• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

Bagan 6. Bagan Kesimpulan Stres dan Coping Strategy 4 Subjek

Stres yang bersumber dari luar diri

Stres yang bersumber dari dalam diri

Bentuk stres yang dialami Perkembangan Fisik

Kesehatan anak mudah terganggu (SL, SG, RT) Keterlambatan kemampuan berjalan (SL, SG, RT) Ketidaksiapan jika anak mendapatkan menstruasi (SG, RT)

Kurangnya kemampuan bantu diri (SL, SH, RT)

Perkembangan kognitif:

Kurangnya kesadaran akan bahaya (SL, SH) Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung masih belum lancar (SL, SH, SG, RT)

Kemampuan berbicara yang belum lancar (SL, SH, RT)

Perkembangan emosi:

Keinginan anak kuat&harus dipenuhi (SL, SH, SG) Kontrol emosi yang buruk (SH, RT)

Mood mudah berubah (SL, SH, RT)

Perkembangan sosial:

Mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman sebaya (SH, SG, RT)

Perkembangan moral:

Kurangnya pemahaman baik&buruk (SG, RT)

Lingkungan keluarga:

Anak sering bertengkar dengan saudara kandung (SL, SH, RT) Reaksi suami ketika pertama kali mengetahui kondisi anak (SL, SG)

Lingkungan masyarakat:

Mendapat perlakuan kurang menyenangkan (SH, RT)

Lingkungan sekolah:

Mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari guru (SL, RT) SL SH SG RT 1) Perasaan bersalah:

1. Memaknai kondisi anak sebagai ganjaran atas dosa masa lalu

2. Kesedihan mendalam ketika mengetahui kondisi anak

2) Kehilangan

kepercayaan untuk memiliki anak normal 3) Kekhawatiran

terhadap masa depan anak

Merasa khawatir, merasa jengkel, merasa tidak nyaman, merasa sedih, merasa sakit hati, merasa ragu, merasa bingung, merasa keberatan, merasa kecewa, merasa kesulitan, merasa tersinggung, dan merasa tidak fokus berpikir, merasa tidak siap

Problem Focused Coping:

Active coping Planning, Suppression of competing activities, Seeking social support for instrumental action

Emotion Focused Coping:

Positive reinterpretation and growth, Seeking Social Support For Emotional Reason, Acceptance, Turning to religion Coping strategy subjek 1, 2, 3, dan 4

H. PEMBAHASAN

Down syndrome disebabkan oleh adanya kromosom ke-21 ekstra atau lebih sering disebut trisomy 21. Selain karena pembelahan sel yang tidak sempurna, Down Syndrome dapat disebabkan oleh faktor usia ibu ketika mengandung. Semakin tua usia ibu, semakin berpeluang melahirkan anak

Down Syndrome (Evans dan Hammerton (1985); Hook (1982) dalam Durand & Barlow, 2007). Jika melihat kembali latar belakang subjek, pernyataan tersebut sesuai dengan subjek 2 (SH), subjek 3 (SG), dan subjek 4 (RT) yang hamil ketika menginjak usia diatas 30 tahun dan tidak memiliki keturunan

Down Syndrome dalam keluarga.

Berdasarkan keterangan subjek, ketiga subjek terkena virus tokso ketika hamil. Pueschel dan Goldstein ((1991) dalam Durand & Barlow, 2007) mengungkapkan bahwa perempuan yang lebih tua lebih banyak terpapar zat beracun, radiasi, dan substansi-substansi yang mungkin merugikan dalam jangka waktu lama dibandingkan dengan mereka yang muda. Paparan ini mengganggu meiosis (proses pembelahan) kromosom normal, sehingga menciptakan kromosom ekstra pada kromosom 21. Hal ini sesuai dengan subjek 1 (SL) yang mengalami kegagalan KB suntik dan mengalami kesalahan diagnosis. Dokter tidak mengatakan jika SL hamil, tetapi mengalami beberapa penyakit dalam sehingga diharuskan mengkonsumsi obat dengan dosis tinggi. Kehamilan baru diketahui ketika menginjak usia 2 bulan. Hal tersebut membuat SL merasa kecewa terhadap diagnosis dokter yang keliru dan menimbulkan stres baginya. Seiring dengan perkembangannya, anak down

syndrome tentu berbeda dengan anak normal pada umumnya. Perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, dan moral yang terbatas tentu saja dapat menimbulkan stres bagi masing-masing subjek. Sesuai dengan fokus penelitian ini yaitu utnuk mengetahui stres yang dialami ibu dan coping strategy yang digunakan ibu untuk mengatasi stres, dibawah ini pertama-tama peneliti akan diuraikan mengenai stres yang bersumber dari luar diri antara lain keterbatasan anak (perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, dan moral), lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah.

