• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani

Dalam dokumen prosiding ekowisata lengkap ISBN (Halaman 80-90)

Determinan dan faktor pengarah

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani

Rataan umur petani di Subak Kedamaian sama dengan petani di Subak Telabah Gde yaitu 49 tahun, kisaran umur petani di Subak Kedamaian antara 30 sampai 79 tahun sedangkan di Subak Telabah Gde antara 37 sampai 63 tahun. Selanjutnya 90% petani di Subak Kedamaian telah menikah dan 10% telah menjadi janda atau duda, sedangkan di Subak Telabah Gde 95% telah menikah, hanya 5% yang belum menikah.

Dilihat dari tingkat pendidikan formal maka sebagian besar (45%) petani di Subak Kedamaian tidak tamat Sekolah Dasar (SD), 35% tamat atau tidak tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan hanya 20% yang pernah mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 5% yang sama sekali tidak pernah sekolah. Sedikit berbeda dengan petani di Subak Telabah Gde, sebanyak 5% telah pernah mengenyam pendidikan tinggi, 50% berpendidikan SD, 20% berpendidikan SMP dan 25% berpendidikan SMA. Pendidikan non-formal yang pernah diikuti oleh petani di Subak Kedamaian antara tanaman pangan, peternakan, dan perkebunan masing-masing sebanyak 5% dan 85% sama sekali belum pernah mengikuti pendidikan non-formal. Sedangkan petani di Subak Telabah Gde yang belum pernah mengikuti pendidikan non-formal adalah sebanyak 75%, mengikuti pendidikan non-formal dibidang pertanian tanaman pangan sebanyak 15%, peternakan dan perkebunan masing-masing sebanyak 5%.

Pekerjaan Utama dan Sampingan

Pekerjaan utama petani di Subak Kedamaian adalah petani lahan sawah, masing-masing hanya sebanyak 5% yang memiliki pekerjaan utama sebagai pedagang dan pekerjaan lainnya, sedangkan petani di Subak Telabah Gde seluruhnya (100%) memiliki pekerjaan utama sebagai petani lahan sawah. Selanjutnya pekerjaan sampingan petani di Subak Kedamaian adalah 30% sebagai peternak, 10% sebagai petani lahan sawah dan 60% pekerjaan lainnya. Tidak jauh berbeda dengan petani di Subak Telabah Gde yang memiliki

pekerjaan sebagai peternak adalah 25%, petani lahan kering 15%, dan pekerjaan lainnya sebanyak 60%.

Penguasaan Lahan

Rataan pemilikan sawah oleh petani di Subak Kedamaian 0,80 Ha dengan kisaran antara 0,25 - 1,60 Ha, sedangkan di Subak Telabah Gde berkisar antara 0,18 - 1,18 Ha dengan rataan 0,66 Ha. Rataan tingkat penguasaan tegalan di Subak Kedamaian adalah sebesar 0,69 Ha dengan kisaran 0,00 - 2,89 Ha, sedangkan di Subak Telabah Gde berkisar antara 0,00 - 2,50 Ha dengan rataan 0,80 Ha. Status kepemilikan lahan di Subak Kedamaian adalah 85% merupakan tanah warisan, 15% dari membeli dan warisan. Tidak jauh berbeda dengan Subak Telabah Gde, yang 95% adalah warisan dan 5% dari membeli dan warisan. Dalam hal sewa-menyewa lahan, ternyata jumlah petani yang menyatakan memiliki perjanjian dengan yang tidak memiliki perjanjian hampir sama jumlahnya. Petani yang memiliki perjanjian tidak tertulis adalah sebanyak 56,20% untuk Subak Kedamaian dan 50% untuk Subak Telabah Gde, sedangkan petani yang tidak memiliki perjanjian sebanyak 43,80% untuk petani Subak Kedamaian dan 50% untuk petani di Subak Telabah Gde.

