• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

E. Subjek 3 (SG)

2. Stres dan coping strategy SG

a. Stres yang Bersumber Dari Luar Diri SG dan Coping Strategy yang Digunakan SG

1. Keterbatasan anak

Stres yang bersumber dari keterbatasan anak dalam hal ini yaitu stres yang disebabkan karena adanya keterbatasan pada perkembangan anak. Pada subjek 2 stres yang bersumber dari keterbatasan anak yaitu karena adanya keterbatasan anak pada perkembangan fisik, kognitif, emosi, dan sosial. Berikut pemaparannya:

a. Perkembangan Fisik

Stres yang dialami SG yaitu adanya gangguan kesehatan anak dan keterlambatan kemampuan berjalan, dan ketidaksiapan SG jika anak menstruasi. Berikut uraiannya:

1) Gangguan kesehatan

Berdasarkan pengalaman SG, ketika berusia 3 tahun anak pernah mengalami sakit saluran kencing sehingga harus memakai kateter.

Ini tu dulu pernah nggak bisa kencing harus kemana-mana pake selang, pake kateter. Mungkin tadinya jatuh ininya dulu

(nunjuk pinggul) mungkin owah (berubah) opo piye ya.. nggak tau pantat dulu atau apa dulu yang jatuh wong jatuh dari tempat tidur. Tau-tau nggak bisa kencing.” (15-18)

“Ooo.. itu usia berapa bu pas sakit itu? Usia 3 tahun” (19-20)

“Dulunya kan pake pampers tu lho mbak, mau pipis ditahan

-tahan jadinya kayak membatu, mampet pipisnya.” (25-27)

Berawal dari sakit anak tersebut SG tidak pernah lagi memakaikan pampers karena takut hal yang sama akan terjadi lagi (Problem Focused Coping-Active Coping).

Kesehatan anak menurut SG lebih penting dan subjek merasa harus lebih mengutamakan kesehatan anak. Sehingga hal tersebut mendorong SG untuk mencari pengobatan yang terbaik untuk anak.

“Ya, bagaimanapun anak yaudah ya harus ditelatenin. Maunya diturutin. Ya untuk kesehatannya saya utamakan.” (442-443)

Oleh karena itu, SG berusaha untuk mencari informasi tempat pengobatan yang terbaik untuk anak (Problem Focused Coping-Planning).

“Berobat kemana saja ya didatengin yang penting sehat. Dulu

pas belum bisa jalan orang nyaranin disuruh bawa kesana, urut disana. Ya didatangi. Orang pintar ya iya. Ya sekiranya

masih bisa dijangkau ya saya datangi.” (443-446)

2) Keterlambatan kemampuan berjalan

Selain kesehatan anak yang pernah mengalami gangguan, anak juga mengalami keterlambatan dalam kemampuan berjalan. Anak baru dapat berjalan ketika menginjak usia 5 tahun 5 bulan.

Naik tangga bisa, cuman jalannya agak lama 5 tahun 5 bulan baru bisa jalan tapi ya masih gruyuh-gruyuh (belum seimbang). Dulu bisa sendiri jalannya. Alhamdulilah pas hamil adeknya dia mau berdiri sambil liatin TV trus lama-lama jalan sendiri. Adeknya keluar itu udah bisa jalan walaupun jatuh-jatuh.” (61-65)

Melihat anak yang mulai berjalan sedikit demi sedikit, membuat SG berinisiatif untuk membuat tiang penyangga dari bambu (Problem Focused Coping-Active Coping)

“Mrembet-mrembet itu sampe tak bikinin bambu untuk

pegangan dikanan kirinya.” (66)

3)Ketidaksiapan jika anak mendapat menstruasi

Seturut dengan perkembangan seksualitas anak, anak yang akan menginjak usia remaja tentu saja akan mengalami menstruasi. Dengan situasi ini, SG merasakan kecemasan apabila anak mendapatkan menstruasi lebih cepat/lebih awal.

