• Tidak ada hasil yang ditemukan

Coping strategy ibu untuk mengatasi stress dalam merawat dan membesarkan anak down syndrome - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Coping strategy ibu untuk mengatasi stress dalam merawat dan membesarkan anak down syndrome - USD Repository"

Copied!
272
0
0

Teks penuh

(1)

COPING STRATEGY IBU UNTUK MENGATASI STRESS DALAM MERAWAT DAN MEMBESARKAN ANAK DOWN SYNDROME

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Veronica Hesti Nur Endahsari 089114064

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

COPING STRATEGY IBU UNTUK MENGATASI STRESS DALAM MERAWAT DAN MEMBESARKAN ANAK DOWN SYNDROME

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Veronica Hesti Nur Endahsari 089114064

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN MOTTO

“Jadilah orang yang berani untuk mengambil tantangan

dan resiko maka kamu akan mengetahui sejauh mana kamu

dapat berjuang!”

“Lihat pohon kelapa itu, makin tinggi makin kencang angin

menerpanya. Begitulah kita, tapi jangan takut karena

angin kencang itu yang menguatkan akarnya.”

(Dahlan Iskan)

“Aku gelisah, tetapi di dalam Engkau ada damai

Di dalam aku ada rasa pahit, di dalam Engkau ada kesabaran

Aku tidak mengerti jalan-jalan-Mu, tetapi Engkau tahu

jalanku”

(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan bagi,

Tuhan Yesus Yang Maha Asik, Maha Oke, Maha Penghibur yang

selalu melindungi, mendampingi , menyemangati dan memberikan

pertolongan pada setiap proses hidupku.

Ibu dan bapak yang selalu memberikan dukungan, doa, semangat

serta cinta yang tulus untukku.

Kakakku Anna yang selalu memberikan motivasi untukku

Nathan, malaikat kecil yang selalu menghibur dan pelepas lelah.

Serta sahabat-sahabat terbaik dalam hidupku, yang selalu mendukung

(7)
(8)

vii

COPING STRATEGY IBU UNTUK MENGATASI STRESS DALAM MERAWAT DAN MEMBESARKAN ANAK DOWN SYNDROME

Veronica Hesti Nur Endahsari ABSTRAK

Ibu yang memiliki anak down syndrome pasti merasa syok, terpukul, takut, dan tidak dapat menerima kenyataan sebenarnya. Hal ini merupakan perasaan yang dialami ibu ketika mengetahui kondisi anak, terlebih lagi ibu harus mengajarkan berbagai hal mengenai pemenuhan kebutuhan sehari-hari secara mandiri kepada anak. Selain itu, ibu juga dihadapkan pada reaksi lingkungan sekitar tentang kondisi anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) Apa saja stres yang dialami ibu yang memiliki anak down syndrome? 2) Bagaimana ibu mengatasi situasi yang menekan/stress terkait hubungannya dalam merawat dan membesarkan anak dengan down syndrome?. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain fenomenologi deskriptif. Pengambilan data menggunakan metode wawancara semi-terstruktur dengan melibatkan 4 orang ibu yang memiliki anak down syndrome usia 6-11 tahun dan duduk dibangku sekolah, subjek dipilih menggunakan criterion sampling. Validitas yang digunakan yaitu validitas komunikatif dan validitas argumentatif. Hasil yang diperoleh yaitu bahwa bentuk stres yang dialami ibu dengan anak down syndrome dapat bersumber dari luar diri dan dari dalam diri. Bentuk stres dari luar diri dapat bersumber dari: 1) Keterbatasan anak yang mencakup keterbatasan perkembangan fisik, keterbatasan perkembangan kognitif, keterbatasan perkembangan emosi, keterbatasan perkembangan sosial, dan keterbatasan perkembangan moral. 2) Lingkungan keluarga, 3) Lingkungan masyarakat, dan 4) Lingkungan sekolah. Stres dari dalam diri dapat bersumber dari: 1) Perasaan bersalah, 2) Kehilangan kepercayaan untuk memiliki anak yang normal, dan 3) Kekhawatiran akan masa depan anak. Situasi stres tersebut menyebabkan ibu mengalami bentuk stres berupa perasaan negatif antara lain: merasa khawatir, merasa sedih, merasa sakit hati, merasa ragu, merasa bingung, merasa keberatan, merasa kecewa, merasa kesulitan, merasa tersinggung, merasa tidak fokus berpikir, dan merasa tidak siap. Ibu menggunakan problem focused coping dan emotion focused coping dalam mengatasi bentuk stres yang dialami. Problem focused coping yang paling dominan digunakan ibu untuk mengatasi bentuk stres yang dialami yaitu active coping, Planning, Suppression of competing activities, Seeking social support for instrumental action. Emotion focused coping yang dominan digunakan ibu untuk mengatasi bentuk stres yang dialami yaitu seeking social support for emotional reason, positif reinterpretation and growth, acceptance, dan turning to religion. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa koping tersebut lebih efektif bagi ibu dalam mengatasi stres.

(9)

viii

MOTHER COPING STRATEGY TO DEAL WITH STRESS IN CARING AND RISING A DOWN SYNDROME CHILD

Veronica Hesti Nur Endahsari ABSTRACT

Mother who had Down syndrome child certainly feel shock, powerless, scared, and cannot receive the truth. Every mother would have same feeling when they know about their child condition, especially mother should have to teach many thing for their child to fulfill their daily need independently. In addition, mothers were exposed to environments reaction about her child condition. The purpose of this study aimed to determine 1) what kinds of stress from mother who had down syndrome child? 2) How does mother cope with stressful situation related to caring for and raising down syndrome child? This study used a qualitative method with phenomenology descriptive design. We used semi-structure interview method to collect the data involved four mother who had down syndrome child in 6 until 11 years old for the range of the age and they have formal study in the school, used criterion sampling to choose the subject. Kinds of validation of this study are communication and argumentation validation. Result of the study is many kinds of stress that mother who had Down syndrome child feel come from inside and the outside of their self. Kinds of stress from the outside come from 1) inadequacy of the child include physic, cognitive, emotion, social, and moral inadequacy development, 2) family, 3) society, and 4) school. Kinds of stress from the inside come from 1) feels of guilty, 2) loose of trust to have a normal child, 3) worried about their child future. That kinds of situation makes mother feel stressful with negative feeling like worried, sad, painful, doubt, confuse, heaviness, disappointed, difficult, offend, cannot mind focus, and feel unready. Mother used problem focused coping and emotion focused coping to face of the stress. Dominant problem focused coping that mother used to cope with stress are active coping, planning, suppression of competing activities, seeking social support for instrumental action. Dominant emotion focused coping that mother used to cope with stress are seeking social support for emotional reason, positive reinterpretation and growth, acceptance, and turning to religion. Overall, it can be conclude that kind of coping is more effective to cope with stress.

(10)
(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus atas segala penyertaan dan berkah yang melimpah sehingga Skripsi dengan judul “Coping Strategy Ibu Untuk Mengatasi Stress Dalam Merawat dan Membesarkan Anak Down Syndrome” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Selama menulis Skripsi ini, penulis menyadari bahwa ada begitu banyak pihak yang telah berkontribusi besar dalam proses pengerjaan Skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi.

2. Ibu Agnes Indar Etikawati M. Si., Psi selaku dosen pembimbing akademik yang selalu mendorong untuk menyelesaikan skripsi.

3. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih atas bimbingan, kerjasama, ilmu, perhatian, dan support yang telah diberikan hingga Skripsi ini selesai pada waktu yang telah ditentukan-Nya. 4. Ibu Agnes Indar Etikawati, M. Si., Psi dan bapak V. Didik Suryo Hartoko, M.

Si selaku dosen penguji skripsi.

5. Mas Gandung, Ibu Nanik, Mas Doni, dan Mas Muji, Pak Gie, terima kasih atas keramahan dan pelayanan yang begitu hangat selama menimba ilmu di Fakultas Psikologi

(12)

xi

7. Segenap keluarga Fx. Hadi Sudarto dan Hiring Joyo Rejo atas dukungannya dari awal saya memilih jurusan hingga saat ini.

8. Sahabatku tercinta Priscilla Pritha Pratiwindya, S.psi yang selalu mendukung, mendoakan, menghibur, dan terima kasih atas persahabatan yang indah ini. 9. Sahabat–sahabat saya Teyo, Obi, dan Ryo untuk kebersamaan, keceriaan,

semangat, pengalaman yang telah terjalin selama ini.

