• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DALAM RANGKA PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DALAM RANGKA PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL"

Copied!
340
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DALAM RANGKA

PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

NURHAYATI

Kantor Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, Jakarta

PENDAHULUAN

Dalam rangka melaksanakan tugas umum pemerintah dan pembangunan, dituntut adanya kemampuan dan kemahiran manajerial yang dapat mengintegrasikan dan mengarahkan seluruh sumberdaya kepada pencapaian tugas pokok, sasaran dan misi organisasi, disamping itu dituntut pula pengetahuan dan ketrampilan teknis yang memungkinkan mutu hasil pelaksanaan ogranisasi sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam uraian di atas, dapat digambarkan bahwa kelompok jabatan fungsional adalah kelompok jabatan yang langsung memproses sumberdaya menjadi suatu hasil yang ditetapkan ogranisasi. Oleh karena itu ketrampilan teknis dari pemegang jabatan fungsional, yang apabila ditarik lebih luas merupakan hasil pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan.

Memperhatikan nilai strategis dari pemegang jabatan fungsional di dalam perannya untuk menangani tugas umum pemerintahan dan pembangunan, upaya pembinaan jabatan fungsional mutlak harus dilaksanakan secara lebih konsepsional dan harus dituangkan dalam wadah peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin kelangsungan sistem pembinaan jabatan fungsional.

Salah satu muatan di dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 yang selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1980 menyatakan bahwa dalam rangka usaha pembinaan karir dan peningkatan mutu profesionalisme, diatur tentang kemungkinan bagi PNS untuk menduduki jabatan fungsional.

PEMBINAAN JABATAN FUNGSIONAL SEBAGAI PEMACU PROFESIONALISME

Mempertegas pengertian yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, pada Pasal 1 angka 1. mendefinisikan Jabatan Fungsional sebagai berikut :

“Kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang PNS dalam suatu ogranisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri”

Disamping itu, dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tersebut, ditetapkan kriteria jabatan fungsional yang berbunyi sebagai berikut :

1. Mempunyai metodologi, teknis analisis dan prosedur kerja yang didasarkan atas disipin ilmu pengetahuan dan/atau pelatihan teknis tertentu dengan sertifikasi;

(2)

2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan 2. Memiliki etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi;

3. Dapat disusun dalam suatu jenjang jabatan berdasarkan : a. tingkat keahlian bagi jabatan fungsional keahlian; b. tingkat ketrampilan bagi jabatan fungsional ketrampilan.

4. Pelaksanaan tugas bersifat mandiri;

5. Jabatan fungsional tersebut diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi

Masing-masing dari kriteria tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut

1. Untuk dapat menetapkan angka kredit kegiatan pemegang jabatan fungsional, perlu diidentifikasi melalui uraian tugas, mencakup prosedur kerja dan ukuran keberhasilan dari jabatan yang bersangkutan, sehingga angka kredit dibuat sedemikian rupa untuk dapat membantu pemangku jabatan-jabatan fungsional bekerja sesuai dengan disiplin ilmu dan atau pedoman kerja yang ditetapkan. Disamping itu mekanisme penilaian angka kredit ditetapkan melalui suatu tim yang terdiri dari rekan sejawat yang senior, sehingga objektivitas dan mutu profesionalisme diharapkan terjamin.

2. Dengan ditetapkannya suatu jabatan fungsional diharapkan dapat mendorong terbentukny dan atau pemantapan organisasi progresi dari jabatan fungsional yang bersangkutan, yang memungkinkan dapat dirumuskan etika profesi yang merupakan norma-norma yang ditetapkan oleh disiplin ilmu dan organisasi yang harus dipatuhi oleh pejabat fungsional di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

3. Dilihat dari jenis pekerjaan, jabatan fungsional di bagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu: ƒ Jabatan fungsional keahlian, dimana metodologi dan teknis analisis di dasarkan atas

disiplin illlmu pengetahuan dan kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki, serta mendapat sertifikat keahliannya.

ƒ Jabatan fungsional ketrampilan, dimana di dalam pelaksanaan pekerjaan didasarkan pada teknis dan prosedur kerja yang ditentukan dengan memperoleh sertifikasi dan lisensi yang menunjukkan kompetensi keahlian dan ketrampilannya.

4. Yang dimaksud dengan pelaksanaan tugas yang bersifat mandiri adalah bahwa hasil pelaksanaan tugas dan kewenangan pejabat fungsional bersifat mandiri, dalam arti dan tanggung (responsibility) dan tanggung gugat (accountability) untuk pelaksanaan tugas pokok dan hasilnya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.

a. Dalam pelaksanaan tugasnya pejabat fungsional tidak mutlak harus bekerja sendiri. Dia tidak dibantu oleh tenaga professional yang lain, namun tanggung jawab dan tanggung gugat hasil pelaksanaan tugas dan kewenangan pelaksanaan tugas tetap melekat pada pejabat fungsional tersebut.

5. Penetapan komposisi jumlah dan kualifikasi jabatan fungsional dalam suatu satuan unit kerja harus sesuai dengan beban kerja, prosedur dan tingkat kecanggihan metodologi, alat dan perlengkapan yang dipergunakan oleh satuan kerja yang bersangkutan.

(3)

KONDISI JABATAN FUNGSIONAL SAAT INI DAN PERMASALAHAN

1. Jumlah jabatan fungsioal yang telah ditetapkan dengan keputusan MENPAN sejak ditetapkannya jabatan fungsional Peneliti pada tanggal 10 Januari 1983 sampai dengan bulan Juni 2004, telah ditetapkan sebanyak 93 jenis jabatan fungsional.

2. Jabatan fungsional belum sepenuhnya diakui pemerintah daerah. Jabatan fungsional yang ada belum dapat dipahami dan diterapkan di lingkungan pemerintah Provinsi dan Kab/Kota, karena masih banyak jabatan fungsional yang belum diakui eksistensinya sebagai salah satu jalur pembinaan karir.

3. Ketentuan tentang jabatan fungsional umumnya belum diketahui oleh daerah. Ketentuan jabatan fungional yang berupa Kep. MENPAN tentang jabatan fungsional yang bersangkutan, SKB. Instansi Pembinan denan BKN tentang petunjuk pelaksanaannya, dan Kep. Instansi Pembina Teknis tentang petunjuk teknis, serta pedoman-pedoman lain tentang jabatan fungsional yang bersangkutan belum tersedia, belum lengkap dan belum disosialisasikan, bahkan belum dimiliki oleh pemerintah daerah pada umumnya.

UPAYA YANG DIPERLUKAN DALAM PEMBINAAN JABATAN FUNGSIONAL

1. Kewajiban instansi pembinaan teknis jabatan fungsional Departemen Pertanian merupakan salah satu instansi pembinaan teknis terhadap jabatan-jabatan fungsional maupun ilmu hayat, mempunyai kewajiban.

a. mensosialisasikan jabatan-jabatan fungsional dilingkungannya; b. menyusun petunjuk teknis jabatan fungsioal dilingkungannya; c. melakukan evaluasi terhadap jabatan fungsional dilingkungannya; d. menyusun pedoman dan standar formasi jabatan fungsional ;

e. menetapkan standar kompetensi, diklat, dan kriteria di lingkungannya.

2. Upaya pembinaan terhadap pejabat jabatan fungsional.

Selain melakukan pembinaan teknis bagi jabatan fungsional dilingkungan Departemen Pertanian juga menerapkan pembinaan karir PNS melalui jalur jabatan fungsional baik jabatan fungsional yang berada di lingkungan Departemen Pertanian maupun jabatan-jabatan fungsional lainnya yang bersifat umum seperti Peneliti, Litkayasa, Widyaiswara, Instruktur, Pustakawan, Statistisi, Analisis kepegawaian, Perencana, perancang Perundang-undangan, Pranata Komputer, Audito, dan Arsiparis yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas fungsi organisasi Departemen Pertanian.

3. Penerapan dan penataan jabatan fungional dilingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, khususnya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan terdapat jabatan fungsional Penelitia dan Litkayasa untuk pelaksanaan tugas pokok penelitian dan pengembangan di bidang peternakan. Dengan demikian keberadaan Peneliti dan Litkayasa baik secara kuantitas dan kualitas diperlukan sesuai dengan beban tugas penelitian yang diselenggarakan.

(4)

4 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Selain pelaksana fungsi lini pada PusLitbang Peternakan, perlu penerapan dan penataan jabatan fungsional non penelitian yang menunjang pelaksanaan tugas pokok antara lain Pustakawan, Statistisi, Pranata Komputer dan Arsiparis.

BEBERAPA HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PENERAPAN JABATAN FUNGSIONAL

1. Penetapan formasi jabatan fungsional harus memperhatikan kelangsungan volume dan beban tugas, sehingga didapatkan perhitungan jumlah dan kualitas kebutuhan pejabat fungsional agar pembinaan karier pejabat fungional tidak terhambat.

2. Pengangkatan pejabat fungsional harus memperhatikan minat dan kesesuaian kompetensi sesuai dengan persyaratan.

3. Penetapan Tim Penilai untuk masing-masing jabatan fungsional sesuai ketentuan. 4. Evaluasi terhadap pejabat fungsional dan penerapan jabatan fungsional secara periodic.

PERAN TIM PENILAI

Dalam penerapan jabatan-jabatan fungsional di lingkungan Puslitbang Peternakan baik yang bersifat pelaksana tugas penelitian dan penunjang penelitian, Tim Penilai Jabatan Fungsional memiliki peran yang sangat penting untuk menjamin objektivitas kinerja para pejabat fungional dan sekaligus meningkatkan kualitas karier bagi PNS yang menduduki jabatan fungsional. Bagi jabatan-jabaatan fungsional non penelitian/ yang menunjang pelaksanaan tugas penelitian di lingkungan Puslitbang Peternakan seperti Pustakawan, Arsiparis, Pranata Komputer, dan Statistik, keberadaan Tim Penilai di lingkungan Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian. Sedangkan jabatan fungsional non penelitian yang bersifat substansi baik sebagai pelaksana teknis di laboratorium maupun di lapangan seperti Penyuluh, Pengawas Kkualitas di bidang peternakan tentunya Tim penilai berada pada unit kerja yang membidangi substansi yang bersangkutan.

KEMUNGKINAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Sebagai salah satu jalur pembinaan karir PNS, jabatan fungsional akan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan organisasi.

