• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perstiwa Utama Hak Asasi Manusia

Seperti di banyak kabupaten lain, kekerasan paling serius di Baucau terjadi dalam periode pra-UNAMET dan sesudah pemungutan suara. Hampir semua pembunuhan pada tahun 1999 terjadi antara Januari dan Mei, atau September 1999. Periode UNAMET ditandai dengan terjadinya intimidasi sitematis, termasuk ancaman terbuka akan adanya kekerasan, pemukulan, dan sebagainya, tetapi tampaknya tidak ada pembunuhan.

Banyak pelanggaran berat hak asasi manusia dalam periode pra-UNAMET, termasuk sejumlah pembunuhan, dilakukan oleh prajurit TNI dan Kopassus. Beberapa pembunuhan ini dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap

9. Ringkasan Kabupaten 139

serangan Falintil atau Klandestin. Salah satu kasus semacam itu terjadi di wilayah Uaibeana dan Burburaca, pada 17 Maret 1999. Rupanya sebagai pembalasan atas pembunuhan terhadap seorang prajurit TNI pada bulan yang sama, lima orang pemuda ditahan dan dibunuh oleh TNI. Tiga dari lima korban itu kemudian ditemukan dalam sebuah kuburan yang dangkal di Triloka, dekat bandar udara Baucau. Sedang tubuh dua korban lainnya sampai awal 2003 masih belum ditemukan.

Kabupaten Baucau tenang pada hari pemungutan suara, dan beberapa hari pertama pada bulan September. Namun pada 3 September, milisi mulai muncul di jalan-jalan kota Baucau, sebagian dari mereka membawa dan menembakkan senjata otomatis. Pada malam 4, 5, dan 6 September sejumlah orang mengendarai sepeda motor mengelilingi kota dan menembakkan senapan-senapan mereka ke udara. Sementara sebagian lainnya memutari atau melintasi rumah-rumah UNAMET dan Civpol, melemparkan batu-batu, menghancurkan jendela-jendela mobil, dan menembakkan senjata.

Pada 7 September, kantor UNAMET di kota Baucau diserang. Serangan itu berlangsung selama sekitar satu jam. Selama itu pula rentetan tembakan senjata api memasuki bangunan dengan ketinggian sebatas dada. Para Perwira Penghubung Militer (MLO) di luar melaporkan bahwa tembakan-tembakan itu dilakukan oleh Polisi Indonesia, kemungkinan Brimob. Sekitar dua jam setelah serangan dimulai, satu unit TNI muncul di tempat kejadian. Beberapa waktu kemudian UNAMET diungsikan ke Dili dengan helikopter.

Pada saat itu kekerasan paling buruk mulai terjadi, dan ini terus berlanjut sampai akhir September. Selama tiga minggu kemudian, enam orang dibunuh di kecamatan Baucau; lima di Venilale; empat di Laga, tiga di Quelicai, dua di Vemasse, dan seorang di Baguia. Sebagian pembunuhan ini dilakukan oleh pasukan TNI, termasuk beberapa yang dilakukan oleh Batalyon Infantri 745 ketika melintasi Baucau dalam perjalanan dari Los Palos ke Dili akhir September (Lihat Studi Kasus: Amuk Batalyon 745).

Selain pembunuhan terhadap 21 orang ini, satuan-satuan TNI dan milisi melakukan kekerasan di sebagian besar wilayah kabupaten ini, pembakaran atau perusakan rumah-rumah, bangunan-bangunan pemerintah, binatang ternak, dan persediaan pangan. Beberapa wilayah menderita kerusakan relatif kecil, termasuk Baucau Kota dan kecamatan Venilale. Wilayah lain mengalami kerusakan berat, terutama di kecamatan Quelicai, pusat kegiatan milisi, dan Laga.