10. Geng Rempong: Noni, Dian, Sita, Valle, Sari, Ledita, Selly, Cik Grace, Anggita, Lusi, Riana, Jose, Anggito terima kasih atas segala kebersamaan, dukungan, dan pengalaman yang telah diberikan.

11. Anggit, Andre, dan Martinus bersama kalian aku dapat menjadi diriku sendiri. 12. Pihak SLB YPAA Prambanan yang telah merekomendasikan subjek kepada

peneliti.

13. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini, terima kasih. Saya menyadari dalam pembuatan skripsi ini ada kesalahan yang saya perbuat. Oleh karena itu saya mengucapkan maaf kepada semua pihak yang telah dirugikan. Penelitian ini juga masih jauh dari kata sempurna sehingga besar harapan saya untuk mendapatkan kritik dan saran yang membangun demi perkembangan penelitian selanjutnya. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 8 Agustus 2014 Penulis,

(13)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

(14)

xiii

2. Manfaat Praktis ... 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Down Syndrome ... 11

1. Pengertian Down Syndrome ... 11

2. Karakteristik Anak Down Syndrome ... 12

a. Perkembangan Fisik ... 12

b. Perkembangan Kognitif ... 15

c. Perkembangan Emosi ... 18

d.Perkembangan Sosial ... 19

e. Perkembangan Moral ... 20

3. Penyebab Down Syndrome ... 21

B. Stress ... 23

1. PengertianStress ... 23

2. Bentuk Stres ... 24

3. Sumber Stres Pada Ibu yang Memiliki anak Down Syndrome ... 25

C. Coping Strategy Ibu Untuk Mengatasi Berbagai Stress Dalam Mengasuh Anak Down Syndrome ... 32

D. Kerangka Konseptual ... 38

BAB III. METODE PENELITIAN ... 43

A. Desain Penelitian ... 43

B. Fokus Penelitian ... 44

C. Subjek Penelitian ... 45

(15)

xiv

E. Metode Analisis Data ... 50

F. Kredibilitas Data ... 52

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Proses Penelitian ... 54

1. Persiapan Penelitian ... 54

2. Pelaksanaan Penelitian ... 55

3. Proses Analisis Data ... 56

4. Jadwal Pengambilan Data ... 58

B. Hasil Penelitian ... 60

C. Subjek 1 (SL) ... 62

1. Deskripsi subjek 1(SL) ... 62

2. Stres dan coping strategy SL ... 64

3. Kesimpulan stres yang dialami dan coping strategy yang digunakan SL ... 82

D. Subjek 2 (SH) ... 86

1. Deskripsi subjek SH ... 86

2. Stres dan coping strategy SH ... 88

3. Kesimpulan stres yang dialami dan coping strategy yang digunakan SH ... 100

E. Subjek 3 (SG) ... 104

1. Deskripsi subjek SG ... 104

(16)

xv

SG ... 118

F. Subjek 4 (RT) ... 122

1. Deskripsi subjek RT ... 122

2. Stres dan coping strategy RT ... 124

3. Kesimpulan stres yang dialami dan coping strategy yang digunakan RT ... 147

G. Analisis Antar subjek ... 152

1. Persamaan Bentuk Stres dan Coping Strategy 4 Subjek Penelitian . 152 2. Perbedaan Data Hasil Analisis 4 Subjek Penelitian ... 159

H. Pembahasan ... 162

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 173

A. Kesimpulan ... 173

B. Keterbatasan Penelitian ... 177

C. Saran ... 177

1. Bagi Peneliti Selanjutnya……….. 177

2. Peneliti Selanjutnya ... 177

3. Bagi Sekolah Berkebutuhan Khusus/SLB ... 178

4. Bagi Ibu Dengan Anak Down Syndrome ... 178

5. Bagi Masyarakat... 178

DAFTAR PUSTAKA ... 179

(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bentuk Mata dan Wajah Anak Down Syndrome ... 13

Gambar 2. Bentuk Kepala dan Leher Anak Down Syndrome ... 13

Gambar 3. Bentuk Jari dan Garis Tangan Anak Down Syndrome ... 14

Gambar 4. Bentuk Kaki Anak Down Syndrome ... 14

DAFTAR BAGAN Bagan 1. Kerangka Konseptual Penelitian ... 38

Bagan 2. Bagan Kesimpulan Sumber Stres, Bentuk Stres dan Strategi Koping Subjek 1 (SL) ... 85

Bagan 3. Bagan Kesimpulan Sumber Stres, Bentuk Stres, dan Strategi Koping Subjek 2 (SH) ... 103

Bagan 4. Bagan Kesimpulan Sumber Stres, Bentuk Stres, dan Strategi Koping Subjek 3 (SG) ... 121

Bagan 5. Bagan Kesimpulan Sumber Stres, Bentuk Stres, dan Strategi Koping Subjek 4 (RT) ... 151

(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Pertanyaan Wawancara ... 47

Tabel 2. Jadwal Wawancara ... 58

Tabel 3. Analisis Verbatim Subjek 1 (SL) ... 183

Tabel 3. Analisis Verbatim Subjek 2 (SH)... 196

Tabel 4. Analisis Verbatim Subjek 3 (SG) ... 207

Tabel 5. Analisis Verbatim Subjek 4 (RT)... 220

Tabel 6. Pembagian Stres dan Coping Strategy ... 236

\ DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Analisis Verbatim Subjek 1 (SL)... 183

Analisis Verbatim Subjek 2 (SH) ... 196

Analisis Verbatim Subjek 3 (SG) ... 207

Analisis Verbatim Subjek 4 (RT) ... 220

Pembagian Stres dan Coping Strategy ... 236

Lampiran 2. Informed Concent Form ... 246

(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Seorang wanita akan bahagia dan bangga ketika mengetahui bahwa ia hamil dan akan melahirkan seorang anak. Seorang calon ibu pasti mengidamkan anak yang normal baik fisik maupun mental, namun bagaimana jika bayi yang dilahirkan tidak sesempurna dan seideal yang didambakan? Pada hal ini anak terlahir dengan kondisi down syndrome. Tentu saja tidak semua orang dapat menerima keadaan anak yang demikian. Reaksi umum yang terjadi saat mengetahui kondisi anak adalah merasa kaget, takut, sedih, kecewa, merasa bersalah, dan menolak karena sulit untuk mempercayai retardasi mental anaknya. Kondisi tersebut memicu tekanan dan kesedihan terhadap orang tua khususnya ibu sebagai figur terdekat dan umumnya lebih banyak berinteraksi langsung dengan anak (Mawardah, dkk. 2012).

(20)

gemuk, lipatan kelopak mata bagian atas yang memanjang melewati sudut bagian dalam mata, hidung lebar dan datar, dan rambut yang lurus yang tipis dan halus. Telinga berbentuk persegi, lidah menjulur keluar karena mulut yang kecil dengan langit-langit yang rendah, serta tangan pendek dengan lebar jari-jari yang pendek juga. (Davidson, Neale, & Kring, 2006).

Malony dan Holt (dalam Prasadio, 1978) memaparkan bahwa reaksi orang tua dalam menghadapi anak mereka yang retardasi mental berintikan 3D yaitu depression, denial, dan displacement. Depresi tersebut disebabkan oleh perasaan malu, perasaan bersalah telah melahirkan anak dengan kondisi demikian, merasa kecewa, dan merasa kehilangan harga diri. Denial/tidak mau mengakui kenyataan membuat orang tua lalai dan megabaikan instruksi-instruksi atau nasihat yang diberikan. Displacement yaitu kadang orang tua menyalahkan dokter yang membuat diagnosa atas anak mereka dan kemudian menjadi sangat peka terhadap segala bentuk kritik sehingga bersikap berlebihan kepada anak (Prasadio, 1978).

(21)

mengetahui hal tersebut. Tak jarang pula ibu menyembunyikan dan memingit anak. Anak disembunyikan dari dunia luar agar orang lain tidak mengetahui, misalnya dengan mengunci anak di dalam kamar dalam kurun waktu berhari-hari tanpa memperhatikan keperluan dan kebutuhan anak. Sikap ibu yang cenderung menolak anak akan semakin menjadi-jadi apabila hal tersebut didorong oleh kondisi ibu yang sedang memilki persoalan-persoalan dalam membina rumah tangga, sehingga dapat memicu proteksi yang berlebihan pada anak. Proteksi yang berlebihan terhadap anak dapat membuat ibu lalai terhadap keberadaan dan kebutuhan anggota keluarga yang lain. Kesenangan dan kebahagiaan anggota keluarga yang lain sering dikorbankan demi memenuhi kebutuhan anak tersebut. (Prasadio, 1978).