Secara nasional Instansi-instansi Pembina Teknis dapat mengembangkan terhadap jabatan fungsional dilingkungannya. Dilingkungan Departemen Pertanian kemungkinan jabatan fungional yang dikembangkan di bidang pengawasan kualitas di bidang peternakan.

PENUTUP

Melalui forum Temu teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian ini, diharapkan mendapatkan wawasan dan informasi, sekaligus forum komunikasi untuk peningkatan kualitas dan profesionalisme dalam bidang masing–masing.

(5)

Pengembangan profesionalisme mensyaratkan perlu adanya jalur pengembangan karier, sehingga memungkinkan tenaga fungsional dapat meningkatkan ilmu, ketrampilan, tanggung jawab dan wewenangnya, mengingat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi terdapat pembagian tugas yang jelas dengan tanggung jawab wewenang, tingkat ilmu, ketrampilan yang sesuai dengan jenjang jabatannya.

Keuntungan Pengembangan Jabatan Fungsional

a. sebagai wadah pengembangan karier tenaga – tenaga teknis;

b. mendorong terciptanya organisasi yang berorientasi pada kompetentif (professional based) dan sekaligus dapat memacu profesionalisme;

c. sistem penilaian kinerja berdasarkan prestasi kerja yang terukur; mendukung terwujudnya akuntabilitas secara individu maupun organisasi dan sekaligus diharapkan mendorong sistem penggajian pegawai yang adil sesuai dengan kontribusi dan kinerjanya.

Sejalan dengan kebijakan penataan organisasi yang sekaligus diikuti program penataan pegawai, jabatan-jabatan yang akan diisi oleh PNS yang memiliki kompetensi yang sesuai, maka pengembangan jabatan fungsional merupakan alternatif yang tepat dalam mewujudkan jalur pembinaan karier bagi PNS.

(6)

6 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

MENYILANGKAN ENTOG DAN ITIK UNTUK MENDAPATKAN

ITIK PEDAGING (TIKTOK)

SUGENG WIDODO DAN R.DENNY PURNAMA Balai Penelitian Ternak Ciawi Po.Box 221 Bogor 16002

RINGKASAN

Meningkatnya kebutuhan itik pedaging dapat dilakukan dengan menyilangkan ternak entog jantan dan itik betina , sehingga diharapkan dapat menghasilkan itik pedaging yang mampu tumbuh lebih cepat dalam waktu relatif singkat. Proses persilangan dimulai dengan pelatihan pejantan bibit agar dapat ditampung spermanya dengan metoda vagina buatan, kemudian diencerkan dengan menambahkan bahan pengencer dan dilakukan inseminasi buatan (IB) pada itik betina. Dengan teknik yang tepat diharapkan dapat menghasilkan telur tetas yang berkualitas yang dapat menghasilkan Tik Tok sebagai itik pedaging. Kata Kunci : Kawin Silang, Tik-Tok,Inseminasi Buatan.

PENDAHULUAN

Untuk mengembangkan itik pedaging, di Balai Penelitian Ternak telah dilakukan upaya kawin silang antara entog jantan (Cairina Moschata) dengan itik jawa betina (Anas Javanica), itik alabio betina (Anas platyrhynchos Borneo) dan itik betina hasil persilangan antara itik peking jantan dengan itik alabio betina. Hasil kawin silang dikenal dengan nama “Tik Tok” atau “Itik Serati” dan di Jawa Barat dikenal dengan nama “Mandalung”, berpotensi sebagai ternak pedaging karena memiliki kemampuan untuk tumbuh lebih cepat sehingga cepat dipanen. Hal ini disebabkan adanya genetik yang diturunkan yang berasal dari entog, sehingga pada umur 2 bulan dapat mencapai bobot badan antara 1,8 kg – 2,0 kg. Dengan bobot potong tersebut, akan menghasilkan karkas yang ideal sebagai itik panggang, sehingga peluang pemasaran sangat terbuka khususnya disekitar Jabotabek.

Sementara pengembangan “Tik Tok” masih sangat terbatas, padahal teknologi untuk mengembangkannya tidak terlalu sulit karena dalam proses persilangan memanfaatkan teknologi Inseminasi Buatan (IB) sehingga dapat mempermudah proses persilangan akibat perbedaan bobot. Teknologi IB adalah suatu proses mendepositkan semen kedalam saluran reproduksi betina yang sedang estrus dengan bantuan alat buatan manusia (Hafez dkk, 2000 ).

Proses kawin silang antara entog jantan dan itik betina ,dimulai dengan pelatihan entog jantan sebagai bibit sampai dapat terangsang pada entog betina pemacing dan terjadi ejakulasi. Waktu yang dibutuhkan untuk pelatihan kurang lebih dua minggu, kemudian setelah entog jantan terlatih dapat dilakukan proses penampungan semen untuk bahan IB yaitu dengan metoda Vagina Buatan. Semen yang terkumpul setelah diencerkan dapat segera di IB kan pada ternak betina. Selanjutnya telur hasil IB yang terkumpul dapat ditetaskan dan menghasilkan “Tik Tok”.

Tujuan penulisan makalah adalah untuk memberi informasi mengenai cara mengembangkan Tik Tok dengan teknik IB, dan dari paparan ini diharapkan teknologi dapat diadopsi oleh peternak yang berminat mengembangkan Tik Tok.

(7)

MENGENAL ALAT REPRODUKSI TERNAK ITIK DAN ENTOG DAN PERILAKU KAWIN ALAM

1. Alat reproduksi itik/entog jantan

Ternak Itik atau Entog jantan mempunyai sepasang testis yang berbentuk silindris terletak di rongga badan menempel pada dinding punggung bagian belakang. Alat genitalia pada itik atau entog jantan tidak berkembang dan hanya berupa phallus dan tidak memiliki jaringan otot seperti pada mamalia. Sepanjang organ ini terdapat saluran yang disebut ejaculatory grove dan berpangkal di bagian coprodaeum pada kloaca sampai ke ujung penis.

Gambar 1. Alat reproduksi jantan (Sumber Sri Gandono,1986)

2. Alat Reproduksi Itik /entog Betina

Seperti halnya pada ayam, alat reproduksi itik betina terdiri dari dua bagian besar yaitu ovarium dan oviduct. Walaupun ada sepasang ovarium dan oviduct, namun hanya bagian kiri yang berfungsi sedangkan yang kanan mengalami rudimenter. Ovarium pada itik merupakan kumpulan kuning telur (yolk) berbagai ukuran mulai dari yang kecil berdiameter 0,5 mm sampai yang besar menyerupai kuning telur.

Bagian oviduct merupakan bagian penting pada proses IB dan terdiri dari infundibulum, magnum, isthmus, uterus dan vagina. Dalam proses inseminasi sebagian besar spermatozoa tersimpan dalam lipatan-lipatan antara uterus dan vagina, dengan suatu proses yang belum diketahui. Perjalanan spermatozoa ini mungkin terjadi setiap kurun waktu tertentu pada saat oviduct dalam keadaan kosong. Untuk itu perlu diketahui jumlah spermatozoa optimal yang harus diinseminasikan agar diperoleh angka fertilitas yang baik. Selain itu ke dalaman inseminasi perlu diperhatikan agar spermatozoa dapat disimpan di dalam saluran antara uterus dan vagina dalam jumlah besar.

Keterangan:a.Ovarium,b.infundibulum,c.magnum, d.isthmus, e. uterus, f. vagina.

(8)

8 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

3. Perilaku kawin alam pada ternak itik dan entog

Pada kondisi liar, ternak itik atau entog biasanya kawin di atas air (sambil berenang), yaitu di sungai atau danau. Namun pada kondisi pemeliharaan intensif ternak itik atau entog dapat kawin dengan hasil fertilitas yang baik walaupun tanpa ada fasilitas kolam. Pada dasarnya ada lima tahapan tingkah laku sewaktu kawin yaitu tahap perayuan, tahap naik ke atas punggung, perangsangan betina, ereksi dan ejakulasi.

Tahapan-tahapan tersebut banyak diuraikan oleh Lorenz (1951),sebagai berikut:

Tahap perayuan : pada pejantan ditandai dengan menaik turunkan kepala sambil bersuara yang khas dan mematuk matuk betina.

Tahap naik ke atas punggung betina.

Tahap perangsangan yaitu dengan memijit-mijitkan/menekan kakinya pada punggung betina sambil mengigit kepala dan menggerak-gerakan ekornya secara berirama untuk mengarahkan kloakanya pada kloaka betina.

Tahap ereksi yang ditandai dengan menonjolnya kloaka pejantan (tonjolan berwarna merah). Tahap ejakulasi.

PELATIHAN PEJANTAN YANG AKAN DITAMPUNG SEMENNYA

a. Entog pejantan yang akan diambil semennya dipilih yang sehat dan umurnya diatas 9 bulan. Kemudian dikandangkan dalam kandang individu/ battery dan diberi pakan dengan protein 17%, biarkan lebih kurang 2 minggu untuk beradaptasi.

b. Selanjutnya ambil entog betina penggoda yang sedang birahi/bertelur, tandanya adalah betina tersebut apabila disentuh punggungnya akan jongkok. Kemudian pegang salah satu sayapnya pada sisi yang sama supaya tenang dan tidak berontak.

c. Setelah tenang lalu didekatkan pada kandang individu jantan. Pekerjaan ini dilakukan secara berkala sampai ada respon dari pejantan. Bila pejantan sudah mulai ada tanda-tanda ingin kawin, akan terlihat dengan tingkah laku yang berontak ingin mendekati betina yang dipegang. Selanjutnya masukkan betina ke dalam kandang pejantan sambil kaki dan sayapnya masih tetap dipegang.

d. Apabila pejantan sudah mulai naik ke punggung betina amati tahapan perilaku entog bila sedang kawin yaitu perayuan, perangsang, ereksi siapkan tabung vagina buatan dan tempelkan sejajar dengan kloaka betina pada posisi miring horizontal ke dalam dengan jalan digenggam menggunakan tangan kanan.

e. Dengan demikian bila terjadi ejakulasi kelamin jantan yang berbentuk spiral akan masuk ke tabung vagina buatan dan semen dengan otomatis akan tertampung.

f. Apabila pejantan belum ada respon terhadap ternak betina yang didekatkan, maka untuk perangsangan harus terus dilakukan setiap hari karena ada kemungkinan pejantan tersebut belum teradaptasi.

