• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

F. Subjek 4 (RT)

2. Stres dan coping strategy RT

a. Stres yang Bersumber Dari Luar Diri RT dan Coping Strategy yang Digunakan RT

1. Keterbatasan anak a. Perkembangan fisik

1) Kesehatan anak mudah terganggu

Menurut RT, anak sering mengalami gangguan kesehatan seperti panas dan pilek. Keadaan anak yang seperti ini

tentu saja membuat RT merasa khawatir karena setiap mengalami pilek dan panas anak harus ijin tidak masuk sekolah.

“Kalau Z sendiri sakitnya itu seringnya panas dan pilek.”(46 -47)

“Biasanya sampai nggak masuk sekolah. Karena apa? Karena

pilek, panas.” (50-51)

Dalam mengatasi kesehatan anak yang mudah terganggu, RT memberikan teh sarang semut kepada anak (Problem Focused Coping-Active Coping). Setelah meminun teh herbal tersebut RT mengatakan bahwa ada hasil yang ditunjukkan. Sudah hampir 2 bulan setelah mengkonsumsi teh tersebut anak tidak sakit-sakitan lagi.

“Hampir tiap bulan itu pasti pilek dan panas. Tapi semenjak konsumsi tehnya itu udah hampir 2 bulan ini nggak sakit lagi.”

(49-50)

Ketika sakit, anak tidak bisa minum obat meskipun dipaksa. Hal ini membuat RT sedih dan merasa kebingungan karena harus menangani anak ketika sakit dan tidak mau meminum obat.

Kalau obat sama sekali nggak bisa. Saya itu sampai nangis. Sampai bingung menangani Z ini. Kalau obat mau dipaksa kayak apa tetep aja nggak bisa. Semakin dipaksa semakin

nolak si Z ini.” (73-75)

Dengan kondisi anak yang sama sekali tidak bisa meminum obat, RT langsung membawa anak ke RS untuk diuap

(Problem Focused Coping-Active Coping).

“Jadi kalau pilek, batuk gitu saya bawa ke Panti Rini cuman di uap.” (72-73)

2) Badan anak tidak bisa gemuk

RT juga merasa heran terhadap anak yang sampai saat ini badannya tidak bisa gemuk padahal RT memberikan gizi yang cukup pada anak.

Kalau pertumbuhannya ini ya mbak gizi cukup banget tapi kok nggak gemuk-gemuk.” (70-71)

Demi pemenuhan gizi anak, RT membelikan anak berbagai suplemen penunjang kesehatan yang sesuai bagi anak

(Problem Focused Coping-Active Coping).

“Kalau untuk gizi wah nggak tanggung-tanggung ya mbak. Saya beliin terus. Kemarin saya beliin suplemen untuk merangsang otak yang dari Tiens. Terus tropolis. Pokoknya apa yang bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan dia saya

bela-belain.” (76-79)

3) Mengalami keracunan makanan

Menurut RT, anak juga pernah mengalami sakit karena keracunan makanan yaitu sate yang dagingnya sudah tidak layak. Setelah memakan sate tersebut anak mengalami sakit perut dan muntah-muntah. Kejadian tersebut membuat RT kecewa karena anak menjadi sakit setelah membeli sate.

Biasanya kalau sore minta sate. Tapi mungkin beberapa waktu lalu dapet sate yang kurang bagus. Terus muntah-muntah, sakit perut. Sekarang kapok nggak pernah mau makan sate

yang kelilingan itu.” (406-408)

RT kemudian berencana untuk memberitahu tukang sate bahwa anaknya sakit setelah membeli sate yang mungkin

dagingnya sudah tidak layak (Problem Focused Coping-Planning).

"Kalau lewat lagi mau tak kasih tau kok itu yang jual sate, kalau anakku pernah dapat sate yang udah gak bagus sampai muntah-muntah." (409-410)

4)Kelainan pada pertumbuhan tulang

Dalam perkembangannya, anak juga pernah mengalami kelainan pada tulang. Kelainan tersebut yaitu belum tumbuhnya mata kaki dan tulang kaki yang terlalu lentur sehingga kaki bisa diletakkan dibelakang kepala.