Di Quelicai, pada 7 September, anggota milisi Saka gagal menangkap sejumlah pemimpin CNRT. Keesokan harinya, 8 September, anggota milisi dan prajurit TNI bersama-sama membakar habis kantor CNRT dan semua rumah serta bangunan yang ada di sepanjang jalan utama. Pada 9 September, prajurit TNI di Laga bersama milisi Saka dan Sera memaksa penduduk berkumpul di markas TNI untuk diangkut dengan perahu menuju Timor Barat.

Selama bulan September, setidaknya 5.000 orang, dan mungkin lebih banyak lagi, meninggalkan rumah mereka baik karena intimidasi langsung oleh pasukan milisi dan TNI, atau karena ketakutan yang umum akan terjadinya kekerasan. Pasukan Interfet tiba di Baucau akhir September, dan kekerasan berhenti segera sesudahnya.

9.4 Bobonaro (Kodim 1636)

Dandim: Letnan Kolonel Burhanuddin Siagian Bupati: Guilherme dos Santos

Kapolres: Mayor (Pol) Drs. Budi Susilo

Milisi: Halilintar, Dadurus Merah Putih, Firmi Merah Putih, Saka Loromunu, Armui Merah Putih; Guntur Merah Putih, Hametin Merah Putih, Harimau Merah Putih, Kaer Metin Merah Putih.

Jumlah yang dibunuh: 229 orang

Kabupaten Bobonaro adalah salah satu pusat utama kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pro-otonomi pada tahun 1999.11 Setidaknya 229 orang dan mungkin sebanyak 300 orang dibunuh selama tahun itu. Banyak lainnya mengalami pemukulan, penyiksaan, pemindahan paksa, dan penghancuran harta benda. Diperkirakan 8.612 rumah dibakar, dan lebih dari 4.382 lainnya dirusak hingga tidak bisa ditempati. Kejahatan berbasis gender, termasuk pemerkosaan dan perbudakan seksual, juga umum dilaporkan.

Kebanyakan korban adalah pendukung kemerdekaan, walaupun sekitar 20 pendukung pro-otonomi atau prajurit TNI termasuk di antara yang mati. Para pelaku kekerasan umumnya adalah anggota dari salah satu kelompok milisi yang beroperasi di kabupaten ini, tetapi juga prajurit TNI dan Polri. Kelompok-kelompok ini hampir selalu dipimpin atau diarahkan oleh anggota unit-unit intelijen TNI.

Milisi dan Pihak Berwenang

Bobonaro memiliki jaringan kelompok milisi dan paramiliter yang sangat hebat pada 1999.12 Setidaknya ada sembilan kelompok milisi pada akhir 1998 dan awal 1999, dan semuanya mendapat dukungan penuh dari pihak berwenang sipil dan militer.

Kelompok utama milisi adalah kesatuan paramiliter Halilintar, yang resminya dipimpin oleh panglima tertinggi milisi, João Tavares. Halilintar didirikan saat invasi Indonesia tahun 1975 tetapi kemudian tertidur selama beberapa tahun dan baru dibangkitkan kembali pertengahan dasawarsa 1990-an. Walaupun total jumlah anggota kesatuan milisi ini pada 1999 hanya sekitar 120 orang, namun milisi ini beroperasi di seluruh kabupaten dan di luarnya, dan mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan TNI.13 Sebagai sebuah kesatuan elit, anggotanya menerima Rp 300.000 per bulan, berikut seragam dan senjata api. Mereka juga dipercaya untuk bergabung dengan SGI dan kesatuan-kesatuan reguler TNI dalam operasi tempur dan kontra-pemberontakan.

Di bawah Halilintar ada beberapa kesatuan milisi dengan ukuran yang beragam.

11 Kecuali jika disebutkan lain, penjelasan ini berdasar pada: UNTAET, DHRO-Bobonaro, “Bobonaro District Report 1999,” September 2002; Deputy General Prosecutor for Serious Crimes, Indictment against Lt. Col. Burhanuddin Siagian et al., 3 Februari 2003; dan General Prosecutor of Democratic Republic of East Timor, Indictment against Lt. Sutrisno et al., Juni 2002.

