• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PENCERMATAN KRITIS TERHADAP PERANAN

A. Pencermatan Kritis

1. Hal-hal yang Sudah Baik yang Perlu Dikembangkan…. 116

Dari data yang penulis peroleh, hal-hal yang sudah baik dilakukan oleh para suster yunior CB dalam membangun hidup doa untuk meningkatkan kecerdasan spiritualnya dapat dilihat dari tumbuhnya indikasi kecerdasan spiritual yang juga berpengaruh pada kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan socialnya. Misalnya; para suster mengalami dan merasakan pengalaman dicintai Allah tanpa syarat melalui pengalaman perjumpaan dengan Allah dalam doa-doa harian, rekoleksi baik komunitas maupun kelompok yunior, retret yang sekaligus menjadi kekuatan yang mendalam. Pengalaman dicintai Allah sudah tentu dialami dalam pergulatanya dalam membangun hidup doa yang pada akhirnya para suster menyadari bahwa pengalaman perjumpaan dengan Allah tersebut adalah melulu anugerah Allah.

Sebagaimana pengalaman Bunda Elisabeth mengalami pengalaman dicintai tanpa syarat oleh Yesus yang tersalib, membuatnya memiliki kerinduan yang luar biasa untuk membalas cinta-Nya dengan cintanya dalam keberaniannya memberikan diri dalam pelayanan perutusannya (EG, no. 39-41). Pengalaman Bunda Pendiri inilah yang juga menjadi teladan bagi para suster yunior untuk mengintegrasikan pengalaman dicintai-Nya dalam hidup berkomunitas, perutusan studi maupun karya. Kecerdasan spiritualnya nampak dalam sikap hidup berani mengalami pergulatan ketika mengalami kesulitan dan tantangan dalam hidup bersama, menghadapi para suster yang mempunyai karakter yang

bermacam-macam dan tidak mudah. Kesadaran bahwa doa sungguh berperanan bagi para suster untuk bersikap lebih sabar, lebih tenang, berpikiran positif, mau memaafkan, memiliki semangat pengampunan meskipun perstiwa yang dihadapi menyakitkan, mengalami ditolak, dianggap bodoh dan seterusnya. Dengan ketekunan dan kesetiaan berefleksi, berdiskresi para suster mampu memaknai peristiwa kegagalan atau yang menyakitkan dalam kesehariannya sehingga peristiwa apapun disadari sebagai sapaan Allah yang mendewasakan pribadinya. Sebagaimana dikatakan oleh Zohar dan Marshall bahwa kecerdasan spiritual dianggap sebagai kecerdasan yang menjadi pedoman, arah dan tujuan untuk menjalani hidup ini sehingga hidup kita menjadi lebih bermakna (Suparno, 2013: 26)

Demikian juga menurut Darminta, SJ bahwa memiliki daya pikir dan penalaran yang semakin tumbuh menjadi sehat, sehingga mampu mengadakan penilaian dan pertimbangan secara seimbang berdasarkan panggilan (Darminta, 1994: 6). Tumbuh dalam kecerdasan intelektual memampukan kita dalam mengambil keputusan dengan memikirkan berbagai konsekuensinya. Maka hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa, tumbuhnya indikasi kecerdasan spiritual yang berpengaruh pada kecerdasan intelektual, pemikiran dan tindakan kita yang tidak hanya dengan diri sendiri namun juga berpikir demi kepentingan orang lain dan kepentingan yang lebih luas (Suparno, 2013: 26). Pengalaman konkrit yang dialami, misalnya mampu membuat pilihan ketika dihadapkan pada kegiatan-kegiatan dan tugas-tugas yang banyak dari karya, kongregasi, komunitas atau studi. Hal mana yang harus diprioritaskan berdasarkan kebutuhan, mana yang

mendesak dan demi kepentingan banyak orang itulah yang didahulukan. Keberanian dalam mengambil keputusan dan mau berkorban demi kepentingan yang lebih luas dengan tidak menuruti rasa cuek dan tidak mau peduli, merupakan pengalaman menghayati hati yang berbelarasa. Para suster juga belajar berpikir positif, bertindak bijaksana, menjadi lebih tenang, matang dan dewasa ketika menghadapi masalah atau kesulitan dalam perutusan maupun hidup berkomunitas. Sikap hidup yang demikian, telah diwariskan oleh Bunda Elisabeth yang diharapkan bertumbuh, berkembang dan menjadi sikap hidup yang dimiliki oleh para suster CB khususnya para suster yunior CB dimanapun berada.

Dengan demikian para suster yunior semakin memahami dan mengenal keadaan hati dan hidup afektif dan mampu mengarahkan sikap dan tindakan pada hal-hal yang baik dan positif. Hidup afektif semakin mengarahkan seseorang dalam memilih, membedakan pada hal-hal yang baik dan buruk. Hidup afeksi menantang seseorang untuk mengolah hati, rasa, dalam memilih yang baik, benar bagi Tuhan dan sesama. Disinilah orang mampu menghayati rasa cinta secara benar dan nyata dalam kehidupan sehari-hari (Darminta, 1994: 6).

Selain itu semakin tumbuh indikasi kecerdasan spiritual yang berpengaruh pada kecerdasan sosial yaitu; rasa sosial dan kepekaan sosial maupun solidaritas sosial yang semakin mengajak para suster untuk memahami keprihatinan baik dalam komunitas, kongregasi, perutusan dan secara menyeluruh sebagai gereja dan masyarakat. Misalnya dalam kehidupan bermasyarakat para suster hadir membawa visi, misi kongregasi, pengalaman menolong korban erupsi merapi, korban gempa, ikut dalam penghijauan lereng merapidan sebagainya.

