• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

B. Stress

3. Sumber Stres Pada Ibu yang Memiliki anak Down Syndrome

Stres merupakan reaksi dari adanya stresor atau sumber stres. Stesor atau sumber stres yaitu situasi di lingkungan yang dapat mengaktivasi respon stres bagi individu. Stres dapat bersumber dari luar diri dan dari dalam diri. Pada ibu dengan anak down syndrome yang menjadi sumber stres dari luar diri yaitu keterbatasan perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, dan moral anak. Disebut dengan keterbatasan anak karena dalam perkembangannya, anak down syndrome lebih lamban/terlambat jika dibandingkan dengan anak normal. Sumber stres lain yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Terkait dengan perkembangan fisik, orang tua masih harus mencari informasi mengenai tempat terapi fisik dan terapi wicara demi kemajuan anak meskipun tetap lamban dibandingkan dengan anak normal umumnya (Triana&Andriyani, 2005). Orang tua juga

harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit demi membiayai terapi yang mungkin dilakukan lebih dari sekali dalam seminggu. Tentu saja orang tua juga harus dapat melatih fisik dan wicara anak dirumah agar stimulasi yang diperoleh anak tidak hanya didapat dari terapi dan kemajuan anak dapat tercapai (Triana &Andriyani, 2005).

Perkembangan kognitif anak yang berada dibawah rata-rata dan mengalami keterbelakangan, pasti membuat orang tua mengalami bentuk stres berupa perasaan khawatir akan masa depan anak, terlebih lagi jika anak belum bisa mandiri dan belum memiliki keahlian/keterampilan. Orang tua masih harus mencari sekolah yang menyediakan pendidikan khusus bagi anak tunagrahita, terlebih lagi sekolah yang memfokuskan pada pengembangan keahlian/keterampilan anak (Triana&Andriany, 2005).

Perkembangan emosi anak juga dapat menjadi sumber stres karena anak anak down syndrome memiliki emosi yang mudah kabur. Stres juga dapat bersumber dari perkembangan sosial anak, orang tua harus dapat selalu mengawasi anak sebab anak tidak mampu jika harus memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana. Ketergantungan mereka terhadap figur orang tua sangatlah besar. Terlebih lagi orang tua harus mampu dalam memberikan pengarahan mengenai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sebab anak tunagrahita pada umumnya mudah untuk dipengaruhi dan cenderung melakukan suatu hal tanpa memikirkan resiko atau akibatnya (Soemantri, 2007). Pada dasarnya anak-anak mongol mudah sering tertawa dan cepat melekat pada seseorang serta ramah tamah. Stres juga dapat

bersumber dari perkembangan moral anak dimana ibu harus mengajarkan mengenai kesopanan, kedisiplinan, dan hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Secara fisiologis, orang tua menghabiskan banyak waktu, energi, dan kesabaran untuk merawat anak. Harus mengelola kesehatan anak, emosi anak, dan masalah perilaku serta mengajarkan anak tentang cara merawat diri sehari-hari. Hal tersebut menyebabkan orang tua sering membatasi waktu untuk diri mereka sendiri (Barnett&Boyce, 1995; Shek & Tsang, 1993; Singhi, Goyal, Pershad, & Walia, 1990 dalam Lam & Mackenzie, 2002).

Sumber stres lain adalah lingkungan keluarga. Lahirnya anak cacat (down syndrome) selalu merupakan tragedi dan reaksi ibu berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, misalnya apakah kecacatan tersebut dapat segera diketahui atau terlambat diketahui (Soemantri, 2007). Sama seperti yang dialami oleh orang tua, saudara kandung dapat dan sering kali mengalami reaksi emosional seperti takut, marah, rasa bersalah dan sebagainya. Bahkan dalam beberapa hal saudara kandung lebih memiliki masalah yang sulit dibandingkan dengan orang tuanya dalam menyesuaikan diri dengan perasaan-perasaan ini, terutama pada saat mereka berusia belia. Bahkan anak yang memiliki saudara kandung penyandang down syndrome

dapat merasa diduakan. Berpikir bahwa kasih sayang yang diberikan orang tua berbeda dan lebih mengutamakan saudaranya yang down syndrome,

