• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNGSI IZIN DALAM PENGENDALIAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH

Dalam dokumen prosiding ekowisata lengkap ISBN (Halaman 144-156)

Drama Perang-perangan oleh Suku Dani lengkap dengan Pakaian adat Koteka dalam Rangka Festiva Lembah Baliem pada Bulan Agustus di Wamena

FUNGSI IZIN DALAM PENGENDALIAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH

Fatkhurohman*

Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang E-mail:kusumo_uwg@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pengembangan ekowisata yang berbasis kepada pemanfaatan potensi sumberdaya alam, lingkungan, serta keunikan alam dan budaya. Pengembangan ekowisata dewasa ini diakui memberikan dampak positif bagi dunia kepariwisataan di Indonesia. Namun hal tersebut memerlukan pengaturan yang baik agar kegiatan ekowisata bisa berjalan dengan baik. Mekanisme kelembahaan dan hukum perijinan adalah salah satu instrumen untuk mengawal tercapainya tujuan pembangunan ekowisata.

Kata kunci:Ekowisata, Pengendalian, Izin, Daerah ABSTRACT

The development of ecotourism is based on the use of the cultural and natural uniqueness and nature recources potency. Currently, the development of ecotourism is recognised to give possitive impact on the tourism activity in Indonesia. Tt requires a proper regulation that ecotourism activity can work well. Institutional mechanisms and legal licensing is one of the instruments to keep the achievement of ecotourism development. Keywords:Ecotourism, Controlling,licensing, Local Gouvernment

PENDAHULUAN

Berkembangnya kegiatan ekowisata dewasa ini memberi arti sendiri bagi trend wisata di Indonesia yang belakang ini menjadi titik tumpu pemerintah untuk banyak menyedot para wisatawan baik dalam negeri maupun mancanegara. Keberadaan pengembangan sektor ekowisata sebagai sebuah program pemerintah memang perlu dipresiasi karena tujuannya sangat jelas dan menjanjikan.5Apalagi Pemerintah Indonesia berkeinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai ikon wisata dunia maka jelas bahwa hal ini pasti akan berhasil.

*Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Prodi Magister Hukum Universitas Widyagama Malang 5Pemerintah pada tahu 2013 ini menargetkan pendapatan negara dari sektor pariwisata sebesar 9,5 miliar dollar Amerika tahun ini melalui kunjungan sekitar delapan juta wisatawan. Angka tersebut naik dibanding realisasi tahun lalu sebesar sembilan miliar dollar Amerika melalui kunjungan sekitar tujuh juta wisatawan, selanjutnya lihat dalam http://www.voaindonesia.com/content/pemerintah-optimis-sektor-pariwisata-capai-target/1534546.htmldiunduh tgl 5 November 2013

Keanekaragaman flora dan fauna yang membentang dari Sabang sampai Merauke akan menjadi modal dasar bagi pengembangan ekowisata baik ekowisata bahari, hutan, pegunungan dan karst.6Disamping itu kawasan konservasi sebagai obyek daya tarik wisata dapat berupa Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Buru. Menurut Iwan Nugroho, di Indonesia, taman nasional merupakan kawaasan konservasi terpenting yang mengoperasikan kegiatan–kegiatan ekowisata.7

Pengembangan ekowisata yang berbasis kepada pemanfaatan lingkungan hidup menjadikan alam lingkungan menjadi objek yang perlu diperhatikan dengan seksama. Perhatian ini menyangkut masalah perlindungan (konservasi) lingkungan hidup dan aspek kemanfaatan bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan pengertian ekowisata itu sendiri dimana menurut World Conservation Union (WCU), adalah perjalanan wisata ke wilayah– wilayah yang lingkungan alamnya masih asli, dengan menghargai warisan budaya dan alamnya, mendukung upaya-upaya konservasi, tidak menghasilkan dampak negatif, dan memberikan keuntungan sosial ekonomi serta menghargai partisipasi penduduk lokal.8 Sedangkan menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, ekowisata merupakan konsep pengembangan pariwisata yang berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat.9