(22)

orang tua anak tersebut meminta agar anak mereka dapat naik kelas dan diikutkan dalam beberapa pelajaran tambahan. Hal itu dilakukan karena orang tua anak tersebut mengenal wali kelas anak dan menginginkan anak agar tetap bersekolah disekolah umum (Roslina dalam Gunarsa (2006)).

Perasaan cemas ibu akan masa depan anak juga bersumber dari adanya tuntutan untuk mengajarkan dan mempersiapkan anak agar menjadi mandiri dan dapat melakukan bantu diri. Mengajarkan untuk berbicara meski yang anak katakan sulit untuk dipahami dikarenakan ciri fisik yang khas yaitu memiliki lidah yang lebih panjang sehingga menyulitkan untuk berbicara seperti halnya orang normal pada umumnya, mengajarkan cara untuk makan, berpakaian, dan mandi juga merupakan hal yang tidak mudah. Diperlukan ketelatenan dan kesabaran dalam melatih kemandirian anak. Tenaga, waktu, perhatian, dan finansial yang dibutuhkan lebih besar daripada merawat anak normal seperti umumnya.

(23)

Perjalanan kehidupan sosial anak down syndrome tidak semulus dan sebaik anak normal pada umumnya (Sulistyasti, 2011). Masyarakat maupun orang-orang yang sering bergaul dengan ibu yang memiliki anak DS seringkali mengolok-olok dengan sebutan idiot. Anak down syndrome juga dapat menjadi sasaran empuk bagi teman sebaya untuk diejek dan digoda, sehingga tak jarang orang tua sering tidak mengijinkan anak mereka untuk bermain dengan teman sebayanya. Tanggapan masyarakat terhadap anak down syndrome sangat beragam dan bahkan mendiskriminasi keberadaan anak down syndrome. Anak

down syndrome sering dicemooh, dianggap sampah masyarakat, dianggap sebagai orang yang perlu untuk dikasihani, dan sebagai orang yang tidak berguna atau tidak dibutuhkan. Lebih ekstrimnya, masyarakat dapat menolak anak berkebutuhan khusus ini untuk menjadi bagian dari komunitas dan meniadakan keberadaannya. Bahkan ada oknum yang rela memanfaatkan ketidaksempurnaan anak down syndrome untuk meminta-minta dan diperlakukan semena-mena sehingga keberadaan mereka menjadi semakin tersisih.

(24)

mereka merasa bahwa mereka “berbeda” dengan lingkungan sekelilingnya. Hal ini dapat menghambat anak down syndrome untuk mengembangkan potensi diri karena kesempatan untuk belajar menjadi sangat terbatas atau bahkan tidak memiliki kesempatan sama sekali. Sikap masyarakat yang demikian membuat orang tua menjadi lebih protektif terhadap anak dan kemungkinan anak untuk dapat hidup mandiri secara sosial dan ekonomi menjadi sangat jauh didepan

mata. Sedikit anak dengan “keluarbiasaannya” dapat hidup secara mandiri dan

kebanyakan masih tergantung pada orang lain baik secara sosial maupun ekonomi. Kenyataannya, anak berkebutuhan khusus termasuk anak DS perlu untuk dididik dan dilatih karena mereka memiliki hak yang sama sebagai anggota masyarakat (Anonim, 2011).

(25)

umumnya berupa perasaan negatif seperti merasa sedih, merasa gelisah, merasa cemas, mudah menangis, merasa tidak aman, merasa tidak nyaman, mood

mudah berubah, merasa sakit hati, dan lain sebagainya.

Ibu sebagai orang tua pasti disibukan dengan mencari sebanyak-banyaknya informasi mengenai cara untuk menghadapi kekhususan anak, termasuk mencari informasi mengenai sekolah yang sosok untuk anak. Menurut Lessenberry & Rehfeldt, (2004, dalam Semiawan., Conny, & Magungsong, 2010) ibu dari anak-anak berkebutuhan khusus seringkali bergelut dengan perasaan bersalah atas kondisi anaknya. Dalam kebanyakan kasus, rasa bersalah merupakan salah satu bentuk stres perasaan negatif yang paling banyak dialami. Ibu dapat menjadi sangat rapuh terhadap kritik dari pihak lain tentang bagaimana menangani masalah anak, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan anak sehari-hari. Dari beberapa penelitian yang dilakukan, ibu yang memiliki anak down syndrome mengalami stres yang lebih berat dibandingkan dengan orang tua lainnya. Stres yang dialami bukan karena rangkaian kejadian yang tidak menyenangkan. Melainkan tekanan terhadap konsekuensi pengasuhan anak sehari-hari. (Semiawan, Conny, & Magungsong, 2010).

(26)

lebih mengarah pada yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi (Siswanto. 2007). Pola

coping ini diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang muncul misalnya kurangnya pengetahuan dan informasi ibu mengenai anak down syndrome sehingga membutuhkan langkah aktif seperti perencanaan terhadap perawatan dan penanganan anak down syndrome sehingga ibu tidak merasa putus asa terhadap masa depan anaknya yang yang bisa di antisipasi lebih awal. Sejalan dengan perencanaan diatas ibu bisa lebih memiliki pemikiran dan tindakan yang positif dan menjadi lebih optimis terhadap anak down syndrome

ini dengan bimbingan ibu dan tenaga profesional akan bisa berfungsi terhadap kehidupan anak down syndrome dengan lebih baik.

B.Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

a. Apa sajakah bentuk stres yang dialami ibu yang memiliki anak Down Syndrome?

b. Bagaimana ibu mengatasi bentuk stres yang dialami terkait hubungannya dalam merawat dan membesarkan anak dengan down syndrome?

C.Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain:

(27)

b. Mengetahui strategi koping yang dilakukan ibu untuk mengatasi stres yang muncul seiring usahanya dalam merawat dan membesarkan anak Down Syndrome

D.Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi pengetahuan dalam bidang psikologi, terutama psikologi klinis karena nantinya akan diketahui gambaran coping stress ibu dalam merawat dan membesarkan anak Down Syndrome.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Ibu dengan Anak Down Syndrome

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai Strategy coping stres yang baik bagi ibu dalam merawat anak

Down Syndrome. Sehingga dapat digunakan sebagai bahan evalusi bagi ibu untuk lebih menignkatkan usahanya dalam merawat anak.

b. Bagi Instansi Pendidikan

(28)

c. Bagi Masyarakat Luas

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Down Syndrome

1. Pengertian Down Syndrome

Tanda-tanda klinis down syndrome pertama kali ditemukan oleh dokter berkebangsaan Inggris, Langdon Down pada tahun 1866. Secara normal manusia memiliki 46 kromosom, 23 kromosom diturunkan oleh ayah dan 23 kromosom lainnya diturunkan oleh ibu. Para penderita Sindroma Down pada umumnya memiliki 47 kromosom dan bukan 46 kromosom. Ketika terjadi pematangan telur, dua kromosom pada pasangan kromosom 21, yaitu kromosom terkecil, gagal membelah diri. Jika telur bertemu sperma, akan terdapat 3 kromosom 21 atau yang lebih sering didengar dengan istilah trisomi 21. Sekitar 40 persen anak-anak dengan

down syndrome memiliki masalah jantung, sejumlah kecil dapat mengalami penyumbatan saluran pencernaan, dan sekitar 1 dari 6 anak meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun. Angka kematian tinggi setelah usia 40 tahun.

(30)

mengungkapkan bahwa down syndrome dapat ditemukan pada lebih dari seorang anak dalam satu keluarga.

