• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Perkara Gugatan Yang Diselesaikan Dengan Menggunakan Mekanisme Class Action Setelah Adanya Pengakuan dan Pengaturan

Dalam dokumen TESIS MILIATER SIMALANGO NPM (Halaman 71-88)

HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION

B. Beberapa Perkara Gugatan Yang Diselesaikan Dengan Menggunakan Mekanisme Class Action Setelah Adanya Pengakuan dan Pengaturan

Gugatan Class Action.

Setelah adanya pengakuan dan pengaturan gugatan class action, terdapat puluhan sengketa atau perkara yang penyelesaiannya diajukan ke pengadilan melalui mekanisme gugatan class action. Penulis akan mencoba menyajikan beberapa diantaranya yang menarik perhatian masyarakat.

1. Gugatan 139 orang penarik becak terhadap Pemerintah RI cq Menteri Dalam Negeri cq Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.81

Para penggugat dalam surat gugatannya tertanggal 17 Februari 2000 menyebutkan dengan tegas bahwa gugatan diajukan sebagai “gugatan perwakilan perbuatan melawan hukum”. Dalam gugatannya, 139 orang penarik becak mendalilkan bertindak sebagai wakil kelas yang mewakili dirinya sekaligus juga mewakili 5000 orang penarik becak yang beroperasi di wilayah DKI Jakarta.

Alasan pegunggat mengajukan gugatan ini dengan menggunakan mekanisme class action adalah jumlah penarik becak di Jakarta sangat banyak mencapi 5000 jiwa. Jika gugatan diajukan secara sendiri-sendiri akan membutuhkan energi dan biaya yang sangat mahal. Bagi penggugat sendiri pengajuan gugatan perwakilan sangat bermanfaat, terutama karena penggugat merupakan pihak yang lemah, yang belum pernah memiliki akses di hadapan hukum/pengadilan. Gugatan perwakilan telah pula dimungkinkan dalam perkara lingkungan hidup dan konsumen sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Adapun awal mula kasus ini adalah pada tahun 1988 Pemda DKI mengeluarkan Perda Nomor 11 tahun 1988 pada intinya melarang keberadaan becak di Jakarta. Pada tanggal 25 Juni 1998, tergugat selaku Gubernur DKI

81 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 50/PDT.G/2000/PN.Jkt.Pst., tanggal 24 Juli 2000, Jo. Nomor 646/PDT/2000/PT.DKI. tanggal 20 Desember 2000, Jo. Nomor 3047 K/PDT/2001 tanggal 6 Desember 2001.

65

mengeluarkan kebijaksanaan yang mengijinkan becak beroperasi di Jakarta. Kemudian pada tanggal 30 Juni 1998, Gubernur DKI mengeluarkan kebijakan menarik kembali kebijakan pemberian ijin bagi penarik becak dan memerintahkan kepada 5 walikota diwilayah DKI Jakarta untuk menertibkan kembali becak. Akibat kebijakan tersebut, terjadi penggarukan becak yang dilakukan secara mendadak oleh staf tergugat tanpa menunjukan surat perintah dan surat buktikan penyitaan, dilakukan kekerasan fisik dan perusakan becak milik para penggugat. Penggugat mendalilkan bahwa tindakan dan keputusan yang dikeluarkan oleh tergugat bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik (the general principles of good administration) yakni asas kepastian hukum; asas pertimbangan; asas kejujuran dan kerterbukaan, kewajaran, asas motivasi dan asas pertanggung jawaban serta merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 1365 KUHPerdata.

Berkaitan dengan pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action, tergugat memberikan bantahan yang intinya bahwa kapasitas 139 orang penarik becak sebagai penggugat yang mewakili 5.000 orang penarik becak, berdasarkan ketentuan pasal 123 ayat (1) HIR harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus dari 5.000 orang penarik becak yang diwakilinya. Penggugat tidak mencantumkan indentitas kependudukan (KTP) masing-masing sebagai warga DKI Jakarta sehingga penggugat tidak mempunyai kapasitas mengajukan gugatan mewakili 5.000 orang penarik becak.

