• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Subjek 2 (SH)

2. Stres dan coping strategy SH

a. Stres yang Bersumber Dari Luar Diri SH dan Coping Strategy yang Digunakan SH

1. Keterbatasan anak

Stres yang bersumber dari keterbatasan anak dalam hal ini yaitu karena adanya keterbatasan pada perkembangan anak. Pada SH, stres yang bersumber dari keterbatasan anak yaitu karena adanya keterbatasan anak pada perkembangan fisik, kognitif, emosi, dan sosial. Berikut pemaparannya:

a. Perkembangan Fisik

Stres yang bersumber dari perkembangan fisik anak yang dialami SH disebabkan oleh kurangnya kemampuan bantu diri anak. Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan, anak masih harus disuapi oleh SH dan masih harus dibantu jika ke toilet.

“Dalam memenuhi kebutuhan keseharian hal apa sajakah yang harus selalu dibantu? Makan masih diambilkan, terus ke kamar mandi juga masih dibantu gitu. Terutama kalau eek kan dia belum bisa cebok sendiri, tapi kalau nyiramnya bisa. Terus kalau makan itu di sekolah mau makan sendiri, tapi kalau dirumah seringnya minta disuapin. Mungkin kalau disekolah nggak ada

Mengingat anak yang belum begitu bisa untuk membersihkan diri ketika menggunakan toilet, maka SH membantu anak dalam membersihkan diri setelah buang air. Selain itu SH juga membantu anak untuk mengambil makanan ketika saatnya waktu makan (Problem Focused Coping-Acive Coping).

“Makan masih diambilkan, terus ke kamar mandi juga masih

dibantu gitu. Terutama kalau eek kan dia belum bisa cebok

sendiri” (49-50)

Stres yang bersumber dari perkembangan fisik yang dialami SH yaitu kemampuan bantu diri anak yang masih kurang. Anak masih harus dibantu untuk makan dan meggunakan toilet. Dalam mengatasi stres yang muncul, SH menggunakan problem focused coping-active coping, yaitu dengan membantu anak untuk menggunakan toilet dan menyiapkan makanan.

b. Perkembangan Kognitif

1) Kurangnya kesadaran akan bahaya

Anak kurang paham jika bermain didekat kompor menyala itu berbahaya dan hal ini membuat SH merasa khawatir.

“dia nggak ngeh kalau kompor menyala itu bisa

membahayakan. Main ya main aja kalau dia. Malah ibunya yang was-was.” (104-105)

Hal tersebut mendorong SH untuk lebih meningkatkan perhatiannya kepada anak. SH sering mengingatkan anak supaya

tidak bermain didekat api dan mengawasi ketika anak sedang bermain (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Malah ibunya yang was-was. Saya sok triak heh jangan nanti kena api. Jangan mainan pisau nanti berdarah, sakit(mempraktekan jari teiris pisau). Jadi saya harus selalu

awasi dia kalau bermain.” (105-108)

2) Kurangnya kemampuan menulis, membaca, dan berhitung Kemampuan seperti membaca, menulis, dan berhitung juga belum dikuasai dengan baik oleh anak.

Kemampuan dek A dalam membaca, menulis, dan berhitung seperti apa bu?Nah kalau itu bu guru yang lebih tahu. Kalau untuk membaca dan menulis belum bisa. Mungkin kalau berhitung sudah bisa, sampai angka 10 sudah bisa. Kalau

pengenalan huruf belum bisa.”(109-113)

Untuk membantu anak supaya dapat membaca, menulis, dan berhitung SH juga berusaha untuk mengajarkannya sendiri dirumah. SH juga membelikan beberapa sarana belajar antara lain buku yang dikhususkan untuk menebalkan huruf (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Saya mengajarkan di rumah juga iya. Tak ajarkan ini huruf A besar, ini A kecil tapi ya nggak bisa. Kalau disuruh menebalkan bisa. Tapi kalau disuruh nulis sendiri belum bisa. Sampai tak belikan buku buat menebalkan tu tiap sore mau belajar. Kalau nebalkan bisa, kalau disuruh sendiri belum. Belum tahu ini A ini apa. Artinya A itu dia nggak tahu (subjek geleng-geleng kepala) cuman menebalkan aja, lainnya nggak

mau dia. Semaunya aja kadang siang kadang sore.” (121-127)