“Makanya aku kan suka bilang sama bu guru kalau cepat atau

lambat kan pasti dapet (mens) mbak. Nah hati ini tu kadang

suka khawatir.” (82-83)

“Tapi saya suka kepikiran ya ampun anakku udah 10 tahun, 2 atau 3 tahun lagi pasti kan mens tapi kan nggak tahu ya mbak

anak jaman sekarang itu lebih cepet mensnya.” (85-87)

Perasaan cemas yang muncul ini mendorong SG untuk mengusulkan kepada guru supaya memberikan pembekalan diri kepada anak. Selain mengusulkan kepada guru, SG juga mengajarkan secara dirumah tentang bagaimana memakai pembalut

(Problem Focused Coping-Active Coping).

“Saya suka minta guru untuk ngasih pembekalan diri cara pake pembalut bagaimana, bersihinnya bagaimana.” (83-85)

“Makanya kalau dirumah ya suka tak kasih tahu sedikit

-sedikit.” (87-88)

4) Perubahan perkembangan fisik anak

Semakin berubahnya perkembangan fisik anak, terutama anak perempuan membuat SG merasa khawatir jika anak dijahati oleh orang lain.

Sama kalau semakin dewasa ya mbak ya. Saya takutnya sama orang-orang yang nggak bener itu, takut dijahatin apalagi kan

fisiknya udah mulai berubah ya, udah gede.” (93-95)

Dalam mengatasi kekhawatiran jika anak dijahati oleh orang lain maka SG selalu mengingatkan anak agar tidak bermain terlalu jauh dan tidak memakai baju ketat. (Problem Focused Coping-Active Coping)

“Paling saya ingetin bajunya ya mbak kalau anak sekolah, anak

cewek kan resikonya besar apalagi dengan keadaannya begini. Jadi kalau pake baju nggak boleh yang ketat-ketat.” (101-103)

Selain subjek yang selalu mengingatkan anak, kakak subjek juga selalu mengingatkan A agar tidak bermain terlalu jauh dari rumah (problem focused coping-active coping).

“Budhenya juga suka ingetin awas mainnya nggak jauh-jauh.”

(103-104)

Stres yang dialami SG terkait dengan perkembangan fisik anak yaitu perasaan takut karena anak pernah emngalami gangguan saluran kencing, merasa harus mengutamakan kesehatan anak, keterlambatan kemampuan berjalan, dan perasaan tidak siap jika anak mendapatkan menstruasi. Untuk mengatasi stres yang muncul, SG lebih menggunakan strategi koping Problem Focused Coping-Active Coping yaitu dengan tidak memakaikan

pampers, membuatkan tiang penyangga untuk pegangan bagi anak ketika berjalan, dan mengajarkan cara memakai pembalut. Selain itu SG juga menggunakan Problem Focused Coping-Planning, yaitu dengan mencari informasi tempat pengobatan yang terbaik untuk anak.

b. Perkembangan Kognitif

Stres yang timbul terkait dengan perkembangan kognitif yaitu kurang mampunya anak dalam membaca, menulis, dan berhitung.

Oh belum kalau itu mbak. Nulis paling cuman angka 1 aja. Semaunya kalau nulis. Maunya belajar tapi pindah-pindah. Coret-coret sukanya. Kalau sampai rumah yang dicari kertas sama polpen, katanya belajar. Coret-coret macem-macem. Kalau

baca dan hitung belum bisa.” (131-134)

Dengan kekurangan anak dalam membaca, menulis, dan berhitung ini maka SG berusaha untuk mengajarkan kepada anak. Selain diajarkan di sekolah, SG juga berusaha mengajarkan kepada anak dirumah (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Ya diajarin mbak pelan-pelan tapi seringnya malah ngajari

ibunya.” (146)

Stres yang dialami SG disebabkan oleh kurangnya kemampuan anak dalam membaca, menulis, dan berhitung. Dalam emngatasii stres yang muncul, SG menggunakan problem focused coping-active coping. SG mengajarkan anak belajar secara mandiri dirumah.

c. Perkembangan Emosi

Stres yang dialami SG disebabkan oleh kuatnya keinginan anak. Semua keinginan anak harus segera terpenuhi, jika tidak maka anak akan marah dan memukul SG. Selain itu anak juga akan membanting

pintu atau mengunci diri di dalam ruangan. Sehingga keadaan ini membuat SG merasa khawatir kalau kejadian seperti masa lalu terulang yaitu anak terkunci didalam ruangan dan tidak bisa keluar.

