• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Down Syndrome

2. Karakteristik Anak Down Syndrome

Anak-anak atau orang-orang yang mengalami down syndrome

pada umumnya memiliki tanda-tanda fisik yang khas, antara lain: wajahnya lebar, hidung pesek atau tumpul dan lebar, letak matanya miring, lubang matanya sempit dan sipit, mulutnya menganga terbuka, kulit halus berlemak dan otot-otot atau uratnya lemah, lidahnya tebal dan besar tetapi lunak, biasanya selalu menjulur keluar. Lidahnya kecil sekali, runcing, kasar, juga terbelah-belah. Otaknya tidak tumbuh dengan sempurna karena ada kerusakan pada alat pernapasan; ada oedema

(pembengkakan yang mengandung air) pada otak sehingga sistem saraf mengalami kerusakan. Ada disfungsi pada kelenjar tiroid, kekurangan zat-zat lendir atau terlalu banyak zat lendir. Kepalanya kecil bulat dan ceper, tidak sempurna. Ubun-ubun tidak lekas tertutup, menjadi keras, bahkan sering tidak pernah bisa tertutup sama sekali. Bentuk giginya abnormal, tulang-tulang rusuk dan tulang-tulang punggung sering mengalami kelainan (Semium, 2006). Anak down syndrome memiliki letak telinga rendah dengan ukuran kanal telinga yang kecil sehingga mudah terserang infeksi. Anak down syndrome memiliki rambut yang lemas, tipis, halus, dan susunan rambut yang jarang (lihat pada gambar

1). Bentuk kepala mereka cenderung peyang dengan leher yang pendek (lihat pada gambar 2).

Gambar 1. Bentuk mata yang condong kearah atas dan jarak mata yang berjauhan, hidung lebar dan datar dan tidak ada jembatan hidung. Rambut

lemas dan tipis, pertumbuhan gigi yang tidak beratuan. Sumber: wandarisakotta.blogspot.com

Gambar 2. Bentuk leher yang pendek dan kepala yang cenderung peyang. Sumber: dokumen pribadi

Tangan anak DS lebih pendek dengan lebar jari-jari yang pendek (Davidson, Neale, & Kring. 2006). Anak down syndrome juga memiliki kelingking yang bengkok. Pada kelingking orang normal, terdapat tiga ruas tulang maka pada anak down syndrome ruas kedua jari kelingking mereka kadang tumbuh miring atau bahkan tidak tumbuh sama sekali. Telapak tangan anak down syndrome biasanya hanya terdapat satu garis urat yang dinamakan “simian crease” (lihat gambar 3). Bentuk kaki anak

down syndrome cenderung agak pendek dan jarak antara ibu jari kaki dengan jari kedua lebih lebar (lihat pada gambar 4).

Anak DS juga memiliki otot yang lemah sehingga tidak mampu menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan kasar.

Gambar 3: bentuk jari dan simian crease/ garis telapak tangan Sumber: www.anak-spesial.blogspot.com dan

http://mycommunicationforum.wordpress.com/category/down-syndrome/

Gambar 4: Bentuk kaki, jarak antara ibu jari dengan jari lainnya lebih lebar. Sumber:

http://mycommunicationforum.wordpress.com/category/down-syndrome/

Keadaan fisik ini berpengaruh terhadap proses pembelajaran anak mengenai gerak-gerak fungsional yang merupakan dasar bagi semua keterampilan gerak yang lain. Keterampilan gerak fungsional memberikan dasar-dasar keterampilan yang diperlukan untuk socio-leisure, daily living, dan vocasional tasks, keterampilan gerak fundamental penting untuk meningkatkan kualitas hidup anak down syndrome. Anak normal dapat belajar keterampilan gerak-gerak fundamental secara instingtif pada saat bermain, sementara anak down syndrome perlu dilatih secara khusus. Anak down syndrome memiliki kesulitan dalam artikulasi, kualitas suara, dan ritme berbicara. Hal ini dikarenakan ciri fisik berupa lidah yang besar, berkerut, dan menjulur

keluar karena mulut yang kecil dengan langit-langit yang rendah. Keterbatasan fisik tersebut membuat anak menjadi tergantung pada orang tua maupun orang terdekat dalam melakukan kegiatan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari (Semium, 2006).