12 Peter Bartu, yang pernah bekerja sebagai Pejabat Urusan Politik UNAMET di Bobonaro, menulis bahwa “struktur milisi di kabupaten Bobonaro adalah yang paling berkembang dalam arti organisasi dan pendanaan.” Bartu, “The Militia, the Military, and the People of Bobonaro,” dalam Tanter, Selden dan Shalom (penyunting), Bitter Flowers, Sweet Flowers: East Timor, Indonesia, and the World Community, Rowman & Littlefield, 2001, halaman 78.

13 Tentang hubungan Halilintar dengan TNI, Bartu menulis: “Tentunya milisi ini memiliki hubungan yang dekat dengan Satgas Intel (Satuan Tugas Intelijen, SGI), unit intelijen Kopassus yang mengarahkan pembentukannya kembali, memperhatikan kebutuhan logistiknya, dan menyediakan pengawal bagi Tavares, serta melatih kader seniornya.” Bartu, “The Militia,” halaman 80.

9. Ringkasan Kabupaten 141

Sebagian besar dari mereka dibentuk awal 1999. Setidaknya satu kelompok didirikan di semua enam kecamatan yang ada di kabupaten Bobonaro, dan beberapa kecamatan memiliki dua kelompok. Di antara yang paling aktif dan paling sering terlibat dalam tindak kekerasan yang serius adalah DMP (Dadurus Merah Putih) yang berpusat di Kecamatan Maliana. Dipimpin oleh bintara aktif TNI, Sersan Domingos dos Santos, kelompok ini berperan penting dalam penyerangan terhadap markas UNAMET di Maliana akhir Juni 1999, pembunuhan terhadap dua orang staf UNAMET pada 2 September, dan pembunuhan massal di kantor polisi Maliana 8 September.

Seperti di kabupaten-kabupaten lain, sebagian besar kekerasan milisi di Bobonaro dikoordinasi oleh dan dilaksanakan dengan persetujuan pihak berwenang militer dan sipil. Pejabat utama di Bobonaro adalah: Komandan Distrik Militer, Letnan Kolonel Burhanuddin Siagian; Kepala Seksi Intelijen Kodim, Letnan Sutrisno; dan Bupati Guilherme dos Santos. Di samping itu, kepemimpinan setiap kelompok milisi di tingkat kecamatan dipengaruhi, dan dalam beberapa kasus didominasi oleh para bintara TNI aktif dan pensiunan.14 Orang-orang ini dalam kerjanya dibantu oleh sejumlah tokoh pro-otonomi setempat, termasuk komandan milisi João Tavares; wakil ketua FPDK, Natalino Monteiro; pemimpin BRTT, Francisco Soares; dan Ketua DPRD tingkat II Kabupaten Bobonaro, Jorge Tavares.

Tabel 4: Kelompok Milisi Pro-Indonesia di Kabupaten Bobonaro

Nama Milisi Kecamatan

Halilintar Maliana, Atabae

Dadurus Merah Putih (DMP) Maliana

Firmi Balibo

Saka Loromunu

ARMUI Merah Putih Atabae

Guntur Merah Putih Cailaco

Hametin Merah Putih Bobonaro

Harimau Merah Putih

Kaer Metin Merah Putih Lolotoe

Dukungan resmi bagi milisi bentuknya bermacam-macam, termasuk penggalangan, pelatihan, penyediaan senjata dan dukungan logisitik, serta pendanaan. Bukti tentang pendanaan resmi kepada milisi dan kelompok pro-otonomi lainnya sangat banyak di Bobonaro. Dokumen-dokumen yang dibocorkan dari pemerintahan kabupaten selama 1999 mengungkap, misalnya, bahwa Bupati meminta dana sekitar Rp 3 milyar dari Gubernur untuk kegiatan ‘sosialisasi’ dan sekitar 35% dari jumlah tersebut disediakan untuk kelompok-kelompok milisi di bawah berbagai samaran. Dokumen-dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa, ketika keuangan mulai menipis pada Juli 1999, Bupati meminta persetujuan dari Gubernur untuk mengalihkan dana dari mata anggaran lain – termasuk pendidikan dan pekerjaan umum – untuk menutupi biaya kampanye ‘sosialisasi’. Dokumen-dokumen ini dianalisis secara rinci dalam Bab 8 laporan ini.

