• Tidak ada hasil yang ditemukan

BALI DAN PAPUA DI GARIS DEPAN GLOBAL: REFLEKSI EKOLOGI DAN PARIWISATA2

Dalam dokumen prosiding ekowisata lengkap ISBN (Halaman 134-144)

Drama Perang-perangan oleh Suku Dani lengkap dengan Pakaian adat Koteka dalam Rangka Festiva Lembah Baliem pada Bulan Agustus di Wamena

BALI DAN PAPUA DI GARIS DEPAN GLOBAL: REFLEKSI EKOLOGI DAN PARIWISATA2

I Ngurah Suryawan

Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra

Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat E-mail:ngurahsuryawan@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini memfokuskan dalam memahami Bali dan Papua sebagai dua daerah di Indonesia yang menjadi rebutan kuasa investasi global. Jejaring global itulah yang masuk hingga ke kampung-kampung di Papua dan menghabiskan tebing-tebing dan tanah orang Bali menjadi hotel, villa dan fasilitas pariwisata lainnya. Artikel ini merefleksikan pengalaman Papua yang lingkungan alamnya tereksploitasi dan meminggirkan masyarakat lokal Papua sendiri. Di Bali, pariwisata telah menjadi ideologi baru yang mempengaruhi cara berpikir dan budaya masyarakat Bali. Pengalaman tersebut dapat merefleksikan wacana dan kebutuhan pengembangan ekowisata. Ekowisata sepatutnya diimplementasikan dalam kehidupan keseharian masyarakat, promosi budaya dan menghargai identitas masyarakat lokal.

Kata kunci:global, refleksi, ekologi, pariwisata, ekowisata, rekognisi ABSTRACT

This article focuses on understanding the Bali and Papua as two areas in Indonesia where became seizure power of global investment. Global networks has intervened villages land in Papua. In Bali, they also destructed environment and land, and developed hotels, villas and other tourism facilities. This article reflects the experience of Papua in exploitation of the natural environment and in marginalizing local communities. In Bali, tourism has become a new ideology that affects the thinking and culture ofthe Balinese people. The experience may reflect discourse and ecotourism development needs. Ecotourism should be implemented in real economic activities, promotion of cultural existence and appreciation of local communities identity.

Keywords:global, reflection, ecology, tourism, ecotourism, recognition

2

Beberapa bagian dalam artikel ini pernah dipublikasikan dalam I Ngurah Suryawan,Jiwa yang Patah(Yogyakarta: Kepel Press dan Pusbadaya Unipa, 2012) dan I Ngurah Suryawan,Kiri Bali: Sepilihan Esai Kajian Budaya(Yogyakarta: Kepel Press dan Jurusan Antropologi UNIPA, 2013).

PENDAHULUAN

Dalam sebuah perjalanan di Bulan Mei 2011 ke Kabupaten Teluk Bintuni di Provinsi Papua Barat, saya mendapatkan inspirasi untuk menulis bagian ini.3Dari Kota Manokwari, saya menggunakan pesawat kecil (Susi Air) menuju daerah yang disebut-sebut salah satu kabupaten di tanah Papua dengan anggaran belanja daerah yang besar ini. Di kabupaten inilah berdiri perusahaan BP (British Petrolium) Indonesia yang melakukan eksplorasi gas dengan nama proyeknya, Kilangan LNG Tangguh, dengan jenis produksi SDA, Gas Alam Cair/LNG. Lokasi aktivitasnya berada di Kawasan Teluk Bintuni yang meliputi wilayah administratif 4 (empat) distrik (Babo, Bintuni, Aranday dan Merdey) di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat.