Pemilikan Ternak Sapi

Sapi jantan yang dimiliki petani di Subak Kedamaian berkisar antara 0 - 4 ekor dengan rataan 1 ekor, sedangkan sapi betina berkisar antara 0 - 3 ekor dengan rataan 2 ekor. Tidak jauh berbeda dengan petani di Subak Telabah Gde yang juga memiliki sapi jantan berkisar antara 0 - 3 ekor dengan rataan 1 ekor, sedangkan untuk Subak Telabah Gde rataan pemilikan sapi jantan adalah 1 ekor dan sapi betina adalah 2 ekor.

Pola Tanam

Pola tanam usahatani sawah di Bali pada umumnya adalah Padi –Padi – Palawija– Bero. Untuk penanaman padi sawah menggunakan metoda Sri dan metoda Legowo dengan menggunakan sistem demplot sebagai upaya dalam penerapan teknologi tepat guna. Penanaman awal dimulai pada Bulan Pebruari/Maret secara serempak dengan menggunakan bibit lokal (tanaman padi tinggi) jenis Padi Merah Cendana dan dipanen sekitar Bulan Juni/Juli; kemudian pada Bulan Juli/Agustus sawah ditanami padi jenis unggul seperti IR 64 atau jenis Seram dan dipanen pada Bulan September/Oktober, lalu pada Bulan Oktober/Nopember ditanami Palawija (Jagung, Kacang-kacangan atau Cabe) yang dipanen pada Bulan Desember/Januari, selanjutnya diberakan pada Bulan Januari/Pebruari; demikian seterusnya pola atau siklus sistem usahatani sawah pada umumnya di daerah Bali yang dikelola kelembagaan subak.

Hasil produksi padi dengan menggunakan pola tanam di atas dibedakan menjadi 2 (dua) produksi, yaitu (1) untuk jenis padi lokal, Padi Merah Cendana rataan produksinya

mencapai 3–4 ton per Ha sedangkan (2) jenis padi unggul (IR 64) mencapai 5–6 ton per Ha. Berdasarkan produksi tersebut anggota dikenakan iuran anggota kepada subak, sebagaimana apa yang disebut sebagai Pengasih atau pembayaran iuran irigasi kepada kelompok atau subak, besarannya antara 2–4 kg GKG per orang per Are per musim panen. Penerapan Usahatani

Varietas Ciherang sebagai Varietas Unggul Baru (VUB) adalah varietas padi yang dominan ditanam oleh petani di Subak Kedamaian maupun di Subak Telabah Gde, karena 75% petani di Subak Kedamaian dan 60% petani di Subak Telabah Gde menanam padi jenis Ciherang. Masing-masing hanya 5% (Subak Kedamaian) dan 15% (Subak Telabah Gde) yang menanam padi IR64. Untuk padi Inpari hanya ditanam oleh petani di Subak Telabah Gde sebanyak 15%, Mansur sebanyak 5% ditanam oleh petani di Subak Kedamaian dan 10% oleh Subak Telabah Gde. Selain itu juga terdapat 15% jenis padi lain yang ditanam oleh petani di Subak Kedamaian. Jenis padi lokal yang utama ditaman oleh petani di Subak Kedamaian adalah padi lokal merah karena seluruh (100%) petani menanamnya. Sedangkan untuk padi Mansur hanya ditanam oleh 5% petani di Subak Telabah Gde dan 95% lainnya menanam padi lokal merah.

Sistem Irigasi yang Diterapkan Petani

Lokasi sawah dalam ekosistem subak menentukan sistem irigasi yang akan diterapkan petani. Terkait dengan hal tersebut, dari 40 orang petani responden dalam penelitian ini diketahui bahwa sebanyak 15% berada di kawasan hulu subak, 55% di kawasan tengah dan 30% ada di kawasan hilir. Selanjutnya 90% diantara mereka menyatakan bahwa sumber air irigasinya berasal dari air sungai dan hanya 10% mengaku berasal dari mata air. Petani di Subak Kedamaian menyatakan bahwa 15% diantaranya menggunakan air irigasi yang bersumber dari mata air, sedangkan di Subak Telabah Gde hanya 5%. Terkait dengan hal terebut, 55% petani di Subak Telabah Gde merasakan kekurangan air irigasi dan hanya 45% yang merasakan air irigasinya cukup. Berbeda dengan petani di Subak Kedamaian, yang hanya 20% merasakan kekurangan air irigasi, 70% merasakan cukup dan bahkan 10% merasakan bahwa air irigasinya berlebih.