Pada perkembangan seksualitasnya, anak down syndrome tidak mengenal seksualitas atau masa pubertas yang biasanya mengganggu. Anak down syndrome tidak diliputi perasaan cemas dan tidak mengalami perwujudan perasaan yang menuju kedewasaan. Anak perempuan membutuhkan lebih banyak pendampingan dan bantuan ketika sedang mengalami masa-masa menstruasi. Semium, 2006 mengungkapkan bahwa anak-anak gadis mengalami saat menstruasi yang sangat lambat. Ia sangat sensitif terhadap temperatur serta mudah sekali jatuh sakit.

b. Perkembangan Kognitif

Inteligensi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak yang mengalami keterbelakangan mental memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung

tanpa pengertian atau cenderung membeo. Meskipun mengalami retardasi mental, beberapa diantara anak-anak tersebut mampu belajar membaca, menulis, dan mengerjakan aritmetika (Davidson, Neale, & Kring. 2006). Robinson&Robinson ((1976) dalam Davidson, Neale, & Kring. 2006) menyebutkan bahwa menurut DSM IV-TR terdapat empat level retardasi mental, antara lain: retardasi mental ringan (IQ 50-55 hingga 70), retardasi mental sedang (IQ 35-40 hingga 50-55), retardasi mental berat (IQ 20-25 hingga 35-40), dan retardasi mental sangat berat (IQ dibawah 20-25).

Menurut Stoller (dalam Prasadio, 1978), anak penyandang Down Syndrome paling banyak ditemukan dan termasuk dalam kategori retardasi mental sedang (moderately retarded) dengan rentang IQ 35-40 hingga 50-55 dan sebagian kecil termasuk dalam kategori retardasi mental ringan/mildly retarded dengan rentang IQ 50-55 hingga 70. Pada rentangan ini, kerusakan otak dan berbagai patologi lain sering terjadi. Orang-orang yang mengalami retardasi mental dapat memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik yang normal, seperti memegang dan mewarnai dan keterampilan motorik kasar seperti berlari dan memanjat (Davidson, Neale, & Kring. 2006). Secara akademik anak down syndrome sangat sulit atau bahkan tidak dapat belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun masih dapat menulis secara sosial misalnya menulis nama dan alamat, dll. Anak masih dapat dididik untuk mengurus diri seperti mandi, berpakaian,

makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya. Untuk kehidupan sehari-hari, anak down syndrome membutuhkan pengawasan yang terus menerus. Mereka juga masih dapat bekerja di termpat kerja terlindung/sheltered workshop (Soemantri, 2007).

Anak normal memiliki keterampilan kognitif yang lebih unggul daripada anak down syndrome, anak normal memiliki kaidah dan strategi dalam memecahkan masalah sedangkan anak down syndrome bersifat

trial and eror. Anak down syndrome jauh ketinggalan oleh anak normal dalam kecepatan belajar karena anak lebih banyak memerlukan ulangan tentang bahan tersebut. Walaupun demikian, anak tunagrahita dapat mencapai presatasi lebih baik dalam tugas-tugas diskriminasi misalnya mengumpulkan bentuk-bentuk dan pola yang berbeda apabila dilakukan dengan penuh pengertian.

Ketepatan (keakuratan) respon anak down syndrome kurang daripada respon anak normal. Zaenal Alimin (1993, dalam Soemantri, 2007) melaporkan hasil penelitian mengenai kecepatan merespon anak

down syndrome terhadap gambar yang tidak lengkap. Pada umumnya, MA anak pada rentang kurang lebih 6,5 tahun memiliki performance

yang hampir sama dengan anak norma berumur 6 tahun, dalam mengenali gambar yang tidak lengkap. Perbedaannya terletak pada kecepatan menjawab soal. Anak terbelakang membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan anak normal. Anak juga kurang mampu memanfaatkan informasi (isyarat) yang ada untuk menjawab soal-soal

dan tidak memiliki strategi dalam menyelesaikan tugas itu. Fleksibilitas mental yang kurang mengakibatkan kesulitan dalam pengorganisasian bahan yang akan dipelajari, sehingga sukar menangkap informasi yang kompleks.