2. Karakteristik Anak Down Syndrome

a. Perkembangan fisik

Anak-anak atau orang-orang yang mengalami down syndrome

pada umumnya memiliki tanda-tanda fisik yang khas, antara lain: wajahnya lebar, hidung pesek atau tumpul dan lebar, letak matanya miring, lubang matanya sempit dan sipit, mulutnya menganga terbuka, kulit halus berlemak dan otot-otot atau uratnya lemah, lidahnya tebal dan besar tetapi lunak, biasanya selalu menjulur keluar. Lidahnya kecil sekali, runcing, kasar, juga terbelah-belah. Otaknya tidak tumbuh dengan sempurna karena ada kerusakan pada alat pernapasan; ada oedema

(31)

1). Bentuk kepala mereka cenderung peyang dengan leher yang pendek (lihat pada gambar 2).

Gambar 1. Bentuk mata yang condong kearah atas dan jarak mata yang berjauhan, hidung lebar dan datar dan tidak ada jembatan hidung. Rambut

lemas dan tipis, pertumbuhan gigi yang tidak beratuan. Sumber: wandarisakotta.blogspot.com

Gambar 2. Bentuk leher yang pendek dan kepala yang cenderung peyang. Sumber: dokumen pribadi

Tangan anak DS lebih pendek dengan lebar jari-jari yang pendek (Davidson, Neale, & Kring. 2006). Anak down syndrome juga memiliki kelingking yang bengkok. Pada kelingking orang normal, terdapat tiga ruas tulang maka pada anak down syndrome ruas kedua jari kelingking mereka kadang tumbuh miring atau bahkan tidak tumbuh sama sekali. Telapak tangan anak down syndrome biasanya hanya terdapat satu garis urat yang dinamakan “simian crease” (lihat gambar 3). Bentuk kaki anak

(32)

Anak DS juga memiliki otot yang lemah sehingga tidak mampu menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan kasar.

Gambar 3: bentuk jari dan simian crease/ garis telapak tangan Sumber: www.anak-spesial.blogspot.com dan

http://mycommunicationforum.wordpress.com/category/down-syndrome/

Gambar 4: Bentuk kaki, jarak antara ibu jari dengan jari lainnya lebih lebar. Sumber:

http://mycommunicationforum.wordpress.com/category/down-syndrome/

(33)

keluar karena mulut yang kecil dengan langit-langit yang rendah. Keterbatasan fisik tersebut membuat anak menjadi tergantung pada orang tua maupun orang terdekat dalam melakukan kegiatan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari (Semium, 2006).

Pada perkembangan seksualitasnya, anak down syndrome tidak mengenal seksualitas atau masa pubertas yang biasanya mengganggu. Anak down syndrome tidak diliputi perasaan cemas dan tidak mengalami perwujudan perasaan yang menuju kedewasaan. Anak perempuan membutuhkan lebih banyak pendampingan dan bantuan ketika sedang mengalami masa-masa menstruasi. Semium, 2006 mengungkapkan bahwa anak-anak gadis mengalami saat menstruasi yang sangat lambat. Ia sangat sensitif terhadap temperatur serta mudah sekali jatuh sakit.

b. Perkembangan Kognitif

(34)

tanpa pengertian atau cenderung membeo. Meskipun mengalami retardasi mental, beberapa diantara anak-anak tersebut mampu belajar membaca, menulis, dan mengerjakan aritmetika (Davidson, Neale, & Kring. 2006). Robinson&Robinson ((1976) dalam Davidson, Neale, & Kring. 2006) menyebutkan bahwa menurut DSM IV-TR terdapat empat level retardasi mental, antara lain: retardasi mental ringan (IQ 50-55 hingga 70), retardasi mental sedang (IQ 35-40 hingga 50-55), retardasi mental berat (IQ 20-25 hingga 35-40), dan retardasi mental sangat berat (IQ dibawah 20-25).

(35)

makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya. Untuk kehidupan sehari-hari, anak down syndrome membutuhkan pengawasan yang terus menerus. Mereka juga masih dapat bekerja di termpat kerja terlindung/sheltered workshop (Soemantri, 2007).

Anak normal memiliki keterampilan kognitif yang lebih unggul daripada anak down syndrome, anak normal memiliki kaidah dan strategi dalam memecahkan masalah sedangkan anak down syndrome bersifat

trial and eror. Anak down syndrome jauh ketinggalan oleh anak normal dalam kecepatan belajar karena anak lebih banyak memerlukan ulangan tentang bahan tersebut. Walaupun demikian, anak tunagrahita dapat mencapai presatasi lebih baik dalam tugas-tugas diskriminasi misalnya mengumpulkan bentuk-bentuk dan pola yang berbeda apabila dilakukan dengan penuh pengertian.

Ketepatan (keakuratan) respon anak down syndrome kurang daripada respon anak normal. Zaenal Alimin (1993, dalam Soemantri, 2007) melaporkan hasil penelitian mengenai kecepatan merespon anak

down syndrome terhadap gambar yang tidak lengkap. Pada umumnya, MA anak pada rentang kurang lebih 6,5 tahun memiliki performance

(36)

dan tidak memiliki strategi dalam menyelesaikan tugas itu. Fleksibilitas mental yang kurang mengakibatkan kesulitan dalam pengorganisasian bahan yang akan dipelajari, sehingga sukar menangkap informasi yang kompleks.

c. Perkembangan Emosi

Magungsong (1998) menyebutkan bahwa anak DS memiliki emosi yang datar, kurang mendalam, dan cepat kabur. Kadang-kadang dapat menjadi sedih dan marah, tetapi pada umumnya suasana hati semacam ini akan mudah hilang. Anak down syndrome memang anak-anak yang gembira dan akan menjadi lebih gembira lagi apabila berada dalam lingkungan yang menyenangkan hatinya. Anak tunagrahita berat tidak dapat menunjukkan dorongan pemeliharaan dirinya sendiri, tidak bisa menunjukkan rasa lapar atau haus, dan tidak dapat menghindari bahaya. Pada anak tunagrahita sedang, dorongan berkembang lebih baik tetapi kehidupan emosinya terbatas pada emosi-emosi sederhana. Pada anak terbelakang ringan, kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan anak normal akan tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita dapat memperlihatkan kesedihan tapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu serta dapat mengekspresikan kegembiraan, namun sulit mengungkapkan kegaguman.

Dari penelitian yang dilakukan Mac Iver dengan menggunakan

(37)

beberapa kekurangan. Anak tunagrahita pria memiliki kekurangan berupa tidak matangnya emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsif, lancang, dan merusak. Anak tunagrahita wanita mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri, dan cenderung melanggar ketentuan.

Penyesuaian diri merupakan proses psikologi yang terjadi ketika kita menghadapi berbagai situasi. Seperti anak normal, anak tunagrahita menghayati suatu emosi jika kebutuhannya terhalangi. Selain itu, dalam hubungan kesebayaan, seperti halnya anak kecil, anak tunagrahita menolak anak yang lain. Setelah bertambah umur, anak akan mengadakan kontak dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat kerjasama. Berbeda dengan anak normal, anak tunagrahita jarang diterima, sering ditolak oleh kelompok, serta jarang menyadari posisi diri dalam kelompok.

d. Perkembangan Sosial

(38)

bukan karena adanya masalah kerusakan artikulasi namun pusat pengolahan perbendaharaan kata yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Maka anak memerlukan kata-kata konkret dalam mendengarkan sesuatu. Perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang. Latihan seperti mengajarkan konsep keras dan lemah, besar dan kecil, pertama, kedua, dan terakhir perlu menggunakan pendekatan yang konkret.

Kemampuan dalam membedakan mana yang baik dan buruk, mempertimbangkan sesuatu, dan membedakan yang benar dan yang salah juga masih sangat kurang. Ini semua karena kemampuannya yang terbatas sehingga anak dengan keterbelakangan mental tidak dapat membayangkan konsekuensi dari suatu perbuatan. Kergantungan terhadap orang tua sangat besar dan anak tidak mampu memikul tanggungjawab sosial dengan bijaksana, sehingga harus selalu dibimbing dan diawasi. Anak cenderung mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.

e. Perkembangan Moral

Kata moral berasal dari kata latin “Mores” yang berarti tatacara,

(39)

merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Perilaku ini dapat terjadi karena adanya ketidaksetujuan dengan standar sosial atau karena adanya perasaan wajib untuk menyesuaikan diri. Perilaku amoral atau nonmoral lebih disebabkan oleh ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok. Beberapa diantara perilaku salah anak kecil lebih bersifat amoral daripada tidak bermoral.

Belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarkat merupakan proses yang panjang dan lama yang terus berlanjut hingga masa remaja. Terdapat beberapa pokok dalam mempelajari sikap moral antara lain mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggota sebagaimana dicantumkan dalam hukum, kebiasaan, dan peraturan, mengembangkan hati nurani atau kemampuan untuk mengenali yang baik dan yang buruk, belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu bila perilaku individu tidak sesuai dengan harapan kelompok. Selain itu juga memiliki kesempatan untuk interaksi sosial dan belajar mengenai apa saja yang diharapkan kelompok.

3. Penyebab Down Syndrome

(40)

salinan sel yang mati dan satu sel dengan tiga kopi yang membelah sehingga menghasilkan orang dengan Down Syndrome (Durand&Barlow. 2007).

Down syndrome juga dapat disebabkan oleh faktor usia ibu ketika mengandung. Semakin tua usia ibu maka semakin tinggi peluang ibu untuk melahirkan anak dnegan down syndrome. Perempuan yang berumur 20 tahun memiliki peluang 1 per 2000 untuk memiliki anak dengan Down Syndrome. Pada usia 35 tahun resiko ini dapat meningkat menjadi 1 per 500, dan pada usia 45 tahun resikonya dapat mencapai 1 per 18 kelahiran (Evans dan Hammerton, 1985; Hook, 1982 dalam Durand&Barlow. 2007). Sebagian orang menduga bahwa perempuan yang lebih tua terpapar lebih banyak zat beracun, radiasi, dan substansi-substansi yang mungkin merugikan dalam jangka waktu yang lebih lama dibanding dengan mereka yang lebih muda. Paparan ini mungkin mengganggu meiosis (proses pembelahan) kromosom yang normal, sehingga menciptakan kromosom ekstra pada kromosom 21 (Pueschel dan Goldstein, 1991 dalam Durand&Barlow. 2007).

(41)

tersebut telah diekspos kepada stres-stres lingkungan yang bsia mengganggu mitosis secara normal (Semium, 2006). Selain itu, usia ibu yang terlalu tua ketika mengandung juga mempengaruhi kurangnya produksi lendir-lendir, hormon-hormon, dan zat lainnya. Hal tersebut dapat memicu lahirnya anak yang tidak sempurna dan biasanya sering terjadi pada anak bungsu. Penyebab lain yaitu karena terjadinya pendarahan pada vagina atau gangguan pada kandungan/rahim ibu. Faktor ayah tidak begitu besar pengaruhnya tetapi faktor ibu sangat menentukan sekali.

Faktor lain yaitu karena keturunan/faktor biologis. Pada umumnya mereka lahir secara normal dan gejala-gejala mogoloid baru tampak ketika anak menginjak kira-kira usia 6 bulan. Hal pertama yang nampak yaitu perkembangan jasmani yang lambat, ukuran badan yang kurang dan pertumbuhan mental yang lambat.

B. STRESS

1. Pengertian stres

(42)

dapat didefinisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya.

2. Bentuk Stres

(43)

dampak bagi fisik (sakit kepala, mual, perubahan selera makan, dll), emosi (merasa sedih, gelisah, cemas, mudah menangis, merasa tidak aman, merasa tidak nyaman, mood mudah berubah, merasa sakit hati, dll), intelektual (susah berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, pikiran kacau, melamun berlebihan, produktivitas menurun, dll). Stres membawa dampak pada hubungan interpersonal baik di dalam atau diluar rumah (kehilangan kepercayaan terhadap orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain, mengambil sikap terlalu membentengi diri dari orang lain, mudah membatalkan janji/ingkar janji).

3. Sumber Stres Pada Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome

(44)

harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit demi membiayai terapi yang mungkin dilakukan lebih dari sekali dalam seminggu. Tentu saja orang tua juga harus dapat melatih fisik dan wicara anak dirumah agar stimulasi yang diperoleh anak tidak hanya didapat dari terapi dan kemajuan anak dapat tercapai (Triana &Andriyani, 2005).

Perkembangan kognitif anak yang berada dibawah rata-rata dan mengalami keterbelakangan, pasti membuat orang tua mengalami bentuk stres berupa perasaan khawatir akan masa depan anak, terlebih lagi jika anak belum bisa mandiri dan belum memiliki keahlian/keterampilan. Orang tua masih harus mencari sekolah yang menyediakan pendidikan khusus bagi anak tunagrahita, terlebih lagi sekolah yang memfokuskan pada pengembangan keahlian/keterampilan anak (Triana&Andriany, 2005).

(45)

bersumber dari perkembangan moral anak dimana ibu harus mengajarkan mengenai kesopanan, kedisiplinan, dan hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Secara fisiologis, orang tua menghabiskan banyak waktu, energi, dan kesabaran untuk merawat anak. Harus mengelola kesehatan anak, emosi anak, dan masalah perilaku serta mengajarkan anak tentang cara merawat diri sehari-hari. Hal tersebut menyebabkan orang tua sering membatasi waktu untuk diri mereka sendiri (Barnett&Boyce, 1995; Shek & Tsang, 1993; Singhi, Goyal, Pershad, & Walia, 1990 dalam Lam & Mackenzie, 2002).

Sumber stres lain adalah lingkungan keluarga. Lahirnya anak cacat (down syndrome) selalu merupakan tragedi dan reaksi ibu berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, misalnya apakah kecacatan tersebut dapat segera diketahui atau terlambat diketahui (Soemantri, 2007). Sama seperti yang dialami oleh orang tua, saudara kandung dapat dan sering kali mengalami reaksi emosional seperti takut, marah, rasa bersalah dan sebagainya. Bahkan dalam beberapa hal saudara kandung lebih memiliki masalah yang sulit dibandingkan dengan orang tuanya dalam menyesuaikan diri dengan perasaan-perasaan ini, terutama pada saat mereka berusia belia. Bahkan anak yang memiliki saudara kandung penyandang down syndrome

dapat merasa diduakan. Berpikir bahwa kasih sayang yang diberikan orang tua berbeda dan lebih mengutamakan saudaranya yang down syndrome,

(46)

besar dari rata-rata anak lain karena seringkali saudara kandung melihat perhatian dan perlakuan orang tua yang berbeda terhadap dirinya dengan saudara kandungnya yang memiliki kebutuhan khusus (Semiawan&Magungsong. 2010). Hal ini dapat menjadi sumber stres bagi ibu karena orang tua harus memikirkan cara untuk mengasuh anak-anak mereka agar tidak timbul rasa iri. Tak jarang ibu mengalami bentuk stres berupa perasaan sedih karena adanya kecemburuan antar anak.

Lingkungan masyarakat pada umumnya sulit menerima individu yang berkekurangan termasuk individu penyandang keterbelakangan mental. Anak down syndrome dianggap tidak mampu dalam bermasyarakat dan seringkali tidak diikutkan dalam berbagai kegiatan, contohnya karang taruna. Masyarakat sering beranggapan bahwa keadaan anak tersebut dikarenakan oleh dosa orang tua mereka. Orang tua dari anak yang berkebutuhan khusus berada dalam situasi yang sulit karena sebagai seorang ibu, mereka mungkin merasa malu karena anak mereka berbeda dan perasaan malu itu mungkin mengakibatkan anak itu ditolak secara terang-terangan atau tidak terang-terang-terangan. Banyak keluarga yang secara drastis mengubah cara hidup mereka karena kehadiran anak yang cacat mental di dalam keluarga dan hampir sama sekali menarik diri dari kegiatan-kegiatan mayarakat (Semium, 2006).

(47)

menolak kondisi tersebut bahkan tak jarang menyesali dan terpukul dalam menghadapinya. Tidak sedikit pula orang tua saling menyalahkan, mengingat beberapa kondisi keterbelakangan mental memang dipengaruhi oleh faktor keturunan (Verauli dalam Gunarsa (2006)). Adanya perasaan bersalah melahirkan anak DS memicu praduga yang berlebihan dalam hal keturunan, perasaan tidak beres dengan keturunan ini memicu timbulnya suatu perasaan depresi. Selain itu, orang tua menjadi merasa kurang mampu dalam mengasuh anak sehingga perasaan ini dapat menghilangkan kepercayaan kepada diri sendiri dalam mengasuhnya (Soemantri, 2007). Orang tua biasanya tidak memiliki gambaran mengenai masa depan anaknya yang mengalami keterbelakangan, tidak mengetahui layanan yang dibutuhkan oleh anaknya yang tersedia di masyarakat.