Seperti di kabupaten-kabupaten lain, pihak Polri menyatakan tidak berdaya di

14 Bartu menulis: “TNI sangat terlibat dalam semua aspek kegiatan milisi di kabupaten Bobonaro yang bertujuan memenangkan pilihan pro-otonomi dalam Konsultasi Rakyat. Pada tingkat yang lebih tinggi para pemimpin milisi kecamatan dikoordinasikan dan diarahkan oleh Dandim dan kepala intelijennya dari Kodim dan dari kantor bupati. Pada tingkat kecamatan milisi dipimpin secara langsung oleh personil TNI atau secara langsung didukung oleh staf Koramil. Pada tingkat desa milisi bekerja saling membantu dengan pos-pos militer dan Babinsa.” Bartu, “The Militia,” halaman 88.

hadapan dukungan pemerintah sipil dan militer yang kuat kepada milisi. Salah seorang perwira senior tercatat menggambarkan masalahnya kepada UNAMET sebagai berikut: “Jika kami menahan seorang milisi, Dili dan Jakarta akan menyuruh kami untuk melepaskannya. Jika kami menembak salah satu dari mereka, maka kami tahu mereka akan menyerang kantor kami di kabupaten.”15 Apakah karena ketidakberdayaan mereka atau karena dukungan aktif mereka pada pihak pro-otonomi, Polri menjalankan peran pembantu melalui kegagalannya menghentikan atau mencegah tindak kekerasan, atau mengambil tindakan terhadap mereka yang diketahui melakukan pembunuhan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.

Peristiwa Utama Hak Asasi Manusia

Sebagaimana yang terjadi di beberapa kabupaten lain, kekerasan terhadap or-ang-orang dan desa-desa yang mendukung kemerdekaan dimulai bahkan sebelum pernyataan Presiden Habibie akhir Januari 1999. Walau begitu, baru pada bulan Maret 1999 kekerasan anti-kemerdekaan menjadi sistematis dan luas di Bobonaro. Dalam bulan itu kesatuan-kesatuan TNI dan SGI melancarkan penggerebekan terhadap pertemuan-pertemuan yang diduga diadakan CNRT, dan terhadap desa-desa yang dianggap bersimpati pada Falintil. Sejumlah orang dibunuh dalam serangan-serangan tersebut.

Misalnya, pada 19 Maret prajurit TNI dan anggota milisi Halilintar yang bersenjata lengkap dan memakai topeng ‘Ninja’ menggerebek apa yang mereka kira pertemuan klandestin pro-kemerdekaan di desa Moleana, Kecamatan Maliana. Dalam penyerangan itu empat orang terbunuh, termasuk dua anak-anak.16 Beberapa hari kemudian, pada 22 Maret, beberapa prajurit memukul seorang pemimpin CNRT yang terkenal di hadapan umum sampai babak belur lalu menyeretnya melalui jalan-jalan kota menuju markas TNI setempat. Korban yang bernama José Andrade da Cruz itu akhirnya dibebaskan. Tetapi pemukulan terhadap dirinya di hadapan umum dan serangan terhadap pertemuan CNRT telah menciptakan ketakutan yang menyebar luas di kalangan pendukung kemerdekaan. Akibatnya ratusan orang meninggalkan rumah mereka dan pergi ke Dili atau gereja-gereja setempat yang relatif aman. Pengungsian paksa penduduk dan persoalan penduduk yang terusir dari tempat tinggal mereka yang terus berlanjut selama tahun itu, telah dimulai.