Dari dua definisi tersebut maka unsur perlindungan hukumnya ada pada dukungan terhadap upaya konservasi dan upaya pelestarian lingkungan hidup. Produk hukum yang akan menjadi payung regulasi terhadap upaya upaya tersebut adalah dengan memberlakukan izin sebagai upaya pengendalian program ekowisata ini. Sejauhmana keberadaan izin dalam pengembangan ekowisata ini bisa berfungsi sebagai alat pengendalian adalah sesuatu yang menarik untuk diungkap.

Adapun masalah yang akan diungkap adalah pertama, tentang dasar kewenangan pemerintah daerah dalam pengembangan ekowisata, kedua, fungsi izin dalam pengembangan ekowisata di daerah. Manfaat yang bisa diambil dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui secara utuh dasar kewenangan dan berfungsinya izin dalam pengembangan ekowisata di daerah.

Kewenangan Daerah dalam Pengembangan Ekowisata

6

Selanjutnya lihat Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Ekowisata Di Daerah.

7

Iwan Nugroho, 2011, Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta hlm. 25.

8

http://www.ekowisata.info/definisi_ekowisata.htmldi unduh tgl 29 Oktober 2013

9

Berbicara kewenangan daerah sejatinya tidak lepas dari berlakunya asas desentralisasi . Joeniarto menyebutkan azas desentralisasi sebagai azas yang bermaksud memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri.10Rumah besar dari berlakunya asas ini adalah Otonomi daerah, yakni hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.11

Karena dalih otonomi daerah inilah maka daerah diberi berbagai kewenangan untuk mengatur keperluan daerah secara mandiri. Terkait dengan pengembangan ekowisata ini maka sumber kewenangan daerah (baca: Kota/Kabupaten) secara atributif12adalah UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14 ayat (1), yang menyatakan bahwa Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan;

l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Melalui ketentuan huruf j mengenai pengendalian lingkungan hidup maka jelaslah bahwa pemerintah kota/kabupaten mempunyai kewenangan yang dilindungi dan diperintahkan oleh sebuah peraturan perundang-undangan. Penggunaan pengendalian lingkungan hidup dalam persoalan pengembangan ekowisata adalah sangat tepat karena

10

Joeniarto, 1992.Perkembangan Pemerintahan Lokal, Jakarta: Bumi Aksara, hal. 15

11

Selanjutnya lihat Pasal 1 angka 5 Undang Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

12

Menurut Sjahran Basah, Atribusi terdapat apabila undang Dasar atau Undang-undang (dalam arti formal) memberikan kepada suatu badan dengan kekuasaan sendiri (mandiri) wewenang untuk membuat/membentuk peraturan perundang-undangan.

wisata alam jelas akan bersinggungan langsung dengan objek alam baik itu flora dan faunanya. Kecenderungan dari aktivitas ini jelas suatu saat akan merusak lingkungan hidup itu sendiri apabila tidak ada yang mengendalikannya melalui sebuah regulasi. Hal ini sekaligus juga memenuhi asas legalitas, dimana setiap perbuatan administrasi (harus) berdasarkan hukum13atau tidak ada suatu tindakan bisa diambil tanpa ada dasar aturan yang mengatur lebih dahulu.

Harmonisasi antar undang-undang14 dalam masalah ini juga telah terjadi dimana masalah ekowisata ini juga diatur dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 12 ayat (3) huruf c yang menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota.

Tanggung jawab pemerintah daerah juga ada tahap pengendalian, dimana hal ini seperti diatur pada Pasal 13 ayat (3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.