Masuknya perusahaan BP sebagai MNC (Multinational Corporation) terbesar kedua setelah PTFI (PT Freeport Indonesia) di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, mengundang berbagai bentuk program-program “pemberdayaan” terhadap masyarakat tempatan. Berbagai proyek untuk menunjukkan kepedulian sosial perusahaan MNC inipun menggelinding mulus untuk masyarakat lokal. Namun sayang, listrik di kabupaten ini tidaklah hidup 24 jam. Selain hidup dan mati tidak menentu, ada jam-jam yang khusus terjadi pemadaman listrik. Bahkan, sudah menjadi kewajiban bagi instansi pemerintah untuk membeli genset karena begitu seringnya listrik mati.

Saat saya menginjakkan kaki di Tanah Papua, saya beruntung mendengar kisah dari Mama Yance yang berjualan pinang di depan asrama dosen tempat saya tinggal. Mama bercerita bagaimana ia dan seorang anaknya berkebun di sebuah kampung di pinggiran kota. Selain berkebun pinang, mama dan anaknya juga menanam sayur-sayuran dan buah-buahan. Dua atau tiga kali seminggu mama berjualan hasil kebunnya ke pasar di kota atau menumpang berjualan sirih pinang di dekat kampus. Saingan mama bukan hanya para pendatang yang juga berjualan pinang, tapi para pedagang bermodal besar yang menghuni kios-kios di deretan terbawah pasar tingkat di pusat kota, sementara Mama Yance hanya berjualan dengan menggelar karung di tanah dan kemudian menggelar dagangannya. Beberapa meter dari tempat Mama Yance berjualan, jaringan internasional hotel megah dan deretan supermarket dengan reklame makanan siap saji berdiri menjulang.

Saat mengunjungi Kota Timika, ibukota Kabupaten Mimika Provinsi Papua akhir Oktober 2011, saya sempat mengunjungi pasar Timika. Mama-mama dari Suku Mee hanya terlihat segelintir dibandingkan pedagang-pedagang dari luar Papua. Mama-mama yang saya temui menjual hasil-hasil bumi yang menurut pengakuan mereka dipetik langsung dari kebun. Meskipun telah disediakan lapak semen yang permanen, mama-mama ini lebih memilih untuk menggelar dagangan yang telah mereka kelompokkan beralas noken (tas), karung atau plastik. Beberapa diantara mereka menjual noken-noken yang dipajang berjejer.

Beberapa diantaranya adalah noken bermotif bendera bintang kejora dengan tulisan “Wets Papua”. Seorang teman dari Suku Mee yang menemani saya berbincang dengan Bahasa Mee kepada mama-mamadorang (mereka). Terlihat mama-mama disamping saya tertawa lepas sambilsa pu(saya punya) teman menjelaskan bahwa kata yang benar adalah “West Papua” di atas bendera bintang kejora.4

Pada kesempatan lain, di pertengahan tahun 2010 saya sempat mengunjungi Pasar Gelael Jayapura. Dari sore hingga malam saya memperhatikan aktivitas mama-mama Papua yang sibuk berjualan. Dari sore hari mama-mama Papua berdatangan entah darimana mulai memenuhi halaman di depan pasar swalayan Gelael. Di lantai pertama adalah swalayan dan di lantai dua berdiri megah KFC. Mama-mama Papua berdatangan dengan membawa barang dagangan berupa sayur-sayuran, sirih pinang, buah-buahan, patatas, ubi, dan lainnya. Dengan menggendong karung-karung, para mama ini mulai menggelar tikar dan alas seadanya untuk kemudian menggelar dagangannya. Sebagian dari mereka saya perhatikan mulai mengeluarkan barang dagangan dari karung kemudian menggelarnya dalam bagian-bagian kecil. Sementara saya melihat orang-orang berbaju seragam pegawai negeri keluar masuk Supermarket Gelael dan KFC. Mereka saya perhatikan berlama-lama berbelanja di dalam supermarket. Ada beberapa orang yang tampak bercengkerama di KFC.