3)Kemampuan komunikasi/berbicara belum lancar

Anak belum lancar dalam kemampuan berbicara dan belum bisa mengucapkan kata dalam bentuk kalimat. Hal ini

membuat SH merasa bingung karena ketika anak meminta makan pun anak hanya memeragakan layaknya orang yang sedang memasukkan makanan ke mulut. Untuk mengatasi perasaan bingung tersebut, SH berusaha untuk lebih memperhatikan dengan cermat apa yang dibicarakan anak supaya tidak salah paham (Problem Focused Coping-Active Coping).

Gimana yo, perkembangannya itu susah tu lho. Kalau berbicara belum bisa lancar, lama. Nggak bisa yang kalimat panjang kalau cuman 2 kata bisa misalnya bapak mama. Yang sulit itu misalnya kalau maem gitu nggak langsung bilang maem tapi cuman gini aja (memperagakan orang yang sedang memasukan makanan ke mulut). Ya paling itu mbak. Bingung sendiri kadang dan harus memperhatikan dengan cermat, anak

bicara apa”. (34-39)

c. Perkembangan Emosi

1) Suasana hati/mood mudah berubah

Suasana hati anak yang mudah berubah, jika sedang dalam suasana hati yang baik anak akan berlaku lembut dan jika suasana hati anak sedang buruk maka anak akan mudah marah. Hal ini membuat SH sedih dan bingung untuk mengatasi karena tidak mungkin jika harus memarahi anak.

“anaknya kan ya suka mutungan gitu kalau moodnya lagi baik

ya baik. Kalau moodnya lagi jelek yaudah gini terus,

marah-marah.” (79-81)

“Untuk perubahan suasana hati dari dek Adit sendiri seperti

apa bu, apakah sering berubah-ubah atau bagaimana? Yaa.. kadang-kadang keras, kadang-kadang lembut. Kalau lagi lembut ya diam. Apa-apa ngikut, kalau nggak yaudah

Dalam mengatasi perubahan suasana hati anak, SH lebih meningkatkan usahanya dalam menelateni anak dan berbicara kepada anak dengan menggunakan bahasa yang halus. Cara ini dilakukan SH supaya kemarahan anak mereda (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Jadi ya harus lebih ditelateni juga merawatnya.” (81)

“Yaa kita sebagai orang tua terutama saya sebagai ibu yang

harus sabar. Ya, ngomongnya yang halus. Kalau dikasarin sedikit dia nggak mau. Kalau dikasarin malah marah-marah”

(169-171)

2) Kontrol emosi yang buruk (kemarahan mudah meledak-ledak) Jika anak sedang dalam suasana hati yang tidak bagus maka anak akan mudah marah. Anak akan membanting pintu dan mengomel. Hal ini membuat SH menjadi sedih dan bingung dalam menghadapi situasi seperti itu.

“Kadang dirumah itu pintunya dibanting, deeerrrrr. Nek nggak

di jalan pas pulang sekolah itu sering ngomel-ngomel nggak jelas.” (146-148)

“Paling kalau dia marah-marah tu ya mbak saya suka sedih,

mau marahin juga gak mungkin.” (182-183)

Dalam mengatasi perasaan sedih dan bingung ketika anak marah, SH lebih memaknai kondisi anak sebagai takdir dan kondisi yang memang seharusnya dijalani (Emotion Focused Coping-Acceptance).

“Mungkin udah takdirnya ya dia begitu kondisinya. Jadi yaudah diterima aja.” (183-184)

3) Keinginan anak kuat dan harus terpenuhi

Menurut SH, anak juga memiliki sikap keras dan semua keinginan anak harus segera terpenuhi. Jika keinginan anak tidak terpenuhi maka anak anak teriak-teriak.