sehingga menimbulkan kecemburuan. Konflik sibling rivalry yang dialami oleh anak-anak yang memiliki saudara berkebutuhan khusus biasanya lebih

besar dari rata-rata anak lain karena seringkali saudara kandung melihat perhatian dan perlakuan orang tua yang berbeda terhadap dirinya dengan saudara kandungnya yang memiliki kebutuhan khusus (Semiawan&Magungsong. 2010). Hal ini dapat menjadi sumber stres bagi ibu karena orang tua harus memikirkan cara untuk mengasuh anak-anak mereka agar tidak timbul rasa iri. Tak jarang ibu mengalami bentuk stres berupa perasaan sedih karena adanya kecemburuan antar anak.

Lingkungan masyarakat pada umumnya sulit menerima individu yang berkekurangan termasuk individu penyandang keterbelakangan mental. Anak down syndrome dianggap tidak mampu dalam bermasyarakat dan seringkali tidak diikutkan dalam berbagai kegiatan, contohnya karang taruna. Masyarakat sering beranggapan bahwa keadaan anak tersebut dikarenakan oleh dosa orang tua mereka. Orang tua dari anak yang berkebutuhan khusus berada dalam situasi yang sulit karena sebagai seorang ibu, mereka mungkin merasa malu karena anak mereka berbeda dan perasaan malu itu mungkin mengakibatkan anak itu ditolak secara terang-terangan atau tidak terang-terang-terangan. Banyak keluarga yang secara drastis mengubah cara hidup mereka karena kehadiran anak yang cacat mental di dalam keluarga dan hampir sama sekali menarik diri dari kegiatan-kegiatan mayarakat (Semium, 2006).

Pengalaman stres ibu juga dapat bersumber dari dalam diri antara lain perasaan bersalah Reaksi orang tua atau kerabat ketika anak salah satu anggota keluarga dinyatakan terbelakang mental sngat bervariasi. Ada yang

menolak kondisi tersebut bahkan tak jarang menyesali dan terpukul dalam menghadapinya. Tidak sedikit pula orang tua saling menyalahkan, mengingat beberapa kondisi keterbelakangan mental memang dipengaruhi oleh faktor keturunan (Verauli dalam Gunarsa (2006)). Adanya perasaan bersalah melahirkan anak DS memicu praduga yang berlebihan dalam hal keturunan, perasaan tidak beres dengan keturunan ini memicu timbulnya suatu perasaan depresi. Selain itu, orang tua menjadi merasa kurang mampu dalam mengasuh anak sehingga perasaan ini dapat menghilangkan kepercayaan kepada diri sendiri dalam mengasuhnya (Soemantri, 2007). Orang tua biasanya tidak memiliki gambaran mengenai masa depan anaknya yang mengalami keterbelakangan, tidak mengetahui layanan yang dibutuhkan oleh anaknya yang tersedia di masyarakat.

Perasaan malu juga merupakan sumber stres ibu. Harga diri yang menurun pada orang tua yang memiliki anak Down Syndrome terlihat dari perasaan malu yang dialami oleh orang tua terhadap kehadiran anak mereka yang cacat (Magungsong, dkk, 1998 dalam Maulina&Sutatminingsih, 2005). Perasaan malu yang dialami orang tua dapat terlihat dari adanya orang tua yang memasukan dan meninggalkan anaknya di asrama atau menyembunyikan anak tersebut dirumah untuk menghindari ejekan dari masyarakat (Maulina&Sutatminingsih, 2005). Bahkan dari perasaan malu yang timbul itu tak jarang orang tua menolak hadirnya anak mereka. Hal tersebut dapat menyebabkan orang tua berlebihan dalam merawat anak sebagai kompensasi terhadap perasaan menolak. Selain itu, karena adanya

rasa malu yang timbul tak jarang orang tua memiliki kewajiban untuk merawat anak mereka namun melakukannya tanpa memberikan kehangatan (Soemantri, 2007).

