• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Subjek 1 (SL)

1. Deskripsi subjek 1 (SL)

SL, berusia 46 tahun dan memiliki perawakan kurus dan tidak terlalu tinggi. SL adalah peibadi yang ramah terutama dengan orang yang baru dikenal. Misalnya dengan peneliti yang baru berjumpa dengan peneliti dua kali namun dapat menyambut peneliti dengan ramah. SL juga mengatakan bahwa ia senang dapat membantu peneliti meski sebisanya. SL mampu menceritakan pengalamannya dengan terbuka dan lancar. Kontak mata juga sering terjadi ketika proses wawancara berlangsung. Namun, SL sempat meminta ijin untuk menyiapkan makan siang untuk anaknya yang baru pulang sekolah. Terkadang SL juga mengajak peneliti untuk sedikit bersenda gurau. SL bekerja sebagai wiraswasta yaitu dengan membuat tempe bersama suami. SL menekuni usahanya selama 10 tahun. SL juga merupakan ibu rumah tangga yang tidak dapat berdiam diri. Buktinya, meskipun memiliki beberapa karyawan untuk memproduksi tempe, SL tetap

turun tangan untuk membantu mengolah kedelai menjadi tempe. Selain itu, SL juga mengantarkan sendiri pesanan tempe meskipun jarak tempuhnya jauh.

SL memiliki dua anak laki-laki yaitu F (18 tahun) dan P (10 tahun). P didiagnosis menyandang Down Syndrome semenjak lahir. Selama mengandung, SL mengalami kegagalan KB suntik sehingga sering merasakan badan yang menjadi lemas selama hamil. SL awalnya tidak mengetahui jika hamil dan hanya memeriksakan diri ke dokter. Hasil pemeriksaan tidak menunjukkan jika SL hamil namun diagnosa dokter mengatakan bahwa sSL mengalami beberpa penyakit dalam. Bidan menyatakan bahwa SL hanya masuk angin. Dokter mengatakan bahwa ginjal SL bermasalah. Kemudian SL dianjurkan mengkonsumsi obat selama 1 bulan. SL baru mengetahui bahwa ia hamil ketika usia kandungan menginjak 2 bulan. Meskipun demikian tidak terpikirkan oleh SL bahwa kondisi anak akan seperti sekarang, berbeda dengan anak lainnya.

Dalam perkembangannya, anak mengalami keterlambatan dalam kemampuan berjalan. Anak dapat berjalan ketika berusia 2 tahun 5 bulan. Dalam usianya yang menginjak 10 tahun, anak mampu melakukan bantu diri dan memahami perintah yang diberikan orang tua. Namun dalam berbicara, anak masih kurang jelas dan hanya akan berbicara seperlunya saja. SL menuturkan bahwa semua keinginan anak harus terpenuhi. Jika tidak dipenuhi maka anak akan terus menerus menagih kepada orang tua. SL memandang anaknya sebagai anak yang memiliki jiwa sosial yang tinggi

dan penyayang meskipun termasuk anak berkebutuhan khsusus. Dalam keseharian, SL mengasuh anak dengan penuh cinta meskipun terkadang keras namun SL tetap bersabar untuk selalu mendukung anak agar maju. Ada kekhawatiran mengenai jodoh dan masa depan anak nantinya namun SL mencoba untuk ikhlas dan berserah kepada Tuhan sehingga mampu menerima kondisi anak seutuhnya. SL juga menanamkan keyakinan bahwa anaknya pasti dapat menjadi orang yang maju.

2. Stres dan coping strategy SL

a. Stres yang Bersumber Dari Luar Diri SL dan Coping Strategy yang Digunakan SL

Stres dari luar diri SL bersumber dari keterbatasan anak, lingkungan keluarga, dan ditemukan data baru yaitu stress yang bersumber dari lingkungan sekolah. Berikut uraian stres dan coping strategy SL:

1. Keterbatasan anak a. Perkembangan fisik

Beberapa bentuk stres yang dialami SL terkait dengan perkembangan fisik anak yaitu:

1) Suhu tubuh anak mudah berubah

SL mengungkapkan bahwa suhu tubuh anak terkadang berubah menjadi dingin dan seperti tidak kembali lagi seperti semula meski sudah dihangatkan dengan selimut.