Faktor yang masih berkaitan dengan sistem irigasi adalah saluran irigasi. Masing-masing sebanyak 85% petani Subak Kedamaian dan 80% petani Subak Telabah Gde yang menyatakan bahwa salurasn irigasi primernya ada dalam keadaan baik. Hanya 15% petani di Subak Kedamaian dan 20% petani di Subak Telabah Gde yang menyatakan bahwa saluran irigasi primernya ada dalam keadaan kurang baik. Juga sejalan dengan kondisi saluran irigasi sekunder, bahwa 80% petani Subak Kedamaian dan 75% petani Subak Telabah Gde yang menyatakan ada dalam kondisi baik. Demikian pula halnya dengan petani yang menyatakan bahwa saluran irigasi sekunder yang kurang baik masing-masing 20% petani di Subak

Kedamaian dan 25% di Subak Telabah Gde. Terkait dengan kondisi saluran irigasi, maka sebanyak 10% petani Subak Kedamaian dan 35% petani Subak Telabah Gde pernah mengalami kekeringan. Namun sebagian besar yaitu 90% petani di Subak Kedamaian dan 65% petani di Subak Telabah Gde tidak pernah merasakan adanya kekeringan, walaupun 100% petani dari kedua subak menyatakan menerapkan sistem irigasi tergenang dalam budidaya padi.

Nampaknya sebagian besar petani, relatif masih boros dalam memanfaatkan air irgiasi, terbukti bahwa hanya 15% petani di kawasan Jatiluwih yang diwakili Subak Kedamaian dan Telabah Gde menyatakan tidak ada air irigasi yang terbuang. Lainnya sebanyak 85% menyatakan air irgasinya melimpah dan terbuang saat mengairi sawah. Sebanyak 25% menyatakan melimpah dan terbuang ke sawah tetangganya, sebanyak 17,50% menyatakan melimpah dan terbuang ke selokan, 20% menyatakan terbuang ke sungai dan 22,50% menyatakan terbuang ke kali (pangkung).

Pemanfaatan Pupuk Organik

Sebanyak 85% petani di Subak Kedamaian dan 89,50% petani di Subak Telabah Gde menyatakan bahwa mereka telah memanfaatkan pupuk organik dalam sistem budidaya padi di sawah. Hanya 15% untuk Subak Kedamaian dan 10,50% untuk Subak Telabah Gde menyatakan bahwa mereka belum memanfaatkan pupuk organik dalam sistem budidaya tanaman padi. Pupuk organik yang mereka peroleh sebagian besar adalah membuat sendiri dari limbah yaitu 80% untuk petani di Subak Kedamaian dan 70% untuk petani di Subak Telabah Gde. Hanya 5% petani di Subak Kedamaian yang mengaku membeli pupuk organik dan 15% petani di Subak Telabah Gde yang mendapatkan dari bantuan pemerintah dan masing-masing 15% justru mendapatkanya dari sumber lain.

Sebagian besar (55%) petani di kawasan Jatiluwih yang diwakili Subak Kedamaian dan Telabah Gde menyatakan telah menggunakan pupuk organik sejak awal mereka bertani, sisanya (32,50%) menyatakan bahwa mereka menggunakan pupuk organik sejak 1-4 tahun lalu dan hanya 12,50% yang menyatakan baru pertama kali menggunakan pupuk organik. Orang tua merupakan sumber informasi utama bagi petani yang berkaitan dengan pupuk organik yang mencapai 47,50%. Sedangkan peran penyuluh baru mencapai 25%, petani lain 15% dan sumber lainnya 12,50%.

