• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Milisi

MILISI DAN PIHAK BERWENANG

6. Milisi: Sejarah, Pembentukan, dan Pengakuan Hukum

6.2 Pembentukan Milisi

Terdapat bukti yang meyakinkan bahwa hubungan erat antara pihak berwenang Indonesia dan milisi berlanjut sepanjang 1999, dan bahwa para perwira tinggi militer dalam kenyataannya secara langsung terlibat dalam pembentukan dan koordinasi milisi pada periode tersebut. Bukti-bukti itu datang baik dari pernyataan-pernyataan mantan tokoh pro-integrasi, dan dari komunikasi rahasia antara para perwira tinggi TNI dan pejabat pemerintah sipil. Karena sifat dan tindakan kelompok-kelompok tersebut, maka keterlibatan pihak berwenang dalam pembentukan milisi mungkin menjadi perangsang untuk melakukan, dan karenanya keterlibatan dalam, pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan kejahatan terhadap umat manusia. Beberapa informasi tentang peran para perwira tinggi TNI di dalam membentuk milisi di akhir tahun 1998 dan awal 1999 – dan tentang perintah TNI untuk melakukan tindak kekerasan – datang dari para mantan pejabat pemerintah In-donesia dan tokoh Timor Timur pro-InIn-donesia. Di awal tahun 1999, tokoh lama pro-integrasi Tomás Gonçalves mengatakan kepada televisi Australia bagaimana pembentukan milisi dimulai pada tahun 1998:

“Perintah datang dari panglima daerah [Mayor Jenderal] Adam Damiri kepada komandan Timor Timur [Kolonel Tono Suratman] dan komandan Pasukan Khusus [Letnan Kolonel] Yayat Sudrajat – habisi semua CNRT, semua orang pro-kemerdekaan, termasuk orang tua,

15 Guterres tampaknya tetap menjadi pemimpin Garda Paksi sampai beberapa saat di bulan Januari 1999, ketika ia menulis surat kepada Pemerintah Daerah Timor Timur meminta uang Rp 7,5 juta untuk mendukung kegiatan Garda Paksi. Lihat: Ketua DPP Gada Paksi (Eurico Guterres) kepada Asisten III Kessos Sekwilda Tingkat I Timor Timur, Januari 1999 (Koleksi SCU, Doc #205). Setelah tanggal tersebut, Garda Paksi menghilang dari peredaran. Untuk suatu waktu, kelompok itu digantikan oleh FPTT (Forum Persatuan Timor Timur) satu organisasi pro-integrasi yang didirikan pada tanggal 7 Desember 1998, dan dipimpin oleh Guterres. Dalam kedudukan itu di bulan Januari 1999 Guterres menulis kepada Kepala Biro Keuangan Pemerintah Daerah Timor Timur, untuk meminta agar seorang staf biro tersebut ditugaskan membantu FPTT. Staf itu adalah Inácio de Jesus Soares, yang kemudian muncul sebagai Wakil Komandan Aitarak. Lihat: Ketua Umum Forum Persatuan Timor Timur (Eurico Guterres) kepada Kepala Biro Keuangan Pemda Tk-1 Timor Timur, 5 Januari 1999 (Koleksi SCU, Doc #159); dan Forum Persatuan Timor Timur (FPTT) kepada Danrem 164/WD, [Desember] 1998 (Koleksi SCU, Doc# 233). FPTT t ampaknya dibubarkan pada satu hari di bulan Januari 1999 dan digantikan dengan Aitarak dan FPDK.

anak laki-laki dan perempuan, dan cucu-cucunya. Komandan Sudrajat menjanjikan pembayaran Rp 200.000 [US$ 26,6] per orang kepada siapa saja yang mau masuk milisi.”16

Sumber-sumber yang lain menegaskan peran sentral Adam Damiri, Tono Suratman, dan Yayat Sudrajat dalam membentuk milisi, tetapi menunjukkan juga bahwa perwira yang lebih tinggi – khususnya Mayor Jenderal Kiki Syahnakri dan Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim – juga terlibat secara langsung. Sumber-sumber tersebut telah menggambarkan serangkaian pertemuan yang terjadi dari pertengahan tahun 1998 hingga awal 1999, di Dili, Denpasar, dan Jakarta, dimana para perwira tinggi TNI merumuskan rencana-rencana untuk mobilisasi pasukan milisi.