TEKNIK PENGUMPULAN SPERMA ENTOG DENGAN TEKNIK VAGINA BUATAN

Pengumpulan sperma (semen) itik umumnya dilakukan dengan teknik pengurutan, dimana pada saat pejantan terangsang dan terjadi ejakulasi sperma diisap oleh alat yang

(9)

dinamakan aspirator. Khusus untuk pengumpulan sperma entog disarankan menggunakan teknik vagina buatan. Pengumpulan sperma (semen) itik dengan teknik vagina buatan pertama kali dilaporkan oleh Kuzjmina (1933) dengan menggunakan tabung dari gelas yang dimasukkan ke dalam lingkaran karet dan difiksasi (diikat/ditempelkan) di kloaka itik betina. Sperma secara otomatis akan tertampung di tabung tersebut apabila itik jantan melakukan kawin alam. Nishiyama dkk. (1976) menggunakan vagina buatan untuk menampung semen itik jantan. Alat ini mirip dengan vagina buatan pada ternak besar, tetapi ukurannya lebih kecil dan tidak perlu mengisi air hangat maupun pemberian pelumas. Itik jantan dimasukkan ke dalam kandang betina, pada saat pejantan naik ke atas punggung betina, phallus diarahkan ke dalam vagina buatan.

Dengan metode ini semen yang bersih dan berkualitas baik dapat dikumpulkan dengan cepat. Tan (1980) selanjutnya menggunakan cara pengumpulan semen dengan teknik vagina buatan pada entog. Teknik ini menggunakan tabung gelas berdiameter 3,5 cm dan panjang 10 cm, entog betina digunakan sebagai dummy. Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan teknik vagina buatan ini, semen itik dapat lebih sering dikumpulkan tanpa mempengaruhi kualitas dan kuantitasnya dan menghasilkan semen yang lebih bersih karena pencemaran urine dan faeces dapat berkurang.

Penampungan semen dengan VB Semen hasil penampungan

Gambar 3. Cara penampungan dengan vagina buatan (Sumber Simanjuntak, 2002).

TEKNIK INSEMINASI BUATAN (IB) PADA ITIK

a. Ternak itik yang akan di IB adalah itik betina yang sedang bertelur, dengan tanda apabila didorong dan ditekan di bagian bawah kloaka akan kelihatan alat reproduksinya yaitu lubang di sebelah kiri dari kloaka dan lubang sebelah kanan bentuknya menonjol dan lebih kecil adalah lobang pengeluaran kotoran dan urine.

b. Waktu yang tepat untuk melakukan IB adalah pada pagi hari antara jam 6.00 Wib sampai jam 11.00 Wib, karena pada saat itu itik telah bertelur dan proses peletakan telur (ovi posisi) belum terjadi.

c. Cara melakukan IB adalah dengan alat suntik tanpa jarum (tuberculine syringe) diisap sperma(semen) entog segar yang sudah diencerkan dengan perbandingan 1 : 2 sebanyak 0,1 cc – 0,2 cc (dosis IB) .

d. Kemudian alat suntik yang berisi semen dimasukkan kedalam saluran reproduksi itik betina dengan kedalaman sekitar 3 cm (deposisi semen intra vaginal).

(10)

10 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan e. Selanjutnya tekanan pada kloaka dilepaskan secara perlahan sambil alat suntik didorong

secara perlahan mengikuti saluran reproduksi. Bila posisi kloaka sudah kembali normal, baru semen disuntikkan.

Gambar 7. Cara melakukan Inseminasi Buatan (sumber Simanjuntak,2002).

PENGAMATAN METODE PERSILANGAN

Di Balitnak telah dilakukan persilangan Entog jantan dengan beberapa breed itik betina antara lain:

1. Entog jantan dengan itik mojosari betina (hasil persilangan dinamakan itik EM) 2. Entog jantan dengan itik alabio betina (hasil persilangan dinamakan itik EA)

3. Entog jantan dengan itik betina hasil persilangan antara itik peking jantan dengan itik alabio betina (hasil persilangan dinamakan itik EPA)

Keberhasilan kawin silang ditentukan oleh tingginya prosentase daya tunas dan daya tetas telur hasil IB. Dari persilangan yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh sangat bervariasi, baik untuk daya tunas maupun daya tetas. Hasil persilangan dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel. 1 Persentase daya tunas dan daya tetas telur hasil IB pada persilangan Entog dan Itik

Mojosari. Periode pemeriksaan No Identitas Telur Total Telur INF F Daya Tunas (%) DE Hari Ke 7 DE Hari Ke 14 DE Hari Ke 21 ∑ Tran ∑ netas Daya tetas (%) 1 EM 244 50 194 79,5 46 30 32 86 65 33,5 2 EM 169 58 111 65,6 24 19 4 64 41 36,9 3 EM 183 75 108 59,0 40 13 23 32 31 28,7 Rata-rata 68,03 Rata-rata 33,03

Keterangan : INF= Infertil, F= Fertil, DE= Dead Embrio (embrio mati), ∑Trans= jumlah embrio hidup transisi

(11)

Pada Tabel .1 Pada kawin silang antara Entog Jantan dengan Itik Mojosari betina mendapatkan daya tunas rata-rata 68,03 %, sedangkan persentase daya tetas telur rata-rata adalah 33,03 %.

Tabel.2 Persentase daya tunas dan daya tetas telur hasil IB pada persilangan Entog dan Itik Alabio.

Periode pemeriksaan No Identitas

Telur

Total

Telur INF F Daya Tunas (%) DE Hari Ke 7 DE Hari Ke 14 DE Hari Ke 21 Trans ∑ netas ∑ Daya tetas (%) 1 EA 119 25 94 78,9 30 12 8 44 40 42,5 2 EA 119 15 104 87,3 34 18 6 46 45 43,2 3 EA 115 23 92 80 28 15 5 44 25 27,1 Rata-rata 82,06 Rata-rata 37,6

Keterangan : INF= Infertil, F= Fertil, DE= Dead Embrio (embrio mati), ∑Trans= jumlah embrio hidup transisi

Pada Tabel .2 Pada kawin silang antara Entog Jantan dengan Itik Alabio betina mendapatkan daya tunas rata-rata 82,06%, sedangkan persentase daya tetas telur rata-rata adalah 37,6 %.

Tabel .3 di bawah ini, kawin silang antara Entog Jantan dengan Itik hasil silangan itik Peking jantan dengan itik Alabio betina mendapatkan daya tunas rata-rata 75,7 %, sedangkan persentase daya tetas telur rata-rata adalah 45 %.

Tabel. 3. Persentase daya tunas dan daya tetas telur hasil IB pada persilangan Entog, Itik Peking dan Itik Alabio.

Periode pemeriksaan No Identitas Telur Total Telur INF F Daya Tunas (%) DE Hari Ke 7 DE Hari Ke 14 DE Hari Ke 21 ∑ Trans ∑ netas Daya tetas (%) 1 EPA 115 20 95 82,6 21 15 4 55 48 50,5 2 EPA 83 20 63 75,9 14 13 8 28 24 38,9 3 EPA 118 37 81 68,6 23 6 11 41 37 45,6 Rata-rata 75,7 Rata-rata 45

Keterangan : INF= Infertil, F= Fertil, DE= Dead Embrio (embrio mati), ∑Trans= jumlah embrio hidup transisi

Dari ketiga persilangan di atas, untuk daya tunas rata-rata tertinggi diperoleh pada persilangan antara Entog jantan dengan itik Alabio betina yaitu 82,06 %, sedangkan untuk rata-rata daya tetas tertinggi diperoleh pada persilangan antara Entog jantan dengan itik hasil silangan Peking jantan dan itik Alabio betina yaitu 45 %.

Secara keseluruhan kendala yang dihadapi pada kawin silang entog dengan itik adalah masih rendahnya daya tetas. Banyak faktor yang mempengaruhi persentase daya tetas diantaranya berat dan bentuk telur tetas, lama penyimpanan telur tetas, kondisi mesin tetas (suhu yang stabil dan dapat diatur), kelembaban mesin tetas , dan keadaan suplay listrik yang sering mati sehingga suhu didalam mesin sering ber ubah-ubah. Selain itu faktor genetik, nutrisi induk

(12)

12 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan juga sangat berpengaruh pada daya tetas. Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil yang optimal masih perlu dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut.

KESIMPULAN

a. Keberhasilan IB pada kawin silang antara ternak entog dan itik ditandai dengan tingginya prosentase daya tunas (fertilitas) dari telur hasil IB.

b. Keberhasilan IB ditentukan oleh kemampuan operator/inseminator dalam menguasai teknik IB dan juga pengalaman dalam penerapan teknik IB dilapangan.

c. Sedangkan untuk daya tetas dipengaruhi oleh bentuk dan berat telur, kondisi mesin tetas, aliran listrik pada pemanas , lama penyimpanan, kelembaban ,faktor genetik dan nutrisi induk.

DAFTAR BACAAN

Chaves, Er and A. Lasmini. 1977. Artificial Insemination For Ducks. P4 report 1-8.

Chelmonska,B.,H.Galusszkowa, and J.Lisiecki (1962). Electro Ejaculation in Drakes.Medycine Wet.18 : PP 712-714.

Hafez, E.S.E., B.Hafez ,2000. Reproduction in Farm Animal. 7th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.

Kuzjmina, N.D. 1993. Artificial Insemination in Duck. Trudy Inst. Gibrid Askania Nova 1:197-205 [Quoted From Animal Breeding Abstract, 1934:2:148].

Balai Penelitian Ternak. Leflet Informasi Kawin Suntik Pada Itik Balitnak Ciawi. Po Box 221-Bogor 16002.

Lorenz, K. 1951. Comparative Studies on the Beheviour of Anatinae. Agricultural Magazine 57:PP.157-182.

Nishiyama, H, N, Nakashima, and N. Fujihara. 1976. Studies on the Acessory Reproductive Organs in the Drakes:1 Addition to Semen on the Fluid From the Ejaculatory Grove Regions. Poultry Science.55:PP.234-242.

Onishi,N,Y.Kato and K.Futamura (1955), Studies On The Artificial Insemination In Ducks.Bull.Nat.Inst.Agric.Sci.Seies 6, No 11 : PP 17-31.