Kehilangan kepercayaan untuk memiliki anak yang normal juga merupakan sumber stres ibu. Timbul kekhawatiran dalam diri ibu akan kehadiran anak berikutnya dengan kelainan yang sama. Sebagaimana diketahui bahwa lahirnya anak down syndrome jika dilihat dari penyebabnya dapat menimbulkan resiko berulangnya kelahiran anak dengan kondisi yang sama dalam sebuah keluarga (Norhidayah, dkk. 2013). Mula-mula ibu mampu menyesuaikan diri sebagai orang tua anak tunagrahita, akan tetapi ibu terganggu lagi saat menghadapi peristiwa-peristiwa kritis yang terjadi ketika orang tua mengetahui untuk pertama kali bahwa anak mereka cacat. Peristiwa kritis juga terjadi ketika memasuki usia sekolah, kemampuan anak untuk bersekolah sebagai tanda bahwa anak tersebut normal. Kemudian situasi ketika anak meninggalkan sekolah dan orang tua yang semakin menua sehingga tidak mampu lagi merawat anak (Soemantri, 2007).

Beberapa sumber stres yang ada tentu saja menimbulkan adanya reaksi ibu terhadap stres. Reaksi terhadap stres ini meliputi bentuk stres berupa perasaan negatif seperti timbulnya merasa sedih, gelisah, cemas, mudah menangis, merasa tidak aman, merasa tidak nyaman, mood mudah berubah, merasa sakit hati, dll. Respon terhadap stres juga berupa susah berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, pikiran kacau, melamun berlebihan, produktivitas menurun, dll (Hardjana, 1994). Menurut Malony

& Holt (dalam Prasadio, 1978) bentuk stres ibu yang memiliki anak keterbelakangan mental, dalam hal ini down syndrome berintikan 3D:

“Depression”, “Denial”, “Displacement”. Timbulnya depresi mungkin disebabkan karena macam-macam sebab seperti perasaan malu, merasa salah telah melahirkan anak yang demikian, merasa kecewa, dan merasa kehilangan harga diri. Denial atau tidak mau mengakui kenyataan, menyebabkan orang-orang mengaharapkan suatu keajaiban penyembuhan serta mengakibatkan kelalaian dan pengabaian instruksi-instruksi atau nasihat-nasihat yang diberikan. Disini, displacement dimaksudkan bahwa orang tua kemudian menyalahkan dokter/psikiater yang membuat diagnosa bahwa secara mental anak mereka terbelakang. Kemudian orang tua menjadi peka terhadap segala bentuk kritik dan bersikap berlebihan kepada anak

(overprotection & over rejection).

Ada berbagai reaksi orang tua atau kerabat ketika menyadari bahwa anaknya tergolong luar biasa. Ketika anaknya dinyatakan berbakat kebanyakan orang tua merasa bangga dan bahagia karena memiliki anggota keluarga yang berada diatas batas anak normal pada umumnya. Ketika seorang anak dinyatakan memiliki keterbelakangan mental, sebagian besar orang tua akan merasa terpukul dan menyesali keadaan si anak maupun dirinya sendiri, bahkan menyangkal kondisi tersebut ketika anaknya dianggap berbeda karena berada dibawah batas anak normal pada umumnya (Verauli, dalam Gunarsa (2006)).

Little ((2002) dalam Maulina 2005) menyebutkan bahwa bentuk stres yang dialami ibu ternyata tidak hanya karena permasalahan anak tetapi juga karena adanya perasaan pesimis ibu akan masa depan anak. Secara psikologi stress dipahami sebagai proses yang dijalani seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungan. Deater-Deckard (2004 dalam Lestari 2012) mendefinisikan stress pengasuhan sebagai rangkaian proses yang membawa kondisi psikologis tidak disukai dan reaksi psikologis yang muncul dari dalam diri sebagai upaya beradaptasi dengan tuntutan peran sebagai orang tua. Stress merupakan situasi yang penuh tekanan yang terjadi pada pelaksanaaan tugas pengasuhan anak. Pengasuhan anak bukan proses yang mudah, sehingga dapat dikatakan bahwa pemicu stress antara lain karena masalah anak, dalam hal ini anak down syndrome. Orang tua harus menyediakan banyak waktu dan tenaga untuk mendampingi dan mengajarkan tentang bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bantu diri.

C. Coping Strategy Ibu Untuk Mengatasi Berbagai Stress Dalam Mengasuh