Narasi di atas menggambarkan bagaimana sangat masifnya investasi yang masuk ke Papua yang beriring berjalan dengan terpinggirnya masyarakat lokal Papua sendiri. Kondisi setali tiga uang terjadi di Bali. Di wilayah Kerobokan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, kini memang menjadi primadona kalangan ekspatriat dan kelas menengah Indonesia untuk berinvestasi. Berjejer-jejer villa megah dibangun hingga ke bibir-bibir pantai. Selain villa, sarana hiburan seperti café, diskotik serta ruko-ruko, salon, spa, pusat perbelanjaan, butik-butik dan restoran berbagai jenis makanan tanpa jenuh selalu hadir silih berganti di kawasan Kerobokan. Maka tidaklah heran jika sampai pagi buta, geliat kehidupan di Kerobokan tidak pernah terhenti. Semua sarana kebutuhan para ekspatriat telah terpenuhi di Kerobokan. Hanya dengan 10 menit bersepeda motor, mereka bisa menikmati dentum musik para DJ di diskotik-diskotik di wilayah Kuta.

Siapa yang membayangkan daerah Kerobokan akan seramai seperti sekarang? Seperti juga siapa yang menyangka Kuta akan menjadi “kampung internasional”. Saat tahun 1986, jalan-jalan di Kuta dan Kerobokan seperti dicatat Setia (1986; Sujaya, 2002) seperti kubangan kerbau. Malam hari gelap gulita tanpa adanya penerangan. Pantai Kuta, Seminyak, dan Loloan Yeh Poh, tiga pantai di kawasan Kuta-Kerobokan sangat kotor. Perahu-perahu nelayan berjejer menunggu melaut. Kuta kemudian lebih dulu berkembang berkat ide dari Dokter Made Mandara yang membenahi rumahnya untuk dijadikan penginapan temannya seorang bule. Langkahnya kemudian diikuti warga lainnya yang menyulap sebagian

4

rumahnya untuk penginapan murah. Deburan ombak pantai Kuta untuk berselancar menjadi daya tarik tersendiri para para turis anak muda.

Maka, mulailah industri pariwisata menerjang Kuta. Seolah tanpa henti, pembangunan infrastruktur pariwisata melalap setiap jengkal tanah di seluruh wilayah Kuta. Saat pariwisata Kuta jenuh, yang menjadi incaran adalah daerah-daerah di sekitarnya yang masih “perawan” dari tangan-tangan investasi. Wilayah Kerobokan menjadi sasaran berikutnya pasca 1998, ketika kelompok kelas menengah kaya mencari lahan baru yang aman berinvestasi. Petani-petani Desa Kerobokan menjadi gagap, seolah tak percaya ketika para tukang kapling tanah membujuk mereka menjual tanah dengan harga yang menggiurkan ketika itu. Tak kuat menahan bayangan rupiah yang melimpah, tanah leluhur di Kerobokan perlahan-lahan namun pasti ludes terjual. Meskidesa pakramanmelarang warganya menjual tanah, banyak cara yang dilakukan untuk mensiasatinya. Salah satunya adalah meminjam Kartu Tanda Penduduk (KTP) krama desa pakraman, mengawini gadis Bali atau “kerjasama” dengankrama desa pakramanuntuk berusaha (Kompas, 22 Februari 2008).

Artikel ini mendalami konteks Bali dan Papua, yang mencerminkan terhimpitnya daerah-daerah di negeri di tengah kuasa investasi global yang masuk melalui perusahaan-perusahaan trans nasional yang mengeruk kekayaan lingkungan alam. Investasi dalam kasus Bali menunjukkan bagaimana melalui jalan pariwisata, kuasa global menjalar kepada kehidupan ekonomi sosial dan budaya masyarakat Bali hingga kini. Data-data lapangan dikumpulkan melalui penelitian lapangan secara partisipatif dan wawancara mendalam. Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi dan memeriksa kembali pemahaman tentang beragam konsep-konsep pembangunan yang justru semakin lama semakin meminggirkan masyarakat lokal yang seharusnya menjadi subyek dan tersejahterakan.