Quin,J.P. and W.H.Burrows (1936). Artificial Insemination In Fowl.J.Herred.XXVII: PP.31-37.

Setioko, A.R. and D.J Hetzel. 1984. the Effect of Collections Method and Housing System on Semen Production and Fertility of Alabio drakes. British Poultry Science Vol. 25(2) PP. 167-172.

Simanjuntak.L., 2002 Mengenal Lebih Dekat TIKTOK Unggas Pedaging Hasil Persilangan Itik & Entog. Penerbit Agro Media Pustaka Depok.

Sri Gandono,B.,(1986). Ilmu Unggas Air. Penerbit Gajah Mada Univercity Press.Jogyakarta.

Tan, N.S. 1980. the Frequency of Semen Collections and Semen Production in Muscovy Ducks. Britih Poultry Science. 21:PP.265-272.

Widodo, S., 2003 . Inseminasi Buatan (IB) Pada Ternak Itik dan Entog dengan Teknik Vagina Buatan untuk Menghasilkan Tiktok. Materi Pelatihan pada “Pelatihan Teknis Peternakan dan Pengembangan Ternak Unggulan TIKTOK” yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian / Ka Subdin Peternakan Kota Depok Jawa Barat,tanggal 9 September 2003(belum dipublikasikan).

(13)

INSEMINASI BUATAN PADA AYAM BURAS DENGAN METODE

DEPOSISI INTRA UTERINE

A. UDJIANTO DAN R.DENNY PURNAMA Balai Penelitian Ternak Po.Box 221 Bogor 16002

RINGKASAN

Untuk memacu percepatan perkembangan usaha ternak ayam buras kearah komersial, perlu dilakukan perubahan pola pemeliharaan kearah intensifikasi dengan memanfaatkan berbagai terobosan teknologi. Salah satu teknologi yang dapat diadopsi adalah teknik Inseminasi Buatan (IB) yang telah dimanfaatkan pada industri pembibitan ayam ras. Ada dua metode IB yaitu metode deposisi semen intra vaginal dan intra uterine. Keberhasilan IB ditunjukkan oleh daya tunas telur ( % fertilitas) hasil IB. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kondisi pejantan, kondisi betina (induk), bahan pengencer semen, metode IB, waktu dan dosis IB serta gizi pakan. Makalah ini akan menjelaskan metode deposisi semen intra uterine, yang memiliki tingkat keberhasilan dalam fertilisasi relatif lebih tinggi. Dari paparan ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi usaha pembibitan ayam buras yang dipelihara secara intesif. Kata Kunci : Ayam Buras, Teknologi IB, Metode deposisi intra uterine.

PENDAHULUAN

Untuk memacu percepatan perkembangan usaha ayam buras kearah komersial , perlu dilakukan perubahan pola pemeliharaan kearah intensifikasi dengan memanfaatkan berbagai terobosan teknologi yang telah dikembangkan untuk budidaya. Kendala utama usaha komersial ayam buras adalah dalam pengadaan bibit ayam dara (Pullet) pengganti induk pada pemeliharaan intensif. Inovasi teknologi Inseminasi Buatan (IB), merupakan alternatif pemecahan masalah tentang pengadaan bibit dalam waktu relatif singkat.

Menurut Sastrodiharjo (1996) teknik IB pada ayam buras adalah suatu teknik mengawinkan secara buatan dengan memasukkan semen yang telah diencerkan dengan pengenceran tertentu ke dalam saluran reproduksi ayam betina yang sedang bertelur. Pemanfaatan teknik IB pada industri pembibitan ayam ras telah lama dikembangkan, sedangkan pada ayam buras baru dikenalkan pada awal tahun 1990. Keuntungan pemanfaatan teknik IB pada ayam buras ini disamping untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan, menanggulangi rendahnya fertilitas akibat kawin alam, untuk mengetahui dengan jelas dan pasti asal usul tetuanya (induk dan pejantan), meningkatkan jumlah produksi telur tetas, serta upaya pengadaan anak ayam (DOC) dalam jumlah banyak, umur seragam dan waktu yang singkat.

Sastrodihardjo (1996) mengemukakan ada dua metode yang dikembangkan dalam pelaksanaan inseminasi buatan pada ayam buras yaitu Metode deposisi semen intra vaginal yakni pendeposisian sperma disuntikan ke dalam vagina dengan ke dalaman ± 3 cm.

Metode deposisi semen intra uterine, artinya pendeposisian sperma disuntikan ke dalam daerah perbatasan antara vagina dengan bagian uterus yang dikenal dengan Utero Vaginal Junction (UVJ) dengan ke dalaman ± 7 - 8 cm.

(14)

14 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Dengan metode deposisi semen Intra Vaginal, dosis IB yang disuntikkan kemungkinan dapat keluar kembali karena adanya gerak kontraksi dari vagina kearah luar. Selain itu peluang stress pada induk akan lebih besar pada metode deposisi intra vaginal, jika dibandingkan dengan metode deposisi semen intra uterine. Keuntungan IB dengan metode deposisi intra uterine adalah selain mengurangi stress, sperma langsung didepositkan kedaerah UVJ. Setelah dikondisikan spermatozoa yang normal dan memiliki motilitas yang progresif akan bergerak cepat dengan bantuan rheotaksis yaitu pergerakan yang berlawanan dengan aliran cairan menuju infundibulum dan disimpan dalam sperm nest untuk menunggu proses pembuahan (fertilisasi). Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi spermatozoa sampai infundibulum berlangsung selama 1 jam. Keberhasilan IB ditunjukkan oleh daya tunas telur ( % fertilitas) hasil IB. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kondisi pejantan, kondisi betina (induk), bahan pengencer semen, metode IB, waktu dan dosis IB serta gizi pakan.

Tujuan penulisan makalah adalah untuk memberi pemahaman mengenai seluk beluk teknik IB dengan metode deposisi semen intra uterine pada ayam buras, dan dari apa yang dipaparkan mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi usaha pembibitan ternak ayam buras secara intensif.

PENGENALAN SALURAN TELUR INDUK AYAM (OVIDUCT)

Saluran telur induk (Oviduct) merupakan saluran yang berbelit-belit dengan panjang sekitar 70-80 cm dan diameter 1-5 cm pada ayam yang sedang bertelur, sedangkan pada ayam yang tidak bertelur panjangnya 10-15 dm dengan diameter 1-7 mm (Toelihere, 1981). Saluran telur induk ayam buras terdiri dari :

a. Infundibulum (panjang 9 cm) berbentuk corong yang berfungsi untuk menangkap ovum yang diovulasikan dan tempat terjadinya fertilisasi (Bahr dan Bakst, 1987).

b. Magnum (panjang 33 cm), pada bagian ini terjadi pembentukan putih telur (albumin) (Nesheim dkk, 1979)

c. Isthmus (panjang 8-10 cm) berfungsi untuk membentuk selaput membran telur bagian dalam dan luar, serta menambahkan sejumlah air ke dalam putih telur (Sturkie, 1976). d. Uterus atau shell gland yang mempunyai panjang 8 cm sebagai tempat dibentuknya kulit

telur (kerabang).

Gambar 1. Organ reproduksi ayam betina (Sturkie, 1976).

Corong fimbrie Infundibulum Daerah kalazaferus Magnum Isthmus Uterus Vagina Kloaka

(15)

e.Vagina merupakan penghubung uterus dengan kloaka dan tidak berperan dalam proses pembentukan telur, memiliki panjang 7-12 cm. Sturkie (1976) melaporkan bahwa antara uterus dan vagina dipisahkan oleh sphincter yang dinamakan Utero Vaginal Junction (UVJ) yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan spermatozoa sementara (Sturkie,1976). Inseminasi Buatan(IB) dengan metode deposisi semen intra Uterine, sperma didepositkan pada daerah UVJ.

INSEMINASI BUATAN (IB) DENGAN METODE DEPOSISI SEMEN INTRA UTERINE

Pada dasarnya dalam menerapkan teknik IB dengan metode deposisi semen intra uterine tidak terlalu sulit, apabila ingin terampil dan berhasil untuk menjadi seorang inseminator maka yang diperlukan adalah ketekunan, disiplin, teliti dan selalu berlatih. Bahan dan alat yang diperlukan untuk melakukan harus mudah didapat, praktis sehingga kegiatan IB dapat dilakukan dimana saja.

Tahapan kegiatan IB A. Pemilihan Bibit

Memilih induk untuk bibit

Induk yang baik harus memiliki syarat sebagai berikut : 1. Sehat dan tidak cacat.

2. Berproduksi tinggi.

3. Minimal sudah mengalami periode peneluran pertama, umur 7 – 8 bulan. 4. Induk sedang bertelur.

5. Pemeliharaan induk sebaiknya dalam kandang baterei individu. Memilih pejantan untuk bibit:

Pejantan yang baik harus memiliki syarat sebagai berikut 1. Sehat, tidak cacat, lincah dan memiliki nafsu kawin yang tinggi. 2. Umur 1-3 tahun, bertaji dengan panjang 0,50 – 1,50 cm. 3. Memiliki mutu genetik yang tinggi.

4. Mempunyai hubungan yang jauh dengan induk yang akan di inseminasi. 5. Kandang pemeliharaan pejantan harus terpisah dengan induk.

B. Persiapan induk dan pejantan

1. Pakan untuk pejantan harus yang baik mutunya dengan kadar protein minimal 17% dan dengan tambahan pemberian 1 butir telur fertil yang sudah masuk mesin ± 5 hari. Telur dikocok hingga rata kemudian diberikan kepada 3 ekor pejantan.

(16)

16 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan 2. Pemberian anti stress juga dapat diberikan kepada induk dan pejantan.

3. Untuk merangsang banyaknya telur, dapat juga digunakan rajangan daun mengkudu/pace yang dicampurkan pada pakan ( 10 gram/ekor).

4. Untuk memudahkan dalam melaksanakan IB, bulu di sekitar kloaka harus digunting.

Gambar 2. Pengguntingan bulu disekitar kloaka dan peralatan IB (Sumber photo pribadi) C. Persiapan alat dan bahan

Alat yang dibutuhkan adalah : alat suntik Tuberculin Syringe ukuran 1 ml, tabung penampung sperma, gunting, kertas tissue sedangkan bahan pengencer yang diperlukan NaCl fisiologis 0,90 %.