Terhadap keberatan (eksepsi) tergugat mengenai penggunaan mekanisme class action, majelis hakim berpendapat bahwa perwakilan kelas sejumlah 139 orang penarik becak dinyatakan dapat diterima. Hal ini dituangkan dalam putusan tersendiri (putusan sela) pada tanggal 20 April 2000. Selanjutnya dalam putusan pokok perkara tanggal 31 Juli 2000, majelis hakim menghukum agar tergugat sebagai kepala Daerah DKI agar menyediakan ruang dan jalur khusus dan menyatakan penggugat dapat melaksanakan pekerjaannya sebagai penarik becak yang akan beroperasi di jalan-jalan pemukiman dan pasar sesuai dengan jalur-jalur yang diterapkan.

66

Meskipun dalam perkara ini majelis hakim dengan tegas mengakui dan/atau menerima pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme class action, namun dalam proses pemeriksaan selanjutnya diterapkan prosedur sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata. Setelah Pengadilan memutuskan bahwa penggunaan prosedur class action dapat diterima, proses pemeriksaan langsung dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara, alat bukti dan seterusnya tanpa ada perintah dan/atau putusan yang mengharuskan dilakukan notifikasi (pemberitahuan) kepada anggota.

Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakata Pusat tersebut, Gubernur DKI Jakarta mengajukan upaya hukum banding pada tanggal 8 Agustus 2000. Dalam putusannya, majelis hakim tingkat banding membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam putusannya pada bagian eksepsi majelis hakim pada tingkat banding menyatakan menolak eksepsi dari tergugat. Meskipun eksepsi atau keberatan mengenai penggunaan mekanisme gugatan class action ditolak, tetapi karena pokok perkara dalam gugatan ditolak, penolakan eksepsi menjadi tidak berarti. Pertimbangan majelis hakim menolak gugatan karena dasar gugatan para penggugat bertentangan dengan Perda Nomor 11 tahun 1988 yang melarang keberadaan becak di Jakarta. Perda Nomor 11 tahun 1988 belum pernah dicabut. Para penggugat yang mendalilkan bahwa tanggal 25 Juni 1998, Gubernur DKI Jakarta pernah mengeluarkan kebijakaan yang mengijinkan becak beroperasi di Jakarta, hanya didasarkan pada berita melalui media massa yang masih dalam bentuk gagasan dan belum berwujud suatu keputusan resmi yang sah.

Terhadap putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, ke-139 penarik becak megajukan upaya hukum kasasi. Dalam putusannya, majelis hakim pada tingkat kasasi berpendapat bahwa putusan majelis hakim pada tingkat banding sudah tepat dan tidak salah dalam menerapkan dan/atau tidak melanggar hukum yang berlaku. Dengan demikian putusan pengadilan tinggi DKI Jakarta yang menolak gugatan ke-139 orang penaik becak telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (inkracht).

67

Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa putusan majelis hakim tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan menerima para penggugat selaku wakil kelas, namun akhirnya kandas di tengah jalan, karena pada tingkat banding gugatan para penggugat ditolak, yang kemudian dikuatkan oleh majelis hakim pada tingkat kasasi.

2. Gugatan R.M. Waskito Aqdiri Wibowo, dkk (9 orang) konsumen gas LPG, terhadap Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) dan Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina.82

Dalam gugatannya, para penggugat mendalilkan bahwa tergugat secara sepihak dan tanpa pemberitahuan sebelumnya baik lisan maupun secara tertulis dan tanpa proses sosialisasi kepada para penggugat berikut konsumen gas elpiji, telah menaikan harga jual gas elpiji (LPG) sebesar 40% dari harga jual lama Rp.1.500 ,-/Kg sehingga terhitung sejak tanggal 3 November 2000 harga jual gas elpiji (LPJ) menjadi Rp.2.100,-/kg sebagaimana dituangkan dalam SK Nomor Kpts-097/c00000/2000-S3 tanggal 2 November 2000. Kenaikan harga secara tiba-tiba tersebut juga tidak sesuai dengan himbauan yang dikeluarkan oleh Tim Pemantau Harga yang dibentuk oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan berdasarkan Keputusan Menteri Peridustrian dan Perdagangan Nomor 289/MPP/Kep/9/2000, yang menyatakan kenaikan harga elpiji seharusnya tidak boleh lebih 5%. Tindakan tergugat adalah merupakan perbuatan melawan hukum in casu pasal 4 huruf b, c dan d jo pasal 7 huruf a, b, dan d jo. pasal 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan telah menimbulkan kerugian materiil dengan perincian.