“Kalau tulang itu dulu mata kaki belum tumbuh.” (91)

“Trus ini kakinya bisa ditaruh dibelakang kepala karena lentur mungkin ya.” (98-99)

Untuk mengatasi kelainan pada tulang tersebut, RT membawa anak ke pengobatan alternatif (Problem Focused Coping-Active Coping). RT juga berkonsultasi dengan dokter mengenai tulang ekor anak yang tidak dapat menopang tubuh dan kaki yang terlalu lentur. (Problem Focused Coping-Active Coping)

“Trus ke pengobatan alternatif dikasih tahu nanti usia 3-4 tahun

akan tumbuh dan bisa jalan.” (92-93)

“Kalau kata dokter sih karena kekurangan zat kapur.” (99)

5)Keterlambatan kemampuan berjalan

RT juga mengatakan bahwa anak mengalami keterlambatan berjalan. Anak baru dapat berjalan saat berusia 3 tahun.

“Jadi nggak bisa jalan sampai usia 3 tahun. 3 tahun persis itu baru bisa jalan.” (22-23)

Untuk mengatasi anak yang mengalami keterlambatan dalam kemampuan berjalan, RT mendatangi klinik tumbuh kembang salah satu Rumah Sakit di Yogyakarta dan mendatangi pengobatan alternatif. (Problem Focused Coping-Active Coping)

“Saya sudah ke tumbuh kembang yang di Sardjito dan yang alternatif.” (23-24)

6)Kurangnya kemampuan bantu diri

Kemampuan bantu diri anak yang masih kurang dan harus dibantu dalam beberapa hal.

Kalau pertumbuhannya belum begitu maju ya. Harusnya usia 10 tahun kan udah bisa semuanya sendiri ya kayak anak normal. Dia belum, masih harus dibantu. Jadi belum kelihatan banget. Harusnya 10 tahun itu udah kelas 3 atau 4, dia masih

kelas 2.” (103-106)

Mengingat anak masih kurang mampu dalam bantu diri, RT membantu anak dalam menyiapkan beberapa keperluan misalnya keperluan mandi. RT juga mencoba mengajarkan mengenai bantu diri sejak dini (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Mandi saya siapin sikat gigi, handuk, sabun.” (138)

“melatihnya sejak dini ya biar tahu kalau mandi tu gini, gini. Jadi saya nggak repot.” (140-141)

7)Ketidaksiapan jika anak mendapat menstruasi

Mengingat anaknya perempuan dan akan memasuki masa remaja pastilah anak akan melewati masa menstruasi. RT

mencemaskan hal ini karena RT merasa belum siap jika anak mengalami menstruasi.

Nah itu mbak, makanya saya ya suka mikirin waduh nanti nek udah mens gimana. Kan ada temennya Zefo namanya Jacky. Dia udah mens. Ibunya cerita kalau repot mbak. Trus aku

mikir duh terus aku besok gimana kalau Zefo mens.” (167 -170)

Dalam mengatasi perasaan kurang siap RT, RT berdiskusi dengan teman yang juga memiliki anak penyandang

Down Syndrome. RT berdiskusi mengenai bagaimana merawat anak jika anak mulai menstruasi agar memiliki gambaran jika anak mulai mengalami menstruasi (Problem Focused Coping- Seeking social support for instrumental action).

“Trus aku mikir duh terus aku besok gimana kalau Z mens. Saya

tanya-tanya sama ibunya Jacky temennya Z gimana mengatasinya. Pertamanya saya cuman iseng aja tanyanya

trus jadi tahu gimana mengatasinya.” (169-172)

Stres yang dialami RT terkait dengan perkembangan fisik anak yaitu kesehatan anak yang mudah terganggu, badan anak yang tidak bisa gemuk, kelainan pada pertumbuhan tulang, keracunan makanan, keterlambatan kemampuan berjalan, kurangnya kemampuan bantu diri dan ketidaksiapan jika anak mendapatkan menstruasi. Bentuk stres yang dialami RT yaitu merasa khawatir, merasa sedih, merasa bingung, merasa heran, merasa kecewa, dan merasa belum siap. Untuk mengatasi stres yang muncul, RT menggunakan 3 jenis problem focused coping yaitu active coping, planning, dan Seeking social support for instrumental action.

