• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELEPAH KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN DASAR SAPI ROKHMAN

BAHAN DAN CARA

Pengamatan uji kemampuan sapi bali mengkonsumsi pelepah kelapa sawit dilakukan selama dua minggu dari tanggal 1 –15 September 2003 bertempat di PT Agricinal, Sebelat, Kabupaten Bengkulu Utara .

Sapi yang dipergunakan sebanyak 24 ekor sapi bali betina yang baru didatangkan dari daerah lampung. Ternak sapi ditempatkan pada kandang kelompok yang permanen dengan lantai cor semen dan atap seng gelombang, tiang kayu bulat dengan luas kandang 2,5 x 5 m2 . Kandang kelompok tersebut dilengkapi dengan tempat makan yang terbuat dari tembok bata dengan ukuran panjang sepanjang kandang, lebar 0.6 m dan tinggi 0.5 m.

Bahan pakan utama yang diberikan dalam kegiatan ini adalah pelepah kelapa sawit. Pelepah yang diperoleh dari kebun dikupas kulit bagian luarnya, untuk selanjutnya dicincang/dicacah dengan mempergunakan parang/golok ataupun mesin pencacah yang tersedia. Cacahan pelepah kelapa sawit selanjutnya diberikan dalam bentuk segar ataupun telah didiamkan semalam dengan jumlah 3 - 4 kg/ekor/hari. Jumlah pemberian cacahan pelepah ditingkat seiring dengan tingkat kesenangan ternak yang makin meningkat. Selain pelepah cacahan ternak sapi diberi juga solid/Lumpur sawit dan bungkil kelapa sawit sebagai pakan tambahan. Parameter yang diamati adalah tingkat konsumsi selama fase adaptasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil studi yang dilakukan oleh peneliti terdahulu menunjukkan bahwa, secara teoritis setiap hektar areal perkebunan dapat di tanam 143 pokok pohon dengan jarak tanam 9 x 9 m tergantung lokasi wilayah. Selanjutnya juga dilaporkan bahwa setiap pohan dapat menghasilkan 22 pelepah/tahun dengan rataan bobot pelepah/batang mencapai 2.2 kg setelah di kupas kulit (Dwiyanto dkk, 2003).

Pengamatan secara visual terhadap sapi-sapi yang diberi pelepah sebagai ransum pengganti hijauan cukup menarik. Sapi yang memperoleh cacahan pelepah kelapa sawit yang dicacah dengan mesin cacah kurang disenangi. Sementara sapi yang diberi cacahan dari hasil cincangan dengan menggunakan golok lebih disenangi. Pengamatan secara visual menunjukkan tingkat ksenangan sapi terhadap cacahan pelepah yang menggunakan mesin kurang baik karena menghasilkan produk yang berbulu. Hal ini disebabkan serat pelepah tidak terpotong dengan baik dan masih meninggalkan permukaan pelepah yang berserat. Tampaknya, apabila pelepah yang berbulu tersebut ingin dikonsumsi menyebabkan sapi merasa tertusuk lubang hidungnya sehingga mengurung niatnya untuk mengkonsumsi.

Dengan penambahan garam pada pakan yang diberikan tampaknya ternak sapi yang baru belajar mengkonsumsi pelepah secara bertahap mulai menyenangi dan mengkonsumsinya. Sapi yang dipergunakan pada kegiatan ini umumnya ternak yang baru didatangkan dari luar wilayah perkebunan kelapa sehingga fase pembelajaran sampai suatu tahap tertentu dibutuhkan. Sapi yang pada tiga hari pertama hanya mampu mengkonsumsi 2,5 kg per ekor per hari, dapat menghabiskan cacahan pelepah kelapa sawit,khususnya yang dicacah dengan golok sebanyak lebih dari 4 kg segar per ekor per hari pada akhir minggu pertama. Berat badan sapi saat penimbangan awal berkisar 100-125 kg per ekor. Dengan berjalannya waktu, pada akhir pengamatan, yakni akhir minggu kedua, sapi telah mampu menghabiskan pelepah rata-rata

7,650 kg segar per ekor per hari, sementara bahan pakan lain diberikan dalam jumlah yang tetap yakni solid sebanyak 4 kg dan bungkil kelapa sawit seberat 2 kg.

KESIMPULAN

Dari hasil kegiatan yang sederhana ini terlihat bahwa pelepah kelapa sawit dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti pakan hijauan, Sapi yang tidak biasa mengkonsumsi pelepah sebaiknya dibiasakan terlebih dahulu untuk beberapa saat.

DAFTAR BACAAN

ACIAR. 2003. Strategies to Improve Bali in Eastern Indonesia. Proceeding No. 110. Anonimus. 1998. Buku Statistik Peternakan. Dirjen Peternakan Departemen Pertanian.