Dalam gugatannya, para penggugat menyebutkan alasan mengajukan gugatan dengan menggunakan mekanisme class action. Jumlah masyarakat konsumen-konsumen LPG lainnya di Jabotabek, sangat besar, dapat mencapai sekitar dan atau lebih dari 200.000 konsumen LPG dan juga tidak teroganisir, dan

82 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 550/PDT.G/2000/PN.Jkt.Pst., tanggal 4 Oktober 2001, Jo. Nomor 94/PDT/2002/PT.DKI. tanggal 4 Juni 2002, Jo. Nomor 551 K/PDT/203 tanggal 5 Juni 2003.

68

bila masing-masing secara langsung dan sendiri-sendiri bertidak sebagai penggugat dalam gugatan ini, maka proses pengajuan gugatan menjadi tidak sederhana, tidak cepat dan memakan biaya besar, sehingga menjadi tidak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. pasal 46 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Terdapat fakta yang sama, seperti antara lain bahwa kenaikan harga LPG terhitung mulai tanggal 3 November 2000, bahwa LPG yang beredar dan diperjualkan, diproduksi oleh tergugat I, bahwa LPG yang digunakan oleh para penggugat maupun konsumen lainnya adalah tabung berisi 12 Kg dll., adanya dalil dan tuntutan yang sama serta adanya wakil kelas (class represetatives) yang secara jujur dan sunguh-sungguh melindungi kepentingan dari anggota kelasnya (class members), sehingga dengan demikian telah memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukan suatu gugatan perwakilan kelompok (class action) seperti, numerosity, commonality, typicalty, protection/adequasi of representative, maka sangat beralasan dalam rangka memenuhi ketentuan– ketentuan yang telah disebutkan di atas, penggugat, selain bertidak untuk dirinya sendiri, juga dapat sekaligus mempunyai kedudukan hukum untuk mewakili masyarakat konsumen LPG lainnya di jabotabek, yang mengalami kerugian karena dinaikannya harga LPG oleh tergugat I .

Terhadap gugatan yang diajukan dengan menggunakan mekanisme class action, tergugat mengajukan keberatan bahwa gugatan penggugat tidak dapat dikualifikasi sebagai gugatan “class action” karena gugatan class action sama sekali tidak dikenal dalam system Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia dan peraturan lebih lanjut sebagai pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sampai saat ini belum diterbitkan. Kedudukan dari para penggugat sebagai komponen perwakilan kelas, sangat tidak jelas, karena tampil sebagai perwakilan kelas, harus diketahui terlebih dahulu secara terperinci, siapa saja anggota kelas dari pada para penggugat, tentunya hal ini diajukan saat gugatan didaftarkan ke Pengadilan, hal ini sangatlah penting untuk menjamin adanya kepastian hukum. Para penggugat tidak dapat menunjukkan secara pasti dan terperinci siapa-siapa yang termasuk dalam kelompok para penggugat dan

69

siapa-siapa yang termasuk dalam kelompok yang menggugat dan siapa-siapa dalam kelompok yang tidak ikut tergugat. Penggugat juga tidak mempunyai kapasitas dan kualitas sebagai penggugat, karena status hukum KAPAK (Komite Advokasi Pemakai Anti Kenaikan) LPG tidak jelas, dan juga bukan merupakan suatu LSM yang bergerak dibidang perlindungan konsumen, sehingga tidak memenuhi kriteria pertama untuk gugatan class action, khususnya mengenai class representatif dan class members. Gugatan penggugat kabur (obscure libel), tidak jelas karena tidak mengajukan rincian siapa-siapa yang menjadi anggota kelas (class members), class representatif dan class action, yang untuk tiap-tiap kelas tersebut ternyata tidak didukung oleh surat kuasa yang sah.