Hubungan Pasal 12 dan Pasal 13 UU No 32 Tahun 2009 dengan masalah ekowisata adalah terletak pada persoalan pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk menetapkan dalam sebuah produk hukum mengenai daya dukung dan tampung lingkungan hidup. Ini sangat penting bagi dunia ekowisata karena akan berkait erat dengan persoalan itu. Keeratannya terletak kepada sejauh mana pengembangan ekowisata bisa “mendukung” perlindungan lingkungan dan pengelolaan lingkungan hidup15yang bertujuan :

a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan

b. lingkungan hidup;

c. menjamin menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; d. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; e. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;

13

Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 54

14

Harmonisasi adalah keselarasan antar undang-undang mengenai subtansi terhadap suatu objek pengaturan agar tidak terjadi tumpang tindih antar undang yang satu dengan undang-undang yang lain.

15

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.Selanjutnya lihat dalam Pasal 1 angka 2 UU No 32 Tahun 2009

f. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; g. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; h. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian

dari hak asasi manusia;

i. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; j. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan

k. mengantisipasi isu lingkungan global.16

Selain itu titik harmoni regulasi tentang kewenangan daerah terhadap pengembangan ekowisata juga ada pada UU 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan khusunya Pasal 8 ayat (1), yakni Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota. Selanjutnya secara gamblang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (3) bahwa Rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.

Dari dua pasal tersebut jelas memberikan gambaran bahwa pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten diberi tanggung jawab yang sangat besar dalam pembangunan sektor kepariwisataan di daerah yang pengaturannya harus melalui Peraturan Daerah (Perda). Titik tautnya dengan persoalan ekowisata adalah terletak pada kenyataan bahwa ekowisata bagian dari sektor kepariwisataan. Maka dia harus tunduk kepada seluruh isi dan ketentuan pengaturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009.

Dengan demikian dari ketiga peraturan perundang-undangan ini ada alas hukum yang jelas dan tegas bahwa secara umum daerah mempunyai peranan yang sangat penting bagi terwujudnya pengembangan ekowisata. Undang-Undang No 32 Tahun 2004 mewakili pengaturan kewenangan wajib, Undang-Undang No 32 tahun 2009 mengatur tentang persoalan tehnis perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan Undang-undang No 10 Tahun 2009 memayungi persoalan pembangunan sektor ekowisata yang masuk pada program kepariwisataan sampai dengan lahirnya produk hukum berupa perda sebagai alat aturnya.

Fungsi Izin dalam pengembangan ekowisata di daerah

Kekuasaan dan wewenang yang diberikan administratur Negara oleh undang-undang kemudian dijadikan bahan bakar untuk menggerakan roda pemerintahan, sehingga menghasilkan sebuah perbuatan hukum. Fase ini melahirkan sifat perbuatan yang aktif dan dinamis dan mempunyai akibat hukum. Menurut Utrecht perbuatan hukum dibedakan menjadi bersegi dua dan bersegi satu.

16

Perbuatan hukum yang bersegi satu dan langsung menimbulkan akibat hukum inilah yang kemudian disebut dengan ketetapan (beschikking).17 Menurut Van der Pot dan Van Vollenhoven yang dimaksud ketetapan adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat sebelah pihak, dalam lapangan Pemerintahan dilakukan oleh suatu badan Pemerintahan berdasarkan kekuasaannya yang istimewa.18

Salah satu macam ketetapan inilah yang kemudian disebut dengan izin (vergunning). Menurut W.F. Prins dan R.Kosim Adisapoetra izin adalah perbuatan pemerintah yang memperkenankan suatu perbuatan yang tidak dilarang oleh peraturan yang bersifat umum19

Kedudukan izin yang merupakan bagian dari ketetapan dalam tata hukum adalah sebagai sumber hukum positif. Sehingga izin daya lakunya seperti produk hukum yang bersifat mengikat dan akan terbit sanksi bagi yang menentangnya. Sebagai sebuah produk hukum maka izin juga ada yang menerbitkan, yakni pemegang kekuasaan eksekutif (administratur Negara/pemerintah).