“Kalau ngambek mbak. Minta apa tapi mamanya lagi repot

kerjaan rumah. Cepet, cepet (menirukan anak ketika meminta sesuatu dengan segera) mamanya digablok (ditabok) trus

ditarik-tarik.” (151-153)

“Bagaimana reaksi anak jika keinginan anak tidak terpenuhi? Ngamuk. Ngamuk tapi ya nggak yang medeni ya cuman mukulin mamanya. Trus ini model baru kalau marah, pintu dibanting-banting. Dulu nggak pernah, jadi saya kadang mikir apa semakin gede dia semakin tahu apa ya. Marah sama adeknya juga langsung pintu itu ditutup. Saya tu takut soalnya dulu pernah kekunci dan nggak bisa buka pintunya trus bapaknya lewat atap

baru bisa masuk.” (170-176)

SG berusaha memenuhi semua keinginan A dan memberi pengertian kepada A bahwa membanting pintu itu tidak baik (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Jadi kalau dia minta sesuatu ya harus segera diturutin biar nggak

marah-marah” (156-157)

“Ya suka saya kasih tahu kalau banting-banting pintu nggak baik. Ya kalau apa yang diminta bisa saya jangkau ya saya kasih.

Gitu.” (196-197)

Stres yang dialami SG terkait dengan perkembangan emosi anak yaitu perasaan khawatir anak terkunci didalam ruangan karena anak akan mengunci diri jika keinginannya tidak terpenuhi. Untuk mengatasi stres tersebut, SG menggunakan Problem Focused Coping-Active Coping yaitu dengan memberitahukan kepada anak bahwa membanting pintu itu tidak baik.

d. Perkembangan Sosial

Dalam relasi sosialnya, anak juga pernah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari teman sebaya dan menunjukkan bagian tubuh yang sakit kepada ibunya. Hal ini membuat SG menjadi takut kalau anak dijahati oleh orang lain.

“Takut itu mbak.. gimana ya.. mau ngomongnya malah bingung aku. Takutnya ya kalau dijahatin orang, soalnya kan dia diem.Kalau ngadu sama mamanya ya diem, nangis trus meluk mamanya. Kalau ditanya kan dia nggak bisa ngomongnya tapi tahu mbak siapa yang jahatin. Trus nunjukkin mana aja yang sakit, kalau tangan yang sakit ya dia pegang tangan sambil

nunjuk.” (231-236)

Oleh karena timbulnya rasa takut jika anak dijahati, maka SG akan mencari anak sampai ketemu apabila anak tidak menyahut kalau dipanggil (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Yaaa.. kalau main agak jauh ya tak cari. Kalau dipanggil -panggil nggak nyaut ya langsung tak cari mbak sampai

ketemu.” (239-240)

Stres yang dialami subjek terkait dengan perkembangan sosial yaitu perasaan khawatir jika anak dijahati. Untuk mengatasi stres tersebut, SG mengatasi dengan Problem Focused Coping-Active Coping. SG akan mencari anak jika anak tidak menyahut kalau dipanggil.

e. Perkembangan moral

Stres yang dialami SG bersumber dari kurangnya pemahaman anak mengenai hal baik dan buruk. Berkaitan dengan kemampuan untuk mengenali baik dan buruk, SG menuturkan bahwa anak suka

lari-larian sehabis mandi dan belum memakai baju. Menurut SG, anak cenderung sulit dinasehati dan tak jarang hal itu membuat SG sedih.

“Terus dia kan mandinya suka sembarang, belum pake baju suka

lari-lari. Pake baju susah. Dalam hati saya ya Allah anakku udah

besar mana dikasih tahu ngeyel.” (540-542)

Dengan kesulitan yang dihadapi SG yaitu anak yang cenderung sulit diberitahu maka SG mengusulkan kepada guru di sekolah supaya diberikan pembekalan diri pada anak dan mengarahkan jika dirumah

(Problem Focused Coping-Active Coping).

“Makanya saya mengusulkan supaya ada pembekalan diri, saya

juga ngarahkan kalau dirumah.” (542-543)

Stres yang dialami SG disebabkan oleh kurangnya pemahaman anak akan hal baik dan buruk. Hal ini membuat SG merasa sedih dan untuk mengatasi bentuk stres yang muncul, SG menggunakan problem focused coping-active coping. Langkah aktif yang dilakukan SG yaitu dengan mengusulkan kepada guru supaya diberikan pembekalan diri di sekolah dan SG juga mengarahkan anak ketika dirumah.