Di Bawah Cengkraman Emas dan Dollar

Kompleksitas masyarakat tempatan hari ini diantaranya adalah posisi mereka di tengah himpitan penetrasi modal yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Tangan-tangan eksploitasi tersebut dipraktikkan dengan sangat massif oleh perusahaan transnasional dalam bentuk jejaring kuasa kapital global. Di tengah terjangan tersebut, kisah-kisah pelantunan identitas budaya masyarakat tempatan berada di garda depan (frontier). Pada ruang-ruang interkoneksi jejaring kuasa politik global dan budaya masyarakat tempatan ini akan terlihat fragmen-fragmen siasat manusia memanfaatkan peluang ekonomi politik dan juga lantunan-lantunan kisah penegakan identitas budayanya.

Bagian ini akan memetakan sebagian kecil investasi yang masuk ke Bali dan Papua serta dampak-dampak yang ditumbulkannya. Di Papua, tentu tidak akan bisa dilupakan bagaimana Freeport memulai jaringan investasi pengerukan tambang emas pada tahun 1960-an. Freeport sebelumnya bernama Freeport Sulphur yang di Indonesia disebut PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya. Freeport

McMoRan, sebuah perusahaan AS, mulai melakukan kegiatan eksplorasi di Papua bagian selatan pada tahun 1960. Perusahaan tersebut menandatangani kontrak produksi dengan Indonesia pada tahun 1966, tiga tahun sebelum diberlakukannya kekuasaan Indonesia atas Papua. Soeharto bersama rezimnya yang didukung militer sangat membutuhkan modal asing, dan Freeport diberi keleluasaan besar dalam menyusun ketentutuan-ketentuan dari investasinya sendiri. Tambang tersebut dikelola oleh anak perusahaan bernama Freeport Indonesia, yang dikendalikan oleh Freeport McMoRan. (ICG, 2002: 20)

Freeport adalah investor asing pertama yang menanamkan modal di Papua dan juga di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru. Untuk kegiatan pertambangannya, Freeport menggunakan lahan Suku Amungme. Protes pertama dari Amungme muncul sejak 1967. Sejumlah rakyat Amungme menanam patok kayu berbentuk salib di sekeliling peralatan dan kemah tim eksplorasi Freeport. Protes dan keberatan Amungme terhadap Freeport kian mengeras pada 1973. Freeport dan pemerintah segera membuat perjanjian dengan Amungme dari Tsinga dan Waa dalamJanuary Agreement1974. Untuk Freeport, perjanjian ini penting sebagai bukti ijin tertulis untuk kegiatan pertambangan dari Amungme (pasal 5) dan larangan bagi Amungme untuk memasuki lokasi-lokasi kegiatan pertambangan dan tempat tinggal karyawan (pasal 6 dan lampiran 4). Dengan demikian Freeport mendapatkan jaminan tertulis bahwa tidak akan ada lagi gangguan dari Amungme (Widjojo, 2001: 16).

Pada tahun 1988, Gunung Grasberg yang letaknya bersebelahan dengan tambang yang ada ternyata ditemukan mengandung cadangan mineral yang sangat besar. Grasberg mengubah Freeport menjadi salah satu penghasil tembaga dan emas yang terbesar di dunia, dan mendongkrak pentingnya Papua bagi Indonesia. Kritik terhadap praktek-praktek lingkungan perusahaan mulai meningkat, khususnya mengenai dampak limbah tambang terhadap sungai-sungai dan penduduk yang menghuni daerah di sekitar sungai-sungai tersebut. Setelah sebuah pemberontakan memaksa ditutupnya tambang tembaga Bougainville di negara tetangga Papua Niugini, para pejabat Freeport meningkatkan program-program sosial dan mulai bersikap lebih terbuka untuk mengakui kesalahan-kesalahannya di masa lalu. (ICG, 2002: 21)

LNG Tangguh menggunakan lahan seluas kurang lebih 3.000 hektar, jauh lebih kecil dibanding daerah tambang seperti Freeport atau operasi penebangan kayu yang besar. Akan tetapi dampak ekonomi, sosial dan politiknya bakal cukup besar. BP berencana menanam jumlah sebesar AS$2 milyar, yang bisa menghasilkan pendapatan sebesar AS$32 milyar antara tahun 2006, saat ekspor direncanakan mulai, dan 2003. Diperkirakan pemerintah pusat akan menerima hampir 9 milyar dolar AS dari proyek tersebut selama masa itu, dimana sekitar 3,6 milyar dolar AS akan disalurkan ke Papua.