Jika dilihat dari perkembangan fisik anak, stres yang dialami keempat subjek antara lain dikarenakan oleh kesehatan anak yang mudah terganggu. Subjek 1 (SL) merasa khawatir karena suhu tubuh anak dapat mendadak berubah dingin, subjek 2 (SG) merasa khawatir karena anak pernah mengalami gangguan saluran kencing, dan RT yang merasa khawatir karena anak mudah terkena batuk dan pilek serta tidak bisa meminum obat. Selain itu, stres juga disebabkan oleh Keterlambatan kemampuan berjalan. Anak DS juga memiliki otot yang lemah sehingga membuat mereka tidak mampu menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan kasar (Semium, 2006). Hal ini sejalan dengan subjek 1 (SL), subjek 3 (SG), dan subjek 4 (RT) dalam penelitian ini dimana anak mereka mengalami keterlambatan dalam berjalan, rata-rata anak dapat berjalan diatas usia 2 tahun. SL mengungkapkan bahwa anak baru dapat berjalan ketika anak berusia 2 tahun, SG mengatakan bahwa anak baru dapat berjalan ketika usia 5 tahun 5 bulan, dan RT mengungkapkan bahwa anak baru dapat berjalan ketika usia 3

tahun. Stres yang dialami subjek juga disebabkan oleh Ketidaksiapan jika anak mendapatkan menstruasi. Semium, 2006 mengungkapkan bahwa anak-anak gadis mengalami saat menstruasi yang sangat lambat. Ia sangat sensitif terhadap temperatur serta mudah sekali jatuh sakit. Seperti yang dialami oleh SG dan RT, mereka merasa tidak siap jika anak mendapatkan menstruasi. Dalam mengatasi ketidaksiapannya, SG mengusulkan kepada guru di sekolah supaya memberikan pembekalan diri kepada anak. Berbeda dengan SG, RT mengatasi ketidaksiapannya dengan mencari informasi melalui diskusi dengan teman mengenai bagaimana menangani anak ketika menstruasi sehingga RT dapat mengantisipasi ketidaksiapannya.

Jika dilihat dari perkembangan kognitif, stres yang dialami dikarenakan oleh kurangnya kesadaran anak akan bahaya yang dialami SL dan SH sehingga harus diawasi terutama ketika bermain api, gunting, dan oisau. Stres yang dialami keempat subjek dalam penelitian ini yaitu bahwa anak belum dapat menulis, membaca, dan berhitung dengan lancar. Hal ini didukung oleh pendapat Soemantri (2007) yang menuturkan bahwa kapasitas belajar anak down syndrome yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung membeo. Kemampuan berbicara anak yang belum lancar juga dapat menimbulkan stres bagi 3 subjek (SL, SH, dan RT). Kurang lancarnya kemampuan berbicara anak dikarenakan ciri fisik anak berupa lidah yang besar dan berkerut, yang menjulur keluar karena mulut yang

kecil dengan langit-langit yang rendah. Hal tersebut membuat anak mengalami kesulitan dalam artikulasi, kualitas suara, dan ritme berbicara (Semium, 2006).

Dalam perkembangan emosi, SL, SH, dan RT merasa sedih serta bingung terhadap mood/suasana hati yang mudah berubah. Hal ini didukung oleh pendapat Magungsong (1998) bahwa anak down syndrome memiliki emosi yang datar, kurang mendalam, dan cepat kabur. Mereka kadang-kadang dapat menjadi sedih dan marah, tetapi pada umumnya suasana hati semacam ini akan mudah hilang. Keadaan emosi anak yang demikian sesuai dengan yang dialami oleh SH dan RT yang mengalami stres karena anak memiliki kontrol emosi yang buruk (kemarahan mudah meledak-ledak). SL dan SH merasa keberatan karena keinginan anak yang kuat dan harus terpenuhi. Seperti halnya anak normal, anak tunagrahita mengahayati suatu emosi jika kebutuhannya terhalangi (Magungsong, 1998). Seperti halnya SG yang merasa khawatir anak akan mengamuk jika keinginan tidak dipenuhi.

