• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan-Hambatan Dalam Penggunaan Gugatan Class Action

Dalam dokumen TESIS MILIATER SIMALANGO NPM (Halaman 88-99)

HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION

C. Hambatan-Hambatan Dalam Penggunaan Gugatan Class Action

Dari beberapa kasus atau perkara gugatan yang penyelesaiannya diajukan ke pengadilan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action, baik sebelum maupun setelah adanya pengakuan mengenai mekanisme gugatan class action sebagaimana diuraikan di atas, ditemukan beberapa hambatan dan/atau kendala dan/atau kesulitan.

Hasil kajian dari Tim ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) pada tahun 2002 terhadap beberapa kasus class action yang sedang atau dalam proses di peradilan sebelum terbitnya PERMA Nomor 1 Tahun 2002, menemukan beberapa permasalahan yang sering terjadi dalam praktek gugatan class action di peradilan di Indonesia antara lain :88

1. Tentang surat kuasa dari anggota kelompok kepada perwakilan kelompok.

Dari keseluruhan putusan pengadilan yang dianalisa, dapat dicatat bahwa bantahan pertama yang sering dikemukakan oleh tergugat terhadap penggunaan prosedur class action adalah tidak adanya surat kuasa dari anggota kelompok kepada perwakilan kelompok. Hal ini dapat dilihat dari putusan pengadilan dalam perkara gugatan YLKI terhadap PT. PLN Persero tanggal 13 April 1997, gugatan 139 orang penarik becak terhadap Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Gugatan 15 warga DKI Jakarta dalam kasus banjir yang terjadi akhir Januari 2002.

Pada umumnya yang menjadi alasan tergugat adalah mengacu pada ketentuan dalam hukum acara perdata (HIR yaitu Pasal 123 yang mensyaratkan bahwa untuk dapat bertindak sebagai wakil atau kuasa, seseorang harus memperoleh surat kuasa khusus dari pihak yang diwakilinya. Tetapi setelah dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2002 hambatan ini telah dapat diantisipasi setidak-tidaknya diminimalisir.

88 Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar, Makalah Disampaikan Pada Kursus HAM Untuk Pengacara X, Jakarta, 2005, hal. 21-22

82

Dalam pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 ditentukan bahwa wakil kelompok dalam mengajukan gugatan untuk kepentingan seluruh anggota kelompok, tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Meskipun masih ada sebagian kalangan berpendapat bahwa ketentuan ini bertentangan dengan asas-asas hukum acara perdata di Indonesia yang mengatur bahwa pihak yang menunjuk pihak lain untuk mewakilinya di dalam proses persidangan harus mendapat kuasa khusus dari pihak yang menunjuk atau pihak yang diwakilinya.

2. Tentang surat gugatan.

Dalam surat gugatan yang diajukan pada umumnya tidak menjelaskan karakteristik dari sebuah gugatan yang menggunakan prosedur class action, dalam hal ini tidak mendeskripsikan secara jelas defenisi kelas, posita gugatan tidak menjelaskan secara rinci dan jelas kesamaan tentang fakta dan hukum serta kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dengan anggota kelompok, serta tata cara pendistribusian ganti kerugian. Selain itu dalam menentukan wakil kelompok, penggugat cenderung mengajukan jumlah wakil kelompok dalam jumlah yang besar. Hal ini akan menyulitkan penggugat dalam membuktikan adanya unsur kesamaan kepentingan antara wakil kelompok dengan anggota kelompok.

3. Mempersamakan gugatan class action dengan gugatan legal standing.

Dalam beberapa putusan baik penggugat, tergugat maupun pengadilan masih terjebak pada pemikiran bahwa gugatan dengan prosedur class action adalah identik dengan gugatan atas dasar hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau “NGO’s standing to sue”. Tidak sedikit praktisi hukum yang mencampuradukkan antara pengertian gugatan class action dengan konsep hak gugat LSM. Padahal gugatan class

83

action dan legal standing memiliki perbedaan. Dalam gugatan class action terdiri dari unsur yaitu wakil kelas yang berjumlah satu orang atau lebih dan anggota kelas yang pada umumnya berjumlah besar. Baik wakil kelas maupun anggota kelas pada umumnya merupakan pihak korban atau yang mengalami kerugian secara nyata. Sedangkan dalam konsep legal standing, LSM sebagai pihak penggugat bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian secara nyata, namun karena kepentingannya ia mengajukan gugatan. Demikian mengenai tuntutan ganti rugi, dalam gugatan class action pada umumnya adalah tuntutan ganti rugi dalam bentuk uang, sedangkan dalam legal standing tidak dikenal tuntutan ganti rugi uang. Ganti rugi data dimungkinkan terbatas pada ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh organisasi itu.