Dalam putusannya, majelis hakim menolak seksepsi yang diajukan para tergugat untuk seluruhnya. Majelis hakim bahwa gugatan para penggugat telah sesuai dengan ketentuan pasal 46 huruf b Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama (class action). Ketentuan pasal 46 tersebut membedakan antara gugatan sekelompok konsumen (class action) dengan hak gugat LSM (NGO’standing to sue). Gugatan yang diajukan oleh para penggugat adalah gugatan yang bersifat class action, sehingga tidak perlu kuasa para penggugat (Kapak LPG) harus merupakan LSM yang bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaiman dipersoalkan dalam tergugat. Dalam gugatan class action tidak ada keharusan untuk merinci siapa-siapa yang menjadi anggota kelas (class members) di dalam surat gugatan. Dalam hal pendefinisian/penemuan kelas dapat dilakukan dengan dua prosedur, yaitu prosedur option out dan option in, dalam prosedur option out maka anggota kelas cukup didenfisikan secara umum dalam gugatan class action dan diberitahukan di media masa.

Dalam pokok perkara majelis hakim memutuskan menetapkan para penggugat bertindak dan berkedudukan hukum untuk mewakili kepentingan hukum masyarakat konsumen elpiji di Jabotabek, menerima gugatan masyarakat konsumen elpiji yang diwakili oleh para penggugat, menyatakan tergugat I dan tergugat II melakukan perbuatan melawan hukum, menghukum tergugat I untuk

70

membayar ganti rugi kepada para penggugat masing-masing sebesar Rp. 144.000,- perbulannya, menghukum tergugat I untuk membayar ganti rugi

kepada masyarakat konsumen elpiji yang diwakili oleh para penggugat masing-masing sebesar Rp.16.000,- perbulannya sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, memerintahkan pembentukan Komisi Pembayaran Ganti Rugi yang anggotanya terdiri 3 (tiga) orang wakil dari para penggugat dalam perkara ini, dan 2 (dua) orang wakil dari tergugat I yang mekanisme tugasnya adalah sebagai berikut: (a) Komisi dalam waktu sekurang-kurangnya 7 hari kerja, (b) Komisi harus sudah melakukan pemberitahuan kepada para anggota kelompok (class members) untuk mendaftarkan diri membawa bukti-bukti kerugian yang dimilikinya, selama paling lambat 30 hari kerja. Setelah itu komisi menjumlahkan seluruh anggota kelompok (class members) yang telah diverifikasi dan memerintahkan tergugat untuk melakukan pembayaran ganti rugi selambat-selambatnya selama 14 hari kerja setelah diajukan oleh komisi.

Dalam perkara ini penggugat telah mengemukakan usulan tentang pembentukan komisi untuk menyelesaikan administrasi distribusi ganti rugi kerugian kepada anggota kelas. Gugatan class action didasarkan pada penafsiran analogis terhadap 4 (empat) undang-undang yang mengatur tentang dimungkinkannya penggunaan gugatan class action dalam perkara perdata, yaitu (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (3) Undang Jasa Konstruksi dan (4) Undang-Undang Kehutanan.

Sama dan senasib dengan gugatan 139 orang penarik becak terhadap Gubernur DKI Jakarta, gugatan R.M. Waskito Aqdiri Wibowo, dkk (9 orang) Konsumen gas LPG ini juga kandas di tengah jalan. Meskipun majelis hakim tingkat banding menyatakan gugatan class action para penggugat dapat dibenarkan, namun dalam tingkat kasasi, putusan ini dianulir. Dalam pokok perkara, baik Majelis Hakim baik pada tingkat banding maupun kasasi sama-sama menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili gugatan ini yang menjadi wewnang Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta.

71

3. Gugatan 15 warga DKI Jakarta terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan Gubernur Jabar R Nuriana, dalam kasus banjir yang terjadi akhir Januari sampai dengan awal Pebruari 2002.83

Para penggugat yang terdiri dari 15 orang wakil kelas, yang memberikan kuasa khusus tertanggal 4 Maret 2002 kepada Tim Advokasi Banjir Jakarta, mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Negara Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia sebagai tergugat I, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai tergugat II serta Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat sebagai turut tergugat pada tanggal 13 Maret 2002.