“Yahh mungkin kalau minta ini, minta itu harus dituruti. Kalau

dia bilang aku mau maianan ya harus dibelikan. Kalau nggak dia marah-marah. Dia keras anaknya. Kalau mainan yang dia

pengenin ya harus dibelikan.” (160-162)

“Misalkan keinginannya tidak terpenuhi seperti apa bu reaksi

dek A? Hmm.. marah. Dia marah, triak-triak huuuu gitu. Jadi ya harus diberikan apa yang diinginkannya.” (163-165)

Dalam mengatasi kemauan anak yang harus segera dipenuhi maka SH mengusahakan diri untuk memenuhi apa yang diminta anak (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Kalau mainan yang dia pengenin ya harus dibelikan.” (162)

“Dia marah, triak-triak huuuu gitu. Jadi ya harus diberikan apa

yang diinginkannya.” (164-165)

Stres yang dialami SH disebabkan oleh mood anak yang mudah berubah, kontrol emosi anak yang buruk (kemarahan mudah meledak-ledak), dan keinginan anak yang kuat (harus terpenuhi). Bentuk stres yang dialami SH yaitu perasaan sedih dan perasaan bingung. Untuk mengatasi stres yang muncul, SH menggunakan 2 jenis coping strategy yaitu problem focused coping-active coping dan emotion focused coping-acceptance. Active coping ysng dilakukan SH yaitu berusaha untuk berbicara dengan anak menggunakan bahasa yang halus dan berusaha memenuhi semua keinginan anak. Acceptance SH tunjukkan

dengan memaknai kontrol emosi anak yang buruk sebagai suatu takdir yang ahrus SH jalani.

d. Perkembangan Sosial

Dalam relasi antar teman sebaya, anak sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dikatai pego (bodoh) dan dicubit. Hal ini tentu membuat subjek merasa kesal jika anak diperlakukan demikian.

Biasanya seperti apa bu perlakuan tidak menyenangkannya? Biasanya dikata-katain. Kadang di cubit. Tapi ya biasa. Kadang dikatain kowe ki pego (kamu itu bodoh). Hah, sudah pasti

terlontar kata itu.” (219-221)

SH yang merasa tidak terima dengan ejekan yang ditujukan kepada anaknya, maka SH memberikan pengertian kepada teman-teman sebaya anak agar tidak saling menyakiti (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Kemudian apa yang ibu lakukan melihat anak ibu sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya? Ya yang sabar. Palingan saya bilangin eee yo ojo ngono, kuwi kan ya kancane. Nek kekancan ora oleh nakal-nakalan. (eee.. ya jangan gitu, itu kan ya temennya, kalau berteman nggak boleh saling nakal). Saya kasih pengertian kalau memang kondisi A seperti itu kok masih aja dikata-katain pego (bodoh).” (222-228)

SH mengalami stres yang disebabkan oleh perlakuan kurang menyenangkan dari teman sebaya anak kepada anaknya. Hal ini membuat SH merasa kesal. Untuk mengatasi perasaan kesal tersebut, SH menggunakan problem focused coping-active coping.

memberikan pengertian kepada teman sebaya anak agar tidak saling menyakiti ketika bermain.

2. Lingkungan keluarga

Stres yang dialami subjek dikarenakan oleh anak pertama yang sering mengejek adiknya dan anak yang sering bertengkar karena memperebutkan sesuatu. Berikut uraiannya:

1) Anak sering diejek oleh saudara kandung

SH mengungkapkan bahwa anak sering diejek oleh anak pertamanya. SH merasa tidak suka ketika anak sulungnya memanggil adiknya dengan sebutan pego (bodoh).

“Malahan sama dia dipanggil pego (bodoh). Pego, buatke kopi. Saya ya ngasih tahu mbok manggilnya yang bagus. Tapi ya tetep

aja begitu. Sukanya njarak (sengaja).” (374-376)

SH berusaha untuk memberikan pengertian kepada anak bungsunya supaya tidak memanggil adiknya dengan sebutan pego

lagi (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Saya suka kasih pengertian, udah tahu adiknya kondisinya begitu kok masih suka dipanggil pego.” (377-378)

2) Anak sering bertengkar dengan saudara kandung

SH juga sering merasa jengkel karena kedua anaknya sering bertengkar karena hal sepele seperti berebut remote TV dan anak sulung tidak mau mengalah.

“ya kadang berantem wong kakaknya juga nggak mau ngalah.

Masalah kecil aja berantem. Remote TV aja bisa jadi berantem.”