Terkait dengan pemanfaatan pupuk organik tersebut, maka sebagian besar petani (86,80%) di kawasan Subak Jatiluwih yang diwakili oleh Subak Kedamaian dan Telabah Gde menyatakan bahwa mereka mengandangkan sapinya secara permanen di kawasan ekosistem subak dan hanya 13,20% yang menyatakan bahwa sapinya dikandangkan secara berpindah. Petani di kawasan Jatiluwih yang mengolah limbah sapi menjadi kompos dan tidak mengolah namun langsung digunakan sebagai pupuk setelah kondisi dan jumlahnya berimbang yaitu masing-masing 43,60%. Sedangkan petani yang langsung mengalirkan

limbah ke sawah jumlahnya mencapai 10,30% dan petani yang tidak memanfaatkan limbah sebagai pupuk jumlahnya hanya 2,60%.

Mengolah limbah sapi menjadi kompos merupakan hal baru bagi petani di kawasan Jatiluwih, karena 46,20% menyatakan bahwa mereka mengolah limbah menjadi kompos sejak setahun yang lalu (tahun 2011) dan 41% menyatakan pengolahan limbah dilakukan sejak tahun 2012. Hanya sebagian kecil yang menyatakan bahwa mereka mengolah limbah menjadi pupuk sejak dua tahun lalu atau sebelumnya yang hanya mencapai 12,80%. Sebagian besar petani mengaku telah mengolah limbah sesuai dengan prosedur yang mencapai 57,50%. Sebanyak 22,50% menyatakan bahwa mereka hanya mengolah limbah dengan penerapan sekitar 75% dari teknologi anjuran. Sebanyak 7,50% petani menyatakan bahwa mereka mengolah limbah secara sederhana tanpa mengikuti prosedur yang telah dianjurkan dan 12,50% lainnya menyatakan tidak melakukan pengolahan limbah.

Setidaknya terdapat 12,80% petani yang belum memanfaatkan limbah ternak sebagai pupuk organik. Dari 88,20% yang telah memanfaatkan limbah sebagai pupuk, aplikasinya juga sangat beragam, namun setidaknya terdapat 30,80% yang telah mengaplikasikannya dengan cukup benar, yaitu ditabur ke lahan sawah saat pengolahan dengan konsentrasi 20 kg per are, sedangkan yang lain sebanyak 56,50% mengaplikasikannya dengan cara yang belum sesuai standard. Untuk pupuk organik yang bersumber dari urin sapi, sebanyak 76,90% belum memanfaatkannya. Hanya 17,90% yang telah mengolah urin sapi menjadi bio-urin dan dimanfaatkan untuk pupuk tanaman padi dengan jalan disemprot. Masing-masing 2,60% langsung menyemprotkan urin sapi ke tanaman dan atau mengalirkan langsung ke sawah. Pengendalian Gulma

Sebagian besar (97,50%) petani di kawasan Subak Jatiluwih, melakukan pengendalian gulma secara mekanis, khususnya dengan menggunakan tangan, hanya 2,50% yang mengendalikan gulma dengan menggunakan bahan kimia. Petani yang mengendalikan gulma secara kimia, seluruhnya mendapatkan herbisida dari kios pertanian.

Penanganan Pasca Panen

Sebagian besar (75%) petani di kawasan Subak Jatiluwih melakukan prosesing gabah secara mandiri, dan hanya 25% yang tidak melakukan secara mandiri. Bagi petani yang tidak memproses sendiri gabahnya menyatakan bahwa 95% langsung dijual di sawah (ditebaskan). Sisanya sebanyak 5% menyatakan bahwa mereka tidak memproses gabahnya secara mandiri, karena sibuk melakukan perkerjaan non pertanian, khususnya sebagai buruh bangunan. Pemanfaatan Limbah Padi (Jerami)