D.Teknik pengambilan sperma

1. Sebelum pengambilan sperma, ayam pejantan sebaiknya dipuasakan kurang lebih 10 jam. Hal ini ditujukan untuk mengurangi pencemaran feces pada sperma yang ditampung (dapat mengurangi daya tunas).

2. Untuk memudahkan dalam pelaksanaan pemerahan sperma, sebaiknya dilakukan oleh dua orang, dengan tugas melakukan perangsangan dan sebagai penampung sperma.

3. Satu orang memegang ayam jago (usahakan ayam dalam keadaan tenang) yang bertugas melakukan perangsangan yaitu dengan mengurut lembut dari pangkal paha atas hingga ke pangkal ekor sampai secara beraturan. Tanda spesifik dari pejantan yang terangsang adalah ekor akan naik ke atas dan keluar tonjolan dari kloaka.

4. Jika pejantan sudah terangsang, dengan jari telunjuk dan jempol langsung menekan kloaka sampai terjadi ejakulasi. Saat terjadi ejakulasi , sperma yang keluar segera ditampung oleh orang kedua.

5. Sperma yang sudah ditampung kalau memungkinkan dievaluasi secara makroskopis dan mikroskopis.

E. Evaluasi semen

1. Tujuan evaluasi semen untuk mengetahui kualitas semen pejantan dan untuk menentukan penambahan bahan pengencer.

(17)

2. Pemeriksaan semen secara makroskopis meliputi: volume semen, warna , bau, ph, kekentalan.

3. Pemeriksaan mikroskopik meliputi: gerakan massa, konsentrasi, motilitas dan persentase hidup/mati (dikerjakan di laboratorium).

4. Untuk dilapangan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan makroskopik, sehingga kualitas semen tidak diketahui secara pasti.

F. Proses pengenceran semen

1. Pengenceran sperma diperlukan untuk memperbanyak volume, sehingga dapat digunakan untuk meng IB betina lebih banyak.

2. Bahan pengencer yang umum dipakai adalah larutan NaCl Fisiologis 0,90 %, karena bahan ini memiliki tekanan osmotik yang hampir sama dengan spermatozoa.

3. Dosis pengenceran adalah 1 : 4-5 , yaitu 1 bagian sperma dan 4-5 bagian bahan pengencer lalu dikocok secara perlahan sehingga homogen, campuran sperma ini dapat bertahan selama 30 menit. Perbandingan pengencer merupakan perbandingan yang optimal untuk daya hidup spermatozoa in vitro.

pengambilan semen pada pejantan melakukan IB

Gambar 3. Cara pengambilan semen dan IB (Sumber photo pribadi) G. Teknik Inseminasi Buatan metode deposisi intra uterine

Cara kerja :

1. Untuk memudahkan dalam pelaksanaan, sebaiknya IB dilakukan oleh dua orang, dengan tugas satu orang memegang ayam betina dan memegang paha ayam dengan rapat, ibu jari kanan menekan daerah kloaka (sebelah kiri) dan tangan kiri, letakkan jari telunjuk dan jari tengah seperti menggunting ekor dan tekan ke atas sedikit sedangkan ibu jari kiri menekan ke bawah sehingga alat reproduksi ayam betina keluar.

(18)

18 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan 2. Kemudian alat suntik yang sudah berisi sperma tadi dimasukkan ke dalam saluran vagina

betina yang letaknya di sebelah kiri sedalam ± 7-8 cm (sampai menyentuh uterus), sebelum sperma disemprotkan tekanan pada kloaka dikendurkan agar sperma nantinya tidak keluar lagi dari vagina.

3. Waktu yang paling tepat untuk melakukan IB adalah pada siang hari di atas jam 14 WIB, karena pada saat itu diperkirakan ayam telah bertelur sehingga gerakan sperma tidak mengalami hambatan dan pada saat itu belum terjadi peletakan telur (Ovi posisi).

4. Dosis sperma untuk setiap betina adalah 0,1-0,2 ml dengan konsentrasi sperma 100-150 juta, guna menghasilkan fertilitas yang tinggi sebaiknya IB dilaksanakan 3-4 hari 1 kali/2x seminggu.

H. KOLEKSI DAN SELEKSI TELUR TETAS DAN PROSES INKUBASI

1. Koleksi telur tetas dilakukan dua hari setelah pelaksanaan IB yang pertama dengan lama penyimpanan tidak lebih dari 1 minggu, hal ini dimaksudkan agar daya tunas (fertilitas) tetap baik. Suhu penyimpanan yang baik adalah dalam suhu ruangan atau suhu kamar ± 27ºC.

2. Telur-telur yang dihasilkan kemudian dibersihkan dari kotoran dengan menggunakan antiseptik (biocid).

3. Dalam menyeleksi telur tetas yang perlu diperhatikan adalah telur tetas memiliki bentuk yang normal (oval), tidak retak, dengan berat minimal 35 gram perbutir, kulit telur jangan terlalu tebal atau terlalu tipis.

4. Proses inkubasi dilakukan dengan memasukkan telur tetas ke mesin tetas, yang telah di fumigasi dahulu, untuk mengetahui daya tunas (fertilitas) .

HASIL PEMBAHASAN

Pada pemeliharaan ayam buras secara intensif dikandang individual, pembiakan dengan metode inseminasi buatan akan lebih efektif karena selain menghindari dampak negatif “peck order” dari pejantan, dengan dilakukannya pengenceran semen pejantan dapat mengawini banyak betina.

Dengan IB metode deposisi semen intra uterine, diharapkan mampu memproduksi telur tetas yang berkualitas dengan fertilitas yang tinggi. Untuk mendapatkan hasil yang optimal sangat bergantung dari derajat kesehatan pejantan dan betina serta nutrisi pakan yang diberikan, oleh karena itu pemberian anti stress dan pakan yang berprotein tinggi mutlak harus dilakukan.

Toelihere (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan inseminasi Buatan (IB) antara lain kebersihan semen yang ditampung, eksudat kloaka, suhu udara waktu penampungan, antibiotika, pengencer semen, dan adanya telur dalam uterus. Yang perlu diperhatikan dalam kegiatan IB adalah bekerja secara steril waktu proses pemerahan semen, oleh karena itu sebaiknya pejantan di puasakan 10 jam sebelum penampungan agar sperma tidak tercemar feces (warna semen yang baik adalah putih susu). Semen ayam mempunyai konsentrasi yang tinggi dengan volume ejakulat yang relatif rendah,

(19)

oleh karena itu perlu dilakukan pengenceran untuk memperbanyak volume agar dapat meng IB betina dalam jumlah banyak. Toelihere (1985) mengemukakan bahwa volume semen yang tertampung berkisar antara 0,3 ml – 1,5 ml dengan konsentrasi berkisar antara 0,03 – 11.10 9 sperma per ml. Dalam keadaan normal jumlah spermatozoa yang abnormal berkisar antara 5 – 20 %, dengan bentuk yang paling umum ada kelainan pada ekor (melingkar,patah atau menghilang).

Pada pemeriksaan secara makroskopis dan mikroskopis kualitas semen dapat diketahui guna menentukan penambahan jumlah bahan pengencer. Untuk kondisi aplikasi dilapangan cukup dilakukan pemeriksaan secara makroskopis. Proses pengenceran harus dilakukan dilakukan secara hati-hati, jika mungkin tabung sperma dibungkus dengan alumunium foil untuk menghindari cahaya ultra violet. Untuk keberhasilan IB dianjurkan menggunakan bahan pengencer NaCl fisiologis 0,90 % (cairan infuse) yang memiliki tekanan osmotik yang sama dengan semen dalam perbandingan 1 : 4 - 5, karena telah teruji mendapatkan fertilitas yang paling tinggi (Tabel.1).

Perbandingan pengencer merupakan perbandingan yang optimal untuk daya hidup spermatozoa in vitro.

Tabel.1 Jenis pengencer dan daya fertil telur tetas hasil inseminasi buatan.

Jenis Pengencer Perbandin Pengencer Daya Fertil

(%)Air Kelapa + Kuning Telur 4 : 1 40-60

Nacl 0,90 % + Kuning Telur 4 : 1 73-77

Naphospat + Kuning Telur 6 : 1 72-83

Nacl 0,90 % Infuse 4-5:1 75-86

Ringers Infuse- - 50-60

Tris Phospat - 60

Sumber : Balai Penelitian Ternak (unpublish) Keterangan :

ƒ Perbandingan sperma dengan bahan pengencer 1 : 5. ƒ Dosis IB = 0,1 ml.

ƒ Sperma setelah pengenceran ± 100 juta Sperma Progres

Waktu IB pada ayan buras adalah pada siang menjelang sore setelah ayam bertelur yaitu pada jam 14.00- 16.00 WIB. Rasyaf (1993) mengemukakan bahwa inseminasi yang dilakukan pada sore hari, akan menghasilkan fertilitas yang tinggi, karena pada saat itu induk ayam sudah bertelur dan suhu lingkungan tidak terlalu panas sehingga stress pada ayam agak berkurang.

Dosis IB untuk mendapatkan fertilitas yang tinggi adalah 80 – 100 juta sperma per IB (Lake dan Stewart,1978), makin besar jumlahnya tentu akan memberikan fertilitas yang lebih tinggi dan daya fertil dalam saluran telur lebih lama.

Untuk menghasilkan fertilitas yang tinggi, interval IB dilakukan dua kali seminggu setiap hari senin dan kamis. Jika ayam pejantan dan induk memiliki derajat kesehatan yang baik dan tercukupi kebutuhan gizinya, maka interval IB dapat dilakukan seminggu sekali. Selain efisien dalam hal tenaga kerja juga memberi kesempatan yang lebih lama pada pejantan untuk melakukan proses spermatogenesis sehingga kualitas semen yang dihasilkan menjadi lebih baik.