(48)

rasa malu yang timbul tak jarang orang tua memiliki kewajiban untuk merawat anak mereka namun melakukannya tanpa memberikan kehangatan (Soemantri, 2007).

Kehilangan kepercayaan untuk memiliki anak yang normal juga merupakan sumber stres ibu. Timbul kekhawatiran dalam diri ibu akan kehadiran anak berikutnya dengan kelainan yang sama. Sebagaimana diketahui bahwa lahirnya anak down syndrome jika dilihat dari penyebabnya dapat menimbulkan resiko berulangnya kelahiran anak dengan kondisi yang sama dalam sebuah keluarga (Norhidayah, dkk. 2013). Mula-mula ibu mampu menyesuaikan diri sebagai orang tua anak tunagrahita, akan tetapi ibu terganggu lagi saat menghadapi peristiwa-peristiwa kritis yang terjadi ketika orang tua mengetahui untuk pertama kali bahwa anak mereka cacat. Peristiwa kritis juga terjadi ketika memasuki usia sekolah, kemampuan anak untuk bersekolah sebagai tanda bahwa anak tersebut normal. Kemudian situasi ketika anak meninggalkan sekolah dan orang tua yang semakin menua sehingga tidak mampu lagi merawat anak (Soemantri, 2007).

(49)

& Holt (dalam Prasadio, 1978) bentuk stres ibu yang memiliki anak keterbelakangan mental, dalam hal ini down syndrome berintikan 3D:

“Depression”, “Denial”, “Displacement”. Timbulnya depresi mungkin

disebabkan karena macam-macam sebab seperti perasaan malu, merasa salah telah melahirkan anak yang demikian, merasa kecewa, dan merasa kehilangan harga diri. Denial atau tidak mau mengakui kenyataan, menyebabkan orang-orang mengaharapkan suatu keajaiban penyembuhan serta mengakibatkan kelalaian dan pengabaian instruksi-instruksi atau nasihat-nasihat yang diberikan. Disini, displacement dimaksudkan bahwa orang tua kemudian menyalahkan dokter/psikiater yang membuat diagnosa bahwa secara mental anak mereka terbelakang. Kemudian orang tua menjadi peka terhadap segala bentuk kritik dan bersikap berlebihan kepada anak

(overprotection & over rejection).

(50)

Little ((2002) dalam Maulina 2005) menyebutkan bahwa bentuk stres yang dialami ibu ternyata tidak hanya karena permasalahan anak tetapi juga karena adanya perasaan pesimis ibu akan masa depan anak. Secara psikologi stress dipahami sebagai proses yang dijalani seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungan. Deater-Deckard (2004 dalam Lestari 2012) mendefinisikan stress pengasuhan sebagai rangkaian proses yang membawa kondisi psikologis tidak disukai dan reaksi psikologis yang muncul dari dalam diri sebagai upaya beradaptasi dengan tuntutan peran sebagai orang tua. Stress merupakan situasi yang penuh tekanan yang terjadi pada pelaksanaaan tugas pengasuhan anak. Pengasuhan anak bukan proses yang mudah, sehingga dapat dikatakan bahwa pemicu stress antara lain karena masalah anak, dalam hal ini anak down syndrome. Orang tua harus menyediakan banyak waktu dan tenaga untuk mendampingi dan mengajarkan tentang bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bantu diri.

C. Coping Strategy Ibu Untuk Mengatasi Berbagai Stress Dalam Mengasuh Anak Down Syndrome

(51)

pada umumnya, perkembangan emosi dimana emosi anak DS lebih bersifat kabur dan dapat dengan mudah merasakan gembira maupun marah. Kemudian keterbatasan sosial, perkembangan moral anak juga merupakan hal yang penting dimana anak harus menyesuaikan diri dengan masyarakat serta mengenali norma/peraturan dan konsep baik/buruk beserta konsekuensinya. Lingkungan keluarga juga merupakan stresor bagi ibu terlebih lagi jika anak DS tersebut memiliki saudara kandung. Tentu saja perhatian dan perlakuan orang tua yang berbeda akan menimbulkan rasa kesenjangan serta timbulnya perasaan terbebani dan malu akan kondisi saudara kandungnya yang DS. Lingkungan masyarakat pada umumnya juga sulit menerima anak dengan keterbelakangan mental, seringkali mereka ditinggalkan/tidak diikut sertakan dalam kegiatan kemasyarakatan.

(52)

penting bagi orang tua untuk dapat menerima kenyataan mengenai kondisi anak dengan apa adanya (Adiyanto, dkk. 2010).

Untuk mengatasi stres yang ada maka ibu memerlukan strategi koping yang sesuai. Coping bermakna harafiah sebagai pengatasan/penanggulangan (to cope with = mengatasi, menanggulangi). Koping sering disamakan dengan

adjustment (penyesuaian diri). Koping itu sendiri dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/luka/kehilangan/ancaman (Siswanto, 2007). Lazarus (dalam Carver, Scheier, dan Weintraub, 1989) berpendapat bahwa stres terdiri dari tiga proses. Proses pertama merupakan proses memahami ancaman/stres bagi diri sendiri. Proses kedua yaitu proses membawa situai yang tidak menyenangkan/ancaman ke dalam pikiran untuk merespon situasi. Proses ketiga yaitu mengeksekusi respon itu.

(53)

diketahui bentuk koping konstruktif yang dapat dilakukan ibu untuk mengatasi stres dan dapat diketahui pula usaha ibu untuk mengelola tekanan emosional terkait dengan stressor, terutama karena down syndrome merupakan kondisi yang tidak dapat diubah. Carver, Scheier, dan Weintraub (1989) membagi dua jenis koping menjadi beberapa bentuk, yaitu:

1) Problem-focused Coping

Koping ini bertujuan untuk memecahkan masalah atau melakukan sesuatu untuk mengubah sumber stres. Aktivitas yang termasuk dalam

problem-focused problem meliputi:

a) Active coping: Proses pengambilan langkah aktif dalam usaha untuk menghilangkan stresor atau untuk memperbaiki efek yang diberikan stresor. Mengatasi secara aktif mencakup memulai aksi langsung, meningkatkan upaya seseorang, dan mencoba untuk menjalankan upaya koping dalam mode bertahap.

b) Planning: Memikirkan bagaimana mengatasi stresor, pemikiran mengenai langkah apa yang harus diambil dan cara terbaik dalam mengatasi masalah. Seperti halnya dalam menentukan pendidikan bagi anak DS, ibu mulai memikirkan mengenai sekolah mana yang cocok dan alternatif untuk mengembangkan keterampilan yang anak minati saat ini. c) Suppression of competing activities: Mengesampingkan masalah lain

(54)

d) Restraint coping : Menahan diri dan tidak bertindak prematur. Secara tidak langsung mengajak individu untuk berlatih menahan/mengendalikan diri.

e) Seeking social support for instrumental reasons: Individu mencari nasihat, bantuan, atau informasi dari orang lain. Contohnya, menanyakan kepada kerabat atau teman tentang tempat terapi dan sekolah yang mendukung bagi tumbuh kembang anak DS.

2) Emotion-focused coping

Koping ini ditujukan untuk mengurangi atau mengelola tekanan emosional yang berhubungan dengan situasi dan cenderung mendominasi ketika orang merasa bahwa stressor merupakan sesuatu yang harus dijalani (Folkman & Lazarus , 1980 dalam Carver, Scheier, dan Weintraub 1989). Respon emotional-focused coping antara lain:

a) Positif reinterpretation and growth: Berusaha mengatur emosi distres, daripada mengatasi stresor. Dilakukan dengan menafsirkan stresor dalam arti yang positif.

b) Acceptance: Menerima stressor, dalam arti mengakomodasinya karena mungkin keadaan permasalahan tersebut sulit diubah. Contohnya, seorang ibu yang memiliki anak DS yang pada awalnya sulit menerima keadaan anaknya lambat laun dapat beradaptasi dan menerima kenyataan

(55)

Dengan keyakinan itu ia berusaha untuk selalu mencari alternatif atas kesulitan yang dihadapinya.

c) Denial: Menyangkal realita agar tidak terlalu menyakiti perasaan (menjaga agar emosi stabil).

d) Behavioral disengagement: Agak menyerah dalam hal tindakan dalam melakukan usaha mengatasi permasalahan.

e) Mental disengagement: Agak menyerah (secara mental), bahkan menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan masalah.

f) Turning to Religion: Seseorang dapat beralih ke agama atau kepercayaan saat berada dalam tekanan untuk berbagai macam alasan. Agama atau kepercayaan dapat menyediakan sumber dukungan emosional.

g) Focus on venting emotion: Memfokuskan pada segala sesuatu yang menyedihkan dan mengekspresikan perasaan tersebut.

h) Seeking social suppot for emotional reason: Individu mendapatkan dukungan moral, seperti simpati atau pengertian yang terkadang digunakan sebagai media untuk mencurahkan perasaan seseorang.