Sebanyak 56,40% petani telah memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak, dan 43,60% lainnya sama sekali belum memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam setahun terdapat dua jenis tanaman padi yang ditanam petani di kawasan Subak Jatiluwih. Terkait dengan hal tersebut, hanya 20,50% yang memanfaatkan jerami padi lokal maupun varietas unggul baru (VUB) sebagai pakan ternak. Lainnya sebanyak 25,60% hanya memanfaatkan jerami lokal saja sebagai sumber pakan sapi dan 10,30% hanya memanfaatkan jerami padi jenis VUB sebagai pakan ternak sapi. Dalam pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak, sebagian besar (33,30%) menyatakan hanya memilih jerami yang masih muda saja, dan 2,60% melakukan fermentasi jerami untuk pakan ternak. Selain sebagai pakan ternak sapi, sebanyak 30,80% petani menyatakan bahwa jerami hanya dipotong-potong dan dibiarkan membusuk di tengah sawah sehingga menjadi pupuk hijau. Selain itu petani yang tidak memanfaatkan jerami sebagai pakan ternak, akan membakar jeraminya. Sebanyak 67,50% petani yang membakar jerami memiliki tujuan agar lebih mudah dalam mengolah lahan sawah. Sebanyak 12,50% menyatakan agar hama penyakit tanaman hilang, sebanyak 10% menyatakan agar lebih cepat terjadinya penguraian jerami dan 10% lainnya mengaku tidak tahu apa sesungguhnya tujuan membakar jerami padi di tengah sawah.

Manfaat Memelihara Sapi di Lahan Sawah

Pendapat petani tentang manfaat mengandangkan sapi di tengah sawah, setidaknya dapat digolongkan menjadi 4 manfaat antara lain: (1) manfaat ekonomi; (2) manfaat sosial; (3) manfaat budaya dan (4) manfaat lingkungan. Manfaat ekonomi yang dirasakan petani terkait dengan pemeliharaan sapi di tengah sawah antara lain: meningkatnya produksi padi (37,50% petani); meningkatnya pertumbuhan sapi (5% petani); menghemat tenaga kerja (20% petani); menghemat penggunaan pupuk kimia (32,50% petani) dan menghemat penggunaan pestisida (2,5% petani) serta 2,50% lainnya menyatakan tidak tahu apa manfaat ekonomi akibat dari memelihara sapi di sawah.

Selanjutnya dari aspek sosial, sebanyak (1) 45% petani mengaku hubungan mereka sesama petani menjadi lebih erat dengan adanya pemeliharaan sapi di sawah, (2) komunikasi antar peternak sapi menjadi lebih sosial (17,50% petani), (3) mengurangi masalah perebutan air di subak, (4) terjadi penghematan pengunaan air (5% petani), (5) memperlancar kegiatan sisoal bagi anggota subak (5% petani) dan (6) memaksakan petani rajin mengontrol sapi dan sawahnya (15% petani). Sebanyak 12,50% petani yang menyatakan tidak merasakan adanya manfaat sosial dalam pemeliharaan sapi di sawah.

Dilihat dari aspek budaya, 57,50% petani menyatakan bahwa memelihara sapi di sawah indentik dengan pelestarian budaya beternak sapi yang telah ada sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu. Selain itu memelihara sapi di sawah juga menumbuhkan budaya datang ke sawah di kalangan petani. Jika ada sapi di sawah maka petani mau tidak mau akan selalu datang ke sawah setiap hari. Hanya 2,50% petani yang tidak merasakan adanya manfaat budaya di kalangan masyarakat Bali.

Dari aspek lingkungan, 77,50% petani merasakan bahwa dengan memelihara sapi di sawah akan mampu meningkatkan kesuburan tanah sawah, dan 12,50% petani mengaku bahwa pemeliharaan sapi di tengah sawah bermanfaat dalam pelestarian keragaman hayati. Masing-masing sebanyak 2,50% petani menyatakan bahwa memelihara sapi di sawah dapat melestarikan ekosistem subak dan melestarikan kemampuan sawah untuk berproduksi dengan baik. Hanya 5% petani yang menyatakan tidak merasakan adanya manfaat lingkungan jika memelihara sapi di tengah sawah. Selanjutnya petani juga merasakan bahwa mengandangkan sapi di tengah sawah jauh lebih baik dibandingkan dengan di tegalan (30% petani) dan 47,50% petani merasakan lebih baik. Hanya 22,50% petani yang merasakan sama saja antara mengandangkan sapi di tengah sawah atau di tegalan.