Keadaan semakin memburuk pada bulan April dengan diresmikannya kelompok-kelompok milisi baru dan penggalangan mereka dalam konteks kampanye ‘sosialisasi’ yang diselenggarakan pemerintah. Hanya beberapa hari setelah peluncuran resmi kampanye itu, para prajurit TNI yang beroperasi bersama milisi Halilintar dan kesatuan-kesatuan milisi lainnya memulai salah satu operasi pembunuhan di luar hukum yang paling terkonsentrasi dalam beberapa tahun ini. Operasi ini dimulai dengan eksekusi terhadap tujuh orang dalam satu hari di Kecamatan Cailaco. Para saksi mengatakan bahwa eksekusi tersebut diperintahkan oleh Komandan Distrik Militer, Letnan Kolonel Burhanuddin Siagian, dan Kepala Seksi Intelijen Kodim, Letnan Sutrisno. Selama dua minggu selanjutnya sebanyak 20 orang dibunuh di Kecamatan Cailaco. Operasi itu kemudian diikuti dengan penyergapan dan pembunuhan terhadap kepala bagian keuangan kabupaten dan

15 Dikutip dalam Bartu, “The Militia,” halaman 75.

16 UNTAET, DHRO-Bobonaro, “Background Information Concerning the 19 March Attack,” 20 Maret 2001.

17 Tidak jelas siapa yang membunuh Manuel Gama. Beberapa pengamat menyimpulkan bahwa pembunuhan itu mungkin saja dilakukan oleh satu unit Falintil. Di lain pihak, Bartu mengatakan: “Bobot bukti menunjukkan bahwa Gama dibunuh oleh tim gabungan Halilintar/SGI/TNI, sebagai dalih untuk penyerangan di seluruh kabupaten terhadap para pendukung kemerdekaan.” Bartu, “The Militia,” halaman 82.

9. Ringkasan Kabupaten 143

tokoh pro-otonomi, Manuel Gama, pada 12 April.17 (Lihat Studi Kasus: Pembunuhan di Cailaco).

Rangkaian pembunuhan itu memicu gelombang baru pengungsian dalam negeri di Cailaco, karena penduduk desa menyelamatkan diri ke gunung-gunung, atau ke kota dan desa di sekitarnya. Lebih dari 4.000 orang pindah dari empat desa ke kamp-kamp kasar di ibukota kecamatan, dimana mereka ditempatkan di bawah ‘perlindungan’ kelompok-kelompok milisi. Milisi mengatakan kepada para pengungsi bahwa mereka tidak akan bisa kembali ke rumah sampai sesudah pemungutan suara selesai.18 Di tempat lainnya di kabupaten ini, rumah dua orang pemimpin terkemuka CNRT dibakar dan dijarah, dan kedua orang itu terpaksa mengungsi ke kantor Polres Maliana.

Pada bulan Mei, fokus operasi TNI dan milisi beralih ke Kecamatan Lolotoe. Seperti Cailaco, daerah ini juga dianggap sebagai basis pro-kemerdekaan. Selama beberapa hari pada akhir Mei, pasukan TNI bersama anggota milisi Kaer Metin Merah Putih (KMP) melancarkan operasi pembersihan. Ratusan orang yang dicurigai pendukung kemerdekaan dan pemimpin CNRT diringkus. Mereka ditahan dan banyak di antaranya dipukuli hingga babak belur, beberapa orang disiksa atau dipotong anggota tubuhnya oleh para penangkapnya dengan tujuan memaksa mereka mengakui hubungan mereka dengan Falintil. Beberapa kejadian pemerkosaan dan perbudakan seksual oleh TNI dan anggota milisi juga dilaporkan dalam konteks penyerangan-penyerangan ini (Lihat Studi Kasus: Penahanan Sewenang-wenang dan Pemerkosaan di Lolotoe).

Pada 1 Juni, dalam suatu arak-arakan besar pro-otonomi di Maliana, para pemimpin CNRT yang berada dalam penahanan perlindungan sejak April dipaksa menandatangani deklarasi yang secara resmi ‘membubarkan’ CNRT. Deklarasi itu kemudian dikutip oleh pihak pro-otonomi untuk membuktikan bahwa CNRT sudah menyerahkan haknya berkampanye untuk Konsultasi Rakyat. Berhadapan dengan taktik semacam itu, dan ancaman kekerasan, CNRT memilih tidak berkampanye di depan umum.