Dalam gugatannya, para penggugat sebagai wakil kelas mendalilkan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang mengalami kerugian (korban) akibat banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada akhir Januari sampai dengan awal Februari 2002. Berdasarkan hal tersebut, maka kedudukan dan keberpihakan para wakil kelas tidak diragukan lagi, sehingga patut dan pantas untuk mewakili masyarakat luas khususnya masyarakat dan warga DKI Jakarta mengajukan gugatan ini. Untuk menguatkan kedudukannya sebagai pihak yang dapat mengajukan gugatan ini, para penggugat menunjukkan peraturan perundang-undangan sebagai dasarnya antara lain Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undnag Jasa Konstruksi serta Undang-Undang Kehutanan.

Menurut para penggugat, tergugat I dan tergugat II telah melakukan

pelanggaran terhadap beberapa ketentuan perundang-undangan yaitu: (a) ketentuan pasal 28 (f) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar tahun 1945,

(b) pasal 7 ayat (2) dan pasal 43 (e) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

83 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 83/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst.

72

Tentang Pemerintahan Daerah jo. Pasal 9,10,11, dan 12 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Republik Indonesia Jakarta, dan (c) SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi DKI Jakarta Nomor 222 tahun 1998 tentang Prosedur Tetap (Protap) Penanggulangan Bencana di Wilayah DKI Jakarta.

Dalam gugatannya, para penggugat mengklaim bahwa banjir yang terjadi Januari – Pebruari 2002 telah menimbulkan kerugian bagi para tergugat, baik materiil seperti harta benda, immateriil maupun kehilangan korban jiwa. Kerugian yang dikemukakan oleh para penggugat ini meliputi kerugian materiil individu yang diperkirakan sebesar Rp. 133.985.000,-, kerugian immateriil individu masing-masing Rp. 100.000.000,- dan kerugian komunal Rp. 1.200.000.000,- untuk memperbaiki sarana publik yang rusak akibat terjadinya banjir sebagaimana dijabarkan dalam gugatannya.

Berkaitan dengan pengajuan gugatan yang menggunakan mekanisme class action, para tergugat mengajukan eksepsi (keberatan) yang pada intinya menyatakan gugatan para penggugat tidak memenuhi syarat-syarat hukum bagi sebuah gugatan perwakilan kelompok (class action), surat kuasa penggugat cacat yuridis dan istilah wakil kelas untuk menggantikan sebutan penggugat. Menurut tergugat I gugatan para penggugat tidak memenuhi syarat-syarat hukum bagi sebuah gugatan perwakilan kelompok (class action). Tergugat I menyatakan bahwa gugatan class action hanya dapat diajukan dalam hal undang-undang yang berlaku memperkenankan diajukannya gugatan semacam itu. Tergugat II juga mendalilkan bahwa surat kuasa penggugat cacat yuridis, karena dalam surat kuasa para penggugat tertanggal 4 Maret 2003, pada bagian identitas pemberi kuasa hanya disebutkan Nuraeni, dkk, sementara 14 wakil kelas lain yang memberikan kuasa tidak secara langsung disebutkan pada bagian identitas pemberi kuasa, melainkan dilampirkan pada bagian lampiran di halaman 2. Menurut tergugat II seharusnya surat kuasa tersebut dibuat dalam 15 surat kuasa dari pemberi kuasa dengan bea materai untuk masing-masing surat kuasa.

73

Selain itu, menurut para tergugat, bahwa Peraturan Perundang-undangan Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia hanya mengatur istilah penggugat” dan “tergugat” sebagai pihak berperkara dalam suatu yurisdiksi kontentiosa di pengadilan (vide Pasal 118 HIR) dan sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum formal (hukum acara) yang mengenal istilah “penggugat”. Oleh karena itu, gugatan perwakilan yang diajukan oleh bukan “penggugat” melainkan hanya menyebutkan “wakil kelas” saja menyebabkan tidak jelasnya siapa “penggugat” dalam perkara a-quo dan pelanggaran atas formalitas beracara sehingga gugatan perwakilan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Berkaitan dengan eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh para tergugat mengenai penggunaan mekanisme class action, majelis hakim berpendapat bahwa PERMA Nomor 1 Tahun 2002 untuk sementara dapat dijadikan sebagai dasar dalam memeriksa dan mengadili gugatan class action sampai adanya ketentuan perundang-undangan untuk itu, sehingga dengan demikian eksepsi tergugat I yang menyatakan belum ada ketentuan yang mengatur acara memeriksa, mengadili dan memutus gugatan yang diajukan bahwa gugatan perwakilan kelompok (class action) harus ditolak. Majelis hakim juga berpendapat bahwa surat kuasa para penggugat telah sesuai dengan ketentuan yang ada. Lampiran surat kuasa tertanggal 4 Maret 2002 adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaran pertama yang memuat nama pemberi kuasa Nuraeni, dkk (terlampir) dan karenanya hal tersebut tidak mengurangi nilai kedudukan para pemberi kuasa, sehingga dengan demikian surat kuasa para penggugat tidak cacat yuridis. Terhadap eksepsi tergugat yang menyatakan bahwa eksepsi tergugat II mengenai istilah wakil kelas yang menggantikan istilah penggugat, majelis hakim juga berpendapat bahwa eksepsi tidak berdasar sehingga patut untuk ditolak karena istilah para wakil kelas bukan dimaksudkan untuk menggantikan penyebutan penggugat melainkan hal tersebut sama dan sejiwa dengan penyebutan para penggugat.