Pengetahuan Petani tentang Pemeliharaan Sapi di Lahan Sawah

Sebanyak 84,20% petani di kawasan Subak Jatiluwih yang menyatakan bahwa pemeliharaan sapi di lahan sawah akan menghemat tenaga kerja dan kotoran sapi dapat langsung dimanfaatkan. Sedangkan yang menyatakan bahwa air kencing sapi dapat diolah menjadi bio urin dan dapat digunakan untuk menyemprot tanaman padi 2,60% petani. Sapi juga tidak kekurangan pakan hijauan dinyatakan oleh 2,60%. Sapi bisa dipakai untuk membantu membajak sawah dan secara tidak langsung pematang sawah menjadi bersih masing-masing oleh 5,30% petani. Terkait dengan hal tersebut maka sebanyak 62,50% petani menyatakan bahwa pemeliharaan sapi di sawah adalah menguntungkan dan 30% menyatakan sangat menguntungkan. Hanya 5% menyatakan tidak tahu dan 2,50% menyatakan biasa saja. Memelihara sapi di lahan sawah juga menyebabkan petani sangat memudahkan dalam penyediaan pakan dinyatakan oleh 15% dan yang menyatakan memudahan oleh 67,50%. Hanya 15% yang menyatakan biasa saja serta 2,50% yang menyatakan tidak tahu bahwa memelihara sapi di lahan sawah memudahkan dalam penyediaan pakan hijauan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pengetahuan petani tentang pemeliharaan sapi di lahan sawah ada dalam katagori yang sangat baik.

Pengetahuan Petani tentang Manfaat Pupuk Organik

Sebanyak 86,80% petani di kawasan Subak Jatiluwih yang menyatakan bahwa pupuk organik akan mampu membuat tanah sawah menjadi subur dan gembur, mengurangi penggunaan pupuk kimia oleh 10,50% dan berkurangnya hama dan penyakit tanaman padi oleh 2,60%. Sedangkan petani yang menyatakan bahwa bio-urine bermanfaat untuk memberantas hama dan penyakit tanaman padi sebanyak 23,10% dan yang menyatakan bahwa bio-urine dapat sebagai pengganti pupuk urea oleh 15,40%. Untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia oleh 7,70%, mengurangi pencemaran lingkungan oleh 2,60% dan tidak dapat dimanfaatkan oleh 51,30%. Terkait dengan hal tersebut 27,50% petani menyatakan bahwa kotoran sapi akan sangat lebih baik jika diolah menjadi kompos dan

62,50% menyatakan hal sama akan lebih baik. Hanya 2,50% yang menyatakan biasa saja dan 7,50% menyatakan tidak tahu jika kotoran sapi dapat diolah menjadi kompos.

Petani yang tidak mengetahui jika urin sapi dapat diolah menjadi pupuk organik adalah sebanyak 40%. Selanjutnya petani yang mengetahui jika urin sapi sangat lebih baik jika diolah menjadi pupuk organik adalah sebanyak 20% dan yang mengetahui bahwa urin sapi akan lebih baik jika diolah menjadi pupuk organik adalah sebanyak 40% petani. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 75% petani mengetahui dengan baik bahwa kompos dan bio-urine lebih baik dibandingkan pupuk kimia dan 12,50% petani mengetahui dengan jauh lebih baik. Hanya 10% petani yang belum mengetahuinya, serta terdapat 2,50% yang menyatakan bahwa kompos dan urin sapi sama saja dengan pupuk kimia. Terkait dengan hal tersebut maka sebanyak 32,50% dan 52,50% petani yang menyatakan jauh lebih murah dan lebih murah kompos dan bio-urin jika dibandingkan dengan pupuk kimia. Hanya 5% yang menyatakan sama saja antara kompos dan pupuk kimia, serta 10% petani lainnya mengaku tidak mengetahui atau paham akan hal tersebut. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat dinyatakan bahwa pengetahuan petani di kawasan Subak Jatiluwih tentang pemanfaatan pupuk organik ada dalam katagori baik.

