• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PENCERMATAN KRITIS TERHADAP PERANAN

C. Berhadapan dengan Warisan Spiritualitas Bunda Pendiri…. 126

2. Pendampingan yang Menjadi Kekhasan CB

Kekhasan pendampingan hidup doa dalam meningkatkan kecerdasan spiritual para suster yunior bersumber dari kekhasan hidup doa Bunda Elisabeth yaitu ‘kontemplasi salib’ (EG, no. 39, 41). Salib bagi Bunda Elisabeth merupakan symbol kasih belarasa Allah yang penuh dan utuh yang dinyatakan dalm diri Yesus Kristus sampai wafat di salib. Salib merupakan ungkapan kasih Ilahi yang tak bersyarat (Divine Compassion Love). Tindakan dan keputusan Yesus Kristus sangat berkenan dihadapan Bapa-Nya, dengan demikian martabat keputraan manusia dipulihkan, yaitu dengan penebusan dan keselamatan manusia (Yoh 18:38b;19:1-7).

Pengalaman puncak mistik bunda Elisabeth terangkum dalam EG, no. 39, yang sungguh memberi dampak istimewa dalam seluruh perjalanan hidupnya. Demikian pengalaman puncak mistik Bunda Elisabeth dalam EG. 39:

“Di rumah yang sama itu, pernah aku memandang patung salib dengan hati bernyala karena kasihku kepada Tuhan, aku belajar dengan tergagap-gagap mengucapkan syair ini: O..Pencinta hatiku yang manis, berilah aku bagian dalam duka-Mu, semoga hatiku bernyala-nyala karena cinta, buatlah aku cakap dalam pengabdian-Mu, tetapi tidaklah bermanfaat bagiku saja, pun juga bagi keselamatan sesama manusia. Amin”

Para suster dapat belajar dari kekhasan doa ibu pendiri Bunda Elisabeth tersebut, meneladan gerak batin yang dialaminya.

a. Belajar berdoa menjadi sebuah karunia berdoa.

Belajar berdoa menjadi sebuah karunia berdoa ditunjukkan Bunda Elisabeth dengan keadaan cinta yang bernyala-nyala, bahkan sampai dua kali belajar mengucapkan sebuah doa. Bunda Elisabeth belajar berdoa dan diajari caranya berdoa yang nampak dalam situasi dan doa yang senada (EG, no. 39, 41). Pengalaman cinta yang dialami ketika “memandang salib” telah menggerakkannya untuk belajar berdoa. Maka bagi Bunda Elisabeth doa merupakan sebuah karunia dan berperan penting dalam seluruh perjalanan hidupnya (EG, no. 17). Doa Bunda Elisabeth ini menunjukkan bahwa doa yang lahir dari seorang wanita yang sangat sederhana, tak ada kesombongan dan kata-kata yang muluk di dalamnya. Dari doa tersebut dapat dilihat inti pengalaman rohani Bunda Elisabeth yang juga menjadi kekhasan doa yang menjadi teladan bagi para suster saat ini yaitu: Sikap pasif dan siap menerima, merenungkan cinta kasih Allah dan dalam penyerahan diri di salib sebagai sumber doa dan gerakan cinta yang tak terkendali.

1) Sikap pasif dan siap menerima

Yang dimaksud sikap pasif dan siap menerima adalah; dalam doa tersebut sebetulnya Tuhan sendiri yang mengajarnya berdoa dengan kata-kata yang tepat pula, bukan kata yang muluk-muluk yang bernilai sastra yang tinggi. Atau juga dengan hasil pemikiran yang hebat, namun sungguh menjadi sebuah karunia yang diberikan Tuhan kepadanya, maka dikatakan bahwa dengan tergagap-gagap pula

ia belajar mengucapkan syair doa tersebut. Inilah pengalaman rohani yang mendalam yang dialami Bunda Elisabeth.

2) Merenungkan cinta kasih Allah dan dalam penyerahan diri di salib sebagai sumber doa

Doa tersebut bukan merupakan sebuah kebetulan namun sebagai sebuah karunia atau rahmat. Ia “memandang” patung salib demikian diulanginya sampai tiga kali (EG, no. 39-41) dengan kekhusukkan Bunda Elisabeth merenungkan penderitaan Yesus di salib. Bunda Elisabeth menemukan dalam permenungannya di depan patung salib Yesus adalah “cintakasih yang tak terbatas” yang telah diterimanya dengan cuma-cuma. Ajakan “Memandang Yesus yang Tersalib” nampak juga dalam sikap hidupnya sebagai indikasi bahwa Bunda Elisabeth juga menjadi pribadi yang memiliki kecerdasan spiritual dalam menyikapi segala persoalan hidup secara khusus dalam menghadapi fitnah dan caci maki dalam pelayanannya (EG, no. 150, 156).

Sikap hidup kontemplatif Bunda Elisabeth ini juga menjadi teladan bagi para suster sampai saat ini. Selain itu kontemplasi dihadapan Yesus yang tersalib juga juga diharapkan sampai pada kesanggupan menjadi pengemban rekonsiliasi yang nampak dalam kerelaan untuk mengampuni sebagaiman juga telah diteladankan oleh Bunda Elisabeth (EG, no. 96). Bunda Elisabeth juga memberi teladan bahwa kontemplasi dihadapan Yesus yang tersalib membawanya untuk memiliki sikap tidak balas dendam dan bertindak tanpa kekerasan (EG, no. 69).