“Cuman dulu itu kadang-kadang dingin badannya terus kalau misal udah diangetin/dislimutin gitu kayak gak mbalik gitu

suhu tubuhnya” (18)

Untuk mengatasi suhu tubuh anak yang mendadak menjadi dingin, SL berusaha menghangatkan tubuh anak dengan selimut (problem focused coping-active coping). Usaha SL ini dilakukan untuk mencegah tubuh anak menjadi semakin dingin. 2) Penampilan fisik anak yang khas menjadi pusat perhatian orang SL merasa tidak nyaman ketika penampilan fisik anak yang berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya diperhatikan oleh orang. SL merasa khawatir jika anak dijahati oleh orang yang tidak bertanggungjawab.

“Rasa itu ya sebagai orang tua kadang yang paling berat

kadang kan anak dilihat lama sama orang. Apalagi sampai menyakiti ya terutama perkataan. Yang selalu dilihat selalu tampilan fisik P. Saya harus lebih ekstra memperhatikan ya kalau-kalau nanti dijahati. Orang tua tu ya kekhawatirannya

kalau dinakalin baik diejek atau dicubit.” (99-103)

Hanya kadang kalau pergi itu orang suka liatin dari bawah sampai atas. Ya memang anaknya begini mau gimana. Saya sebagai ibu ya rasanya kalau liat anak diliatin begitu kok

nggak nyaman.” (544-545)

Dalam mengatasi situasi tersebut, SL lebih meningkatkan perhatian kepada anak (problem focused coping-active coping)

untuk mengantisipasi supaya anak tidak dijahati oleh orang lain.

“kalau misal main ya belum pulang ya saya cari. Kalau

dinakalin ya saya suka ngasih tahu sama temennya. Kalau

pulang nangis saya tanya kenapa, dinakalin siapa.” (106-108)

“Ya saya cuman liat orangnya tapi diam aja. Kalau saya rasa

3) Tidak bisa mengikuti kegesitan teman sebaya

SL merasa sedih dan merasa kasihan ketika melihat anak bermain dengan teman-temannya karena ia susah mengikuti kegesitan teman-temannya.

“Nggak ada ya mbak saya rasa, ya paling kalau main kejar -kejaran sama main bola saya suka kasian. Temen-temennya bisa lari kenceng nah Putra susah mengikutinya. Ya cuman itu

sih.”(261-263)

Untuk mengatasi perasaan sedih dan kasihan karena melihat anak yang selalu tertinggal dari teman-temannya, SL lebih bersabar, tidak berputus asa, dan menyemangati anak (problem focused coping-active coping).

“Saya selalu menyemangati P untuk tetap bangga akan dirinya.

Tetap menghibur P dan bersabar. Saya selalu menaruh harapan bahwa anak saya bisa seperti mereka, makanya saya

nggak mau putus asa.” (265-267)

4) Mengalami keterlambatan dalam kemampuan berjalan

Anak juga mengalami keterlambatan dalam berjalan. SL menuturkan bahwa anak baru dapat berjalan ketika berusia 2 tahun.

“Nah begitu anak lahir dengan perkembangan yang lambat dan

belum bisa jalan baru terasa kenapa kok anak ini perkembangannya terlambat sekali. Telat-telatnya kan 11 bulan bisa jalan kalau dia 2 tahun baru jalan. Bicaranya juga

terlambat” (407-410)

Keterlambatan anak dalam berjalan membuat SL merasa sedih dan hal tersebut mendorong SL untuk mencari informasi mengenai terapi berjalan dan wicara untuk anak (problem

focused coping-planning). Seperti yang diungkapkan subjek berikut:

“Fokus mikirin anak ini besok gimana, harus dibawa kemana untuk memajukan perkembangan.” (411-413)

“Ya memfokuskan diri untuk masa depan anak saja. Dulu saya sering mencari informasi tentang terapi biar bisa jalan dan

bicara.” (434-435)

5) Kurang mampu dalam kemampuan motorik (tidak berani naik tangga)

SL mengungkapkan bahwa anak tidak berani untuk menaiki tangga seorang diri sehingga keadaan ini menimbulkan rasa khawatir jika anak terjatuh.