c. Perkembangan Emosi

Magungsong (1998) menyebutkan bahwa anak DS memiliki emosi yang datar, kurang mendalam, dan cepat kabur. Kadang-kadang dapat menjadi sedih dan marah, tetapi pada umumnya suasana hati semacam ini akan mudah hilang. Anak down syndrome memang anak-anak yang gembira dan akan menjadi lebih gembira lagi apabila berada dalam lingkungan yang menyenangkan hatinya. Anak tunagrahita berat tidak dapat menunjukkan dorongan pemeliharaan dirinya sendiri, tidak bisa menunjukkan rasa lapar atau haus, dan tidak dapat menghindari bahaya. Pada anak tunagrahita sedang, dorongan berkembang lebih baik tetapi kehidupan emosinya terbatas pada emosi-emosi sederhana. Pada anak terbelakang ringan, kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan anak normal akan tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita dapat memperlihatkan kesedihan tapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu serta dapat mengekspresikan kegembiraan, namun sulit mengungkapkan kegaguman.

Dari penelitian yang dilakukan Mac Iver dengan menggunakan

beberapa kekurangan. Anak tunagrahita pria memiliki kekurangan berupa tidak matangnya emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsif, lancang, dan merusak. Anak tunagrahita wanita mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri, dan cenderung melanggar ketentuan.

Penyesuaian diri merupakan proses psikologi yang terjadi ketika kita menghadapi berbagai situasi. Seperti anak normal, anak tunagrahita menghayati suatu emosi jika kebutuhannya terhalangi. Selain itu, dalam hubungan kesebayaan, seperti halnya anak kecil, anak tunagrahita menolak anak yang lain. Setelah bertambah umur, anak akan mengadakan kontak dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat kerjasama. Berbeda dengan anak normal, anak tunagrahita jarang diterima, sering ditolak oleh kelompok, serta jarang menyadari posisi diri dalam kelompok.

d. Perkembangan Sosial

Anak yang terbelakang mentalnya juga mengalami kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat sehingga sangat memerlukan bantuan. Perlu waktu lama bagi anak untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Anak akan menunjukkan reaksi terbaik bila mengikuti hal-hal yang rutin dan secara konsisten dialaminya dari hari ke hari, namun tidak dapat menghadapi suatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama. Penguasaan bahasa pun terbatas,

bukan karena adanya masalah kerusakan artikulasi namun pusat pengolahan perbendaharaan kata yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Maka anak memerlukan kata-kata konkret dalam mendengarkan sesuatu. Perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang. Latihan seperti mengajarkan konsep keras dan lemah, besar dan kecil, pertama, kedua, dan terakhir perlu menggunakan pendekatan yang konkret.

Kemampuan dalam membedakan mana yang baik dan buruk, mempertimbangkan sesuatu, dan membedakan yang benar dan yang salah juga masih sangat kurang. Ini semua karena kemampuannya yang terbatas sehingga anak dengan keterbelakangan mental tidak dapat membayangkan konsekuensi dari suatu perbuatan. Kergantungan terhadap orang tua sangat besar dan anak tidak mampu memikul tanggungjawab sosial dengan bijaksana, sehingga harus selalu dibimbing dan diawasi. Anak cenderung mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.

e. Perkembangan Moral

Kata moral berasal dari kata latin “Mores” yang berarti tatacara,

kebiasaan, dan adat. Perilaku moral dapat diartikan sebagai perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Perilaku moral dikendalikan oleh konsep-konsep peraturan tentang perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota dari suatu budaya. Perilaku tak bermoral

merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Perilaku ini dapat terjadi karena adanya ketidaksetujuan dengan standar sosial atau karena adanya perasaan wajib untuk menyesuaikan diri. Perilaku amoral atau nonmoral lebih disebabkan oleh ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok. Beberapa diantara perilaku salah anak kecil lebih bersifat amoral daripada tidak bermoral.

Belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarkat merupakan proses yang panjang dan lama yang terus berlanjut hingga masa remaja. Terdapat beberapa pokok dalam mempelajari sikap moral antara lain mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggota sebagaimana dicantumkan dalam hukum, kebiasaan, dan peraturan, mengembangkan hati nurani atau kemampuan untuk mengenali yang baik dan yang buruk, belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu bila perilaku individu tidak sesuai dengan harapan kelompok. Selain itu juga memiliki kesempatan untuk interaksi sosial dan belajar mengenai apa saja yang diharapkan kelompok.