Melihat kedua anak sering bertengkar dan berebut barang, SH melerai mereka dan memarahi anak bungsu supaya mengalah dengan adiknya (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Oo.. lalu seperti apa cara ibu dalam mengatasi kalau mereka

berantem?Yang gede yang tak marahin. Kowe ki uwes gede, adiknya masih kecil kondisinya begini kok ya masih nggak

ngerti-ngerti.” (382-384)

Stres yang dialami subjek disebabkan oleh sikap anak pertama yang sering mengejek adiknya dengan sebutan "pego" dan kedua anak yang sering bertengkar karena memperebutkan sesuatu. Bentuk stres yang dialami SH yaitu perasaan jengkel dan perasaan tidak suka. Dalam mengatasi stres tersebut, SH menggunakan

problem focused coping-active coping. Langkah aktif yang dilakukan SH yaitu dengan memberitahukan kepada anak pertama supaya berhenti mengejek adiknya dan memarahi anak pertama ketika bertengkar memperebutkan sesuatu.

3. Lingkungan masyarakat

SH mengungkapkan bahwa anak kadang dimarahi oleh tetangga-tetangga karena anak tidak paham terhadap sesuatu kemudian anak dipanggil dengan sebutan pego (bodoh) oleh para tetangga. Hal ini tentu saja membuat SH merasa sakit hati.

Ya itu tadi kadang ada yang ngomel, kowe ki piye mung ngono wae rak dong. Trus kata-kata pego (bodoh) itu sering terdengar.

Dengan adanya perlakuan tidak menyenangkan tersebut, SH berusaha untuk tidak memasukannya ke dalam hati karena SH merasa tidak bisa untuk melawan (Problem Focused Coping-Suppression of Competing Activities).

“Ya itu tadi masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Nggak tak

masukin hati. Ya gimana lagi adanya anak itu. Sabar, tabah. Mau

nglawan juga nggak bisa.” (414-415)

Stres dari lingkungan masyarakat yang dialami SH disebabkan oleh perlakuan tidak menyenangkan yang diperoleh anak. Anak kadang-kadang dimarahi oleh tetangga karena tidak paham terhadap sesuatu. Hal ini membuat SH merasa sakit hati. Dalam mengatasi sakit hati ini, SH menggunakan problem focused coping-suppression of competing activities dengan tidak memasukan sikap tetangga-tetangga kepada anak.

b. Stres yang Bersumber Dari Dalam Diri SH dan Coping Strategy yang Digunakan SH

1. Perasaan bersalah

Ketika SH mengetahui bahwa anaknya Down Syndrome,

SH merasakan kesedihan karena anaknya terlahir tidak seperti anak normal pada umumnya. SH menganggap kondisi anak sebagai ganjaran baginya.

Kadang saya tu mikir kok anakku nggak kayak temen-temennya, itu saya juga sedih ngliatnya. Tapi ya sudahlah emang mungkin sudah ganjaran saya. Ya kan mbak? (subjek menatap peneliti dengan mata berkaca-kaca). Ya ada rasa takut ya mbak, mereka

bisa begini begitu tapi anak saya kok nggak bisa. Nek gitu kan

saya rasanya duh.. anak saya kok begini.” (232-337)

SH hanya bisa pasrah menerima keadaan anak keduanya dan berusaha untuk tabah, serta berharap anak menjadi anak yang soleh (Emotion Focused Coping-Acceptance).

“Berusaha menerima aja ya, yang sabar. Sedih pasti ada tapi yang tabah. Semoga anakku bisa jadi anak yang bagus, soleh.” (376 -378)

SH menganggap kondisi anak sebagai ganjaran atas dosa yang SH perbuat dimasa lalu. Hal ini membuat SH merasa sedih dan untuk mengatasi perasaan sedih tersebut, SH menggunakan

emotion focused coping-acceptance. Koping ini SH pilih karena SH merasa bahwa sumber stres merupakan situasi yang memang seharusnya SH jalani, sehingga SH berpasrah dan berusaha untuk tabah.