Pengetahuan Petani tentang Jerami Padi sebagai Pakan Sapi

Sebanyak 37,50% petani menyatakan tahu, bahwa jerami padi dapat diolah menjadi pakan sapi, dan 25% yang mengaku ragu-ragu serta 37,50% lainnya menyatakan tidak tahu jika jerami padi dapat diolah menjadi pakan sapi. Pengetahuan petani tentang manfaat jerami padi terfermentasi ternyata bahwa sebanyak 36,10% yang menyatakan tidak tahu. Selanjutnya 27,80% menyatakan bahwa jerami terfermentasi dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi yang berkualitas baik, dan 25% petani yang menyatakan agar tidak kekurangan pakan pada saat musim kering. Sebagai sumber serat kasar bagi sapi oleh 2,80% dan sebagai sumber protein bagi sapi oleh 8,30%. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pengetahuan petani tentang manfaat jerami padi sebagai pakan ternak ada dalam katagori rendah, sehingga perlu ditingkatkan.

Jasa Lingkungan Model Subak sebagai Keindahan Alam

Untuk menunjang pengelolaan kelembagaan subak yang bersifat global, tidak terlepas dengan pola manajemen modern, selain mengandalkan iuran internal, kelembagaan subak mengelola keuangan yang bersumber dari para turis mancanagera (sumber eksternal), hal ini impak dari subak sebagai WBD yang mampu mempengaruhi turis mancanegara untuk dapat menikmati langsung tentang keberadaan subak, sehingga meningkatkan jumlah kunjungan turis mancanagera dari tahun ke tahun. Dalam pengelolaan subak secara kelembagaan, maka subak telah menyatu dengan berbagai dinas, antara lain Dinas Kebudayaan dan Parawisata, Dinas Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Tabanan, sehingga pengakuan dari UNESCO

tidak terlepas dari tanggung jawab pemerintah daerah khususnya dinas terkait tersebut untuk memperjuangkan keberhasilan memperoleh pengakuan bahwa subak sebagai WBD.

Untuk setiap turis mancanagera yang masuk ke dalam kawasan subak, dimana pada tempat-tempat tertentu didapatkan petugas adat atau Pecalang untuk diterapkannya sistem tarif berupa karcis masuk ke kawasan subak. Pada tahun 2012 ditetapkan tarif masuk ke kawasan subak sebesar Rp. 10.000 per orang dan pada 2013 menjadi Rp. 15.000 per orang. Pembagian dana yang masuk ke kelembagaan subak terbagi menjadi: (1) 20% untuk biaya operasional Pecalang, (2) Sisa dana dari hasil penerimaan di lapangan (hasil bersih) kemudian dibagi dua, 40% diberikan kepada Pemda Kabupaten Tabanan dan 40% diberikan kepada Desa Adat (Pakraman). Bagian dana yang 40% tersebut (menjadi 100%) terbagi lagi menjadi bagian Desa Adat Jatiluwih 39%, Desa Adat Gunung Sari 26%, Desa Dinas Jatiluwih 20%, dan Aparat Desa Jatiluwih (Desa Dinas) sebagai Dana Operasional Aparat Desa sebesar 15%.

KESIMPULAN

Sebagain besar petani telah melaksanakan usahatani integrasi antara sapi dan tanaman padi secara turun temurun, sehingga mereka tidak tahu kapan sistem usahatani tersebut dilakukan petani. Sebagian besar petani telah mengetahui dengan baik tentang peran pupuk organik bagi tanaman padi, namun petani belum mengetahui dengan baik cara mengolah limbah ternak sapi menjadi pupuk organik. Sehingga mereka memanfaatkan limbah ternak menjadi pupuk organik secara langsung di sawah.

Seluruh petani sama sekali belum mengetahui tentang teknologi IPAT-BO, sehingga sebagian besar diantara mereka memanfaatkan air irigasi secara berlebih melalui sistem usahatani padi tergenang. Bahkan tidak sedikit petani membuang sebagian air irigasinya ke salah sawah lainnya, ke selokan atau ke sungai.

Dalam dokumen prosiding ekowisata lengkap ISBN (Halaman 80-90)