Proyek tersebut bakal berdampak sangat besar terhadap petani dan nelayan yang menghuni wilayah teluk, selain terhadap ekonomi dan masyarakat di pedalaman, termasuk kota-kota Sorong, Manokwari, dan Fakfak. Dampak tersebut sebagian positif, berupa lapangan pekerjaan, program pengembangan masyarakat dan pendapatan, namun sebagian lagi negatif

karena bakal terjadi pengacauan sosial serta kemungkinan konflik. Ada pula kemungkinan dampak negatif terhadap lingkungan, misalnya pencemaran terhadap wilayah penangkapan ikan setempat karena proyeknya sendiri atau oleh kapal tangki yang berkunjung. Risiko-risiko tersebut melampaui jangkauan laporan ini, namun demikian hal itu jika tidak ditangani dengan cermat dapat menimbulkan ketegangan sosial (ICG, 2002: 26-27)

Di Bali, sebagaimana kita tahu sama tahu, energi dan semua kemampuan masyarakat dimobilisasi untuk bersilat lidah dalam wacana pelestarian budaya. Didukung sponsor negara dengan aparatus dan modalnya, wacana tentang pelestarian budaya menjadi peluang bagi para akademisi, budayawan, politisi hingga tokoh masyarakat mewacana pencanggihan pelestarian budaya. Gula-gulanya adalah siasat manusia mencari akses ekonomi politik dibawahkoorpelestarian budaya.

Penggalian-penggalian otentisitas (keaslian) budaya inilah yang ditangkap oleh kuasa kapital global bernama pariwisata. Didukung oleh gerakan-gerakan kelas menengah baru dalam pencarian esensialisme, kebudayaan Bali menjadi komoditas kapitalisme kultural baru (Santikarma, 2003; Nordholt, 2010) yang sangat menjanjikan sekaligus memprihatinkan. Menjanjikan karena akan menjadi modal luar biasa dalam mengekspor otentisitas dalam promosi pariwisata Bali. Memprihatinkan saya kira karena menutup ruang wacana kritik kebudayaan, yang melihat kebudayaan sebagai yang cair, dinamis, dan pewacanaan kebudayaan sebagai refleksi manusia Bali sendiri.

Negara dan modal berkolaborasi untuk menguasai ekonomi makro yang merangsek ekonomi rakyat. Ppemihakan terhadap perekonomian rakyat seakan hanya janji kosong para birokrat dan politisi. Deru investasi masuk tanpa henti menghasilkan deretan ruko, hotel, apartemen, supermarket, bahkan menyulap tanah masyarakat lokal menjadi perkebunan kelapa sawit hingga coklat. Pasar tradisional tempat mama-mama Papua berjualan minim sekali untuk terjamah anggaran dana otus atau APBD. “Pejabat dong (mereka) hanya pikir perut sendiri saja. Tong (kita) hanya bisa lihat bagaimana dong baku tipu (mereka saling tipu)sampeeeeedana habis”, keluh mama-mama di pasar yang saya dengar.