Selain itu Bunda Elisabeth memberi teladan bahwa Kontemplasi dihadapan Yesus yang Tersalib memampukannya memiliki keberanian untuk menanggung penderitaan seperti Yesus Kristus dalam seluruh pelayananya (EG, no. 117). Dengan demikian kontemplasi dihadapan Yesus yang tersalib memampukannya berjuang demi keselamatan sesama (KUKP, 2005: 75-77).

3) Gerakan cinta yang tak terkendali

Hal ini mau mengatakan bahwa doa Bunda Elisabeth tergerak karena mengalami disentuh oleh Tuhan. Maka membutuhkan kepekaan batin yang mendalam untuk mendengarkan, merasakan disentuh, disapa oleh Allah. Hal ini nampak dalam kata-kata sebagai berikut: “…hatiku bernyala-nyala karena cinta…” (EG, no. 39), “…cinta kasih bernyala-nyala membakar hatiku sedemikian rupa,…” (EG, no. 41), “…cinta kasih yang bernyala-nyala disertai dengan bercucuran air mata…” (EG, no. 6). Bagi Buda Elisabeth doa adalah pertemuan cinta dari ungkapan cinta yang bernyala dalam dirinya sebagai tanggapan atas cinta Allah yang telah diterimanya. Maka dapat dikatakan bahwa doa adalah pertemuan cinta sekaligus peristiwa cinta.

Selain itu Bunda Elisabeth menunjukkan sikap kerinduan yang mendalam akan “Air yang menghidupkan” ketika mengalami kekeringan rohani (Yoh 4:1-26; bdk. EG, no. 140). Bunda Elisabeth mengalami bahwa, betapa ia sangat menderita karena ketidak hadiran Tuhan beserta karunia-Nya. Namun dalam situasi demikian ia justeru mengalami bahwa Allah senantiasa memperhatikan dan menyertainya. Dapat dikatakan bahwa Bunda Elisabeth mengalami perjumpaan

dengan Allah yang hadir dalam “ketidak hadiran”. Hal ini menunjukkan bahwa kerinduan, pencarian akan Allah yang begitu mendalam sungguh dialami Bunda Elisabeth meskipun dalam suasana kekeringan sebagaimana wanita Samaria yang berdosa yang senantiasa merindukan “air hidup” itu. Dengan demikian anugerah kerinduan kehausan akan “air-Nya yang menghidupkan” senantiasa dianugerahkan Allah kepadanya juga menjadi kerinduan para suster CB dalam kehidupan sehari-hari (KP, 2011: 13-15).

b. Doa sebagai proses identifikasi dengan Kristus di Salib dan dengan cintakasih serta kesengsaraan-Nya

Pengalaman relasi yang mendalam dengan Yesus yang tersalib membangkitkan hati Bunda Elisabeth untuk selalu bertemu dan terus-menerus mengabdi-Nya menjadi daya yang menggerakkan dan mengarahkannya. Proses identifikasi berarti pengalaman perjumpaan dengan Kristus yang menderita dengan hati yang bernyala-nyala karena cinta Allah tanpa syarat yang juga dialaminya. Sentuhan cinta Allah tersebut sedemikian dasyat sehingga Bunda Elisabeth tak dapat berbuat apa-apa, selain menyerahka diri kepada Cinta yang adalah Allah sendiri yang hadir dalam Yesus Kristus (EG, no. 39, 41). Bunda Elisabeth merasa tertawan oleh cintakasih-Nya, cintakasih yang sedemikian besarnya sampai pada penyerahan diri yang total di Salib. Disinilah Bunda Elisabeth dapat menemukan kekuatan untuk mampu menghadapi penderitaan.

Dengan demikian pengalaman Bunda Elisabeth ini mengajak para suster sebagai generasi penerus kongregasi bahwa Kristus menanggung sengsara

bersama kita dan bersama mereka yang menderita. Identifikasi dengan Yesus yang menderita sungguh meneguhkan, menguatkan Bunda Elisabeth juga para suster CB sehingga semakin disadarkan pula bahwa Allah tak pernah meninggalkan umat-Nya (EG, no. 65).

c. Doa menggerakan kita untuk ikut ambil bagian dalam Duka-Nya

Sebagaimana yang dialami Bunda Elisabeth bahwa pengalaman perjumpaan dengan Yesus yang tersalib melahirkan cinta yang mendalam sehingga ia memiliki kerinduan akan pengabdian cinta”….Semoga hatiku bernyala-nyala karena cinta, buatlah aku cakap dalam pengabdian-Mu…” (EG, no. 39). Ikut ambil bagian berarti terlibat dalam pengabdian kerasulan kongregasi. Pengalaman doa dan dari gerakkan cinta Allah inilah yang menjadi bagian hakiki dalam seluruh pelayanan kerasulan Bunda Elisabeth juga para suster di zaman ini. Allah lah yang memprakarsai seluruh pelayanan kita. Pengalaman dicintai Allah telah mendorong dan menggerakkan Bunda Elisabeth untuk ambil bagian dalam Duka-Nya.

Persatuan dengan Allah yang dialami dalam pengalaman mistik telah memampukannya untuk menangkap keprihatinan Allah akan keselamatan manusia. Inilah yang mendorong Bunda Elisabeth untuk “minta bagian” untuk “dilibatkan”, diikutsertakan dalam karya keselamatan Allah dan hal tersebut merupakan kebahagiaan serta ucapan syukur yang mendalam kepada Allah (EG, no. 100). Demikian pula dengan kita para suster CB, diajak untuk ikut serta ambil bagian dalam Duka-Nya dalam hidup dan pelayanan kita (KP, 2011: 51).

3. Pendampingan Meningkatkan Kecerdasan Spiritual