(20)

20 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

KESIMPULAN

a. Teknologi IB pada ayam buras dengan metode deposisi semen Intra Uterine merupakan teknologi reproduksi yang dapat berperan dalam pengembangan budidaya ayam buras. b. Teknologi IB tidak terlalu rumit dan mudah untuk dilakukan, melalui pelatihan-pelatihan

akan mampu menjadi seorang inseminator yang handal.

c. Sepanjang teknik IB dilakukan dengan cara kerja yang benar, akan mampu menghasilkan telur tetas yang berkualitas dan mempunyai daya tunas yang tinggi, sehingga membantu dalam penyediaan bibit ayam buras.

d. Pemanfaatan teknologi IB pada ayam Buras, memberi peluang komersialisasi menjadi terbuka.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya Ibu Dra Iis Arifiantini MS, Staf pengajar Jurusan Reproduksi dan Kebidanan Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah membantu menyediakan bahan bacaan dan waktu untuk berdiskusi. Juga pada Ibu Dr Desmayati.Z MS, Peneliti Balitnak yang telah mengkoreksi makalah ini. Tak lupa untuk Tim Pembahas yang telah memberi arahan dan koreksi pada makalah sehingga dapat di prosedingkan.

DAFTAR BACAAN

Bahr,J.M and M.R. Bakst, 1987. Poultry in Hafez,E.S.E Reproduction in farm Animal, 5th ed. Lea and Febiger. Philadelphia, pp. 379-395.

Lake, P.E. and J.M.Stewart, 1978. Artificial Insemination in Poultry. Ministry of Agriculture, Fisheris and Food Bulletin. H.M. Stationery office, London. pp. 5 - 14

Neisheim, M.C, R.E. Austic and E.C. Leislie, 1979. Poultry Production. 12 th ed. Lea and Febiger. Philadelphia. pp. 16 – 57.

Rasyaf,M.1993. Beternak Ayam Kampung. Penerbit Swadaya Jakarta.

Sastrodihardjo, S, 1996. Inseminasi Buatan Pada Ayam Buras. Leaflet, Cetakan Kedua Balitnak, Puslitbang Peternakan Bogor.

Sturkie,P.D. 1976. Avian Physiology. 3 rd ed. Spangce, Verlag. New York. pp 302 – 330. Toelihere,M.R. 1985. Inseminasi Buatan Pada Ternak,Penerbit Angkasa Bandung. pp : 265 - 281

(21)

PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA

AYAM BURAS

KADIRAN, R.DENNY PURNAMA DAN SUHARTO Balai Penelitian Ternak Bogor,Po.Box 221 Bogor 16002

RINGKASAN

Suatu pengamatan mengenai periode fertil spermatozoa didalam saluran telur induk ayam buras setelah IB telah dilakukan di Balai Penelitian Ternak. Tujuan pengamatan adalah untuk mengetahui seberapa lama spermatozoa yang di IB kan dapat menghasilkan fertilisasi yang baik, sehingga dapat menentukan interval IB pada ternak ayam yang efisien. Metoda pengamatan adalah dengan melakukan IB pada sejumlah ayam buras dengan teknik deposisi semen intra uterine, kemudian produksi telur tetas yang telah diseleksi dimasukkan dalam mesin tetas dan pada hari ke tujuh dilakukan peneropongan telur untuk mengetahui telur yang fertil dan tidak fertil. Pengamatan dilakukan selama 15 hari produksi setelah dilakukan IB. Dari hasil pengamatan terlihat, bahwa interval IB selama tujuh hari sekali, mendapatkan persentase fertilitas yang cukup tinggi (diatas 80 %) dan hal ini menunjukkan spermatozoa dapat bertahan hidup dalam saluran reproduksi induk lebih lama serta mampu memberikan fertilitas yang baik. Kesimpulan yang diperoleh adalah untuk IB ulang dapat dilakukan dengan interval tujuh hari sekali sehingga akan efisien dalam waktu dan tenaga kerja, mengurangi stress pada ayam dan sekaligus memberikan waktu pada pejantan dalam melakukan proses spermatogenesis yang lebih baik sehingga semen yang dihasilkan berkualitas baik.

Kata Kunci : Iseminasi Buatan (IB), Interval IB, Ternak Ayam.

PENDAHULUAN

Budidaya ayam buras di Indonesia umumnya dilakukan secara semi intensif, yaitu ayam diumbar untuk mencari makan lalu dikandangkan pada malam hari. Pemberian pakan tambahan hanya sesekali diberikan, sehingga secara nutrisi masih jauh dari kecukupan. Pola perkawinan umumnya dilakukan secara kawin alam, sehingga peluang terjadinya inbreeding menjadi lebih besar. Ditambah dengan dampak negatif peck order yaitu sifat pejantan untuk menguasai betina dan kawin terus menerus, berimbas pada produktivitas menjadi sangat rendah karena kualitas telur tetas yang rendah (Tolihere,1981). Untuk itu perlu merubah pola budidaya kearah intensifikasi, yaitu dengan mengadopsi teknologi budidaya dan salah satunya adalah teknologi Inseminasi Buatan (IB).

Inseminasi Buatan (IB) pada budidaya unggas adalah teknik pembiakkan dengan memasukkan semen pejantan kedalam saluran reproduksi ayam betina dan dengan diencerkan akan mampu membuahi betina lebih banyak. Banyak keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan teknik ini yaitu efisien dalam penggunaan pejantan, praktis dan ekonomis, memudahkan kawin silang dan mampu menghasilkan telur tetas yang berkualitas (Purnama dkk,1999).

Metoda IB yang dilakukan saat ini adalah dengan teknik deposisi semen intra uterine yaitu sperma didepositkan kedalam saluran telur induk pada daerah perbatasan vagina dengan uterus yang disebut Utero Vaginal Junction (UVJ) atau disebut juga Sperm Storage Tubules (SST).

(22)

22 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Keberhasilan IB pada ternak ayam dapat dilihat dengan tingginya prosentase daya tunas (fertilitas) pada telur tetas, yang akan tercapai melalui penerapan metoda IB yang tepat dan ditangani oleh operator yang trampil Untuk mempertahankan prosentase daya tunas agar tetap tinggi selama masa produksi, maka perlu dilakukan pengaturan interval IB yang lebih efisien

Sastrodihardjo dkk (1994), merekomendasikan interval IB dapat dilakukan empat hari sekali. Sedangkan Brillard (1993) mengemukakan, bahwa spermatozoa ayam dapat bertahan hidup dalam saluran reproduksi induk selama 3 – 4 minggu. Pendapat tersebut memberi peluang untuk mengatur kembali interval IB kearah yang lebih efisien, yaitu memperpanjang interval. Dengan memperpanjang interval IB, pejantan diharapkan dapat melakukan proses spermatogenesis secara sempurna dan dapat mengurangi abnormalitas pada spermatozoa yang dihasilkan.

Untuk itu suatu pengamatan mengenai periode fertil spermatozoa dalam saluran telur setelah IB dilakukan, dengan tujuan untuk mengetahui seberapa lama sperma yang di IB kan dapat memberikan fertilitas yang baik. Dari hasil pengamatan, diharapkan dapat menetapkan interval IB ulang yang lebih efisien sehingga program penyediaan bibit tidak terganggu tetapi dapat efisien dalam penggunaan waktu dan tenaga sekaligus mengurangi stress pada ayam.

Tujuan penulisan makalah adalah untuk memberi informasi interval IB yang efisien pada ternak ayam dengan mendapatkan fertilitas yang tinggi, dan dari informasi ini diharapkan dapat diadopsi oleh peternak .

BAHAN DAN CARA

Pengamatan dilakukan pada kegiatan IB di Kandang Percobaan Unggas Balitnak Ciawi pada bulan Maret 2004, selama 15 hari produksi.

Bahan :

a. Telur tetas yang telah seleksi dari hasil IB b. Mesin tetas

c. Alat peneropong

Cara :

a. Sejumlah induk ayam buras di IB secara Intra uteri . Produksi telur tetas diamati selama 15 hari produksi.

b. Kemudian telur tetas hasil IB yang telah diseleksi, dimasukkan kedalam mesin tetas untuk mengetahui daya tunas dari telur hasil IB.

c. Pemeriksaan daya tunas (fertilitas) dilakukan pada hari ke tujuh setelah telur diikubasi dengan cara diteropong.

d. Dari hasil peneropongan dapat diketahui jumlah telur yang dibuahi (fertil) dan yang kosong (infertil) sehingga dapat dihitung prosentasenya.

e. Hasil pengamatan diharapkan dapat mengetahui periode fertil telur tetas setelah IB, sehingga interval IB yang tepat dan efisien dapat diketahui .

(23)

Gambaran Rencana Kerja Pengamatan (Hari)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Kegiatan IB Hari pengamatan telur tetas

HASIL PEMBAHASAN

Keberhasilan IB pada ayam buras dapat dilihat dari persentase daya tunas (fertilitas), yaitu jumlah telur yang berhasil dibuahi. Apabila prosentasenya tinggi yaitu diatas 80 %, pelaksanaan IB dinyatakan berhasil. Sedangkan persentase daya tunas dapat diketahui setelah telur diinkubasi selama 4 – 7 hari dalam mesin tetas, dengan cara diteropong. Menurut North dan Bell (1990), untuk menentukan telur fertil dan infertil adalah dengan memperhatikan ada tidaknya serat-serat pembuluh darah pada saat peneropongan. Untuk memperoleh hasil yang lebih jelas pada pengamatan ini dilakukan peneropongan telur tetas pada hari ke 7 setelah telur diinkubasi. Rumusan persentase daya tunas (Fertilitas) adalah:

Jumlah telur yang tertunas

--- X 100 % Jumlah telur yang diinkubasi

Contoh perhitungan : 23

---- X 100% = 88,461 % 26

Hasil pengamatan di Kandang Percobaan Balitnak, menunjukkan bahwa hasil IB mulai terlihat pada hari ke 3. Pada hari ke 1 dan ke 2 belum terlihat hasilnya, kemungkinan pada saat itu belum terjadi pertunasan. Pada hari ke 3 mulai terlihat terjadinya pertunasan yang ditandai mulai terdeteksi sewaktu dilakukan peneropongan walaupun persentasenya masih rendah yaitu 48,148 %. Hasil pengamatan pada hari ke 4 sampai hari ke 10 (7 hari produksi) menunjukkan prosentase daya tunas yang cukup tinggi berkisar antara 81,578 % sampai 92,857 %, sedangkan penurunan prosentase daya tunas terjadi mulai hari ke 11 setelah IB terlihat pada Tabel.1.

Tabel 1. Prosentase Daya Tunas telur hasil IB periode fertil 13 hari setelah IB pada ayam buras.