2. Kehilangan kepercayaan untuk memiliki anak normal

Dengan mempunyai pengalaman memiliki anak Down Syndrome, timbul perasaan takut bagi SH untuk hamil lagi. Ketakutan itu muncul karena khawatir jika nantinya akan melahirkan anak dengan kondisi yang sama (Down Syndrome).

Saat mengetahui anak kedua ibu DS adakah rasa takut jika suatu saat hamil lagi? Dulu sempat iya, takut anak saya begini lagi

kalau hamil lagi.” (349-351)

Dalam mengatasi rasa takut hamil lagi, SH memfokuskan diri untuk merawat anak sehingga ketakutan untuk hamil lagi tidak

dirasakan oleh SH (Problem Focused Coping-Suppression of Competing Activities).

Ya mungkin karena serius nelateni anak ya mbak jadinya saya

nggak mikirin takut hamil lagi. Hehe” (405-406)

Stres yang dialami SH disebabkan oleh hilangnya kepercayaan SH untuk memiliki anak yang normal. SH merasa takut untuk hamil lagi karena khawatir akan melahirkan anak down syndrome lagi. Untuk mengatasi stres yang timbul, SH menggunakan problem focused coping-suppression of competing activities yaitu dengan memfokuskan diri merawat anak sehingga perasaan takut jika hamil lagi hilang begitu saja.

3. Kekhawatiran terhadap masa depan anak

1) Harapan supaya anak dapat menjalani kehidupan secara normal SH juga selalu berangan-angan apakah anak dapat menjalani kehidupan secara normal seperti anak normal pada umumnya. Dengan mengingat kondisi anak, tentu saja ini membuat SH merasa ragu-ragu akan harapannya.

Ndak ada sih mbak, paling ya saya yang kepikiran wah nanti anakku bisa kayak anak normal nggak ya. Bisa menjalani

kehidupan dengan normal.” (72-73)

SH hanya bisa bersabar dan berdoa kepada Tuhan supaya harapannya dapat terkabul (Emotion Focused Coping-Turning to Religion).

Ya kita harus sabar (subjek mengelus dada dan memejamkan mata) gitu. Dibawa dalam doa saja semoga anakku tidak

2) Harapan agar anak menjadi anak yang patuh

SH juga mempunyai suatu impian supaya anaknya dapat menjadi anak yang pintar dan patuh terhadap orang tua.

Kalau ibu tu ya pengennya anak sekolah yang pinter, ngikuti

apa kata orang tua.” (130-131)

Untuk harapannya ini, SH memilih untuk menerima keadaan anak dan bersabar (Emotion Focused Coping-Acceptance)

“Yasudah mbak, hanya bisa sabar. Menerima saja kondisinya.”

(135)

Masa depan anak juga dapat menimbulkan stres bagi SH. Stres yang dialami SH dikarenakan oleh harapan SH agar anak dapat menjalani kehidupan secara normal dan harapan agar anak dapat menjadi anak yang patuh. Bentuk stre syang dialami SH yaitu perasan ragu-ragu dan untuk mengatasi bentuk stres ini, Sh menggunakan 2 jenis emotion focused coping yaitu acceptance dan

turning to religion. SH berusaha menerima keadaan anak dan berdoa kepada Tuhan semoga harapanya tercapai.

3. Kesimpulan Stres yang Dialami SH dan Coping Strategy yang Digunakan SH

SH mengalami stres yang bersumber dari luar dan dari dalam diri. Stres yang bersumber dari luar diri disebabkan oleh keterbatasan anak yang meliputi keterbatsan dalam perkembangan fisik dimana anak masih

kurang dalam hal bantu diri. Keterbatsan anak dalam perkembangan kognitif yang dapat menyebabkan stres bagi SH yaitu kurangnya kesadaran anak akan bahaya, kemampuan berbicara yang belum lancar, dan kemampuan akademik yang masih kurang (membaca, menulis, dan berhitung). Jika dilihat dari perkembangan emosi anak, situasi yang dapat menimbulkan stres yaitu mood anak yang mudah berubah, kontrol emosi yang buruk (kemarahan mudah meledak),dan keinginan anak yang kuat dan harus dipenuhi. Selain itu, dalam perkembangan sosialnya anak mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari teman sebaya. Selain keterbatsaan dalam perkembangan anak, lingkungan keluarga juga dapat menjadi sumber stres bagi SH. Situasi yang menyebabkan stres yaitu bahwa anaksering diejek oleh kakaknya dan mereka sering bertengkar dalam memperebutkan sesuatu. Tidak hanya lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat juga merupakan sumber stres bagi SH. Tak jarang anak dimarahi oleh tetangga karena sulit dalam memahami sesuatu. Stres yang bersumber dari dalam diri SH antara lain disebabkan oleh adanya perasaan bersalah memiliki anak down syndrome,