Dalam kaitannya dengan pengembangan ekowisata di daerah maka pemerintah daerah baik kota maupun kabupaten yang berwenang mengeluarkan/menerbitkan izin. Perintah secara yuridis normative terhadap persoalan ini adalah seperti diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (6) yang berbunyi pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan dan tugas pembantuan. Hal ini dipertegas dalam UU no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 25 yang menyatakan, bahwa Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang :

a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan b. yang ditetapkan bersama DPRD;

c. mengajukan rancangan Perda;

d. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

e. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

f. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

g. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk

h. kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan i. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka ada payung hukum yang dijadikan dasar bagi daerah untuk membentuk produk hukum di daerah. Terbitnya sebuah izin dalam tata perundang-undangan di daerah adalah sebenarnya merupakan tindak lanjut dikeluarkannya

17

Bachsan Mustafa, Ibid. hlm. 83

18

Ibid hlm. 86

19

peraturan daerah (perda). Artinya ada hubungan yang sangat erat antara keluarnya Perda (regeling) dengan diterbitkannya ketetapan/beschikking(izin).

Secara yuridis konstitusional hal ini diatur secara tegas pada UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1), yang menyebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Letak izin sebagai bagian dari ketetapan memang tidak disebutkan secara eksplisit tetapi keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1)dan ayat (2), yang berbunyi:

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Pasal tersebut di atas menunjukan bahwa izin tetap dianggap sebagai sebuah produk hukum karena berada dalam herarkhie peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena itu khusus mengenai fungsi izin yang terkait dengan pengembangan ekowisata yang keberadaannya diatur secara tehnis dalam sebuah Permendagri No 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di daerah adalah sebagai sebuah produk hukum.

Di dalam Permendagri tersebut persoalan keberadaan izin ditempatkan dalam Bab III Pasal 4 dimana pemerintah daerah dalam mengembangkan ekowisata di daerah dilakukan melalui perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian yang dilakukan secara terpadu oleh pelaku wisata. Perencanaan ekowisata dituangkan dalam RPJPD, RPJMD, dan RKPD yang

merupakan bagian dari perencanaan pariwisata daerah.20 Perencanaan ekowisata yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) Permendagri memuat antara lain:

a. jenis ekowisata; b. data dan informasi; c. potensi pangsa pasar; d. hambatan;

e. lokasi; f. luas; g. batas;

h. kebutuhan biaya;

i. target waktu pelaksanaan; dan j. disain teknis.

Sedangkan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. daya tarik dan keunikan alam;

b. kondisi ekologis/lingkungan;

c. kondisi sosial, budaya, dan ekonomi; d. peruntukan kawasan;

e. sarana dan prasarana; dan f. sumber pendanaan.

Selanjutnya Perencanaan ekowisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, dilakukan melalui:

a. merumuskan kebijakan pengembangan ekowisata Provinsi dengan memperhatikan kebijakan ekowisata Nasional;

b. mengoordinasikan penyusunan rencana pengembangan ekowisata sesuai dengan kewenangan provinsi;

c. memberikan masukan dalam merumuskan kebijakan pengembangan ekowisata Provinsi dengan memperhatikan kebijakan ekowisata Nasional;

d. mengintegrasikan dan memaduserasikan rencana pengembangan ekowisata provinsi dengan rencana pengembangan ekowisata kabupaten/kota, rencana pengembangan ekowisata nasional dan rencana pengembangan ekowisata provinsi yang berbatasan; dan

e. memaduserasikan RPJMD dan RKPD yang dilakukan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota masyarakat dan dunia usaha dengan rencana pengembangan ekowisata;

20

Pemanfaatan Ekowisata sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, di dalam Pasal 8 Permendagri ini mencakup:

a. pengelolaan kawasan ekowisata; b. pemeliharaan kawasan ekowisata; c. pengamanan kawasan ekowisata; dan d. penggalian potensi kawasan ekowisata baru.