Contoh Active Coping yang dilakukan RT yaitu dengan memberikan teh sarang semut kepada anak, membawa anak untuk berobat ke Rumash Sakit dan pengobatan alternatif, membelikan suplemen penunjang kesehatan, dan mengajari anak tentang bantu diri. Contoh koping jenis planning yang dilakukan RT yaitu berencana untuk memberitahukan penjual sate bahwa anaknya pernah sakit karena mendapat daging yang sudah tidak bagus.

Seeking social support for instrumental action yang dilakukan RT yaitu dengan bertanya kepada teman yang juga mempunyai anak

down syndrome tentang pengalamannya ketika anak mendapat menstruasi.

b. Perkembangan kognitif

1) Kemampuan berbicara yang belum lancar

Anak belum bisa mengucapkan kata secara jelas sehingga menimbulkan kekhawatiran dalam diri RT, karena di usia 3 tahun anak belum bisa berbicara. Selain timbul kekhawatiran, RT juga merasa terbebani karena anak belum lancar berbicara.

“Udah 3 tahun kok anak ini susah ngomong, kok nggak bisa

ngomong ya cuman a u a u.” (28-29)

“Jadi bebannya cuman satu ya, ngomongnya aja. Cuman kadang kalau dipanggil nyautnya lama.” (133-134)

Dalam mengatasi kekhawatiran karena anak belum bisa berbicara, RT mencoba berpikir positif bahwa anaknya pasti dapat berbicara karena dilahirkan dari orang tua yang bisa

berbicara dengan lancar. (Emotion Focused Coping-Positif Reinterpretation and Growth)

“Pikir saya, ah anaknya orang bisa ngomong pasti nanti bisa

ngomong gitu ya kalau pikirnya orang jawa (subjek tersenyum

dan melihat ke peneliti).” (29-30)

Selain berpikiran positif bahwa anak dapat berbicara, RT juga membawa anak ke pengobatan alternatif dan berusaha membiasakan diri memperhatikan lafal bicara anak. RT juga mengkoreksi dan mengeja pelan-pelan apa yang dikatakan anak

(Problem Focused Coping-Active Coping).

“Ya ngomong juga belum gitu lancar sih, masih ngak jelas.

Untuk berbicaranya itu dulu pas pijet di alternatif itu kan udah kayak saudara ya. Dikasih tahu sama yang mijet tenang mbak ratna besok usia 9 tahun pasti udah bisa bicara. Nah beneran. Usia 9 tahun persis udah bisa manggil mama nana, papa nono, kalau manggil Clara kakaknya yang besar kak yaya, kalau manggil Sekar itu kakak. Padhe dedi manggilnya Dhe Dedi, manggil pak Seger tetangga depan itu Pak Gel. Bisa dia ya cuman harus yang terbiasa ya karena kan bicaranya tidak

jelas.” (124-131)

“Kalau berbicara saya sering benerin ya kalau Z salah

ngucapin. Pelan-pelan sambil dieja.” (195-196)

2) Masih kurang dalam kemampuan membaca, menulis, dan berhitung

Selain anak yang belum mampu berbicara, stress lain yang timbul juga disebabkan oleh belum mampunyai anak dalam membaca, menulis, dan berhitung. Tak jarang hal ini membuat RT merasa kesulitan dalam mengajari anak.

Kalau membaca itu begini, oh kalau begini itu kebalik gitu tahu. Mbaca itu ya gak jelas apa yang diucapkan, kayak bisa aja dia ini. Kalau ada koran gitu suka nyuruh saya dengarin

dia baca. Padahal ya berantakan omongannya. Buku itu sehari nggak cukup 2 karena suka coret-coret.” (347-350)

Cuman kalau berhitung itu diajarin susah. Lompat-lompat. Satu, dua, tiga, empat, lima, tujuh. Kadang kalau sampai angka 5 terus dada-dada (subjek menirukan anaknya dada).

