• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengenai Ganti Rugi

Dalam dokumen TESIS MILIATER SIMALANGO NPM (Halaman 114-118)

IMPLEMENTASI PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION OLEH KONSUMEN PENGGUNA JASA KERETA API

B. Putusan Pengadilan

3. Mengenai Ganti Rugi

Dalam putusannya, majelis hakim hanya menghukum tergugat I untuk membayar ganti rugi berupa : (a) Biaya penguburan, (b) Santunan kematian, (c) Biaya antar jenazah, (d) Biaya perjalanan pulang kembali ke Stasiun asal atau stasiun tujuan, (e) Penggantian barang atau surat yang hilang, bagi korban yang memiliki surat tanda titipan atau angkutan barang atau surat bagasi, (f) Biaya pengobatan sampai korban menjadi pulih dan/atau santunan bagi bagai korban yang mengalami cacat badan dengan ketentuan atas kerugian tersebut dapat dibuktikan dan tidak melebihi dari jumlah maksimum asuransi yang ditutup oleh tergugat I dalam penyelenggaraannya, serta belum dibayar baik oleh PT. Jasa Raharja atau PT. Jasa Raharja Putra.

108

Menurut pertimbangan majelis hakim, gugatan ganti rugi dari penggugat dikabulkan sepanjang mengenai biaya penguburan, santunan kematian, biaya perjalanan pulang pergi ke stasiun kedatangan atau tujuan, biaya penggantian barang yang hilang, biaya pengobatan sampai pulih, serta santunan bagi yang cacat, tetapi tidak jelas berapa nilai ganti rugi yang harus dibayarkan. Selain itu ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu semua kerugian yang diderita korban harus bisa dibuktikan. misalnya, barang yang hilang harus ada bukti barang tersebut memang tercatat di tiket bagasi. Selain itu biaya ganti rugi tidak boleh melebihi jumlah asuransi yang ditutup oleh tergugat I serta belum dibayarkan oleh Asuransi Jasa Raharja.

Menurut penulis meskipun tergugat I telah membayar uang perawatan dan santunan asuransi jasa raharja, bukan berarti menghapus sama sekali hak-hak korban atau ahli warisnya untuk menggugat ganti rugi kepada penyelenggara jasa angkutan kereta api. Selaku penyelenggara angkutan, tergugat I tetap harus bertanggung jawab. Sebab, asuransi jasa raharja adalah perikatan antara konsumen dengan perusahaan asuransi, bukan dengan penyelenggara jasa angkutan, hal ini telah sesuai dengan ketentuan pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Perkeretaapian. Sifat asuransi jasa raharja adalah sosial, bukan asuransi jiwa. Artinya, pembayaran santunan oleh Asuransi Jasa Raharja tidak otomatis menutup kerugian yang dialami korban atau konsumen. Selain kerugian materil seperti hilangnya harta benda, keluarnya biaya untuk pengobatan dan perawatan, para penggugat juga telah mengalami kerugian immateriil seperti kehilangan korban jiwa, sehingga dengan demikian berdasarkan ketentuan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, para penggugat (konsumen) masih tetap berhak menuntut ganti rugi immaterial dari tergugat I atas kecelakaan tersebut.

109

BAB V PENUTUP D. Kesimpulan.

Dari hasil penelitian dan analisis yang penulis lakukan, diperoleh beberapa kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat dalam tesis ini.

Untuk pertama kalinya class action di Indonesia diakui pada tahun 1997, yaitu sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setelah Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tercatat ada 3 (tiga) Undang-Undang yang secara ekspilist mengatur dan mengakui mengenai gugatan class action yaitu (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (ii) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, dan (iii) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Di dalam keempat peraturan perundang-undangan tersebut di atas ditegaskan bahwa penerapan class action, didasarkan kepada ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku di peradilan umum. Sementara dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia yaitu HIR, ternyata tidak mengenal adanya konsep prosedur gugatan class action ini. Saat ini penerapan penggunaan mekanisme class action baru diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung yaitu PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Dalam salah satu pertimbangannya, disebutkan bahwa PERMA ini, sifatnya hanya sementara yaitu sambil menunggu adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur acara peradilan secara class action. Dalam penggunaan class action ditemukan beberapa hambatan-hambatan baik dalam proses pengajuan maupun dalam pelaksanaan isi putusan. Tidak diperlukannya surat kuasa dari wakil kelompok kepada wakil kelas sebagaimana diatur dalam pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002, pada umumnya justru menjadi salah satu peluang bagi tergugat untuk mengajukan keberatan dengan mengacu pada ketentuan yang diatur dalam pasal 123 HIR yang mensyaratkan

110

perlu adanya kuasa khusus. Pada umumnya penggugat tidak dapat menjelaskan karakteristik dari sebuah gugatan yang menggunakan prosedur class action, tidak mendeskripsikan secara jelas defenisi kelas, posita dan petitum gugatan, serta tata cara pendistribusian ganti kerugian. Masyarakat pada umumnya juga mempersamakan gugatan class action dengan gugatan legal standing. Belum adanya aturan atau petunjuk tentang notifikasi atau pemberitahuan dapat mengakibatkan perintah notifikasi tidak menjadi suatu prioritas atau suatu keharusan (padahal dalam sistem hukum negara lain merupakan suatu kewajiban). Hambatan juga ditemukan pada saat implementasi putusan pengadilan dalam hal distribusi ganti kerugian, apabila dalam amar putusan hakim tidak secara jelas disebutkan mengenai mekanisme pendistribusian ganti kerugian, termasuk mengenai penunjukan dan susunan tim/panel dan pengumuman pemberitahuan rencana pendistribusian ganti kerugian. Hambatan-hambatan lain berupa kesulitan dalam mengelola gugatan class action. Gugatan class action juga dapat menyebabkan kebangkrutan pada tergugat. Publikasi gugatan class action juga dapat menyudutkan pihak tergugat. Hambatan-hambatan tersebut pada umumnya dipengaruhi oleh (1) rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai adanya hak-hak konsumen (menggunakan gugatan class action) yang dijamin oleh undang-undang khususnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen akibat kurangnya sosialisasi, (2) tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam proses beracara di pengadilan, serta (3) belum adanya peraturan setingkat undang-undang yang mengatur mengenai tata cara pengajuan gugatan class action.

Dalam gugatan yang diajukan oleh korban tabrakan antara kereta api Empu Jaya dengan kereta api Gaya Baru Malam di stasiun Ketanggungan Barat Kabupaten Brebes tanggal 25 Desember 2001, pengadilan telah mengakui penerapan mekanisme gugatan class action. Namun dalam gugatan ini masih ditemui banyak hambatan khususnya dalam pelaksanaan putusan pengadilan yaitu pendistribusian ganti kerugian. Sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam pengumuman (14 hari), hanya 5 orang dari anggota kelompok yang memberikan respons.

111

E. Saran.

Berdasarkan uraian pada bab II sampai dengan Bab IV sebagaimana yang telah disimpulkan pada bagian A di atas, maka untuk ke depannya, penulis menyarankan beberapa hal yaitu :

1. Pertama, penggunaan mekanisme gugatan class action perlu diatur

dalam ketentuan setingkat undang-undang dan/atau setidak-tidaknya menyempurnakan ketentuan undang-undang yang telah ada yang mengatur mengenai gugatan class action

2. Kedua, perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat mengenai

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai gugatan class action

3. Ketiga, perlu adanya publikasi yang lebih luas atas putusan-putusan

pengadilan mengenai gugatan class action.

Dalam dokumen TESIS MILIATER SIMALANGO NPM (Halaman 114-118)