2. Lingkungan keluarga

Stres yang dialami SG dikarenakan oleh reaksi suami ketika pertama kali mengetahui kondisi anak. Selain SG, suami SG juga mengalami kesedihan ketika mengetahui bahwa anaknya dinyatakan Down Syndrome.

Namun, SG mengatakan bahwa kesedihan yang dirasakan suami tidak seberapa jika dibandingkan dengan kesedihan yang SG rasakan.

“Ya sempat down juga saya dan bapaknya. Bapaknya cuman nggerutu

penyakit opo meneh kuwi. Hehe. Bapaknya nggak begitu mikir, tapi

Meskipun suami juga merasakan kesedihan akan kondisi anak, namun SG justru mendapatkan dukungan dari suaminya agar tidak membedakan dalam merawat anak (Emotion Focused Coping-Seeking social support for emotional reason).

“Kalau bapaknya alhamdulilah menerima sekali, dia pengen punya anak cewek dan dikasihnya anak cewek. Bijak malahan ngasih tahu saya jangan membedakan kasih sayang mbak dan adeknya. Takutnya saya memperlakukan mbaknya begini trus memperlakukan adeknya begitu, nggak sama. Kata saya ya nggak lah wong sama-sama anakku. Cuman pesen sama saya jangan sampai membedakan kasih

sayang.” (400-406)

Stres yang dialami SG dikarenakan oleh reaksi suami ketika pertama kali mengetahui kondisi anak mereka. Bentuk stres yang dirasakan SG yaitu perasaan sedih dan untuk mengatasinya, SG didukung oleh suami untuk tidak membedakan dalam merawat anak (Emotion Focused Coping-Seeking social support for emotional reason).

b. Stres yang Bersumber Dari Dalam Diri SG dan Coping Strategy yang Digunakan SG

1. Perasaan bersalah

SG mengalami stres yang disebabkan oleh penerimaan SG ketika pertama kali mengetahui kondisi anak. SG merasakan kesedihan mendalam ketika mengetahui kondisi anak. Ketika pertama kali mengetahui bahwa anaknya dinyatakan Down Syndrome, SG menangis terus menerus ketika mengetahui kenyataan yang harus dihadapinya.

Perasaan ibu seperti apa ketika mengetahui bahwa anak petama yang ibu lahirkan menyandang Down Syndrome?

Ya down mbak aku.. nangis terus sampai kakak saya itu bilang ngopo nangis terus nggak punya duit opo gimana (subjek tertawa). Kan begitu lahir sudah dikasih tahu sama dokternya kalau ini ada,

istilahnya ada cacat. Saya batin, ada cacat apa.” (385-390)

Untuk memastikan tentang kondisi anak, SG memeriksakan anak ke dokter dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang kondisi anak

(Problem Focused Coping-Seeking social support for instrumental action).

“Terus saya dirujuk kerumah sakit islam lalu dirujuk lagi ke Sardjito.

Eh mau di CT-Scan kepalanya kan takutnya ada apa itu yang kepalanya gede?

Oh takutnya Hydrocepallus?

Nah iya itu mbak. Tapi ternyata enggak terus dokter yang menangani bilang kalau oh ini nggak ada hydrocepallus tapi katanya waktu itu Sindrom Down gitu. Itu terus nggak kenapa-kenapa, dokternya bilang ini nggak ada obatnya cuman saya harus ngasih makanannya yang bergizi. Ini nggak kenapa-kenapa.” (390 -398)

Stres yang dialami SG yaitu perasaan sedih yang mendalam ketika mengetahui kondisi anak. Untuk mengatasi stres yang muncul, SG menggunakan Problem Focused Coping-Seeking social support for instrumental action yaitu dengan memeriksakan anak ke dokter dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang kondisi anak yang sebenarnya.

2.Kehilangan kepercayaan akan memiliki anak normal

SG merasa takut hamil lagi karena SG takut jika nanti anak yang dikandungnya akan sama kondisinya, sama-sama DS.