kehilangan kepercayaan akan memiliki anak yang normal sehingga membuat SH merasa takut untuk hamil, dan kekhawatiran terhadap masa depan anak. Sumber stres dan situasi yang menekan tersebut tentu saja menimbulkan stres nagi SH. Bentuk stres yang dialami SH yaitu SH merasa sedih, merasa khawatir, merasa bingung, merasa tidak suka, merasa jengkel, merasa sakit hati, merasa takut, dan merasa ragu-ragu.

Dalam mengatasi stres dan bentuk stres yang muncul, SH lebih banyak menggunakan problem focused coping. SH menggunakan 2 jenis

problem focused coping yaitu active coping dan suppression of competing activities. Contoh Active coping yang dilakukan SH yaitu mengambilkan makanan anak, membantu anak ketika menggunakan toilet, mengajarkan anak berlajar mengenal huruf, memenuhi keinginan anak, dan memberi pengertian agar anak pertama berhenti mengejek adiknya. Contoh suppression of compering activities yang dilakukan SH yaitu berusaha tidak memasukan kedalam hati sikap tetangga yang kurang menyenangkan dan fokus untuk merawat anak sehingga perasaan takut hamil hilang begitu saja. Selain itu, SH juga menggunakan 2 jenis

emotion focused coping yaitu acceptance dan turning to religion. Acceptance SH gunakan ketika SH merasa bahwa sumber stres merupakan situasi yang memang harus SH jalani. SH berpasrah ketika SH menganggap bahwa kondisi anak sebagai ganjaran atas dosa dan ketika SH merasa ragu-ragu akan harapannya agar anak dapat menjalani kehidupan secara normal. Turning to religion SH gunakan ketika SH menganggap bahwa agama/kepercayaan dapat memeberikan dukungann sosial. Contohnya ketika SH merasa ragu akan harapannya supaya anak dapat emnjalan kehidupan secara normal, SH berdoa supaya harapannya terpenuhi. Berikut adalah bagan kesimpulan yang berisi sumber stres, bentuk stres, dan koping yang digunakan subjek SH:

Bagan 3. Bagan Kesimpulan Sumber Stres, Bentuk Stres, dan Strategi Koping Subjek 2 (SH)

Sumber stres dari luar diri a. Perkembangan fisik:

Kesehatan mudah terganggu

Kemampuan bantu diri masih kurang (menggunakan toilet&makan)

b. Perkembangan kognitif:

Kurangnya kesadaran akan bahaya

Membaca, menulis, dan berhitung belum lancar

c. Perkembangan emosi:

Kontrol emosi yang buruk, Keinginan anak kuat&harus terpenuhi

d. Perkembagan sosial:

Perlakuan kurang menyenangkan dari teman sebaya (diejek)

e. Lingkungan keluarga:

Anak sering diejek kakaknya, Anak sering bertengkar&berebut sesuatu dengan kakaknya

f. Lingkungan masyarakat:

Mendapat perlakuan kurang menyenangkan (diejek)

Sumber stres dari dalam diri 1. Perasaan bersalah 2. Kehilangan kepercayaan memiliki anak normal 3. Harapan terhadap anak:

Harapan agar anak menjalani kehidupan seperti anak normal Harapan agar anak menjadi anak yang patuh&pintar

Subjek 2 (SH)

Emotion Focused Coping:

Acceptance, Turning to Religion

Problem Focused Coping:

Active coping, Planning, Suppression of competing activities

1. Merasa khawatir 4. Merasa tidak terima 7. Merasa sakit hati 2. Merasa sedih 5. Merasa tidak suka 8. Merasa takut 3. Merasa bingung 6. Merasa jengkel 9. Merasa ragu-ragu