Diwyanto, K., Sitompul, D., Manti, I., Mathius, I. W., Soentoro. 2003. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Sapi. Proseding Lokakarya Nasional. Bengkulu 9 – 10 September 2003.

Rokhman. 2002. Teknik Pemeliharaan Domba Fistula. Pros. Temu Teknis Fungsional Non Peneliti. Puslitbang Peternakan. Bogor. hal. 140 – 145.

136 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI HIJAUAN PAKAN TERNAK DI

DESA MARENU, TAPANULI SELATAN

RIJANTO HUTASOIT

Loka Penelitan Kambing Potong, P.O. Box 1 Galang, Medan

RINGKASAN

Untuk pengujian terhadap tingkat adopsi hijauan pakan ternak di Desa Marenu Tapanuli Selatan dilakukan survei terhadap 10 petani (Kooperator) binaan sebagai sampel yang berpartisipasi dalam melaksanakan ujicoba beberapa jenis hijauan pakan ternak dan telah mengadopsi hasil ujicoba tersebut dan terhadap 8 petani (Kooperator) yang tidak melaksnakan ujicoba, tetapi juga menanam berbagai macam jenis hijauan pakan ternak. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat adposi serta kriteria positif dan negatif dari berbagai jenis hijauan pakan ternak. Dari data yang terkumpul disimpulkan beberapa kriteria positif dan negatif dari jenis hijauan yang mereka tanam. Berdasarkan kriteria tersebut dapat diketahui tingkat adopsi hijauan pakan ternak yang populer. Dari data konsumsi hijauan potongan kooperator (n= 10) menunjukkan 100 % petani menggunakan Paspalum gueonarum sebanyak 15,5 % dalam ransum pada musim hujan dan 80 % petani menggunakan rumput lokal dalam ransumnya sebanyak 17,1 % pada musim kemarau. Sementara kooperator (n= 8) 75 % petani menggunakan 22,8 % rumput lokal dalam ransumnya pada musim hujan dan 75 % petani menggunakan rumput lokal sebanyak 38,4 % pada musim kemarau.

Kata kunci: kooperator, hijauan pakan ternak.

PENDAHULUAN

Dalam pengembangan peternakan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan misalnya, bibit, pakan, kesehatan, perkandangan dan manajemen lainnya. Khusus bagi ternak ruminansia faktor pakan banyak dipengaruhi oleh ketersediaan hijauan karena sebahagian besar dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak ruminansia adalah hijauan. Menurut Winugroho (1991) kelemahan sistem produksi peternakan pada umumnya terletak pada tata laksana pakan dan kesehatan, keterbatasan pakan dapat menyebabkan populasi ternak suatu daerah menurun, oleh karena itu kemampuan peternak dalam penyediaan pakan akan menentukan jumlah ternak yang mampu dipelihara.

Hijauan pakan ternak adalah rumput dan leguminosa alamai atau yang dibudidayakan dan digunakan sebagai pakan ternak (Tatang, 1998). Pengembangannya perlu mendapat perhatian karena setiap kenaikan jumlah populasi ternak tidak diikuti oleh peningkatan areal penanaman hijauan. Untuk mengatasi keterbatasan lahan perlu adanya upaya dalam peningkatan produksi hijauan pakan dengan cara intensifikasi (Wahyudi, 1981). Banyak hasil penelitian tentang pakan ternak baik dari segi kualitas maupun kuantitias, namun kenyataannya sampai saat ini masih kekurangan persediaan pakan terutama pada musim kemarau dan masih kurangnya minat petani untuk menanam rumput budidaya.

Menurut pengamatan di lapangan apabila musim hujan, produksi rumput meningkat karena kandungan air dalam tanah tinggi, sebaliknya pada musim kemarau produksi rumput menurun bahkan mati kekeringan karena kandungan air dalam tanah menurun, hal ini diamati juga oleh Rekso Hadiprojo, (1985). Di Indonesia hijauan sulit didapat dan kualitasnya rendah

khususnya pada musim kemarau. Hal ini menyebabkan menurunnya produktivitas ternak ruminansia yang dipelihara. Untuk itu perlu data dari berbagai jenis hijauan untuk mendapatkan jenis/species hijauan yang produksinya tinggi dan tahan di musim kemarau dikembangkan sebagai hijauan pakan ternak.

Tujuan penulisan ini untuk memberikan informasi kriteria positif dan negatif dari berbagai jenis hijauan pakan ternak dan tingkat adopsi oleh petani serta persentase konsumsi hijauan potongan yang digunakan pada musim hujan dan kemarau.