“Enggak mbak, sehat-sehat saja. Kan ini mbak, dulu saya pas hamil 3 bulan kan saya pelihara burung puyuh terus kata bidan kena itu virus dari burung. Tapi kalau kata dokter enggak, karena gen. Makanya pas hamil ini (merangkul Asih) saya juga takut orang katanya kalau kena Sindrom Down tu bisa karena virus toxo ya, nah harus diperiksa dulu kalau mau hamil lagi. Nanti takutnya begitu

lagi anaknya.” (415-420)

“Sempat ragu-ragu ya mbak.. pikiran itu jangan-jangan anak saya seperti yang pertama. Tapi seandainya saya nggak hamil lagi nanti usia keburu tua. Kalau nggak hamil lagi kasihan mbaknya nggak ada yang jagain. Kan saya nggak bisa selamanya ada, nanti siapa yang jagain pokoknya saya harus punya anak lagi lah.” (409-503)

Walaupun diliputi perasaan takut, namun SG berusaha untuk memastikan kondisi kesehatan dengan melakukan tes virus tokso

(Problem Focused Coping-Active Coping).

“Makanya pas hamil ini (merangkul A) saya juga takut orang katanya kalau kena Sindrom Down tu bisa karena virus tokso ya, nah harus diperiksa dulu kalau mau hamil lagi. Nanti takutnya begitu lagi

anaknya.” (417-420)

Stres yang dialami SG yaitu dikarenakan hilangnya kepercayaan untuk memiliki anak yang normal sehingga SG merasa takut untuk hamil lagi. Untuk mengatasi perasaan takut, SG memastikan kondisi kesehatan dengan melakukan tes virus tokso

(Problem Focused Coping-Active Coping).

3. Kekhawatiran terhadap masa depan anak

1) Kekhawatiran tidak ada yang mengurus anak jika subjek meninggal Stres yang dialami SG yaitu adanya kekhawatiran tidak ada yang mengurus anak apabila subjek meninggal.

“Saya tu takutnya kan saya nggak selamanya ada. Gimana ya mbak ya (mata subjek berkaca-kaca) yang merawat sapa.” (91-92)

Dalam mengatasi ketakutan yang muncul tersebut, SG memberitahukan kepada anak kedua sejak dini supaya kelak menjaga kakaknya jika subjek meninggal. (Problem Focused Coping-active coping)

“Paling adiknya yang suka tak kasih tau nanti kamu ikut jagain mbakmu.” (92-93)

2)Bakat anak yang belum diketahui

SG merasa khawatir tentang masa depan anak karena sampai sekarang SG belum dapat mengenali bakat anak.

Kalau itu sih, orang beranggapan apa nggak terlalu saya pikirkan ya mbak, saya biarkan saja. Saya lebih khawatir masa depannya

bagaimana nantinya, bakatnya apa.” (572-574)

Untuk mengatasi kekhawatiran mengenai masa depan anak, SG berusaha mengenali bakat anak sejak dini dan mengarahkan anak pada bakatnya (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Saya masih pelajari soalnya belum terlihat. Jadi saya lebih

konsentrasi ke itu.” (574-575)

“Saya masih mengamati bakat anak ya mbak, dia suka gambar -gambar di buku juga. Tapi saya belum yakin jadi masih saya amati. Saya akan konsentrasikan A ke bakatnya agar bisa untuk bekal dia

nanti.” (582-584)

Stres dari dalam diri yang dialami SG yaitu adanya perasaan khawatir tidak ada yang mengurus anak jika SG meninggal dan perasaan khawatir tentang masa depan anak, bakat apa yang dimiliki anak. SG merasa khawatir karena sampai sekarang SG belum dapat mengenali bakat anak. Dalam mengatasi stres yang muncul, SG lebih menggunakan

Problem Focused Coping-Active Coping. Tindakan SG untuk mengatasi stres yaitu dengan memberitahukan kepada anak semenjak dini untuk menjaga kakaknya kelak. SG juga berkonsentrasi untuk mengenali bakat anak dan berencana untuk mengembangkan bakat tersebut supaya berguna untuk masa depan anak.