Dari beberapa contoh kasus yang penulis sajikan pada awal bab ini, terdapat beberapa kasus yang diajukan oleh organisasi dan/atau yayasan akan tetapi dalam gugatan dengan tegas-tegas disebutkan bahwa gugatan diajukan dengan menggunakan mekanisme class action, seperti gugatan YLKI terhadap PT. PLN Persero tanggal 13 April 1997, gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau terhadap PT. Adel Plantation Industri, dkk., dalam kasus kabut asap Pekanbaru.

Dalam hukum di Indonesia tidak ditemukan definisi secara jelas mengenai pengertian legal standing. Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dikenal dengan istilah hak gugat organisasi lingkungan, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen hak gugatan kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, sedangkan dalam Undang-Undang Kehutanan dikenal dengan istilah gugatan perwakilan oleh organisasi bidang kehutanan.

Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberi hak gugatan kepada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen mengajukan tuntutan dengan mengatasnamakan kepentingan perlindungan konsumen. Sementara dalam

84

pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, ditegaskan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kelestarian fungsi lingkungan hidup. Berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, suatu lembaga swadaya masyarakat konsumen atau organisasi lingkungan hidup, mempunyai hak legal standing mengajukan gugatan atas nama kepentingan kelompok tertentu, jika lembaga swadaya masyarakat konsumen atau organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan yaitu (1) berbentuk badan hukum atau yayasan, (2) dalam anggaran dasar organisasi tersebut, disebut dengan tegas tujuan didirikannya untuk kepentingan tertentu, (3) telah melakukan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasar.

4. Tentang prosedur acara pemeriksaan.

Penentuan pengakuan atau keabsahan dari suatu gugatan yang menggunakan prosedur class action dalam berbagai putusan, dilakukan dalam tahap pemeriksaan yang berbeda-beda. Ada yang mengesahkan penggunaan prosedur ini diperiksa dan diputus pada akhir putusan bersama-sama dengan pokok perkara, sedangkan pada putusan perkara lainnya diputus pada tahapan putusan sela.

Dari beberapa kasus yang disajikan di atas, ada putusan pengadilan yang dengan tegas menerima dan mengakui penggugat sebagai wakil kelas dari anggota kelas, akan tetapi pemeriksaan pokok perkara dilaksanakan dengan prosedur hukum acara perdata biasa tanpa ada notifikasi (pengumuman). Hal ini dapat dilihat dalam putusan perkara gugatan 139 orang penarik becak terhadap Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

85

5. Tentang notifikasi atau pemberitahuan.

Belum adanya aturan atau petunjuk mengenai tata cara pengadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara gugatan perdata melalui prosedur class action, mengakibatkan perintah notifikasi atau pemberitahuan (yang dalam sistem hukum negara lain merupakan suatu kewajiban) tidak menjadi suatu prioritas atau suatu keharusan.

Meskipun dalam hukum acara yang mengatur class action tidak ada yang mengatur secara tegas mengenai adanya keharusan dan/atau kewajiban untuk melakukan notifikasi, namun dari kasus-kasus yang penulis sajikan di atas, ada salah satu gugatan yang diajukan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action terpaksa dinyatakan tidak dapat diterima, karena penggugat tidak dapat melakukan notifikasi. Hal ini dapat dilihat dalam putusan pengadilan terhadap gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau terhadap PT. Adel Plantation Industri, dkk., dalam kasus kabut asap Pekanbaru.

6. Tentang implementasi putusan pengadilan dalam hal distribusi ganti kerugian.

Tahapan ini merupakan tahap terakhir dari keseluruhan proses prosedur gugatan perwakilan kelompok setelah tahapan-tahapan yang sebelumnya selesai. Meskipun tahapan penyelesaian ganti kerugian ini hanya bersifat administrative saja, tetapi pelaksanaannya sangat sulit dan rumit.89

Pada dasarnya pelaksanaan ganti kerugian merupakan eksekusi putusan gugatan class action yang dikabulkan oleh pengadilan. Pelaksanaan ganti kerugian ini akan menimbulkan kesulitan jika dalam amar putusan hakim tidak secara jelas disebutkan mengenai mekanisme pendistribusian ganti kerugian, termasuk mengenai penunjukan dan

89 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum

Acara Serta Kendala Implementasinya. Cet. I. Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2008, hal.

287.