Saya khawatir kalau di sekolah kalau mau naik tangga suka

takut” (53)

Ketika anak akan menaiki tangga maka SL akan menuntun anak supaya anak tidak terjatuh (problem focused coping-active coping).

“kalau dituntun ayo naik gak apa-apa gitu dia bisa, berani.”

(54)

6) Kemampuan bantu diri masih kurang (makan, menggunakan toilet)

Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti mengambil makan anak masih memerlukan bantuan orang dewasa dan SL selalu menaruh makanan dilemari makanan paling atas sehingga hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa anak bisa jatuh jika tidak dapat menggapainya.

“Ambil makan juga bisa sendiri cuman kadang kan makanan

diatas nah itu baru minta tolong. Cuman kadang orang tua kan khawatir kalau nanti jatuh jadi kadang kalau mau ditinggal kerjaan ah bentar deh tak siapin sek daripada manjat-manjat nanti jatuh.” (60-62)

Untuk menghindari kemungkinan anak akan terjatuh, SL memilih untuk menyiapkan makanan terlebih dahulu sebelum ditinggal beraktivitas (problem focused coping-active coping).

Stres yang dialami SL sehubungan dengan perkembangan fisik anak disebabkan oleh suhu tubuh anak yang mudah berubah, penampilan fisik anak yang menjadi perhatian, anak yang tidak bisa mengikuti kegesitan teman sebaya, mengalami keterlambatan kemampuan berjalan, kurangnya kemampuan motorik (tida bisa menaiki tangga), dan kurangnya kemampuan bantu diri. Bentuk stres yang dialami SL yaitu perasaan khawatir, perasaaan tidak nyaman, perasaan sedih, dan perasaan kasihan. Untuk mengatasi bentuk stres yang timbul, SL lebih cenderung menggunakan problem focused coping jenis

active coping. Langkah aktif ini SL gunakan untuk menghilangkan efek yang ditimbulkan oleh stresor. Langkah aktif ini antara lain yaitu tindakan SL untuk menghangatkan anak dengan selimut ketika suhu tubh anak menjadi dingin, meningkatkan perhatian kepada anak, mencari tempat terapi, menuntun anak menaiki tangga, dan menyiapkan makanan untuk anak sebelum bekerja.

b. Perkembangan kognitif

1) Kurangnya kesadaran akan bahaya

Dalam pemahaman hal sehari-hari, kesadaran anak akan bahaya masih kurang. Kebiasaan anak yang senang ngeyel bermain dekat api membuat SL merasa khawatir dan takut anak akan terkena api.

“Tapi kadang suka ngeyel aja, saya takutnya kena api.” (132)

Untuk mengatasi rasa khawatir dan takut jika anak terkena api, SL berusaha mengingatkan anak dan mengawasi jika anak sedang bermain (problem focused coping-active coping).

“Kadang kalau ngeyel saya suka ingatkan jangan nanti kena panas. Atau kalau main gunting saya suka awasi.” (133-134) 2) Kemampuan berbicara yang belum lancar

Anak juga memiliki kekurangan dalam kemampuan berbicara, anak terkadang tidak jelas ketika sedang berbicara sehingga harus diulang-ulang agar orang yang diajak berbicara dapat memahami. Agar memahami maksud anak, maka SL selalu meminta anak untuk mengulang pembicaraan supaya tidak salah mengartikan maksud anak (problem focused coping-active coping). Berikut cuplikan wawancaranya:

“Heeh alhamdulilah bisa mbak. Cuman itu tadi kadang

omongannya jelas namun kadang harus diulang opo to piye

3) Kurangnya kemampuan menulis, membaca, dan berhitung Dalam hal akademik, kesulitan yang dialami anak antara lain membaca dan berhitung yang belum lancar, serta belum sempurna dalam menulis. Anak juga mengalami kesulitan dalam menghafal.

