• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengenai Pembuktian Perbuatan Melawan Hukum

Dalam dokumen TESIS MILIATER SIMALANGO NPM (Halaman 108-114)

IMPLEMENTASI PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION OLEH KONSUMEN PENGGUNA JASA KERETA API

B. Putusan Pengadilan

2. Mengenai Pembuktian Perbuatan Melawan Hukum

Dalam gugatannya para penggugat, mendalilkan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Perbuatan tergugat I yang menurut para penggugat sebagai perbuatan melawan hukum yaitu :

a. Tidak melaksanakan ketentuan pasal 28 dan Penjelasan pasal 25 ayat (1) huruf a, dan b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretapian, yang menyebutkan :93

Pasal 28 :

badan penyelenggara bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengguna jasa dan/atau pihak ketiga yang timbul dari penyelenggaraan angkutan kereta api.

Penjelasan pasal 25 ayat (1) huruf a:

hak pengguna jasa untuk memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang disepakati misalnya pemegang karcis yang dimilikinya.

93 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian

102

Penjelasan pasal 25 (1) huruf b :

Penyelenggara wajib (1) mengangkut penumpang yang telah memiliki karcis penumpang sesuai dengan tingkat pelayanan penumpang yang telah disepati atau mengangkut barang pengguna jasa yang telah dimiliki syarat angkutan barang, (2) membayar ganti rugi sesuai syarat-syarat umum yang telah di sepakati, kepada pengguna jasa yang mengalami kerugian sebagai akibat kelalaian badan penyelenggara, (3) memberikan pelayanan dalam batas-batas kelayakan sesuai kemampuan badan penyelengggara kepada pengguna jasa, selama menunggu keberangkatan dalam hal terjadi kelambatan pemberangkatan karena kelalaian badan penyelenggara.

Terhadap dalil-dalil para penggugat yang menyatakan bahwa tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan alasan sebagaimana diuraikan di atas, majelis hakim berpendapat bahwa dari surat-surat bukti dan keterangan saksi, majelis hakim tidak memperoleh cukup bukti bahwa sebelum terjadinya tabrakan, tergugat I telah : (1) Tidak mengangkut penumpang yang membeli karcis; (2) Tidak membayar ganti rugi kepada pengguna jasa yang mengalami kerugian akibat kecelakaan; (3) Tidak memberi pelayanan yang baik selama menunggu pemberangkatan dalam hal terjadi keterlambatan pemberangkatan; dan (4) Tidak memberi pelayanan yang semestinya terhadap penumpang yang telah membeli karcis.

Menurut penulis meskipun tabrakan tersebut terjadi bukan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dan Penjelasan pasal 25 ayat (1) huruf a, dan b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 sebagaimana diuraikan di atas, namun karena faktanya tabrakan terjadi dan terjadinya bukan karena keadaan diluar kemampuan manusia (force majeur) maka sesuai dengan ketentuan pasal 28 Undang-Undang Nomor 13/1992, tergugat I tetap wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh para penggugat.

103

b. Tidak melaksanakan ketentuan pasal 3 huruf c, d, e, f, jo. pasal 4 huruf a, c, d, e dan h, jo. pasal 7 huruf b, d, f dan g, jo. pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan :

Pasal 3 huruf c, d, e dan f :

Perlindungan konsumen bertujuan untuk (1) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, (2) menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, (3) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha, (4) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Pasal 4 huruf a, b, c, d, e, dan h :

Konsumen mempunyai hak untuk (1) hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang dan/atau jasa, (2) hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, (3) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, (4) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, (5) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagai mana mestinya.

Pasal 7 huruf b, d, f, dan g :

Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk (1) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, (2) menjamin mutu barang dan atau penggantian jasa yang diproduksi dan/atau diperdangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, (3) memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan dan/atau yang diperdagangkan, (4) memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

104

Pasal 8 ayat (1) huruf a :

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terhadap dalil-dalil para penggugat yang menyatakan bahwa tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak melaksanakan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud di atas, majelis hakim berpendapat bahwa para penggugat tidak dapat membuktikan secara khusus tentang adanya pelanggaran atau kelalaian dalam ketentuan-ketentuan pasal tersebut yang secara langsung menimbulkan kerugian bagi para pengguna jasa.