Abjad bisa ngikutin dari a sampai z.” (352-355)

Untuk membantu kelancaran dan kemudahan anak dalam belajar, RT membelikan anak berupa poster abjad dan angka. Menurut RT, dengan poster dapat memudahkan dalam mengajari anak belajar (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Sampai saya ini sering beliin kayak poster yang abjad sama

angka biar buat belajar dia.” (355-356)

3) Tidak patuh terhadap perintah orang tua

Anak juga tidak patuh terhadap perintah yang diberikan RT. Jika RT menyuruh anak untuk mandi dan anak tidak mau untuk mandi maka anak akan membanting remot tv sehingga hal tersebut sering membuat RT menjadi kesal.

Tapi kalau disuruh mandi kadang ngeyel itu remot juga masih jadi sasaran, langsung dibanting mpe rusak. Jadi remot itu

sering ganti. Ndak nangis tapi hanya cemberut.” (388-390)

RT mengatasi rasa kesal karena anak sering membanting remot saat tidak mau disuruh mandi dengan memberikan pengertian kepada anak bahwa membanting remot itu tidak baik. RT membujuk anak dengan membolehkan menonton tv lagi setelah selesai mandi (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Saya juga kasih tahu kalau nggak boleh banting-banting remote, mahal belinya. Kalau disuruh mandi nggak mau ya

saya bujuk, ayo mandi dulu nanti nonton TV lagi.” (396-398)

Stres yang dialami RT yang bersumber dari perkembangan kognitif anak yaitu belum lancarnya kemampuan berbicara anak, anak yang tidak patuh terhadap perintah orang tua, dan kurangnya kemampuan anak dalam membaca, menulis, dan berhitung. Bentuk dtres yang dialami RT yaitu merasa kesal, merasa kesulitan dalam mengajari anak belajar, dan merasa terbebani. Dalam mengatasi stres yang timbul karena belum lancarnya kemampuan berbicara anak, RT menggunakan

emotion focused coping-positif reinterpretation and growth

yaitu dengan menanamkan keyakinan bahwa anaknya pasti dapat berbicara. RT juga menggunakan koping problem focused coping-active coping dalam mengatasi stres yang muncul. Langkah aktif yang dilakukan RT yaitu membelikan poster abjad untuk media belajar anak, dan memberikan pengertian bahwa membanting remot itu tidak baik.

c. Perkembangan emosi

1) Mood anak mudah berubah

Stres yang dirasakan RT juga berasal dari mood anak yang mudah berubah terutama anak yang mudah bosan jika sedang belajar.

“Kalau diajarin itu bosenan misal nulis atau berhitung. Tapi

RT mengatasi perubahan mood anak ketika belajar dengan memberikan hadiah berupa es krim jika anak mau belajar (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Biasanya kan kalau disuruh makan atau bobok kan susah jadi kadang saya suka bohong ayo nanti kalau mau habis ini beli es krim. Biar dia ada motivasi buat mau. Belajar juga gitu biar

dia nggak bosenan dan mau belajar lagi.” (377-380)

Selain itu, RT juga mendapatkan dukungan dari suami dan keluarga lainnya. Baik suami, anak kandung lainnya, maupun kakak RT juga membantu dalam mengajari anak belajar

(Emotion Focused Coping- Seeking social support for emotional reason).

“Nanti kan kalau dirumah yang ngajarin nggak cuman saya tapi ada kakaknya, ada bapaknya, pakdhenya. Jadi

ganti-gantian ngajarinnya.” (380-381)

2) Kontrol emosi yang buruk (kemarahan mudah meledak-ledak) RT juga menuturkan bahwa anak memiliki kontrol emosi yang buruk. Anak sering membanting barang-barang seperti gelas dan HP ketika sedang marah.

Sekalinya marah-marah apa-apa dibanting. HP juga langsung dibuang gitu aja. Gelas juga dipecah. Tapi nggak sering ya cuman pas dia lagi jengkel se jengkel-jengkelnya.” (385-387)

Untuk mengatasi anak yang sering membanting barang ketika sedang marah, RT berusaha memberikan pengertian dan pemahaman kepada anak bahwa barang yang dibanting dapat

rusak dan mahal untuk membeli lagi yang baru (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Sekarang udah berkurang karena saya kasih tahu ini mahal,

nanti pecah, rusak.” (387-388)

Stres yang bersumber dari perkembangan emosi yang dialami RT disebabkan oleh mudahnya perubahan suasana hati