Di tengah interkoneksi global yang menerjang masyarakat tempatan, menegakkan identitas diri menjadi sesuatu yang sulit sekaligus paradoks. Gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan kini praksis terjebak dalam lingkaran interkoneksi global ini. Masyarakat yang sedang bergerak ini terus mencari konstruksinya sendiri di tengah bentangan dunia sebagai pasar global. Gerakan-gerakan sosial mewakili komunitas tempatan, adat, atau revitalisasi kebudayaan kadang tidak terlepas dari penetrasi kuasa global kapital ini. Lantunan gerakan penguatan kebudayaanAjeg Bali(baca: pencarian otentisitas nilai budaya Bali) tidak semurni untuk nindihin Bali (membela Bali) seperti apa yang sering dimuat di media-media lokal, tapi penuh dengan tipu muslihat dan kisah-kisah interkoneksi yang aneh dengan kuasa kapital bernama pariwisata, industri media, dan romantisasi keagungan kebudayaan Bali.

Globalisasi dan Manusia di Garis Depan

Globalisasi seperti yang diungkapkan Ted C. Lewellen (2002: 7-8 dalam Laksono, 2011: 13-14) adalah peningkatan arus perdagangan, keuangan, kebudayaan, gagasan dan manusia sebagai akibat dari tekonologi canggih di bidang komunikasi, perjalanan dan dari persebaran kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia, dan juga adaptasi lokal dan regional serta perlawanan terhadap arus-arus itu. Suka tidak suka, kita menelan dunia dan kita pun ditelan dunia. Globalisasi juga mengobarkan perlawanan, dibenci tapi dirindukan setengah mati.

Globalisasi seringkali dikaitkan dengan isu pasar bebas, liberalisasi ekonomi, westernisasi atau Amerikanisasi, revolusi internet dan integrasi global. Ini tentu saja tidak salah karena globalisasi mula-mula pada tahun 1985 digunakan oleh Theodore Levitt untuk mengacu pada politik ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan. Pandangan teoritikus sosial kemudian mengungkapkan globalisasi mengacu pada perubahan-perubahan mendasar dalam tekuk-tekuk ruang dan waktu dari keberadaan sosial. Mengikuti perubahan ini, secara dramatik makna ruang atau teritori bergeser dalam akselerasinya pada struktur temporal bentuk-bentuk penting aktivitas manusia. Pada saat bersamaan terjadi juga pengaburan batas-batas lokal bahkan nasional dalam banyak arena kegiatan manusia. Globalisasi dengan demikian mengacu pada bentuk-bentuk aktivitas sosial non teritorial. Lebih dari itu, globalisasi terkait dengan pertumbuhan interkoneksi sosial melintasi batas-batas geografi dan politik atau deteriteorialisasi. Globalisasi itu juga terkait dengan pertumbuhan interkoneksi sosial melintasi batas-batas geografi dan politik atau deteriteorialisasi. Tahap yang paling menentukan dalam globalisasi adalah ketika peristiwa-peristiwa dan kekuatan-kekuatan yang jauh mempengaruhi prakarsa-prakarsa lokal dan regional.

Globalisasi juga mengacu pada kecepatan atau velositas aktivitas sosial. Deteriteorialisasi dan interkoneksi memang mula-mula seperti hanya soal keruangan semata. Tetapi nyatanya perubahan spasial ini langsung berhubungan dengan bentuk-bentuk penting dari aktivitas sosial. Dengan demikian globalisasi merupakan proses yang panjang dan bermuara banyak sebab deteriteorialisasi, interkoneksi dan akselerasi sosial itu bukan peristiwa kehidupan sosial yang tiba-tiba dan menerpa arena sosial (ekonomi, politik dan kebudayaan) yang berbeda-beda. (Laksono, 2011: 13-14)