Banyak dari bukti tentang pertemuan tersebut diringkaskan di dalam satu surat dakwaan terhadap delapan pejabat senior Indonesia, yang diajukan oleh Wakil Jaksa Agung untuk Kejahatan Berat Timor-Leste pada bulan Februari 2003.17 Halaman-halaman yang relevan dengan persoalan pembentukan milisi terbaca sebagai berikut:

“11. Pada atau sekitar bulan Agustus 1998, Adam Rachmat DAMIRI mengatur agar seorang Timor-Leste pemimpin pro-Indonesia dapat terbang dari Timor-Leste ke Denpasar, Bali untuk sebuah pertemuan. Pada pertemuan ini, DAMIRI memberitahukan pemimpin orang Timor-Leste tersebut untuk mendirikan sebuah kelompok untuk mempromosikan integrasi.

12. Pada atau sekitar bulan Agustus 1998, DAMIRI mengadakan perjalanan ke Dili dan bertemu dengan para komandan TNI dan pemimpin pro-Indonesia Timor-Leste. Suhartono SURATMAN hadir pada pertemuan ini. DAMIRI memberitahu kelompok itu bahwa terdapat banyak perhatian internasional yang difokuskan terhadap Timor-Leste dan ini merupakan masalah untuk Indonesia. Dia menyampaikan kepada mereka bahwa mereka harus merancang sebuah rencana untuk membentuk organisasi-organisasi yang akan menyebarkan perasaan pro-Indonesia di seluruh Timor-Leste. Dia memberitahukan mereka bahwa mereka harus menciptakan sebuah pasukan pertahanan sipil yang tegas sesuai dengan model yang sebelumnya telah didukung oleh TNI dan bahwa pasukan ini seharusnya diperbesar dan dikembangkan untuk menjaga integrasi. 13. Pada atau sekitar bulan November 1998, Adam DAMIRI sekali lagi mengadakan perjalanan ke Timor-Leste. Selama kunjungan ini dia bertemu dengan para pemimpin pro-Indonesia di Dili, termasuk orang-orang yang kemudian menjadi pemimpin kelompok-kelompok milisi. DAMIRI minta para laki-laki ini untuk gabung bersama dan membantu TNI untuk melawan kelompok pro-kemerdekaan … Selama kunjungan ini dengan para pemimpin pro-Indonesia, DAMIRI memuji Eurico Guterres yang akan menjadi pemimpin milisi di masa depan sebagai pemuda yang bersedia berjuang untuk integrasi dan mengatakan bahwa dia bersedia memberikan lima puluh juta rupiah

16 ABC, Four Corners, “The Ties That Bind,” 14 Februari 1999.

6. Milisi: Sejarah, Pembentukan, dan Pengakuan Hukum 87

kepada Guterres untuk mulai pekerjaannya.

14. Pada atau sekitar bulan November 1998, SURATMAN bertemu dengan para pemimpin pro-Indonesia Timor-Leste di markasnya di Dili. Yayat SUDRAJAT hadir pada pertemuan ini. SURATMAN memberitahu kepada kelompok tersebut bahwa dia ingin Eurico Guterres, yang akan menjadi pemimpin milisi di masa depan, untuk membentuk sebuah organisasi baru untuk membela integrasi yang mirip kelompok pemuda pro-Indonesia Gada Paksi.

15. Pada awal tahun 1999 Zacky Anwar MAKARIM menerima para anggota pendiri kelompok pro-Indonesia Barisan Rakyat Timor Timur [BRTT] di kantornya di Jakarta. Selama pertemuan ini dia mengatakan bahwa perang gerilya akan dibutuhkan untuk mengatasi para pendukung kemerdekaan kalau opsi otonomi kalah dalam jajak pendapat.

16. Pada atau sekitar bulan Pebruari 1999, DAMIRI bertemu dengan para pemimpin pro-Indonesia Timor-Leste di Markas Besar Komando Daerah Militer IX di Denpasar, Bali. DAMIRI memberitahukan para laki-laki tersebut bahwa TNI siap untuk memberikan dukungan rahasia kepada pasukan pro-Indonesia. Dia menjelaskan bahwa hal ini harus rahasia untuk menghindari perhatian dan kritik internasional. DAMIRI minta para laki-laki tersebut untuk mengumpulkan orang Timor-Leste yang telah bertugas di TNI. Dia memberitahukan mereka bahwa mereka seharusnya bertemu dengan SURATMAN untuk menerima pengarahan selanjutnya.