(mood) anak dan anak yang memiliki kontrol emosi yang buruk (kemarahan mudah meledak-ledak). Bentuk stres yang dialami RT yaitu merasa bingung dan merasa tidak nyaman. Untuk mengatasi stres tersebut, RT menggunakan koping problem focused coping-active coping dan emotion focused coping-seeking social support for emotional reason. Active coping dan yang dilakukan RT yaitu memberikan hadiah kepada anak jika anak mau belajar dan memberikan pengertian kepada anak ketika anak marah bahwa membanting barang itu tidak baik. Emotion focused coping-seeking social support for emotional reason yang digunakan RT yaitu RT mendapat dukungan dari keluarga besar dalam membantu mengajari anak belajar sehingga anak tidak mudah bosan.

d. Perkembangan sosial

1) Anak dijauhi oleh teman sebaya

Dalam relasi dengan teman sebaya, anak mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti dijauhi oleh teman sebayanya. Sehingga hal ini membuat RT merasa sedih karena ada anak yang tidak mau bermain dengan anaknya.

“ya kadang ada satu atau dua anak yang suka bilang nggak

mau main sama Z gitu juga ada.” (447-448)

Meskipun demikian, RT menyadari kondisi anaknya yang berbeda dengan anak lainnya dan memaklumi jika ada jarak antara anak yang normal dengan anaknya yang Down Syndrome (Emotion Focused Coping-Acceptance).

“Aku juga menyadari bahwa memang anakku kayak gitu.

Mungkin kalau aku punya anak normal ya mungkin nggak

sampai segitunya tapi jarak itu pasti ada.” (457-459)

2) Anak tidak dapat berbagi mainan dengan teman sebaya

Anak juga tidak bisa berbagi mainan dengan teman sebayanya. Anak tidak akan memberikan mainan yang paling ia sukai.

cuman kalau ada mainan yang disukai dia nggak boleh diganggu. Disembunyiin. Kalau mainan banyak dia bisa main bareng-bareng sama temen-temennya tapi kalau dia suka banget sama permainan yang dimainkan maka nggak mau

diganggu apa dipinjem.”(434-437)

Dalam mengatasi hal tersebut, RT berusaha membujuk anak supaya mau berbagi mainan dengan teman-temannya

(Problem Focused Coping-Active Coping).

“Kadang saya suka bujuk ayo to Fo, mainannya buat

barengan.” (437-438)

Stres yang bersumber dari perkembangan sosial anak yang RT alami yaitu dikarenakan oleh adanya anak normal yang tidak mau bermain dengan anak dan anak tidak bisa berbagi mainan dengan teman sebayanya. Bentuk stres yang dialami RT yaitu

merasa sedih dan kesal. Untuk mengatasi stres yang timbul, RT menggunakan koping emotion focused coping-acceptance yaitu dengan memahami kondisi anak dan memahami jika ada jarak antara anak yang normal dengan anaknya yang down syndrome. RT juga menggunakan problem focused coping-active coping yaitu dengan membujuk anak supaya mau berbagi mainan dengan teman sebayanya.

e. Perkembangan moral

1)Anak sering mengambil barang orang lain tanpa ijin

Menurut RT, pemahaman tentang baik dan buruk anak juga masih kurang. Hal ini terbukti dari kebiasaan anak mengambil barang orang lain tanpa ijin pemiliknya terlebih dahulu. RT merasa khawatir jika hal tersebut nantinya menjadi kebaisaan bagi anak

Dia suka ngambil barang orang lain. Bukan ngambil mungkin ya maksud dia. Jadi ada temennya di sekolah bawa kaset, tempat kasetnya diambil sama dia, tahu-tahu sudah dirumah.”

(54-57)

Merasa khawatir jika perilaku anak dapat menjadi kebiasaan, RT mendiskusikan hal tersebut dengan suami untuk mencari pemecahan masalah yang tepat (Problem Focused Coping-Seeking social support for instrumental action).

“Takutnya kebiasaan nanti. Saya sampai bilang ke bapaknya, pak iki piye pak.” (57-58)

2) Kesal dengan perilaku anak mengambil barang orang lain tanpa ijin

RT terkadang juga merasa kesal dengan perilaku anak yang suka mengambil barang orang lain tanpa meminta ijin yang punya.