Seperti di kabupaten-kabupaten lain, tingkat pembunuhan menurun bulan Juni seiring dengan penempatan UNAMET dan pengamat internasional. Namun, kehadiran UNAMET tidak mengakhiri kegiatan-kegiatan lain kelompok-kelompok pro-otonomi atau penjarahan oleh milisi. Bahkan selama periode ini UNAMET dan staf lokalnya menjadi sasaran kekerasan milisi. Pada 29 Juni, misalnya, satu gerombolan milisi menyerang kantor UNAMET yang baru dibuka di Maliana. Mereka mengakibatkan beberapa orang luka berat dan menimbulkan kerusakan luas barang-barang. Satu penyelidikan UNAMET mengenai kejadian ini menyimpulkan bahwa penyerangan tersebut diorganisir oleh seorang perwira senior TNI di kabupaten, dan bahwa tindakan Polri terhadap serangan tersebut sama sekali tidak memadai. (Lihat Studi Kasus: Serangan terhadap UNAMET Maliana).

Protes internasional mengenai serangan tersebut, dan juga mengenai serangan terhadap rombongan bantuan kemanusiaan di Liquiça beberapa hari kemudian, membuat keadaan keamanan membaik untuk sementara waktu. Namun tak lama kemudian milisi bersenjata kembali bebas berkeliaran di seluruh kabupaten, mengancam para pendukung kemerdekaan dan staf UNAMET. Lebih buruk lagi, amat jelas bahwa mereka mendapat dukungan penuh tidak hanya dari Dandim, Letnan Kolonel Siagian, tetapi juga dari Bupati, Guilherme dos Santos. Menjelang

pemungutan suara, kedua orang itu menunjukkan sikap semakin bermusuhan terhadap UNAMET. Pada pertengahan bulan Juli, Guilherme dos Santos mengancam membunuh personel UNAMET dari Australia,19 dan setidaknya pada dua kesempatan Letnan Kolonel Siagian secara langsung mengatakan kepada para anggota staf lokal UNAMET bahwa mereka akan dibunuh setelah Konsultasi Rakyat.20

Ketegangan ini mencapai puncaknya menjelang akhir masa pendaftaran awal Agustus. Dengan menekankan bahwa proses pendaftaran tidak adil pada pihak pro-otonomi, Bupati mengancam akan menahan staf UNAMET jika satu saja penduduk kabupaten ini tidak dapat mendaftar. Dalam tanggapannya kepada wartawan pada masa yang sama, Guilherme dos Santos juga kelihatan mengancam staf UNAMET dengan tindak kekerasan. Krisis yang ditimbulkannya dapat dicegah melalui pertemuan langsung antara Bupati dan Kepala Misi UNAMET, Ian Mar-tin, pada 3 Agustus, dan melalui perpanjangan batas waktu pendaftaran.

Namun, permusuhan resmi terhadap UNAMET dan ancaman terbuka terhadap pendukung kemerdekaan terus berlanjut dan berkembang menjadi kekerasan serius pada hari-hari terakhir menjelang pemungutan suara. Pada 18 Agustus, seorang aktivis muda pro-kemerdekaan diseret dengan sebuah bis di kota Maliana oleh milisi DMP, dan dibacok hingga mati. Pada 27 Agustus, milisi dan anggota Polri menyerang penduduk di desa Memo, Kecamatan Maliana, membunuh sedikitnya dua orang dan menghancurkan sekitar 20 buah rumah.

Akhir Agustus, Kantor Urusan Politik UNAMET melapor kepada markas besar PBB di New York bahwa kecuali jika ada perubahan keadaan yang dramatis atau penempatan pasukan penjaga perdamaian, akan semakin banyak kekerasan besar-besaran di Kabupaten Bobonaro setelah pemungutan suara.21 Penduduk Bobonaro umumnya berpandangan sama, yang banyak dari mereka melarikan diri ke gunung-gunung atau tempat-tempat persembunyian yang lain, beberapa jam setelah memberikan suara.