Bersumber dari perkembangan sosial anak, SH dan SG merasa kesal serta takut karena anak mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman sebaya. Perlakuan tidak menyenangkan ini karena anak down syndrome

berbeda dengan anak normal, anak tunagrahita jarang diterima dan sering ditolak oleh kelompok (Magungsong, 1998). Penolakan ini juga dialami oleh RT dan membuatnya merasa sedih karena ada anak normal yang tidak mau bergaul dengan anaknya yang down syndrome. Perkembangan moral anak juga menimbulkan stres bagi SG dan RT yaitu kurangnya pemahaman baik dan buruk (hal yang boleh/tidak boleh dilakukan). Soemantri (2007)

menyebutkan bahwa orang tua juga harus memberikan pengarahan mengenai hal yang baik dan buruk karena pada umumnnya anak tunagrahita melakukan suatu hal tanpa memikirkan resiko atau akibatnya. Seperti RT yang mengaku khawatir perilaku anak mengambil barang orang lain tanpa ijin dapat menjadi kebiasaan sehingga mendorongnya dan suami untuk mencari pemecahan masalah. Begitu juga SG yang merasa sedih karena anak senang berlarian tanpa bsuana setelah mandi.

Stres yang dialami subjek juga dapat bersumber dari lingkungan keluarga yang meliputi penerimaan suami ketika pertama kali mengetahui kondisi anak. Seperti yang diungkapkan SL yang mengungkapkan bahwa suami merasa terkejut namun dapat menerima kondisi anak. SG juga mengalami hal serupa namun ia justru mendapat dukungan suami untuk semangat dalam merawat anak. Stres yang juga dialami oleh SL, SH, dan RT yaitu anak sering bertengkar dengan saudara kandung karena berebut sesuatu sehingga membuat ketiga subjek merasa jengkel. Semiawan&Magungsong (2010) mengungkapkan bahwa sibling rivalry dapat terjadi karena anak kandung yang normal melihat perlakuan orang tua yang berbeda, perhatian orang tua kepada saudaranya yang Down Syndrome dinilai lebih besar. Misalnya, RT yang mengungkapkan bahwa anak yang normal merasa dibedakan oleh orangtuanya dan adiknya yang down syndrome

dianggap lebih diistimewakan sehingga hal ini menyebabkan kedua anaknya sering bertengkar walau karena hal kecil.

Stres yang bersumber dari lingkungan masyarakat dipicu oleh penerimaan dan reaksi masyarakat terhadap kondisi anak yang berbeda dengan anak normal. Stres yang dialami subjek yaitu adanya perlakuan kurang menyenangkan dari masyarakat sekitar tempat tinggal terhadap anak. Seperti subjek 2 (SH) yang merasa sakit hati saat mengetahui anak dipanggil

„pego‟ (bodoh). Untuk mengatasi perasaan sakit hati, SH berusaha mengesampingkan tanggapan orang lain dan tidak memasukannya ke dalam hati.Keadaan serupa juga dialami subjek 4 (RT), ada beberapa anak yang nakal dan RT merasa jengkel dan tidak mungkin memarahi karena nantinya bisa saja malah para orang tua yang akan bertengkar. RT memilih untuk menarik diri dari lingkungan dan tidak pernah keluar rumah kecuali jika mengikuti acara keagamaan. Uraian tersebut sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Semium (2006), bahwa banyak keluarga yang secara drastis mengubah cara hidup mereka karena kehadiran anak yang cacat mental di dalam keluarga dan hampir sama sekali menarik diri dari kegiatan-kegiatan mayarakat. Tidak hanya menarik diri dari lingkungan masyarakat karena anak mendapat perlakan tidak menyenangkan, namun menarik diri untuk menghindari perasaan sakit hati. Lingkungan sekolah juga merupakan sumber stres bagi SL dan RT. RT merasa jengkel karena guru kurang memperhatikan anak dan SL merasa tersinggung karena guru melontarkan pernyataan yang menyinggung hati orang tua.