17. Pada atau sekitar bulan Pebruari 1999, SURATMAN bertemu dengan seorang pemimpin pro-Indonesia Timor-Leste di Dili. Dia memberitahukannya bahwa karena TNI berada dibawah sebuah rezim reformasi, TNI tidak dapat ikut serta dalam operasi terbuka untuk melawan gerakan kemerdekaan. SURATMAN minta pemimpin pro-Indonesia untuk membentuk sebuah kelompok milisi. SURATMAN mengatakan bahwa TNI bersedia memberikan bantuan macam apapun yang dibutuhkan oleh kelompok-kelompok milisi. 18. Pada atau sekitar bulan Pebruari 1999, SUDRAJAT bertemu dengan personil TNI dan para pemimpin pro-Indonesia Timor-Leste di markas Satuan Tugas Intelijen di Dili. SUDRAJAT memberitahukan kelompok tersebut bahwa Satuan Tugas Intelijen mempunyai sebuah daftar pendukung kemerdekaan yang akan dibunuh. Dia mengatakan bahwa Satuan Tugas Intelijen dan kelompok-kelompok pro-Indonesia akan bekerjasama untuk melaksanakan pembunuhan ini. Dia mengatakan bahwa pasukan KOPASSUS berpakaian sebagai penjahat akan mulai melaksanakan pembunuhan pendukung pro-kemerdekaan.

dengan para pemimpin pro-Indonesia Timor-Leste di Markas Besar TNI di Jakarta. SYAHNAKRI memberitahukan kelompok tersebut bahwa TNI akan mendukung usaha pro-Indonesia dan bahwa MAKARIM bertanggungjawab atas koordinasi kegiatan menjelang jajak pendapat. SYAHNAKRI memberitahukan mereka bahwa senjata api telah dikirim ke Timor-Leste dan ketika mereka kembali ke Dili, mereka seharusnya menghubungi SURATMAN untuk mengatur pembagian senjata.”

Bukti tambahan tentang dukungan tingkat tinggi kepada milisi datang dari sejumlah dokumen rahasia dan komunikasi radio yang muncul sejak 1999. Dalam laporan rahasia Garnadi bertanggal 3 Juli 1999, yang dibahas dalam Bab 5, seorang pejabat tinggi dari kantor Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan menyebut milisi Timor Timur sebagai “pahlawan integrasi” yang pendapatnya harus diperhatikan dalam setiap perencanaan kontinjensi setelah pemungutan suara.18

Serupa dengan itu, dalam sepucuk surat rahasia kepada Presiden Habibie, bertanggal 6 September 1999, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jenderal Wiranto menjelaskan bahwa pasukan-pasukan TNI telah kesulitan mengendalikan kekerasan dalam periode setelah pemungutan suara karena “Adanya hubungan kedekatan emosional antara aparat keamanan dengan masyarakat pro-integrasi.”19

Pernyataan-pernyataan oleh pejabat-pejabat tinggi tersebut mencerminkan satu simpati yang luas kepada milisi di dalam lingkaran pejabat tertinggi, walaupun tidak sampai mengkonfirmasikan peran langsung TNI dalam memobilisasikan dan mengkoordinasikan kegiatan milisi. Namun bukti ke arah itu dilaporkan telah terungkap dalam serangkaian komunikasi rahasia melalui radio dan telefon yang disadap oleh Defence Signals Directorate (DSD – Direktorat Sinyal Pertahanan) Australia pada tahun 1999. Transkripsi lengkap dari sadapan tersebut belum dibuka kepada masyarakat umum, tetapi cuplikan-cuplikannya yang dilaporkan media tampak menegaskan tuduhan-tuduhan yang dibuat dalam surat dakwaan bulan Februari 2003. Cuplikan-cuplikan itu juga menambahkan kekhususan dan rincian mengenai asal-usul dukungan pihak berwenang kepada milisi, dan identitas dari orang-orang yang terlibat.

Misalnya, satu pembicaraan telefon antara Danrem Kolonel Tono Suratman dan Eurico Guterres, yang dilaporkan disadap pada tanggal 5 Mei 1999 tampak menegaskan keterlibatan langsung Suratman di dalam operasi-operasi milisi. Dalam pembicaraan melalui telefon itu, Suratman menanyakan kepada Guterres di mana ia mengumpulkan pasukan milisinya untuk unjuk kekuatan di Dili. Guterres disebutkan menjawab bahwa ia telah mengumpulkan sekitar 400 orang milisi di luar sebuah hotel di Dili (Tropical) yang dijadikan markas besar Aitarak.