Penulis kurang sependapat dengan pertimbangan majelis hakim yang menyatakan para penggugat tidak dapat membuktikan secara khusus tentang adanya pelanggaran atau kelalaian dalam ketentuan-ketentuan pasal tersebut yang secara langsung menimbulkan kerugian bagi para pengguna jasa. Sebagaimana yang penulis sampaikan sebelumnya, karena tabrakan terjadi bukan karena adanya kejadian di luar kekuasaan atau kemampuan manusia (force majeur), maka dapat dipastikan tabrakan terjadi karena kelalaian tergugat I dalam memberikan kenyamanan, keamanan dan keselamatan para penggugat, dan oleh karenanya para penggugat berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi akibat terjadinya tabrakan tersebut.

c. Tidak melaksanakan ketentuan Pasal 87 ayat (1) S. 1928-200 yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1963 Tentang Peraturan Perkeretapian, yang menyebutkan :

Urutan rangkaian kendaraan, pada tiap-tiap kereta api yang digunakan untuk angkutan penumpang, yang mencapai

105

kecepatan tertinggi lebih dari 45 km sejam, langsung di belakang lokomotif harus ditempatkan sekurang-kurangnya satu kendaraan, dimana tidak diijinkan ada penumpang kecuali pegawai kereta api atau pegawai jawatan pos.

Terhadap dalil-dalil para penggugat ini, majelis hakim sependapat dengan para penggugat. Menurut majelis hakim, tergugat I telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena lalai menempatkan kendaraan (gerbong) di belakang lokomotif dengan tidak dijinkannya ada penumpang kecuali pegawai kereta api atau jawatan pegawai pos sebagaimana diwajibkan dalam pasal 87 ayat (1) S. 1928-200 yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1963.

Menurut penulis pertimbangan hukum majelis hakim yang menyatakan bahwa tergugat I hanya tebukti melakukan perbuatan melawan hukum karena lalai menempatkan kendaraan (gerbong) di belakang lokomotif, belum menyentuh substansi permasalahan. Jika seandainya pun tergugat I menempatkan kendaraan (gerbong) di belakang lokomotif, tabrakan itu sendiri tetap terjadi. Penempatan kendaraan (gerbong) di belakang lokomotif bukan berarti dapat menghindari terjadinya tabrakan akan tetapi hanyalah mengurangi jumlah korban tabrakan. Seharusnya yang perlu dipertimbangkan adalah apakah tabrakan tersebut terjadi karena adanya kelalaian dari tergugat I atau tidak.

d. Melanggar azas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam melaksanakan manajemen lalu lintas perkeretapian yang baik, sehingga telah memberhentikan dua kereta api sekaligus dalam Emplasemen yang hanya terdiri dari 3 (tiga) spoor, hal itu sangat membahayakan dan berpotensi menimbulkan kecelakaan/ tabrakan.

106

Terhadap dalil-dalil para penggugat ini, majelis hakim tidak memberikan pendapat atau pertimbangan hukum. Jika dikaitkan dengan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, maka menurut penulis justru disinilah seharusnya pertanggungjawaban PT. Kereta Api Indonesia dapat dimintakan. Tindakan PT. Kereta Api Indonesia memberhentikan dua kereta api sekaligus dalam Emplasemen yang hanya terdiri dari 3 (tiga) spoor, jelas-jelas merupakan suatu kelalaian yang berpotensi menimbulkan kecelakaan/ tabrakan.

Selain terhadap tergugat I, para penggugat juga medalilkan bahwa tergugat II, tergugat III dan tergugat IV telah melakukan perbuatan melawan hukum. Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak melaksanakan ketentuan Pasal 75 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api, yang menyebutkan :

Menteri melakukan pembinaan terhadap penyediaan, perwatan dan pengusahaan prasarana dan sarana kereta api melalui kegiatan pengaturan, pengawasan dan pengendalian guna meningkatkan peran serta angkutan kereta api dalam keseluruhan moda teransportasi secara terpadu.

Tergugat III telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah melakukan perbuatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1998 Tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Wewenang Menteri Keuangan selaku Pemegang Saham atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Perusahaan Perseroan (persero) kepada Menteri Negara Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara, yang menyebutkan :

Kedudukan, tugas dan kewenangan Menteri Keuangan yang mewakili pemerintah selaku pemegang saham atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada perusahaan perseroan (Persero), dialihkan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara.

107

Sedangkan tergugat IV telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah tidak melaksanakan ketentuan pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 Tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan, yang menyebutkan :

Pembinaan kekayaan negara yang tertanam dalam Persero dilakukan oleh Menteri Keuangan yang berkedudukan sebagai Rapat Umum Pemegang Saham dalam hal seluruh modal Persero adalah modal negara dan sebagai pemegang saham dalam hal tidak seluruh modal persero adalah modal negara.

Terhadap perbuatan melawan hukum yang ditujukan kepada tergugat II, tergugat III dan tergugat IV, majelis hakim menyatakan tidak terbukti, karena para penggugat tidak dapat membuktikan kesalahan dan/atau perbuatan melawan hukum dari tergugat II, tergugat III dan tergugat IV yang secara langsung menyebabkan kerugian bagi para penggugat.

Dalam dokumen TESIS MILIATER SIMALANGO NPM (Halaman 108-114)