Tidak hanya lingkungan di luar diri subjek yang mempu memicu stress. Stressor dapat muncul dari dalam diri subjek, misal munculnya perasaan bersalah subjek terhadap kondisi anak. Verauli (dalam Gunarsa, 2006)

mengungkapkan bahwa ketika seorang anak yang dilahirkan dinyatakan berbeda atau keterbelakangan mental sebagian besar orang tua akan merasa terpukul dan menyesali keadaan si anak maupun dirinya sendiri. Kesedihan mendalam ketika mengetahui kondisi anak ini selain sedih yang dirasakan SG, SL pun menjadi tidak fokus dalam berpikit/sulit berkonsentrasi. Oleh adanya perasaan bersalah melahirkan anak down syndrome maka tak jarang muncul praduga yang berlebihan dalam hal keturunan (Soemantri, 2007). Hal ini sejalan dengan SH dan RT yang merasa sedih karena kondisi anak dianggap sebagai ganjaran atas dosa masa lalu. Stres juga disebabkan oleh hilangnya kepercayaan untuk memiliki anak yang normal, yang dialami SH dan SG. Mereka merasa takut untuk hamil karena khawatir akan melahirkan anak dengan kondisi yang sama (down syndrome). SL, SH, dan SG merasakan kekhawatiran terhadap masa depan anak. Khawatir mengenai siapa yang akan merawat anak jika subjek meninggal dan pekerjaan apa yang cocok untuk anak. Hal ini sejalan dengan pendapat Soemantri (2007), perasaan khawatir terhadap masa depan anak muncul karena orang tua tidak mengetahui layanan masyarakat yang dibutuhkan anak dan tidak memiliki gambaran mengenai masa depan anaknya.

Untuk mengatasi bentuk stres yang dialami dari adanya berbagai sumber stres pasti subjek memerlukan coping strategy, coping strategy dapat dipahami sebagai usaha yang dilakukan individu dalam mengatasi situasi yang dinilai sebagai tantangan/luka/kehilangan/ancaman (Siswanto, 2007). Dalam mengatasi stres yang bersumber dari luar diri dan dari dalam diri, subjek dalam

penelitian ini lebih dominan menggunakan koping problem focused coping-active coping. Koping jenis ini ditujukan untuk memecahkan masalah atau melakukan sesuatu untuk mengubah sumber stres. Active coping bertujuan untuk memperbaiki efek yang ditimbulkan oleh stresor. Sebagai contoh, untuk mengatasi perasaan khawatir jika anak terjatuh ketika mengambil makanan maka sebelum beraktivitas subjek menyiapkan makanan untuk anak. Contoh lainnya yaitu subjek yang segera memenuhi keinginan anak supaya anak tidak mengamuk karena meminta sesuatu serta mengawasi anak ketika bermain didekat api atau menggunakan gunting. Problem focused coping yang juga digunakan subjek yaitu planning, koping jenis ini bertujuan untuk memikirkan langkah terbaik yang harus diambil dalam mengatasi stres. Koping jenis ini digunakan subjek untuk mengatasi perasaan jengkel dan perasaan tersinggung kepada guru yang kurang memperhatikan anak dengan berencana memberikan kritik kepada guru. Problem focused coping-suppression of competing activities yang merupakan usaha untuk mengesampingkan hal lain yang dianggap tidak perlu dan berdamai dengan stressor digunakan subjek untuk mengatasi perasaan sakit hati karena perlakuan masyarakat terhadap anak. SH memilih untuk tidak mempedulikan perlakuan masyarakat dan tidak memasukan kedalam hati.

Problem focused coping-Seeking of instrumental social support

(mencari nasehat, bantuan, dan informasi dari orang lain) juga digunakan subjek dalam mengatasi stres, sebagai contoh subjek mengumpulkan informasi mengenai cara menangani anak jika anak mendapat menstruasi. Informasi

diperoleh dengan berdiskusi bersama teman yang juga memiliki anak down syndrome dan telah mengalami menstruasi.