Sekitar satu bulan kemudian, pada tanggal 1 Juni 1999, DSD Australia dilaporkan menyadap pembicaraan telefon yang lain antara kedua laki-laki itu. Jelas untuk

18 Penulis laporan, H.R. Garnadi, seorang pensiunan Mayor Jenderal, menulis dalam kedudukan resminya sebagai Asisten untuk Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Letnan Jenderal (Purn.) Feisal Tanjung, dengan tanggungjawab mengenai Politik Dalam Negeri (Pol/Dagri) dan sebagai anggota badan gabungan tingkat menteri untuk Timor Timur (P4-OKTT) yang dipimpin oleh Feisal Tanjung. Lihat Garnadi, “Gambaran umum apabila Opsi I gagal,” 3 Juli 1999 (Koleksi Yayasan HAK, Doc #35)

19 Surat dari Jenderal Wiranto kepada Presiden Habibie (No. R/511/P-01/03/14/Set) tentang “Perkembangan lanjut situasi Timtim dan saran kebijaksanaan penanganannya,” 6 September 1999 (Koleksi HRU, Doc. TNI #7). Mengungkapkan pandangan yang sama di bulan Oktober 2000, Mayor Jenderal Endriartono Sutarto (Asisten Operasi Kepala Staf Umum TNI pada tahun 1999) mengatakan: “Ini adalah psikologi prajurit kami, karena telah begitu lama memiliki hubungan kerja sama (dengan milisi) untuk mengamankan Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia.” Channel News Asia (Singapore), 12 Oktober 2000.

6. Milisi: Sejarah, Pembentukan, dan Pengakuan Hukum 89

menyembunyikan keterlibatan langsungnya dengan milisi, Kolonel Suratman dikatakan memberitahu Guterres, “Jangan berhubungan langsung dengan saya. Hubungi saya melalui Bambang.”20 Bambang yang disebut oleh Suratman adalah juga seorang perwira senior TNI di Timor Timur, kepala seksi intelijen Korem, Mayor R.M. Bambang Wisnumurty. Bersama dengan perwira intelijen yang lain, Letnan Masbuku, Mayor Bambang menjadi satu titik penghubung penting antara TNI dan milisi.

Perwira TNI lain, dengan kedudukan lebih tinggi, yang tampaknya memelihara hubungan dekat dengan milisi adalah Brigadir Jenderal Mahidin Simbolon, yang pada tahun 1999 menjabat sebagai Kepala Staf Kodam IX. Sebagai mantan komandan militer Timor Timur (1995-1997), ia telah cukup lama dicurigai terlibat di dalam membentuk dan menggerakkan kelompok-kelompok milisi di Timor Timur. Hubungannya dengan milisi agaknya ditegaskan oleh satu percakapan melalui telefon pada 14 Februari 1999, yang disadap oleh DSD. Percakapan itu antara pemimpin milisi Eurico Guterres dan seorang perwira dari unit Kopassus, Satgas Tribuana VIII. Berbicara tentang anggota milisi Mahidi yang terluka, seorang perwira Kopassus dilaporkan berkata: “Kami tahu bahwa Brigadir Jenderal Simbolon mengkhawatirkan seorang anak buahnya yang terluka.”21

Simbolon dikenal memiliki hubungan dekat yang khusus dengan Cancio Lopes de Carvalho, komandan milisi Mahidi yang bermarkas di Ainaro, dan komandan umum PPI Sektor C. Sebenarnya, dalam pengertian tertentu nama dari kelompok milisinya, Mahidi, merupakan penghormatan kepada sang jenderal, Mahidin Simbolon. Hubungan khusus itu bisa membantu menjelaskan kemunculan Cancio Carvalho sebagai salah satu dari pemimpin milisi yang paling kuat di Timor Timur, dan ciri agresif yang khusus dari kelompok milisinya.”22

Perwira yang paling banyak dicurigai sebagai koordinator utama milisi di Timor Timur –dan disebut namanya dalam surat dakwaan Februari 2003 terhadap Jenderal Wiranto dan lain-lain – adalah Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim. Sejarah karir Makarim membuatnya menjadi kandidat ideal untuk posisi itu, dan penunjukannya sebagai anggota militer senior untuk Satuan Tugas Pelaksanaan Penentuan Pendapat di Timor Timur yang dibentuk pemerintah Indonesia segera mengejutkan para pengamat lokal maupun internasional. Sampai dengan bulan Januari 1999, ia menjabat sebagai kepala badan intelijen militer Indonesia, BIA, sebuah lembaga dengan pengalaman bertahun-tahun menjalankan operasi-operasi kontra-intelijen dalam situasi seperti yang terjadi di Timor Timur.