Jumlah Telur Produksi (Hari ke) Peneropongan

(Hari ke) Di Inkubasi Fertil Kosong

Daya Tunas ( % ) 1 8 30 0 30 0 2 9 29 0 29 0 3 10 27 13 14 48,148 4 11 26 22 4 84,615 5 12 28 26 2 92,857 6 13 25 22 3 88,00 7 14 26 23 3 88,461 8 15 23 21 2 91,304 9 16 29 24 5 82,758 10 17 38 31 7 81,578 11 18 28 21 12 75,00 12 19 38 27 11 71,052 13 20 29 20 9 68,965 14 21 30 19 11 63,333 15 22 33 20 13 60,606

(24)

24 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Dalam grafik prosentase daya tunas dapat digambarkan sebagai berikut :

Grafik Daya Fertil Telur Hasil IB

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

IB Hari Produksi Telur Trtas

% D A Y A T U N A S (F E R TI L ITA S )

Penurunan prosentase daya tunas (fertilitas) pada hari ke 11 pada periode pengamatan, lebih disebabkan oleh kondisi induk dan pejantan yang kurang prima dan juga kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan tidak stabil sehingga mengganggu pada produktivitas.

Gambaran Hasil Pengamatan (Hari)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

IB Prosentase daya tunas diatas 80% Prosentasedibawah 80 %

Hasil pengamatan pada pengujian periode fertil spermatozoa didalam saluran reproduksi induk ayam buras setelah IB dapat diketahui, bahwa prosentase daya tunas (fertilitas) yang cukup tinggi dan stabil bertahan selama tujuh hari produksi .

Dari gambaran ini dapat disimpulkan, bahwa interval IB dapat dilakukan tujuh hari sekali dengan toleransi sampai sepuluh hari walaupun ada risiko penurunan daya tunas. Untuk mencegah terjadinya penurunan prosentase daya tunas, maka sebaiknya IB ulang harus dilakukan satu minggu setelah IB sehingga prosentase daya tunas yang tinggi dapat dipertahankan.

Gambaran Rekomendasi Interval IB(Hari)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

IB IB Ulang IB Ulang Hasil pengamatan membuktikan, bahwa interval IB pada ayam buras dapat diperpanjang dari 4 hari atau 2 kali dalam seminggu seperti yang direkomendasikan oleh Sastrodihardjo (1994) menjadi 7 hari atau 1 minggu sekali.

(25)

b. Menghemat waktu dan tenaga kerja

c. Mengurangi stress pada ayam (induk dan pejantan)

d. Memberikan waktu yang cukup pada pejantan untuk melakukan proses spermatogenesis yang lebih baik, sehingga kualitas semen yang dihasilkan menjadi lebih baik.

KESIMPULAN

1. Interval IB dapat dilakukan seminggu sekali, pada pengamatan dapat menghasilkan prosentase daya tunas diatas 80 %.

2. Interval IB seminggu sekali, dapat menghemat waktu dan tenaga, mengurangi stress pada ayam dan juga memberi kesempatan pada pejantan untuk melakukan proses spermatogenesis lebih baik sehingga semen yang dihasilkan juga menjadi lebih baik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Bambang Kushartono yang telah membahas, mengoreksi dan memberi arahan untuk perbaikan tulisan ini sehingga dapat dimuat dalam prosiding, juga ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Kepala Puslitbang Peternakan yang telah memberi kesempatan Teknisi Litkayasa untuk melakukan Temu Teknis Fungsional Non Peneliti.

DAFTAR BACAAN

Brillard,J.P. 1993. Sperm Storage and Transport Following Natural Mating and Artificial Insemination. J. Poultry Sci.72:923-928

North,M.O. and D.D. Bell, 1990. Commercial Chicken Production Mannual. 4 th Ed. An Avian Book. Van Nostrand Reinhold. New York.

Purnama.R.D dan Endang Wahyu, 1999. Pemanfaatan Teknologi IB dalam menunjang kegiatan penelitian ayam buras di Balitnak Ciawi. Prosiding Lokakarya Fungsional Non Peneliti tanggal 7 Agustus 1999. Puslitbang Peternakan Bogor.

Sastrodihardjo.S, S. Iskandar, T. Nurmala dan Paggi. 1994. Daya hidup spermatozoa ayam buras dalam berbagai pengencer sperma dengan pengujian suhu kamar. Prosiding Seminar Nasional Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil. Sub-Balitnak Klepu Semarang.

(26)

26 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

PEMBUATAN DAN PENYIMPANAN STABILAT

TRYPANOSOMA EVANSI DALAM NITROGEN CAIR

FESTA POLITEDY

Balai Penelitian Veteriner, Jl.RE Martadinata No.30, P O Box 30 Bogor

RINGKASAN

Surra adalah penyakit parasit darah, yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi dan ditularkan melalui gigitan lalat penghisap darah. Hampir semua hewan berdarah panas, kecuali golongan unggas, dapat ditulari oleh parasit ini. Kuda, anjing dan unta yang terinfeksi Surra akan berakhir dengan kematian, akan tetapi sapi dan kerbau biasanya mempunyai angka mortalitas yang rendah. Walaupun demikian, wabah Surra pada sapi dan kerbau dapat terjadi secara mendadak dan mempunyai dampak ekonomi yang sangat merugikan. Sejak tahun 1983, laboratorium Parasitologi Balitvet, dipromosikan sebagai laboratorium referen, koleksi T. evansi bertaraf internasional, yang mempunyai 319 isolate berasal dari bebagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu, proses pembuatan stabilate, penyimpanan, perawatan dan dokumentasi data harus mengikuti standard internasional yang berlaku. Koleksi isolat T.

evansi tertua berasal dari Rumah Potong Hewan Bogor tahun 1975 dan koleksi yang termuda berasal dari

Sumbawa besar tahun 1999. Isolate T. evansi yang disimpan dalam nitrogen cair di laboratorium Balitvet Bogor, mampu bertahan hidup selama 19 tahun 1 bulan.

Kata kunci : Trypanosoma evansi, stabilat, Nitrogen cair.

PENDAHULUAN

Surra adalah penyakit parasit darah yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi, yang ditularkan melalui gigitan lalat penghisap darah. Hampir semua hewan berdarah panas kecuali golongan unggas, rentan terhadap penyakit ini, namun respon kekebalan bervariasi terutama pada sapi dan kerbau. Infeksi T. evansi pada kuda, unta dan anjing menyebabkan angka kematian yang tinggi, apabila tidak segera diobati dan sebaliknya pada sapi dan kerbau cukup rendah. wabah Surra masih terjadi terutama di pulau Jawa dan Madura (Rukmana 1979; Soulsby, 1982 ; Sukanto, 1988). Penyebaran penyakit Surra hampir di seluruh wilayah Indonesia dan lalat jenis Tabanus merupakan vektor utamanya, dimana T. evansi dapat bertahan hidup di dalam rongga mulutnya selama 30 menit hingga 6 jam serta mampu menularkan penyakit dalam radius yang cukup luas, sehingga penyakit ini mempunyai arti penting bagi industri peternakan di Indonesia (Adiwinata & Dachlan ,1969; Nieschulz, 1930).

Pada awalnya, Balitvet memelihara beberapa isolat T. evansi pada Cavia, namun banyak kegagalan, yaitu cavianya mati sebelum isolatnya dipindahkan ke hewan percobaan lain. Kerjasama antara Balitvet, James Cook University (Australia) dan Center of Tropical and Veterinary Medicine, Edinburgh University (UK) pada 1983, laboratorium Balitvet dipromosikan menjadi laboratorium referen T. evansi bertaraf internasional, sejajar dengan laboratorium serupa yang ada di Afrika dan Eropa. Sejak saat itu, teknik kriopreservasi, dokumentasi dan perawatan rutin terhadap stabilat mengikuti standard WHO, dengan mengadakan training bagi staff dan teknisi Balitvet (Luckins, 1983). Pada saat ini, telah tersimpan sebanyak 319 isolat T. evansi dalam nitrogen cair , yang berasal dari 34 kota/kabupaten dari 12 provinsi di Indonesia.

(27)

BAHAN DAN CARA Bahan dan Alat

Glycerol (sigma), larutan heparin dalam PBS pH7,2 (mengandung heparin 100 IU/ml), asam pikrat dalam aseton, diaethyl Ether pa., kapas dalam toples tertutup, tabung plastik (NUNC) 4,5 ml yang bawahnya sudah dilubangi, tabung kapiler haematocrit (assistent), crystoseal, Mikroskop, timbangan elektrik, gelas objek, gelas penutup, spuit 1 ml, bunsen, sentrifus mikohematrokrit (12000 rpm), freezer (-20 oC dan –70 oC), tangki yang berisi nitrogen cair, mencit dan pakan.

Cara Kerja

Penyiapan dan Perbanyakan Isolasi T. evansi dari Lapangan

Darah hewan tersangka (sapi/kerbau) diambil dengan venoject (EDTA) lewat vena jugularis, beri identitas seperlunya pada masing-masing sampel darah dan disimpan dalam “IGLO” berisi es batu. Sampel darah tersebut harus dilakukan pemeriksaan MHCT kurang dari 24 jam setelah pengambilan dan hasil yang positive T. evansi dipisahkan (Siswansyah dkk, 1987 dan Woo, 1970).

Darah dalam venoject yang mengandung T. evansi dihomogenkan dengan alat vortek, kemudian diambil sebanyak 0,25-0,50 ml untuk disuntikan pada mencit secara intraperitonial dan mencit ditandai dengan larutan asam pikrat serta dicatat dalam buku monitoring (Lumsden et al,1968). Mencit diperiksa di laboratorium selama 35 hari dengan interval pemeriksaan setiap 2 hari sekali. Pemeriksaan mencit dilakukan dengan cara bagian ujung ekor diambil darahnya, lalu ditempelkan pada gelas penutup dan diletakkan pada objek glas. Biasanya T. evansi dapat terdeteksi pada umur 3-7 hari pasca infeksi. Mencit dinyatakan negatif surra setelah dimonitoring selama 35 hari hasilnya tetap negative.