Emotion focused coping juga digunakan subjek dalam mengatasi stres yang bersumber dari luar diri maupun dari dalam diri. Koping ini digunakan ketika subjek merasa bahwa stresor merupakan situasi yang tidak dapat diubah dan harus dijalani. Bentuk emotion focused coping yang digunakan yaitu

Positif reinterpretation and growth, subjek menafsirkan stressor dalam arti yang positif, sehingga akhirnya dapat mengarahkan seseorang untuk melanjutkan tindakan yang lebih problem focused. Bentuk koping ini digunakan subjek untuk mengatasi perasaan tersinggung karena ucapan guru yang tidak menyenangkan. Subjek menanamkan pikiran positif bahwa guru pasti tidak bermaksud menyinggung perasaan. Bentuk koping ini juga digunakan subjek untuk mengatasi perasaan khawatir karena anak belum lancar berbicara. Tindakan yang dilakukan subjek yaitu dengan berusaha menanamkan keyakinan positif bahwa anak pasti dapat berbicara.

Bentuk emotion focused coping yang juga dominan digunakan subjek untuk mengatasi bentuk stres yang dilami yaitu seeking social support for emotional reason, yaitu subjek mendapatkan simpati dan dukungan moral dari lingkungan sekitarnya ketika mengetahui kondisi anak. subjek mendapat dukungan moral dari suami, kakak dan keluarga besar dalam merawat serta membesarkan anak. Emotion focused coping-acceptance juga merupakan bentuk koping yang dominan digunakan subjek dalam mengatasi bentuk stres berupa perasaan sedih karena kontrol emosi anak yang buruk. Subjek

mengatasi bentuk stres dengan berusaha menerima, bersabar, dan menganggap kondisi anak sebagai kondisi yang memang harus subjek dijalani. Bentuk koping ini juga digunakan subjek untuk mengatasi perasaan sedih karena anak mengalami penolakan oleh teman sebaya, subjek berusaha memahami bahwa ada jarak antara anak yang normal dengan anaknya yang down syndrome.

Bentuk koping ini juga digunakan subjek untuk mengatasi perasaan sedih yang timbul dari persepsi bahwa kondisi anak merupakan ganjaran atas dosa. Subjek berusaha untuk tabah dan berpasrah karena menyadari kondisi tersebut tidak dapat diubah.

Emotion focused coping-turning to religion digunakan subjek untuk mengatasi bentuk stres berupa perasaan sedih atas kondisi anak yang dianggap sebagai ganjaran atas dosa, hal ini ditunjukkan subjek dengan rajin mengkuti misa harian dan mendatangi tempat ziarah untuk berdoa demi kebaikan keluarganya.

Subjek dalam penelitian ini menggunakan beberapa bentuk coping strategy dalam mengatasi stres, namun keempat subjek lebih dominan menggunakan koping problem focused coping karena subjek merasa bahwa subjek mampu untuk melakukan tindakan yang konstruktif untuk memecahkan, mengubah sumber stres, dan mengatasi efek yang dapat ditimbulkan oleh stresor (Carver, Scheier, Weintraub. 1989). Bentuk problem focused coping

yang dominan digunakan subjek untuk mengatasi bentuk stres yang dialami antara lain active coping, planning, suppression of competing activities, dan

koping Emotion focused coping yang bertujuan untuk mengurangi atau mengelola tekanan emosional yang berhubungan dengan situasi. Koping ini sering digunakan oleh subjek karena subjek merasa bahwa stressor adalah sesuatu yang harus dijalani (Folkman & Lazarus, 1980). Bentuk emotion focused coping yang sering digunakan oleh subjek yaitu seeking social support for emotional reason, acceptance, dan turning to religion.

173 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis keempat subjek dalam penelitian yang terkait dengan stres ibu yang memiliki anak Down Syndrome dan Coping Strategy ibu dalam mengatasi stres yang muncul seiring usahanya membesarkan anak Down Syndrome, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Seiring usahanya dalam merawat dan membesarkan anak down syndrome,

ibu mengalami stress berupa situasi yang menekan dan bentuk stres berupa perasaan negatif baik bentuk stres yang bersumber dari luar diri maupun bentuk stres yang bersumber dari dalam diri.