“Nek dimarahin kan percuma to mbak anak begini? Bapaknya

suka bentak tapi saya sok menggak/nyegah. Tapi saya juga sok emosi gitu lho ini anak gimana sih (subjek memegang dada).”

(59-61)

Meskipun terkadang RT merasa kesal dengan perilaku anak dan merasa percuma jika memarahi anak, namun keluarga besar memberikan dukungan kepada RT dan memberikan kasih sayang yang melimpah kepada RT dan anak (Emotion Focused Coping-Seeking social support for emotional reason).

“Tapi ya berkat kasih sayang dari keluarga, saduara kan lebih ya. Lebih dari yang lain jadi saya lebih bisa sabar.” (61-63)

3)Anak sering membuang-buang makanan

Selain itu, sopan santun anak juga kurang karena anak sering membuang-buang makanan ketika diajak menghadiri acara. RT merasa tidak nyaman dengan kebiasaan anak mengambil makanan namun tidak dimakan.

“Tapi sekarang kan saya 24 jam dirumah jadi kemana aja saya

bawa. Kecuali kalau ke kondangan selain sodara karena Zefo suka ambil makanan tapi nggak mau makan. Jadi kan malah buang-buang makanan. Bukan karena malu tapi karena seneng buang-buang makanan.” (188-191)

Dengan kebiasaan anak yang senang menyia-nyiakan makanan, RT tidak mengajak anak untuk menghadiri acara selain acara keluarga dan teman dekat RT karena merasa tidak enak dengan pihak yang mengadakan acara karena kebaisaan anak mengambil makanan namun tidak dimakan (Problem Focused Coping-Active Coping).

“Kalau suka nelantarin makanan ya itu saya jarang ajak kalau ke pesta yang selain saudara atau temen deket saya. Karena nggak enak sama yang punya gawe, makanan diambil tapi

nggak dimakan.” (196-198)

Stres yang bersumber dari perkembangan moral anak yang dialami RT adanya kebiasaan anak yang suka mengambil barang orang lain tanpa ijin sehingga membuat RT merasa kesal. Anak juga senang membuang-buang makanan ketika diajak menghadiri undangan sehingga membuat RT merasa merasa tidak enak hati dengan orang yang memiliki acara. Dalam mengatasi stres tersebut, RT menggunakan Problem Focused Coping-Seeking social support for instrumental action yaitu dengan berdiskusi bersama suami tentang kebiasaan anak mengambil barang tanpa ijin, Emotion Focused Coping-Seeking social support for emotional reason yaitu dengan mendapat dukungan dari keluarga sehingga lebih bersabar, dan Problem Focused Coping-Active Coping yaitu dengan tidak mengajak anak menghadiri acara selain acara keluarga.

2.Lingkungan keluarga

1)Anak kedua mengalami kecemburuan atas perhatian orangtua kepada anak yang down syndrome

Timbul rasa kecemburuan antara anak kedua dengan anak ketiga. Anak kedua menganggap bahwa ibunya lebih memperhatikan adiknya yang berkebutuhan khsusus daripada dia. Sikap anak kedua ini membuat RT merasa kesal karena menganggap perhatian yang diberikan berbeda.

“Karena menurut S, Z itu lebih disayang daripada dia.” (589)

Dalam mengatasi kecemburuan antar anak kandung tersebut, RT berusaha memberikan pengertian kepada anak keduanya bahwa adiknya tidak bisa jika seperti dirinya yang terlahir normal. Adiknya harus banyak dibantu dalam keseharian, sedangkan S sudah besar dan bisa melakukan segala sesuatu sendiri. (Problem Focused Coping-Active Coping)

“Saya sama suami suka mengingatkan kalau kamu jadi Z gimana.

Kamu kan bisa apa-apa sendiri sedangkan Z kan masih harus dibantu. Makanan aja kamu bisa minta beli burger, nah kalau Z kan harus ditawarin dulu. Motor kamu minta beli vario, kamu bisa pakainya kalau Z kan palingan cuman bonceng. Mau po kamu jadi Z, sini gantian. Saya sama suami suka ngasih tahu ya