(56)

anak yang mudah kabur. Strategi koping yang dilakukan orang tua ini dapat bersifat problem focused maupun emotional focused coping. Selain mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang perawatan anak, dukungan sosial dari lingkungan terdekat bagi anak dan ibu untuk dapat bertahan dalam situasi yang sulit juga sangat perlu. Dengan demikian, keadaan yang semakin parah dapat dicegah sebab jika keadaan dibiarkan semakin parah, akan semakin sulit bagi orang tua untuk menerima keadaan anaknya (Adiyanto, dkk. 2010).

D. Kerangka konseptual

(57)

mengalami berbagai bentuk stres. Bentuk stres yang dialami dapat bersumber dari luar diri ibu dan dari dalam diri ibu.

Sumber stres dari luar diri bersumber dari keterbatasan anak dalam perekembangan fisik sehingga ibu harus dapat mengawasi anak. Mencari terapi untuk melatih fisik dan wicara anak. Stres juga dapat bersumber dari perkembangan kognitif anak yang dapat membuat ibu mengalami bentuk stres seperti perasaan khawatir akan masa depan anak, terlebih jika anak belum memiliki keterampilan dan kemandirian. Orang tua harus mencari sekolah yang cocok untuk anak, terlebih yang dapat mengembangkan keterampilan anak. terkait dengan perkembangan emosi, ibu sebagau orang tua harus menjadi lebih peka terhadap apa yang dirasakan dan diinginkan anak. Anak down syndrome

(58)

karena perasaan negatif seperti kekhawatiran tentang penyesuaian diri anak dan penerimaan masyarakat terhadap kondisi anak pasti terlintas dalam benak ibu.

Sumber stres yang bersumber dari dalam diri ibu yaitu meliputi perasaan bersalah dan perasaan malu yang dapat memicu ibu untuk menyembunyikan anak dari masyarakat. Hal tersebut dilakukan karena perasaan malu jika diejek oleh orang lain. Sehingga orang tua menjadi kurang hangat dalam merawat anak. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak normal yang dapat membuat ibu menjadi cepat marah dan meyebabkan tingkah laku agresif. Ibu juga menjadi takut untuk hamil sebab khawatir jika melahirkan anak dengan kondisi yang sama.

Sesuai denga tujuan pertama penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bentuk stres yang dialami ibu dengan anak down syndrome. Bentuk stres yang dimaksud merupakan perasaan stres yang dapat berimbas pada psikologis, fisik, dan hubungan interpersonal ibu. Secara psikologis, mungkin ketegangan atau tekanan yang dialami ibu dapat membuat pola pikir, emosi, dan perilakunya kacau. Mudah merasa sedih, gelisah, merasa sakit hati, merasa tidak nyaman, merasa sulit berkonsentrasi, dan produktivitas menurun merupakan bentuk stres yang dapat dialami ibu. Secara fisiologis stres dapat menyebabkan mual, keringan dingin, degup jantung cepat, dll. Pada hubungan interpersonal stres dapat membawa dampak pada sikap seperti halnya mudah ingkar janji bahka menutup diri dari dunia luar.

(59)

Strategi koping tersebut dapat merupakan Problem-Focused Coping yang meliputi Active coping (mengambil langkah aktif), Planning (memikirkan langkah yang harus diambil), Supression of competing activities

(mengesampingkan masalah lain), Restraint coping (tidak bertindak buru-buru), dan Seeking of instrumental social support (mencari nasihat/bantuan/informasi). Atau dalam bentuk Emotional-focused coping

yang meliputi Seeking emotional social support (mendapatkan dukungan moral/simpati), Positive reinterpretation (berusaha mengatur emosi distres),

Acceptance (menerima kenyataan), Denial, dan Turning to religion

(60)

Bagan 1. Bagan Kerangka Konseptual Penelitian

Ibu

Memiliki anak Down Syndrome

Stres yang dialami

Stres yang bersumber dari luar diri:

Stres yang bersumber dari dalam diri:

Memiliki anak Down Syndrome

Sumber Stres akan memiliki anak yang normal

Coping Strategy

Problem Focused Coping Emotion Focused Coping

(61)

43 BAB III

METODE PENELITIAN

A.Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, di samping itu juga tentang peranan oraganisasi, pergerakan sosial, atau hubungan timbal balik. Sebagian data dapat dihitung sebagaimana data sensus namun analisisnya bersifat kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, beberapa peneliti mengumpulkan data melalui wawancara dan pengamatan (dua teknik yang biasa dikaitkan dengan metode kualitatif). Data yang diperoleh juga dapat melalui dokumen, buku, kaset video, dan bahkan data yang telah dihitung untuk tujuan lain, misalnya sensus (Strauss&Corbin. 2009).

(62)

mengetahui stres yang dialami ibu yang memiliki anak down syndrome dan bagaimana ibu mengatasi situasi-situasi yang penuh stres dalam merawat dan membesarkan anak down syndrome. Seajalan dengan pendekatan fenomenologi, peneliti menggunakan teknik wawancara sehingga pengalaman sadar ibu dapat lebih tergali dan dapat diteliti.

B.Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini mencakup dua hal, yaitu:

1. Fokus pertama dalam penelitian ini adalah bentuk stres pada ibu yang memiliki anak down syndrome. Bentuk stres yang akan diungkap ini dilihat dari sumbernya baik bersumber dari luar diri yaitu keterbatasan anak yang meliputi keterbatasan perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, dan moral. Bentuk stres yang bersumber dari luar diri juga bersumber dari lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Bentuk stres yang bersumber dari dalam diri dapat bersumber dari adanya perasaan bersalah, perasaan malu, dan hilangnya kepercayaan untuk memiliki anak yang normal.

2. Fokus kedua yaitu untuk mengetahui strategi koping yang dipakai oleh ibu terkait dengan bentuk stres yang dialami oleh ibu dalam merawat dan membesarkan anak down syndrome.

(63)

C. Subjek Penelitian

Penelitian dilaksanakan di salah satu SLB Swasta di Kabupaten Klaten. SLB tersebut merupakan sekolah yang dimulai dari jenjang SD hingga SMA. Terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, peneliti menggunakan teknik sampling berupa Criterion Sampling. Patton (2002) menjelaskan bahwa,

Criterion Sampling bertujuan untuk meninjau dan mempelajari semua kasus yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti supaya sesuai dengan tujuan penelitian. Subjek penelitian yang dipilih oleh peneliti adalah subjek dengan kriteria tertentu, yaitu ibu yang memiliki anak Down Syndrome

usia 6-11 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Siswa yang dinyatakan

(64)

D.Metode Pengumpulan Data

Metode utama dalam pengumpulan data adalah wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas jawaban itu (Moleong, 2010). Wawancara yang dilakukan adalah wawancara semi terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan wawancara. Pertanyaan yang disusun dapat dimodifikasi menurut respon partisipan sehingga memungkinkan peneliti dan partisipan untuk melakukan dialog. Disamping itu, peneliti dapat menyelidiki lebih jauh tentang hal-hal menarik dan penting yang mungkin muncul dalam wawancara. Dalam wawancara ini terdapat usaha peneliti untuk menumbuhkan hubungan baik dengan reesponden, urutan pertanyaan kurang begitu penting, pewawancara lebih memiliki kebebasan untuk menanyakan lebih jauh berbagai wilayah menarik yang muncul, dan wawancara dapat mengikuti minat atau perhatian responden, sehingga cenderung menghasilkan data yang lebih kaya (Smith, 2009).