2. Bentuk stres dari luar diri bersumber dari keterbatasan anak yang meliputi keterbatasan dalam perkembangan fisik yaitu keterlambatan kemampuan berjalan, ketidaksiapan jika anak mendapat menstruasi, dan kurangnya kemampuan bantu diri anak. Hal tersebut membuat ibu mengalami bentuk stres berupa perasaan tidak siap, perasaan khawatir, perasaan sedih, dan perasaan cemas. Kemampuan berjalan anak yang lebih lambat dari anak normal membuat subjek mengalami bentuk stres berupa perasaan sedih dan cemas karena anak belum sepenuhnya mampu bantu diri. Stres juga bersumber dari perkembangan kognitif yaitu kurangnya kesadaran anak akan bahaya, kemampuan berbicara yang belum lancar, dan kurangnya kemampuan anak dalam akademik (membaca, menulis, dan berhitung).

Bentuk stress yang dialami yaitu perasaan kesulitan dalam mengajari anak belajar, perasaan terbebani, dan perasaan khawatir. Stress yang bersumber dari keterbatasan anak dalam perkembangan emosi yaitu mood anak yang mudah berubah, keinginan anak kuat dan harus terpenuhi, dan kontrol emosi yang buruk (kemarahan mudah meledak-ledak). Kondisi tersebut membaut ibu mengalami bentuk stres berupa perasaan bingung, perasaan sedih, merasa khawatir, dan merasa keberatan dalam memenuhi keinginan anak. Stress yang bersumber dari keterbatsan anak dalam perkembangan sosial yaitubersumber dari adanya perlakuan kurang menyenangkan dari teman sebaya sehingga ibu mengalami bentuk stres berupa persaan sedih dan perasaan takut jika anak dijahati. Stres yang bersumber dari keterbatasan anak dalam perkembangan moral yaitu bersumber dari kurangnya pemahaman hal baik dan buruk (hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan). Stres yang dialami ibu juga bersumber dari lingkungan keluarga yaitu bersumber dari penerimaan suami ketika pertama kali mengetahui kondisi anak, bentuk stres yang dialami ibu yaitu merasa sedih karena melihat suami terpukul. Stres juga bersumber dari lingkungan masyarakat yaitu adanya perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungan masyarakat, bentuk stres yang dialami ibu yaitu merasa sakit hati dan tidak nyaman. Stres yang bersumber dari lingkungan sekolah yaitu adanya perlakuan kurang menyenangkan dari guru dan guru dianggap kurang memperhatikan anak, bentuk stres yang dialami yaitu merasa jengkel dan tersinggung.

3. Stres dari dalam diri ibu bersumber dari adanya perasaan bersalah yaitu kondisi anak yang dianggap sebagai ganjaran atas dosa dan penerimaan ibu ketika pertama kali mengetahui kondisi anak. Bentuk stres yang dialami yaitu merasa sedih dan membuat ibu merasa tidak tidak fokus dalam berpikir. Stres juga bersumber dari hilangnya kepercayaan untuk memiliki anak yang normal sehingga ibu mengalami bentuk stres berupa perasaan takut untuk hamil lagi dan merasa khawatir melahirkan anak dengan kondisi down syndrome lagi. Stres juga bersumber dari kekhawatiran ibu terhadap masa depan anak yang meliputi kekhawatiran tidak ada yang merawat anak jika ibu meninggal, mencemaskan pekerjaan yang cocok bagi anak, dan adanya harapan agar anak dapat menjalani kehidupan secara normal seperti anak normal lainnya. Bentuk stres yang dialami bu yaitu merasa bingung dan merasa khawatir anak dapat menjalani kehidupan secara normal atau tidak.

4. Ibu yang memiliki anak down syndrome menggunakan 2 jenis koping, baik

problem focused coping maupun emotion focused coping dalam mengatasi stres yang timbul seiring usahanya dalam merawat dan membesarkan anak

down syndrome.

5. Bentuk problem focused coping yang dominan digunakan ibu untuk mengatasi bentuk stres yang dialami antara lain active coping yaitu dengan menyiapkan makan untuk anak sebelum ditinggal beraktivitas dan menuruti kemauan anak supaya anak tidak marah-marah, membelikan poster abjad untuk membantu anak belajar, mengawasi ketika anak bermain didekat api atau menggunakan gunting, melakukan tes tokso ketika dinyatakan hamil lagi. Planning yang

dilakukan ibu yaitu dengan berencana mengkritik guru yang kurang memperhatikan murid dan menyiapkan lahan untuk anak berwiraswasta kelak.

Suppression of competing activities yang dilakukan ibu yaitu dengan memilih tidak keluar rumah untuk menghindari celaan dari tetangga. Seeking social