Pembuatan Stabilat T. evansi di Laboratorium

Pembuatan stabilat sebaiknya menggunakan darah mencit terinfeksi yang parasitamia dalam keadaan meningkat (berkisar 100 T. evansi per lapangan pandang, pembesaran 400x). Mencit dibius dengan ether dalam toples, setelah mencit pingsan diterlentangkan pada sebidang gabus kemudian darahnya diambil 1 ml langsung dari jantung dengan spuit 1 ml yang telah berisi 0,1 ml larutan heparin di dalamnya. Darah yang mengandung T. evansi kemudian dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang sudah ditempatkan di dalam gelas beker yang berisi es batu. Darah yang terkumpul kemudian diukur volumenya dan ditambahkan glycerol dengan konsentrasi akhir 7,5% v/v. Darah dan gliserol dihomogenkan menggunakan spuit 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam beberapa tabung hematokrit yang diletakan secara berjajar pada alat penyangganya. Masing-masing tabung hematokrit diisi darah sebanyak sepertiga bagian dari panjang tabung dan alat penyangga dimiringkan sedikit untuk memudahkan waktu pengisian. Alat penyangga di gerak-gerakan agar darah berada di tengah tabung kapiler, kemudian masing-masing ujung kapiler dipanaskan di atas nyala api bunsen agar tertutup rapat. Masing-masing kapiler digerakkan secara vertikal untuk menyakinkan bahwa kedua ujung kapiler bena-benar tertutup rapat (darah tetap pada posisinya). Segera setelah proses pemanasan

(28)

28 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan selesai, hasilnya diperiksa di bawah mikroskop (400X) secara natif untuk mengetahui dampak pemanasan terhadap motilitas dan jumlah T. evansi hidup. Tabung kapiler di masukkan ke dalam tabung plastik (Nunc, 4,5 ml) yang sudah diberi nomor identitas tabung dan secarik karton di dalamnya bertuliskan nomer Isolat dan nomer Bakit.

Proses pendinginan secara bertahap, mula mula dalam freezer suhu –20oC selama 3 jam, kemudian dipindahkan dalam “feezer” suhu –70oC semalam dan keesokan harinya dipindahkan ke dalam nitrogen cair (suhu –196oC). Pada setiap tahapan pendinginan dilakukan pemeriksaan jumlah T. evansi hidup dan motilitasnya secara native, hal ini untuk memastikan bahwa stabilat yang di simpan harus dalam keadaan baik. Masing-masing tabung NUNC yang berisi masing-masing isolat T. evansi dijepitkan pada holdernya, beberapa holder diletakkan di dalam sebuah cane kemudian masing-masing cane dimasukkan ke dalam container yang berisi nitrogen cair, sesuai dengan nomer posisinya dalam container (posisi stabilat dalam container harus sesuai dengan catatan kartu indentitas)

Pencatatan Kartu Identitas Masing-Masing Isolat T. evansi

Kartu identitas stabilat sangat penting berisi semua informasi secara detail: antara lain jenis hewan tersangka, lokasi dan tanggal pengambilan sampel, nomer isolat, kode dan lama infeksi pada mencit, tanggal dan metoda pembuatan stabilat, catatan tentang motilitas, morphologi dan jumlah T. evansi secara individual, posisi stabilat dalam tangki, nomer bakit, tanggal pengambilan kapiler dan kegunaan masing-masing.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebanyak 319 isolat T. evansi asal berbagai daerah di Indonesia telah tersimpan dalam tangki nitrogen cair , dalam bentuk “Bank Stabilat T. evansi“ di laboratorium Parasitologi Balitvet-Bogor (Tabel 1). Koleksi isolat berasal dari 12 provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, NTB, NTT, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.

Daya tahan hidup T. evansi yang disimpan dalam tangki nitrogen cair dapat dilihat pada Tabel 2. Isolat 345 asal Garut dapat bertahan hidup setelah disimpan selama 4 tahun 6 bulan, isolat 287 asal Pemalang bertahan hidup selama 6 tahun 7 bulan, isolat 78 asal Pidie bertahan hidup selama 16 tahun 1 bulan dan isolat 36 asal Minahasa bertahan hidup selama 19 tahun 1 bulan.

Hasil pencatatan data stabilat dan letak posisinya dalam tangki nitrogen cair dapat dilihat Tabel 3. Contoh isolat nomer 36 asal Minahasa, mempunyai 3 nomer bakit, masing-masing: B149 dibuat tanggal 9 April 1984 terletak pada tangki nomer 1 posisi 7 dengan nomer box 156 dan 157 (habis); B665 dibuat tanggal 28 Mei 2003 terletak pada tangki 3 posisi 3 dengan nomer box 650 dan B670 dibuat tanggal 5 Agustus 2003 terletak pada tangki 3 posisi 2 dengan nomer box 156.

Perawatan stabilat meliputi: monitoring level nitrogen cair dalam tangki, penambahan nitrogen bila levelnya rendah, monitoring kwalitas stabilat dalam periode tertentu, pembuatan stabilat baru bila mendapat isolat baru dan Bakit baru bila kwalitas stabilat kurang baik ataupun kapilernya hampir habis.

(29)

Kegunaan stabilat meliputi: Pembuatan bahan-bahan biologik (serum kebal, antigen), penelitian obat Surra, keperluan penelitian perguruan tinggi maupun instansi tertentu (Pulse Field Gel Electroporesis, Uji patogenitas, Elisa, PCR, Resistensi obat, Immuno-lisis).

Isolat T evansi yang diisolasi pada tanggal 18/02/1975 (Isolat 02, Bakit 28) berasal dari Rumah Potong Hewan Bogor, merupakan isolat tertua yang masih disimpan hidup di laboratorium Balitvet dan sebaliknya isolat 367 Bakit 648 yang diisolasi 16/07/1999 asal Sumbawa Besar, merupakan isolat yang termuda sampai saat ini.

Penyimpanan masing-masing isolat sebaiknya diletakkan pada 2 tangki yang berbeda, untuk menghindari hilangnya isolat tersebut karena pecahnya kapiler, jatuhnya tabung NUNC ke dasar tangki atau kurangnya isi nitrogen cair karena tangki bocor.

Mutu stabilat ditentukan oleh banyaknya individu T. evansi yang masih hidup selama penyimpanan dan bergerak aktif serta mampu menginfeksi hewan percobaan, oleh karena itu pada proses pembuatan stabilat diusahakan memakai darah segar yang terinfeksi tidak lebih dari 24 jam pasca pengambilan darah. Menurut Siswansyah et al (1987), penyimpanan darah yang terinfeksi T. evansi lebih dari 24 jam pada temperatur dingin akan kehilangan daya patogenitasnya (organisme Trypanosoma masih hidup akan tetapi tidak mampu berkembang biak dalam tubuh hewan percobaan)

KESIMPULAN

Sebanyak 319 isolat T. evansi asal berbagai daerah di Indonesia telah tersimpan dalam keadaan beku (nitrogen cair) di laboratorium Balitvet, Koleksi isolat T. evansi tertua tahun 1975 dan yang termuda tahun 1999.

Kelangsungan hidup Trypanosoma yang disimpan dalam nitrogen cair dapat mencapai umur penyimpanan 19 tahun 1 bulan asal proses pembuatan dan perawatannya memadai, dan sebaliknya penyimpanan pada hewan percobaan waktunya singkat dan banyak pasase serta mudah kehilangan isolat.

Balitvet sejak tahun 1983 berfungsi sebagai laboratorium referen Bank T. evansi bertaraf internasional, juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan penelitian dalam negeri, baik untuk instansi pemerintah maupun perguruan tinggi di Indonesia.

Semua data dari masing-masing isolat dicatat secara detail dalam masing-masing record sheet dan biasanya setiap isolat mempunya satu Nomer Isolat dan beberapa Nomer Bakit. Semakin sering isolat tersebut dipakai dalam penelitian maka semakin banyak Nomer bakit yang digunakan.

SARAN

Pengecekan level nitrogen dan pengisian nitrogen cair ke dalam tangki harus dilakukan secara rutin, agar tangki selalu penuh.

Monitoring stabilat harus dilakukan dengan interval tertentu (sesuai kebutuhan). Bilamana jumlah kapilernya tinggal sedikit ataupun kwalitas stabilat menurun, isolatnya perlu diperbanyak lalu dibuatkan “Nomer Bakit” yang baru. Disarankan menggunakan google

Gambar

Gambar 2. Pengguntingan bulu disekitar kloaka dan peralatan IB (Sumber  photo pribadi)  C
Gambar 3. Cara pengambilan semen dan IB  (Sumber photo pribadi)  G. Teknik Inseminasi Buatan metode deposisi intra uterine
Tabel 1: Koleksi Isolat T. evansi  asal  12 Provinsi, yang disimpan di Balitvet.
Tabel 2.  Rataan tinggi tanaman rumput Panicum maximum (cm) untuk setiap perlakuan  pemupukan di rumah kaca
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alokasi waktu ditetapkan pada setiap mata pelajaran pada sistem paket sebagaimana telah tertera dalam struktur kurikulum. Penulis dapat simpulkan, bahwa alokasi

Kedua, kemampuan menulis teks drama sesudah menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw siswa kelas XI SMA Negeri 1 Gunung Talang diperoleh nilai rata-rata

Hal ini dibuktikan pula dari hasil koefisian determinan R square hanya sebesar 0.8% menunjukkan rendahnya kemampuan varibel terikat dalam menjelaskan variabel

Personal selling yang dilakukan oleh perusahaan untuk menawarkan dan mempromosikan produk barang atau jasa yang dilakukan oleh wiraniaga perusahaan untuk menawarkan

Pakaian yang dipakai sewaktu bekerjahendaklah cukup padan dengan badan pekerja dan tidak mempunyai apa punca atau tali yang terburai, koyak atau cobak-cabik.. untuk mengelakkan

Enggo idilo Dibata t/snta : Sempat Malem Br Barus/Nora Pdt.Amat Ginting Jawak/Nora Nd.Dewi Ginting Jawak (GBKP Runggun Graha Harapan, Klasis Bekasi – Denpasar) ibas wari Selasa,

Takipçiden çok çok lider seyirciden çok katılımcı olmaya eğilimli kiĢilerdir enerjiktirler herĢeyi etkin birĢekilde yapmak isterler ne istediklerini ve onu en kısa yoldan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Halaman 20 dari 33 hal. Lebih lanjut bahwa sebelum pelaksanaan lelang telah dilaksanakan terlebih dahulu pemberitahuan melalui media massa