Pada 2 September, kekerasan yang sudah luas diperkirakan pun dimulai, dan ketika UNAMET mengevakuasi semua staf internasional pada 3 September, kekerasan itu semakin meningkat. Dengan dukungan dan koordinasi pasukan-pasukan TNI dan Polri, milisi memulai operasi kekerasan yang sistematis di kota-kota dan desa-desa di seluruh kabupaten ini. Ribuan rumah dijarah dan dibakar, dan puluhan ribu penduduk diangkut paksa dengan truk ke Timor Barat.

Keseluruhan jumlah orang yang dibunuh di kabupaten ini pada September 1999 diyakini sedikitnya mencapai 111 orang, dan beberapa perkiraan menyebutkan jumlahnya mencapai 200 orang. Namun karena besarnya kemungkinan bahwa sebanyak 40 mayat dihanyutkan ke laut selama periode ini, maka jumlah orang yang meninggal, atau tempat peristirahatan terakhir mereka, tidak akan pernah diketahui.

Seperti di kabupaten-kabupaten lain, para pemimpin dan pendukung kemerdekaan secara khusus menjadi sasaran dalam kekerasan setelah pemungutan suara di Bobonaro. Demikian juga dengan staf lokal UNAMET. Di antara korban pertama setelah 30 Agustus adalah dua staf UNAMET di Maliana, Ruben B. Soares dan Domingos Pereira, yang dibunuh di depan rumah mereka pada tanggal 2

Sep-19 “Mayor threatens to kill Aussies,” Sydney Morning Herald, 17 Juli 1999. 20 Bartu, “The Militia,” halaman 88.

21 UNAMET, Political Affairs Office, “Weekly Sitrep #7 (16 August – 22 August).” Dimuat dalam UNTAET, Political Af fairs Office, Briefing Book, Dili, November 1999.

9. Ringkasan Kabupaten 145

tember. Pembunuh mereka antara lain adalah Kepala Seksi Intelijen Kodim Bobonaro, Letnan Sutrisno dan seorang perwira intelijen TNI, Asiz Fontes yang merangkap sebagai komandan milisi DMP di kota Maliana.22 Di bawah pengamatan Letnan Sutrisno dan Fontes, beberapa orang milisi menyeret Ruben B. Soares dari rumahnya sebelum menikamnya berulangkali dan menghantam kepalanya dengan sebuah batu. Pada waktu yang hampir bersamaan perwira intelijen TNI, Asiz Fontes menembak Domingos Pereira sementara milisi menikamnya berulang kali. Kedua orang itu meninggal karena luka-lukanya. Letnan Sutrisno dan Asiz Fontes didakwa, bersama dengan delapan orang lainnnya, atas pertanggungjawaban pidana indi-vidual untuk pembunuhan itu.23

Selain pembunuhan terencana ini dan belasan lainnya terhadap individu atau kelompok kecil orang, di Bobonaro juga terjadi sejumlah pembantaian massal pada bulan September 1999. Pembantaian paling mengerikan dan juga paling mengungkap hubungan antara milisi dan pihak berwenang militer dan Polri adalah pembantaian terhadap pengungsi di kantor Polres Maliana, tempat pengungsian sekitar 6.000 orang beberapa hari setelah pemungutan suara.

Pada pukul 5.30 sore tanggal 8 September, saat polisi berdiri menjaga, sebuah tim gabungan milisi dan prajurit TNI yang memakai topeng ‘Ninja’ menyerang kantor polisi, dan membunuh sebanyak 14 orang pengungsi dengan parang dan pisau. Mereka yang meninggal mencakup sejumlah tokoh terkemuka CNRT yang jelas dijadikan sasaran eksekusi. Tiga belas orang yang berhasil meloloskan diri dari