaten Baucau, tempat kota terbesar kedua Timor Timur, menderita kekerasan dan penghancuran yang parah di tahun 1999.9 Sedikitnya 43 orang dibunuh selama 1999 dan setengah dari jumlah tersebut dibunuh dalam masa setelah pemungutan suara. Seperti di kabupaten-kabupaten lain, terjadi penghancuran fisik yang luas sesudah pemungutan suara, dan diperkirakan 5.000 orang dipaksa meninggalkan rumah mereka. Meskipun demikian, mengingat ukuran dan arti penting politik kabupaten ini, kekerasan di Baucau relatif terbatas.

Sebagian besar dari orang yang dibunuh adalah pendukung kemerdekaan, sementara lima orang adalah prajurit TNI atau pendukung otonomi. Pelaku utama kekerasan adalah kelompok milisi setempat, Saka, dan berbagai unit TNI termasuk Rajawali dan Batalyon Infantri 745. Kelompok-kelompok milisi yang lain, yaitu Sera dan Forum Komunikasi Partisan(FKP) juga berperan.

Milisi dan Pihak Berwenang

Kelompok milisi utama di kabupaten Baucau adalah Saka (alias Tim Saka dan Tim Pusaka). Sebagian besar anggotanya memiliki senjata, peralatan komunikasi yang canggih, dan peralatan militer lainnya. Awalnya dibentuk pada saat dilancarkannya ‘Operasi Kikis’ oleh tentara Indonesia pada tahun 1983, Saka telah lama memiliki hubungan yang kuat dengan TNI. Seorang bintara di Kodim Baucau, Sersan António Monis, bertanggungjawab langsung atas hubungan dan operasi Saka.

Komandan Saka, Joanico Cesario Belo, adalah seorang bintara Kopassus. Sebagai ‘murid’ dari perwira Kopassus yang terkenal dan menantu Suharto, Prabowo Subianto, Belo membawa kartu nama dengan lambang Kopassus yang menyebut dirinya sebagai ‘Komandan Kompi Khusus Pusaka’ (Dan Ki Sus Pusaka).10 Ia menjadi komandan Saka sejak 1996 dan juga komandan seluruh milisi untuk wilayah timur (PPI, Sektor A), yang membawahi Makikit dan 59/75 Junior di Viqueque, Tim Alfa di Lautem, Moruk di Manatuto, dan Saka maupun Sera (Tim Sera) di Baucau.

Walau merupakan milisi yang paling aktif dan paling besar di Baucau, dan bertanggungjawab atas banyak pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya, Saka pada umumnya kurang agresif dibandingkan kelompok milisi lain seperti BMP di Liquiça dan Aitarak di Dili. Agaknya salah satu sebabnya adalah rendahnya dukungan dari Bupati, Virgílio Marçal (seorang asli Baucau yang cukup dihormati di kabupaten ini), dan dari Dandim Letnan Kolonel Richard Hutajulu.

Resminya, para pejabat ini mendukung Saka. Seperti di kabupaten-kabupaten lain, dana mengalir ke kelompok ini dari kantor Bupati dan melalui Kodim. Walaupun demikian, Bupati dan Dandim mengungkapkan kepada UNAMET kekhawatiran mereka mengenai milisi, dan keinginan mereka untuk menjamin Konsultasi Rakyat yang damai. Sikap mereka mungkin dipengaruhi oleh pandangan Uskup Baucau, Basilio do Nascimiento, seorang tokoh yang berpengaruh dan sangat dihormati di Baucau, dan di seluruh Timor Timur.

Juga ada sikap mendua di dalam Saka sendiri. Beberapa anggota Saka tampaknya bersimpati pada kemerdekaan, dan diam-diam membantu Falintil dengan mengirim uang dan makanan yang mereka terima sebagai milisi. Bahkan Komandan Saka, Joanico Cesario Belo, tampak kurang yakin. Dalam periode sebelum pemungutan suara, pernyataan-pernyataannya di depan umum jarang segarang Eurico Guterres,

9 Kecuali disebut lain, penjelasan ini berdasar pada: UNTAET, DHRO-Baucau, “Baucau 1999 Report” [tanpa tanggal]. 10 Satu lembar kartu nama Cesario dimiliki oleh penulis.

Cancio Carvalho, dan pemimpin-pemimpin milisi yang lain. Dalam periode pasca pemungutan suara, ia dilaporkan membantu banyak orang pro-kemerdekaan meninggalkan Dili menuju Baucau, mungkin menyelamatkan banyak nyawa.

Kelompok milisi kedua di Baucau adalah Tim Sera. Dipimpin oleh Agostino Freitas Boavida (alias Sera Malik), Tim Sera juga dibentuk dalam dasawarsa 1980-an d1980-an memiliki hubung1980-an kuat deng1980-an TNI. Namun kelompok ini jauh lebih kecil dan kurang aktif dibanding Saka.

Kelompok milisi terakhir di Baucau, yaitu Forum Komunikasi Partisan (FKP), baru dibentuk sekitar Juli-Agustus 1999. Nama kelompok itu mengingatkan pada kelompok milisi pertama yang dibentuk TNI pada tahun 1975-1976, yang disebut ‘Partisan’. Beberapa anggota FKP disebut-sebut sebagai anggota kelompok yang lama. FKP dibentuk atas inisiatif Kepala Staf Kodim Baucau, Kapten Karel Pola, walaupun ada usaha-usaha dari pihak berwenang setempat dan pejabat UNAMET untuk mencegahnya. Situasi saat pembentukan milisi ini dengan jelas menunjukkan bahwa FKP merupakan proyek TNI yang ditujukan untuk menambah atau menggantikan kelompok milisi yang dianggap tidak cukup aktif.

Kontroversi mengenai pembentukan FKP – seperti yang dilaporkan oleh UNAMET pada 1999 – menjelaskan sebab-sebab lebih lanjut mengapa tingkat kekerasan di kabupaten Baucau relatif rendah. Kontroversi itu menegaskan, misalnya, bahwa Bupati Virgílio Marçal dan Dandim Letnan Kolonel Richard Hutajulu kurang mendukung kekerasan milisi dibanding rekan-rekan mereka di kabupaten lain. Kontroversi itu juga menegaskan ketidaksetujuan kuat Uskup terhadap dukungan TNI kepada milisi, dan keinginannya untuk bertindak mendesak pihak berwenang Indonesia agar membatasi kegiatan milisi.

Ketiga orang ini mengungkapkan kekhawatiran mereka kepada UNAMET bahwa usaha-usaha Kapten Pola akan menimbulkan kekerasan, dan mereka mendukung usaha untuk membuatnya ditarik dari Kabupaten Baucau. Semua pihak mengungkapkan kelegaan dan kepuasan pada pertengahan Juli ketika menerima berita bahwa Pola telah dipindahkan. Kemudian, ketika ia muncul kembali di Kabupaten Baucau pada 2 Agustus, Uskup mengatakan bahwa orang itu pasti mendapat dukungan dari satu atau lebih jenderal di Jakarta. Segera setelah Kapten Pola kembali, usaha-usaha penggalangan FKP kembali dilanjutkan, dan pada minggu kedua Agustus satuan-satuan milisi yang baru sudah ada di semua kecamatan. Dipimpin oleh José Manuel dos Reis (alias José Bife), FKP merupakan gabungan yang terdiri atas mantan Partisan, pegawai negeri sipil, dan mantan anggota milisi Saka dan Sera. Bersama dengan Saka dan TNI, mereka adalah penanggungjawab utama pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa sesudah pemungutan suara.