“Dia bisa bergaul biasa dengan teman-teman hanya pelajaran tertentu yang sulit seperti matematika, baca itu dia kadang kan

males. Jadi kurang tanggap.” (30-32)

“Ya menulis bisa hanya belum sempurna. Membaca juga sudah

bisa sedikit-sedikit hanya belum lancar. Kan dia masih dalam taraf belajar. Tapi saya yakin nanti insya allah pasti bisa. Kalau untuk hafalan belum begitu bisa karena kan kalau hafalan mengumpulkan banyak pikiran ya mbak. Hehe. Jadi masih terbata-bata. Berhitung ya bisa tapi masih

lompat-lompat. “ (137-141)

SL berusaha untuk menyediakan waktu untuk mengajari anak setiap harinya dan mengusahakan agar anak mempunyai jadwal belajar setiap sore (problem focused coping-active coping). SL pun menanamkan keyakinan positif pada dirinya bahwa anak pasti bisa (emotion focused coping-positif reinterpretation and growth).

Jadi setiap hari harus ada waktu untuk belajar dan sebagai

orang tua harus selalu mendampingi dan mengajarkan anak.”

(34-35)

“Ya tiap hari, tiap duduk, tiap selo. Kalau dia mau juga selalu

diajarin. Misalkan sapu, s-a sa p-u pu, sapu. (subjek mengeja). Terus misal ada koran atau majalah ya nyuruh latihan baca begitu terus. Kalau sore harus ada waktu

belajar.” (162-165)

SL mengalami stres yang bersumber dari perkembangan kognitif anak. Penyebab stres tersebut antara lain kurangnya

kesadaran anak akan bahaya, kemampuan berbicara yang belum lancar, dan kurangnya kemampuan anak dalam membaca, menulis, dan berhitung. Bentuk stres yang dialami SL yaitu perasaan khawatir. Dalam mengatasi bentu stres yang muncul, SL cenderung menggunaan strategi koping problem focused coping-active coping. Langah aktif yang dilakukan SL yaitu mengingatan dan mengawasi ketika anak bermain, meminta ana mengulang pembicaraan agar tidak salah paham, dan menjadwalkan anak belajar setiap sore. Selain itu, SL juga menggunakan emotion focused coping-reinterpretation and growth dalam mengatasi perasaan khawatir yaitu dengan menanamkan keyakinan pada diri SL bahwa anak pasti bisa. c. Perkembangan emosi

1) Mood anak mudah berubah

Anak mengalami perubahan mood yang cukup membuat SL bingung. Ketika anak tidak dalam suasana hati yang baik maka anak tidak akan mau melakukan hal apapun, mood belajar anak juga mudah berubah.

“Ya kalau nggak mood ya cuman diem, nggak mau ngapa -ngapain. Ditanya-tanyain diam saja, bingung juga saya ini

anak kenapa.” (174-176)

“Kemudian kalau lagi mood belajarnya buruk. Wah harus putar

otak ya orang tuanya kalau lagi semangat ya semangat banget

Ketika mood belajar anak mulai kendor, SL memberikan selingan seperti halnya belajar sembari menonton TV atau mengemas tempe (problem focused coping-active coping).

Kalau lagi belajar misal dia lagi nggak mood atau lagi bosan yasudah istirahat dulu, kalau nggak sembari mengemas tempe atau nonton TV gitu dilanjutin. Jadi nggak bosen dia kan ada

selingan.” (321-324)

2) Keinginan anak kuat dan harus terpenuhi

Jika anak memiliki keinginan maka harus segera dipenuhi, tidak peduli ibunya sibuk atau tidak. Keadaan demikian membuat SL merasa keberatankarena anak akan terus menagih sampai apa yang diinginkannya tercapai.

“Itu dia mbak apapun lah kalau dia pengen harus ada. Kalau

nggak ya bu beliin to beliin. Minta terus dia sampai dapat.Nagih terus ya bu ya?Heem mbak, kalau orang jawa

bilang ngedrel.“ (195-198)

“Kalau minta apa-apa harus beli. Masih taraf wajar sih mbak keinginananya, nggak yang aneh-aneh” (207-208)

Untuk mengatasinya, SL membelikan apa yang diinginkan anak (problem focused coping-active coping).