Sedangkan menurut Pasal 9 ayat (1) Pemanfaatan ekowisata dapat dilakukan oleh perseorangan dan/atau badan hukum; atau pemerintah daerah. Pemanfaatan ekowisata yang dilakukan oleh perseorangan dan/atau badan hukum lainnya harus dikerjasamakan dengan pemerintah daerah lainnya dan/atau pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pemanfaatan ekowisata yang dilakukan oleh pemerintah daerah dapat dikerjasamakan dengan pemerintah daerah lainnya dan/atau pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerjasama ini diprioritaskan untuk memberikan kemudahan kepada perseorangan dan/atau badan hukum.21

Bagian akhir dari tahap ini adalah pengaturan persoalan pengendalian seperti yang diatur pada Pasal 10 yang dilakukan antara lain terhadap :

a. fungsi kawasan; b. pemanfaatan ruang;

c. pembangunan sarana dan prasarana;

d. kesesuaian spesifikasi konstruksi dengan desain teknis; dan e. kelestarian kawasan ekowisata.

Di dalam Pasal 11 disebutkan bahwa Pengendalian ekowisata dilakukan melalui: a. pemberian izin pengembangan ekowisata;

b. pemantauan pengembangan ekowisata;

c. penertiban atas penyalahgunaan izin pengembangan ekowisata; dan d. penanganan dan penyelesaian masalah atau konflik yang timbul dalam

penyelenggaraan ekowisata.

Didalam Pasal 11 ini jelas dinyatakan bahwa fungsi izin dalam pengembangan ekowisata dilakukan dengan cara pemberian izin. Untuk terbitnya izin lazimnya harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Secara tehnis ketentuan penerbitan izin seharusnya ada dalam permendagri ini, tetapi sayangnya tidak mengatur secara eksplisit syarat syarat bagi terbitnya izin. Hal ini yang kemudian dibelakang hari nanti menjadi permasalahan ketika izin dijadikan alat pengendali pengembangan ekowisata. Menurut penulis bisa saja keberadaan izin ini dimasukan dalam rezim perizinan lingkungan hidup. Menurut UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

21

selajutnya periksa Pasal 9 ayat (2) (3) dan (4) Permnedagri No 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di daerah.

(UU-PPLH) terdapat 2 (dua) jenis izin,pertamaizin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35). Kedua, izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 36).22Misalnya Izin Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Dengan UU-PPLH sebagai hukum positif pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup dapat diterapkan dalam sistem perizinan lingkungan hidup di Indonesia, sehingga tujuan perizinan sebagai instrument pengendalian bisa terwujud.23 Hal yang menguatkan bahwa pemberian izin dalam pengembangan ekowisata masuk dalam perizinan lingkungan adalah karena aktivitasnya sangat bersinggungan dengan kekayaan alam yang ada dalam wilayah lingkungan hidup. Hal ini diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 18 UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengatur dan mengelola urusan kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tahap berikutnya adalah ketika izin sudah diberikan tetapi ternyata pengusaha pariwisata melakukan penyalahgunaan izin untuk kepentingan diluar diterbitkannya izin pengembangan ekowisata. Terhadap kejadian ini maka menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. (Pasal 76 ayat (1) UU-PPLH 2009). Sanksi administrasi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (2) berupa, teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau, pencabutan izin lingkungan. Berbagai sanksi ini tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.(Pasal 78 UU-PPLH 2009).

Khusus Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d UU-PPLH 2009 dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Sesuai dengan Pasal 80 ayat (1) Paksaan Pemerintah berupa :

a. penghentian sementara kegiatan produksi; b. pemindahan sarana produksi;

c. penutupan saluran pembuangan air d. limbah atau emisi;

e. pembongkaran;

f. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; g. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau

22

h. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 80 ayat (2) bahwa pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:

a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan c. pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau

d. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.

Terhadap ketidaktegasan pemerintah daerah yang secara sengaja tidak menerapkan sanksi adminitrasi ini maka menteri dapat menerapkan sanksi administrasi terhadap

Dalam dokumen prosiding ekowisata lengkap ISBN (Halaman 144-156)