74

Dari putusan pengadilan dalam perkara gugatan ini, terlihat bahwa meskipun majelis hakim mengakui dan menerima para penggugat sebagai wakil kelas, akan tetapi dalam pokok perkara, gugatan tidak dapat dikabulkan atau ditolak karena menurut majelis hakim, para tergugat tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum.

4. Gugatan 8 orang warga ibu kota Jakarta yang tergabung dalam Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta (Komparta) terhadap PT. Thames Pam Jaya dan PT. Palyjaya.84

Dalam gugatannya para penggugat mengklaim selain bertindak untuk diri sendiri sekaligus juga mewakili masyarakat konsumen air minum golongan K3A yang mengalami kerugian akibat mutu pelayanan PT. Thames Pam Jaya dan PT Palyjaya, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 2,3 juta jiwa. Menurut para penggugat, menyatakan bahwa PT. Thames Pam Jaya dan PT. Palyjaya telah melakukan perbuatan melawan hukum karena selama mengelola PAM Jaya, PT. Thames Pam Jaya dan PT. Palyjaya tidak pernah berhasil menaikkan kualitas dan kuantitas air minum buat warga Ibukota Jakarta, seperti halnya, adanya tingkat kebocoran pipa masih tidak sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu dari 54% hanya mampu ditekan 48%, bahkan untuk menekan tingkat kebocoran air (Non Revenue Water) pihak Thames dan Lyonnaise hanya melakukan simulasi. Kualitas dan kuantitas olahan air yang kurang layak seperti hal kualitas air minum yang keruh dan bau kaporit, kuantitas air minum yang hanya mengalir kecil bahkan sering tidak mengalir (mati) terbukti banyak sekali para pelanggan sering mengalami komplain, hal itu dapat di lihat dari mengalirnya surat atau telepon (melalui call center PT. Thames PAM Jaya / PT. Palyja) dan di media-media cetak atau elektronik. Demikian juga dengan sistem pelayanan administratif lainnya yang menyangkut tata cara pembayaran (penagihan rekening) manajemennya sangat memprihatinkan, seperti halnya yang dialami oleh salah seorang dari wakil kelas yaitu Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Harun Al Rasyid yang dikenakan

84 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 276/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst., tanggal 7 Juli 2004.

75

denda Rp. 5.000 atas keterlambatan pembayaran rekening bulan November 1999. Setelah diperiksa ternyata pembayaran itu sudah dilakukan pada tanggal 15 November 1999, jauh sebelum tempo tanggal 25 Desember 1999. Begitu pula dengan target pertambahan pelanggan dari tahun 1998-2000 tidak tercapai dibawah rata-rata kualitas pelayanan yang dilakukan oleh operator sebelumnya PAM Jaya mampu mencapai angka 25.000 selama tahun 1997, sedangkan Lyonnaise sepanjang tahun 1998 hanya mencapai angka 5.000 pelanggan. Demikian juga Thames PAM Jaya dalam tahun 1998 hanya 17.500 pelanggan, itupun terealisasi sekitar 12.500 pelanggan.

Dalam jawabannya, baik tergugat I maupun tergugat II memberikan

Dalam dokumen TESIS MILIATER SIMALANGO NPM (Halaman 71-88)