Kegiatan-kegiatan tersebut mewarnai keberagaman karena lintas agama, etnis dan golongan. Selain itu, keprihatian yang dijumpai para suster semakin memampukannya untuk berbelarasa, ikut ambil bagian dengan bersikap lebih sabar, rendah hati, mengampuni dan semakin memahami orang lain dalam keprihatinan tersebut. Misalnya menjadi lebih empati dengan sesama suster muda yang sedang menghadapi masalah, peka dan mau menolong suster sepuh yang tidak dapat melakukan aktifitas apapun sendiri.

Para suster juga menyadari bahwa tantangan dan kesulitan dalam perutusan dan karya menjadi kekuatan karena menyadari ketakberdayaan dan ketidakmampuan diri yang hanya mengandalkan rahmat Allah. Hal ini juga menjadi sebuah indikasi bahwa para suster memiliki kecerdasan spiritual, dimana mampu belajar dan memaknai pengalaman yang tidak mengenakkan dalam hidup tersebut dan memotivasinya untuk terus memiliki semangat didalam menjalankan perutusannya. Sebagaimana pengalaman Bunda Elisabeth yang ditulisnya dalam EG, no. 95, 96 bahwa, bersama rahmat Allah pengalaman sulit apapun tak dapat menggoncangkannya (EG, no. 38).

2. Hal-hal yang Masih Kurang dan Perlu Dikritisi Kembali

Kenyataan yang dialami para suster yunior dalam membangun hidup rohani, hidup doanya adalah seringkali jatuh dalam rutinitas dan akhirnya mengalami kebosanan dan lebih memilih untuk ngenet (face book, dsb) menonton TV, menyibukkan diri dengan mengerjakan tugas kuliah atau karya sehingga doa menjadi kurang diprioritaskan. Waktu doa pribadi sangat

dimungkinkan namun tidak banyak suster yunior yang mampu memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Rasionalisasi akan muncul bahwa; tugas kuliah banyak, atau kerjaan menumpuk dan seterusnya. Sehingga dengan mudah pula para suster memaafkan diri dan berharap komunitas, para suster memahami kesibukannya. Kelemahan-kelemahan ini menghambat para suster dan membuatnya kurang memiliki daya juang dan pengorbanan demi yang ilahi atau yang menjadi Sang Sumber hidup. Hal ini juga menghambat para suster untuk senantiasa bersyukur atas rahmat Allah yang selalu hadir dalam seluruh pengalaman hidupnya.

Sebagaimana dikatakan Darminta bahwa, masa yunior diawali dengan semangat kemantapan ketika mengucapkan kaul pertama dan menyadari bahwa rahmat Allah yang berkuasa dan mendampingi. Dan kesadaran dan kemantapan tersebut terasa semakin teruji oleh kenyataan yang dihadapi. Dan bahkan tidak mudah karena para suster juga hidup ditengah-tengah kehidupan mendunia dengan segala aspek kehidupannya (Darminta, 1994: 2).

Hal ini pun dialami para suster yunior CB yang dapat dikatakan bahwa mereka hidup di zaman modern dengan perkembangan teknologi yang sungguh menjadi tantangan berat kaum religius zaman ini. Dunia maya tidak hanya hidup dan berkembang di luar biara, namun sungguh masuk dalam kehidupan religius. Situasi membuat para suster untuk sungguh memiliki keberanian dan daya juang yang tinggi sehingga mampu pula menentukan sikap dalam membuat pilihan.

Hal penting yang juga perlu dicermati lagi adalah penemuan bentuk doa pribadi dan yang diakrabi oleh para suster selama ini yang dirasakan memberikan

ketenangan dan kedamaian batin. Hal ini perlu dikritisi kembali karena kalau tidak diwaspadai akan jatuh dalam kedamaian, ketenangan yang palsu. Karena ajaran para kudus yang hidupnya aktif-apostolik maupun kontemplatif kedamaian yang sesungguhnya adalah memiliki nilai keselamatan. Sebagaimana yang diajarkan Yesus bahwa, Yesus berdoa dalam karya dan perutusan-Nya, semuanya demi keselamatan dan kebahagiaan manusia (Yoh 17, bdk. Ibr 9:11-28). Hal ini juga ditekankan oleh Ignasius dalam doa Ignasian bahwa ketenangan yang dialami adalah ketenangan yang penuh penyerahan diri kepada inisiatif Allah, sehingga dalam pengambilan keputusan apapun selalu dalam doa. Memang tidak mudah perlu diperjuangkan terus-menerus untuk mengosongkan diri memurnikan diri dengan segala motivasi dan mengarahkan segala kemampuan dan kehendak untuk melaksanakan kehendak Allah. (Darminta, 1981b: 23-30).

Meskipun demikian para suster senantiasa dengan ketekunan, kesetiaan mengupayakan terus-menerus karena menyadari bahwa betapa pentingnya hidup doa. Bahwa doa menjadi dasar, sumber inspirasi, sumber kekuatan sehingga meskipun jatuh dalam kelemahan diri, para suster senantiasa bangkit dengan segala pergulatan dan pergumulan diri untuk terus-menerus membina diri secara khusus dalam membangun hidup rohaninya. Dengan demikian, hidup doa, refleksi, diskresi sungguh dituntut secara khusus sebagai seorang religius muda, sehingga mampu pula menentukan pilihan, sikap dan tindakan yang baik, benar sesuai dengan kehendak Allah.