Penting diperhatikan bahwa di awal dasawarsa 1990-an Makarim ditugaskan sebagai seorang perwira intelijen di Aceh, dalam konteks operasi besar-besaran kontra-pemberontakan dalam mana ribuan penduduk Aceh terbunuh. Salah satu ciri penting dari operasi tersebut, walaupun tidak banyak diketahui pada saat itu, adalah mobilisasi kelompok-kelompok milisi lokal, dan penggelaran mereka di dalam menghancurkan gerakan oposisi bersenjata, Aceh Merdeka, yang sekarang lebih dikenal sebagai GAM (Gerakan Aceh Merdeka).23 Mayor Jenderal Makarim banyak diyakini sebagai orang yang bertanggungjawab atas operasi tersebut, sehingga kedatangannya di Timor Timur menumbuhkan kekhawatiran bahwa strategi di

20 Sydney Morning Herald, “Silence over crime against humanity,” 14 Maret 2002. 21 Sydney Morning Herald, “Silence over crime against humanity,” 14 Maret 2002.

22 Juga patut dicatat bahwa kelompok-kelompok milisi yang melakukan kekerasan di Papua Barat muncul ketika Mahidin Simbolon, yang waktu itu berpangkat mayor jenderal, menjadi Panglima Daerah Militer di sana.

Aceh akan dilaksanakan di Timor Timur.

Peran Makarim sebagai bos milisi belum, dan mungkin bahkan tidak pernah bisa, dikonfirmasikan. Namun sadapan DSD dari awal bulan September 1999, tampak membenarkan dugaan bahwa ia bertugas sebagai seorang koordinator operasi pro-otonomi, yang kelompok-kelompok milisi hanyalah salah satu bagian darinya. Sadapan-sadapan itu, seperti yang dilaporkan, mengungkapkan bahwa Makarim menghubungi beberapa tokoh kunci militer dan para pemain politik baik di Dili maupun di Jakarta, dan membahas dengan mereka hasil pemungutan suara, dan rencana-rencana setelah pemungutan suara. Salah seorang yang sering berbicara dengan Makarim di hari-hari segera setelah pemungutan suara adalah Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Letnan Jenderal (Purn.) Feisal Tanjung, dan dua pensiunan jenderal lain yang menjabat menteri kabinet pada saat itu, yaitu Letnan Jenderal Hendropriyono dan Mayor Jenderal Yunus Yosfiah. Ketiga orang ini pernah bertugas militer di Timor Timur, dengan latar belakang intelijen militer atau Kopassus, atau keduanya.

Di Dili, Makarim disebutkan berbicara dengan Brigadir Jenderal Glenny Kairupan, salah seorang perwira angkatan darat lain yang berpengalaman di Timor Timur, dan para pemimpin kelompok pro-otonomi, antara lain Basilio Araújo. Pembicaraan-pembicaraan tersebut, begitu dilaporkan, mengungkap suatu kekhawatiran tentang hasil pemungutan suara dan potensi pembelotan para pemimpin kunci milisi. Dalam suatu pembicaraan dengan Basilio Araújo, pada 4 September 1999, Makarim tampak mengancam akan menyuruh membunuh Eurico Guterres kalau ia membelot pada saat terakhir. Setelah meminta Araújo untuk mengawasi Guterres, Makarim dilaporkan mengatakan: “Saya akan mengurusnya kalau dia menyeberang.”24

Ringkasnya, bukti yang tersedia memberikan dukungan kuat untuk tuduhan umum yang dibuat dalam surat dakwaan untuk Wiranto dan lain-lain bulan Februari 2003, bahwa:

“Selama periode menjelang jajak pendapat, pejabat Indonesia mendirikan dan menguatkan kelompok-kelompok sipil untuk berkampanye untuk opsi otonomi. … [dan bahwa] kelompok-kelompok didirikan dan dipertahankan dengan tindakan aktif para pejabat Indonesia di dalam Angkatan Bersenjata Indonesia … dan pemerintah sipil.”25