3.Kesimpulan Stres yang Dialami SG dan Coping Strategy yang Digunakan SG

Stres yang berasal dari luar diri SG antara lain karena keterbatasan anak yang dapat dilihat dari beberapa aspek. Jika dilihat dari perkembangan fisik, stres yang dialami SG yaitu gangguan kesehatan pada anak (sakit saluran kencing), keharusan untuk mengutamakan kesehatan anak, keterlambatan anak dalam kemampuan berjalan, ketidaksiapan jika anak mengalami menstruasi, dan perubahan perkembangan fisik anak. Bentuk stres yang dialami SG terkait hal tersebut yaitu perasaan takut, perasaan harus untuk mengutamakan kesehatan anak, perasaan cemas, dan perasaan khawatir. Jika dilihat dari aspek perkembangan kognitif stres yang dialami SG disebabkan oleh kurangnya kemampuan anak dalam membaca, menulis, dan berhitung. Hal tersebut menimbulkan stres bagi SG yaitu perasaan bingung. Jika dilihat dari perkembangan emosi, stres yang dialami SG bersumber dari kuatnya keinginan anak, jika keinginan anak tidak terpenuhi maka anak akan marah. Bentuk stres yang dialami SG terakit hal ini yaitu perasaan khawatir. Stres yang bersumber dari perkembangan sosial yaitu

anak mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman sebaya. Bentuk stres yang dialami SG karena hal tersebut yaitu perasaan takut jika anak dijahati. Stres yang bersumber dari perkembangan moral anak yaitu kurangnya pemahaman baik dan buruk anak dan anak yang kurang disiplin. Bentuk stres yang dialami SG terkait hal tersebut yaitu perasaan sedih, dan perasaan bingung. Selain keterbatasan anak, sumber stres dari luar diri SG yaitu lingkungan keluarga. Stres yang dialami SG dikarenakan oleh reaksi suami ketika pertama kali mengetahui kondisi anak. Bentuk stres yang dialami SG karena hal tersebut yaitu perasaan sedih.

Stres yang dialami SG tidak hanya dari luar diri namun juga bersumber dari dalam diri SG sendiri. Sumber stres tersebut antara lain adanya perasaan bersalah, hilangnya kepercayaan untuk memiliki anak yang normal, dan kekhawatiran akan masa depan anak. Kekhawatiran akan masa depan anak yaitu meliputi kekhawatiran tidak ada yang mengurus anak jika SG meninggal dan bakat anak yang sampai sekarang belum diketahui. Bentuk stres yang dirasakan SG terkait hal tersebut yaitu perasaan sedih, perasaan takut, dan perasaan khawatir.

Untuk mengatasi stres yang dialami, SG menggunakan problem focused coping dan emotion focused coping, namun dalam kenyataannya SG lebih banyak menggunakan problem focused coping. Jenis Problem focused coping yang sering digunakan SG yaitu active coping, planning, dan seeking social support for instrumental action. Sebagai contoh, active coping

membuatkan penyangga untuk pegangan anak ketiak berjalan, mengajarkan anak memakai pembalut, mengingatkan anak untuk tidak memakai baju ketat, menasehati anak agar tidak membanting pintu, mencari anak jika anak bermain jauh dari rumah, mengecek buku pelajaran anak, mengajari anak belajar, dan memeriksakan kehamilan ketika mengandung anak kedua. Selain itu, SG juga menggunakan koping jenis planning. tindakan mengatasi stres yang termasuk dalam jenis koping ini yaitu mencari tempat pengobatan yang terbaik bagi anak. Selain itu, SG juga menggunakan emotion focused coping untuk mengatasi stres yang dialami. Koping ini digunakan SG ketika SG merasa perlu untuk mengelola tekanan emosional yang berkaitan dengan stres. Jenis koping yang digunakan yaitu seeking social support for emotional reason dan turning to religion. Seeking social support for emotional reason yang diperoleh SG yaitu adanya dukungan dari kakak yang selalu mengingatkan anak agar tidak terlalu jauh ketika bermain, suami SG yang juga selalu mengingatkan untuk tidak membedakan anak, dan dukungan yang diperoleh dari dokter yang meyakinkan supaya SG tidak takut untuk hamil lagi. Turning to Religion digunakan SG ketika hamil anak kedua, SG berdoa kepada Tuhan supaya diyakinkan hamil lagi dan