Penetrasi modal dalam bentuk investasi kuasa kapital global menjadi monumen bagaimana eksploitasi dalam mengeruk sumber daya alam di Tanah Papua. Penetrasi modal menjadi ladang bertemunya banyak kepentingan untuk “memainkan sistem” dan memanfaatkan peluang untuk merebut keuntungan sebenar-besarnya. Wajah Freeport adalah cermin dari: kuasa kapitalisme modal, pongah dan rakusnya rezim negara, wajah militeristik dan kekerasanan yang telah disogok oleh kuasa modal, dan agen-agen dari elit politik dan kekuasaan lokal yang mencari celah peluang untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Kompleksitas masyarakat tempatan hari ini diantaranya adalah posisi mereka di tengah himpitan penetrasi modal yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Tangan-tangan eksploitasi tersebut dipraktikkan dengan sangat masif oleh perusahaan transnasional dalam bentuk jejaring kuasa kapital global. Di tengah terjangan tersebut, kisah-kisah pelantunan identitas budaya masyarakat tempatan berada di garda depan (frontier). Pada ruang-ruang interkoneksi jejaring kuasa politik global dan budaya masyarakat tempatan ini akan terlihat fragmen-fragmen siasat manusia memanfaatkan peluang ekonomi politik dan juga lantunan-lantunan kisah penegakan identitas budayanya.

Fragmen-fragmen (penggalan kisah-kisah tak beraturan) manusia di garis depan (frontier) inilah yang oleh Anna Lauwenhaupt Tsing (2005) disebut dengan friksi (friction), ruang “hampa makna” manusia di tengah interkoneksi global. Manusia-manusia bersiasat saling tikam,baku tipu memanfaatkan peluang-peluang yang dihadirkan oleh investasi dan kuasa global kapital. Negara dan hukum absen bahkan menjadi salah satu pion dalam jejaring global ini. Yang ada hanyalah persaingan kekuatan modal dan gembar-gembor kisah-kisah fantastis penciptaan komoditas. Pada ruang-ruang inilah, masyarakat tempatan berada di ruang hampa makna, ketika penegakan identitas tidak bisa serta merta mendaku kepada tanahnya yang telah dikuasai kuasa modal global.

Dalam ruang friksi inilah seluruh gerak kekuatan masyarakat terinfeksi kuasa modal global. Identitas dan kebudayaan lokal direproduksi menjadi komoditas yang diceritakan, “diomong kosongkan”, dilebih-lebihkan untuk kemudian diwariskan dan didramatisir menjadi komoditas bernama otentisitas. Pada momen inilah pelemahan-pelemahan gerakan rakyat terus menerus tanpa henti. Rekognisi terhadap gerakan rakyat dan penegakan identitas budaya masyarakat tempatan tertelan kuasa global kapital. Rekognisi terhadap pemberdayaan petani di Bali tertimbun wacana pelestarian budaya dan isu global pariwisata. Penetrasi modal menggerus tanah-tanah manusia Bali untuk infrastruktur pariwisata. Lahan persawahan terhimpit gedung-gedung ruko atau jejeran vila-vila di pinggir tebing. Bahkan, pemandangan persawahan menjadi komoditas untuk pariwisata.

Jauh di kampung-kampung pegunungan Papua, pembangunan infrastruktur jalan menembus daerah-daerah terisolir. Alih fungsi lahan yang dimiliki masyarakat lokal disulap menjadi perkebunan kelapa sawit ratusan hektar. Introduksi program transmigrasi menggerus tanah-tanah adat untuk pemukiman penduduk dan daerah pertanian. Dengan dana otonomi khusus, pembangunan infrastruktur terus digenjot tanpa henti. Posisi masyarakat tempatan langsung bertemu dengan kekuatan ekonomi global. Berbagai perubahan sosial pun terjadi begitu cepat. Relasi-relasi baku tipu ekonomi politik yang “mengalahkan” masyarakat tempatan menjadi cerita yang begitu biasa diungkapkan. Kisah-kisah keterbelakangan yang bertemu dengan simbol modernitas bernama industri kapitalisme internasional bagai kisah ironis yang menyesakkan dada.

Puncak-puncak kemewahan yang ditunjukkan perusahaan MNC berhadapan dengan kondisi masyarakat tempatan, yang sebenarnya mempunyai hak di atas tanah mereka.

Dalam dokumen prosiding ekowisata lengkap ISBN (Halaman 134-144)