Peneliti menggunakan bantuan alat perekam selama proses wawancara berlangsung. Disamping itu peneliti juga mencatat perilaku nonverbal dari subjek selama proses wawancara berlangsung. Setelah data terkumpul peneliti melakukan transkrip wawancara dari hasil perekaman tersebut. Berikut adalah

(65)

Tabel 1. Tabel Panduan Wawancara

Panduan Wawancara

Topik Aspek Pertanyaan

Sumber Stres Coping strategy Stress yang

1. Keadaan umum dan kesehatan anak

1. Pemahaman tentang hal sehari-hari:

(66)

Topik Aspek Pertanyaan

Sumber Stres Coping strategy 3. Kemampuan

1. Reaksi keluarga besar terhadap kondisi anak (bagaimana keluarga besar memperlakukan anak)

2. Reaksi keluarga inti terhadap kondisi anak 3. Hubungan anak

dengan kakak/adik kandung

4. Bentuk stres yang muncul seperti apa

(67)

Topik Aspek Pertanyaan

Sumber Stres Coping strategy 3. Keterlibatan anak

dalam masyarakat 4. Bentuk stres yang

dirasakan ibu terkait sikap/perlakuan

1. Perasaan orang tua ketika mengetahui

(68)

Proses wawancara ini melalui beberapa tahap, antara lain:

1. Mencari subjek yang sesuai dengan kriteria dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian.

2. Membangun raport, menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian yang akan dilakukan dan memastikan kembali kesediaan subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian.

3. Menyusun kesepakatan jadwal dilakukannya wawancara antara peneliti dan subjek.

4. Menyusun panduan wawancara

5. Melaksanakan wawancara sesuai kesepakatan peneliti dan subjek

Wawancara direkam dengan menggunakan digital recorder dan kemudian disalin dalam bentuk transkrip wawancara.

E.Metode Analisis Data

(69)

1)Organisasi data

Organisasi data diawali dengan memindahkan hasil wawancara dari setiap subjek dari digital voice recorder ke dalam bentuk transkrip verbatim dan berbentuk kolom.

2)Pengkodean (koding)

Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dalam tahap ini peneliti melakukan penomoran secara urut pada baris-baris transkrip verbatim yang telah dibuat.

3)Interpretasi

Maksud interpretasi dalam penelitian ini yaitu peneliti melakukan analisis tematik yang memungkinkan peneliti menemukan pola yang tidak dapat dilihat pihak lain secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Setelah menemukan pola, kita akan mengklasifikasikan atau mengkodekan dengan memberi label, definisi, atau deskripsi (Boyatzis dalam Poerwandari 2005).

4)Mengelompokkan tema-tema

Setelah peneliti melakukan pengkodean dan menemukan tema-tema

dalam data maka peneliti dapat menyusun „master‟ berisikan tema-tema ke

(70)

F. Kredibilitas Data

Dalam penelitian kualitatif istilah kredibilitas menjadi istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas. Kredibilitas digunakan untuk menguji kualitas penelitian kualitatif. Suatu penelitian kualitatif dapat mencapi kredibilitas yang baik apabila mampu mencapai maksud dari eksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang kompleks dengan berbagai aspek (Poerwandari, 2005). Berikut adalah strategi-strategi validitas yang digunakan dalam penelitian ini: a. Validitas komunikatif

Upaya untuk mencapai kredibilitas antara lain dengan mengkonfirmasikan kembali transkrip hasil wawancara beserta analisisnya terhadap subjek penelitian untuk menguji keakuratan temuan penelitian. Pada tahap ini, peneliti melakukan konfirmasi ulang mengenai data subjek, peneliti meminta subjek untuk memberikan komentar terhadap analisis data yang dilakukan peneliti dan subjek diminta mengkonfirmasi ulang apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan maksud mereka atau tidak sesuai dengan keadaan sebenar-benarnya mereka.

b. Validitas argumentatif

(71)

lain yakni wawancara dengan anak kandung lainnya, suami, dan guru. Peneliti juga meminta bantuan rekan sesama peneliti untuk melakukan

(72)

54 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Proses Penelitian

1. Persiapan Penelitian

Peneliti melakukan persiapan sebelum melakukan penelitian. Proses persiapan yang dilakukan peneliti adalah:

a. Peneliti mencari subjek, ibu yang memiliki anak Down Syndrome usia sekolah dengan rentan usia 6-12 tahun. Ibu dengan anak usia sekolah karena usia tersebut merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke usia remaja dan diharapkan banyak pengalaman yang dapat diperoleh peneliti. Peneliti mendatangi SLB dan diperoleh 3 subjek penelitian serta 1 subjek yang diperoleh berdasarkan informasi teman. Setelah informasi tentang subjek didapatkan, peneliti melakukan rapport dengan cara bertemu langsung maupun melalui SMS.

b. Setelah melakukan rapport dan beberapa kali berbincang-bincang dengan calon subjek mengenai tujuan penelitian, peneliti meminta kesediaan subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian.

(73)

sepenuhnya dirahasiakan karena hanya diperlukan untuk kepentingan penelitian saja.

d. Peneliti mempersiapkan digital voice recorder yang akan digunakan peneliti untuk merekam proses wawancara. Peneliti juga mempersiapkan alat perekam cadangan untuk mengantisipasi apabila alat perekan utama mengalami masalah selama proses wawancara.

e. Peneliti membuat janji secara langsung dengan subjek untuk melakukan wawancara.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian melewati beberapa tahapan mulai dari meminta persetujuan wawancara, pelaksanaan wawancara, dan menunjukkan hasil verbatim dan analisis kepada subjek untuk mendapatkan surat keterangan keabsahan hasil wawancara. Berikut akan dijabarkan secara rinci proses pelaksanaan penelitian:

(74)

secara langsung dengan subjek dan untuk membantu kelancaran proses wawancara, peneliti menggunakan panduan wawancara yang telah disusun sebelumnya. Proses perekaman menggunakan digital voice recorder.

b. Setelah proses analisis data selesai dilakukan, peneliti bertemu dengan subjek untuk menunjukkan verbatim hasil wawancara dan hasil analisis data guna memastikan apakah hasil wawancara sudah sesuai dengan realita yang dilami subjek. Selanjutnya, peneliti meminta subjek untuk membaca dan menandatangi surat keabsahan hasil wawancara.

3. Proses Analisis Data

Proses analisis data meliputi pengorganisasian data, pengkodean, interpretasi, dan pengelompokkan tema-tema. Berikut akan dijelaskan secara rinci tentang proses analisis data yang dilakukan oleh peneliti:

a. Setelah wawancara dengan masing-masing subjek, peneliti melakukan pengorganisasian data yang diawali dengan memindahkan hasil wawancara masing-masing subjek dari digital voice recorder ke dalam bentuk transkrip verbatim dan bentuk kolom. Tabel verbatim yang digunakan terdiri dari 2 kolom. Kolom pertama berisi penomoran setiap pertanyaan peneliti dan jawaban subjek. Kolom kedua berisi pertanyaan peneliti dan jawaban subjek.

Gambar

Gambar 1. Bentuk Mata dan Wajah Anak Down Syndrome ............................  13
Tabel 1. Panduan Pertanyaan Wawancara ......................................................
Gambar 1. Bentuk mata yang condong kearah atas dan jarak mata yang
Gambar 3: bentuk jari dan simian crease/ garis telapak tangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Maṣlaḥah ḍ arūriyyah (kebutuhan primer), yaitu segala sesuatu yang harus ada demi tegaknya kehidupan manusia untuk menopang kemaslahatan agama dan dunia di mana

Router dapat digunakan untuk menghubungkan banyak jaringan kecil ke sebuah jaringan yang lebih besar, yang disebut dengan internetwork , atau untuk membagi sebuah jaringan

memahami dan menjelaskan ide / gagasan matematika yang terdapat pada gambar atau permasalahan yang diberikan Kemampuan dalam menggunakan istilah- istilah, notasi-notasi

Peneliti menyimpulkan secara keseluruhan bahwa fungsi pengawasan berdasarkan konsep Sarwoto mengenai pengawasan yang diperlukan bagaimana pengawasan itu menjadi lebih

[r]

1. Tenaga ahli adalah dosen / orang dari luar perguruan tinggi yang diundang dengan tujuan untuk pengayaan pengetahuan dan bukan untuk mengisi kekurangan tenaga

Sindroma Hyper-IgE (HIEs) adalah suatu immunodefisiensi primer kompleks yang jarang dengan karakteristik eksim , abses kulit , infeksi paru , kadar eosinofil dan kadar

[r]