Misalkan nonton TV ada iklan es krim baru nah dia pengen ya

harus dibelikan sampai dapat seperti yang diiklan.” (209-210)

Stres yang dialami SL disebabkan oleh mood anak yang mudah berubah dan keinginan anak yang harus dipenuhi. Hal tersebut membuat SL merasa bingung dan merasa keberatan. Untuk mengatasi stres yang timbul, SL cenderung menggunakan

selingan belajar bagi anak (dengan menonton TV dan mengemas tempe) dan memenuhi apa yang diinginkan oleh anak.

d. Perkembangan sosial

SL menuturkan ketika anak bermain sepeda dan temannya ingin meminjam maka anak akan mengalah padahal sebenarnya ia masih ingin menggunakannya. Dengan pengalaman itu maka timbul kekhawatiran dalam diri SL yaitu adanya rasa khawatir jika anak dimanfaatkan oleh teman sebaya.

“kadangkala dapat nggak menyenangkan. Ya, saya khawatir ya

kadang. Misalkan dia ngalah, nah kadang malah dimanfaatkan teman-temannya. Misalkan main sepeda, sepeda dipinjem dipakai temennya ya dia ngalah padahal dia sendiri sebenernya kepengen

main sepeda.” (243-247)

Dengan adanya rasa khawatir jika anak dimanfaatkan oleh teman sebaya maka SL berusaha untuk mengawasi jika anak bermain dan selalu mengingatkan teman-teman sebaya anak supaya tidak saling nakal (problem focused coping-active coping).

Temen-temennya suka saya ingatkan kalau main jangan saling nakal. Saya dari jauh juga mengamati. Main sama siapa, dimana, dan nggak nangis berarti udah aman. Ya mengawasi bukan berarti harus terus memantau tapi setidaknya tahu dimana anak bermain dan dengan siapa.” (252-255)

Bentuk stres yang dialami SL yaitu perasaan khawatir jika anak dimanfaatkan teman sebaya dan untuk mengatasi stres tersebut, SL menggunakan strategi koping problem focused coping-active coping.

2. Lingkungan keluarga

1) Penerimaan suami ketika pertama kali mengetahui kondisi anak Ketika suami SL ketika pertama kali mengetahui bahwa anak kedua mereka dinyatakan Down Syndrome, suami subjek merasakan kesedihan dan terkejut.

“Penerimaan bapak ketika mengetahui bahwa anak kedua

didiagnosis down syndrome seperti apa bu? Ya sempat kaget juga

ya, sedih pasti, sempat down. Tapi yasudah mau diapain lagi.”

(482-484)

Namun kesedihan yang dirasakan tidak berlarut dan justru suami dapat menerima keadaan anak dan memaknai keadaan anak sebagai karunia dari Tuhan yang harus dijaga dan dirawat (Emotion Focused coping-Acceptance).

Ya menerima dengan ikhlas, itu yang dikasih Tuhan untuk kami,

harus kami rawat.” (486-487)

2) Asumsi negatif anak pertama tentang SLB

Anak pertama mengajukan keberatan karena adiknya akan disekolahkan di SLB yang menurut pemahamannya adalah sekolah untuk anak yang benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa.

Pas mau nyekolahin P juga kakaknya sempat protes, kok di SLB? Tahunya dia kan khusus untuk orang-orang yang nggak bisa ngapa-ngapain, yang tingkah lakunya aneh-aneh.” (491-493)

SL memberikan pengertian mengenai sekolah anak berkebutuhan khsusus kepada anak bungsunya dan meyakinkan bahwa SLB yang dipilih untuk adiknya adalah sekolah yang tepat

Ya menjelaskan, orang awam kan belum tahu tentang SLB ya. Padahal tidak seperti itu gambarannya, kan SLB sudah ada kelasnya sendiri ya misalnya yang tempat Putra sekolah kan memang khusus untuk yang keterbelakangan mental yang masih

bisa diajarin.” (497-500)

3) Anak sering bertengkar dengan saudara kandung karena berebut sesuatu

Anak bungsu subjek juga tidak mau mengalah karena berantem dengan adiknya meskipun karena hal sepele. Subjek merasa kesal ketika melihat anak mereka berebut makanan atau berebut laptop.

“Ya kadang berantem tapi berantem yang nggak serius cuman

karena hal sepele, rebutan laptop atau makanan biasanya. sampai

kesal saya lihatnya.” (515-516)

Untuk menghentikan kedua anak yang bertengkar, subjek berusaha memberikan pemahaman kepada anak bungsu agar lebih memahami kondisi adiknya dan mau untuk mengalah (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Kalau udah begitu ya masnya yang tak kasih tau buat ngalah, tak

lerai. Bukan membedakan tapi supaya masnya tau kondisi adeknya

dan bsia ngertiin.” (517-519)

Stres yang dialami SL disebabkan oleh reaksi suami ketika pertama kali mengetahui kondisi anak, asumsi negatif anak pertama tentang SLB, dan anak yang selalu bertengkar dengan saudara kandung demi memperebutkan sesuatu. Bentuk stres yang dialami SL yaitu perasaan sedih dan merasa kesal. Untuk mengatasi stres yang timbul, SL menggunakan problem focused coping-active

coping yaitu dengan memberikan pengertian kepada anak pertama bahwa SLB adalah sekolah yang tepat untuk adiknya dan menasehati anak pertama supaya mau mengalah dari adiknya. Selain itu dalam menghadapi stres yang disebabkan oleh reaksi suami terhadap kondisi anak, SL menggunakan emotion focused coping-acceptance

yaitu dengan memaknai anak sebagai karunia Tuhan yang harus dijaga dan dirawat.

3. Lingkungan sekolah

Stres SL yang bersumber dari lingkungan sekolah disebabkan oleh guru yang terlalu memandang rendah anak-anak DS dan kurang berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu. Hal tersbut membuat SL merasa tersinggung dan merasa jengkel.

Ya kadang orang lain juga ya kadang menyampaikannya itu kurang pas dan kurang hati-hati, kurang memahami keadaan tu menyakitkan sekali. Contohnya guru juga ada yang begitu, jelas anak ini nggak bisa mau diajarin juga tetep sama aja. Nah gitu, kan sok jengkel ya sebagai orang tua.” (448-452)

SL berusaha berfikir positif bahwa mungkin ada unsur ketidaksengajaan dan tidak bermaksud untuk menyakiti perasaan orang tua (Emotion Focused Coping-Positif Reinterpretation and Growth).

Ya kalau lagi diluar atau pergi kemana gitu kalau orang lain komentar tentang anakku aneh atau kok begini to anaknya kadang suka sakit dengernya. Mungkin ya mereka nggak menyadari kalau berbicara atau berkomentar itu menyakiti hati orang tuanya tidak, kalau misal aku yang dikomentari begitu aku sakit hati nggak. Kan kadang orang begitu ya, nggak berpikir dulu tapi keceplosan. Atau

Stres yang bersumber dari lingkungan sekolah disebabkan oleh guru yang memandang rendah anak down syndrome dan kurang berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu. Bentuk stres yang dialami SL yaitu SL merasa tersinggung dan merasa kesal. Untuk mengatasi stres yang timbul, SL lebih menggunakan emotion focused coping-positive reinterpretation and growth yaitu dengan berpikir positif bahwa guru tidak bermaksud untuk menyinggung.

4. Tenaga medis

1)Kesalahan diagnosis dokter

Penyebab stress tidak lebih dikarenakan adanya pemeriksaan dokter yang kurang tepat. SL merasa kecewa terhadap hasil pemeriksaan dokter yang menyatakan dirinya tidak hamil namun terkena penyakit ginjal dan maag. Akibat pemeriksaan yang kurang tepat tersebut, SL harus meminum obat-obatan dengan dosis beragam dan baru ketahuan hamil ketika usia kehamilan menginjak 4 bulan.

“Dokter A bilang saya cuman maag, Dokter B bilang saya kena ginjal, bidannya sendiri bilang masuk angin. Saya kan jadi lari

kesana kesini, mana obatnya kan dosisnya beragam.” (344-346)

“takut akan efek obat ya, yang namanya orang hamil ibunya makan

apa kan bayinya juga ikut makan. Soalnya pas dites itu nggak

hamil mbak nah pas 4 bulan tahu kalau ternyata isi.” (403-405)

SL berpasrah kepada Tuhan ketika perasaan kecewa menggelayutinya. Sebab menurut SL menyalahkan dokter pun tidak

akan merubah situasi (Emotion Focused Coping-Acceptance). SL juga berdoa kepada Tuhan, berharap semoga tidak terjadi sesuatu terhadap bayi yang SL kandung (Emotion Focused Coping-Turning