86

susunan tim/panel untuk membantu kelancaran pendistribusian ganti kerugian dan pengumuman pemberitahuan rencana pendistribusian ganti kerugian melalui iklan. Ganti kerugian baru dapat dibagikan kepada anggota kelas atau sub kelas setelah dilakukan pemberitahuan atau notifikasi. Khusus berkaitan dengan pemberitahuan rencana pendistribusian ganti kerugian melalui iklan, dalam amar putusan sebaiknya diatur secara jelas mulai dari kriteria harian umum, tanggal kapan iklan harus dimuat, berapa kali harus diumumkan, batas waktu bagi class repesentatif dan class members mendaftarkan diri termasuk pihak yang bertanggung jawab membayar biaya iklan.

Hambatan dan/atau kendala yang timbul dalam pendistibusian ganti kerugian dalam kaitannya dengan pemberitahuan lewat iklan karena dalam amar putusan tidak diatur secara tegas, juga dialami oleh Tim/Panel Pembayar Ganti rugi dalam kasus gugatan class action korban tabrakan kereta api sebagaimana informasi yang penulis peroleh dari YLKI dalam upaya penulis untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan eksekusi atas putusan pengadilan dalam kasus tabrakan kereta api di Brebes. Memang ini tidak semata-mata permasalahan yang berkaitan dengan amar putusan yang tidak mengatur secara tegas mengenai pendistribusian ganti kerugian, tetapi hal ini juga tidak terlepas dari gugatan class action yang diajukan oleh para penggugat. Jika dalam petitum (tuntutan) gugatan, para penggugat tidak menguraikan secara tegas mengenai petitum yang dimintakan termasuk mengenai teknis pelaksanaan pendistribusian ganti kerugian, maka meskipun hakim dengan kewenangan yang dimilikinya (hak untuk menggali nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat), namun dalam prakteknya sangat jarang dan bahkan dapat dipastikan Hakim tidak akan mungkin untuk mengabulkan di luar yang diminta oleh penggugat.

87

Beberapa hambatan lain atau kelemahan dalam penggunaan gugatan class action.90

1. Kesulitan dalam mengelola.

Semakin banyak jumlah anggota kelompok, semakin sulit mengelola gugatan class action. Kesulitan yang terjadi biasanya pada saat pemberitahuan dan pendistribusian ganti kerugian. Jumlah anggota kelompok yang banyak dan menyebar di beberapa wilayah yang tidak sama akan menyulitkan dalam hal pemberitahuan dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apabila gugatan dikabulkan dan ganti rugi diberikan, bukan tidak mungkin jumlah ganti kerugian tidak sebanding dengan biaya pendistribusiannya.

Menurut penulis, faktor biaya merupakan salah satu faktor penghambat yang sangat berpengaruh dalam penggunaan gugatan class action. Meskipun biaya yang akan dikeluarkan dalam pengajuan gugatan class action mulai dari proses pengajuan sampai dengan pendistribusian biaya, termasuk biaya pengacara akan ditanggung secara bersama-sama antara class reperesantatif dan/atau class members, namun karena system hukum acara di Indonesia yang menganut adanya upaya hukum banding, dan kasasi bahkan peninjauan kembali, terkadang hasil yang didapatkan tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Sebagai salah satu contoh dalam hal melaksanakan isi putusan pengadilan dalam perkara gugatan class action yang diajukan korban tabrakan kereta api di Brebes tanggal 25 Desember 2001. Biaya untuk iklan pengumuman pemberitahuan mengenai rencana pendistribusian ganti kerugian, menjadi salah satu kendala bagi Tim/Komisi Pembayar Ganti Kerugian, akhirnya atas pertimbangan biaya, Komisi memutuskan pengumuman cukup dimuat di harian Warta Kota. Sampai lewatnya waktu pengumuman, hanya 5 anggota kelas yang memberikan tanggapan atas pengumuman tersebut.

90 Emerson Yuntho, op. cit., hal. 6

88 2. Dapat meyebabkan ketidakadilan.

Apabila prosedur yang dipilih untuk penentuan keanggotaan kelompok adalah opt in, maka tidak adanya pernyataan masuk dari anggota kelompok yang sesungguhnya mempunyai kesamaan kepentingan hanya karena tidak mengetahui adanya pemberitahuan, akan mengakibatkan hilangnya hak mereka untuk menikmati keberhasilan gugatan class action, karena putusan hakim hanya akan mempunyai akibat bagi mereka yang masuk sebagai anggota kelompok. Sebaliknya apabila prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan kelompok adalah dengan prosedur opt out maka tidak adanya pernyataan opt out dari orang yang potensial menjadi anggota kelompok, hanya karena tidak mengetahui adanya pemberitahuan, akan mengakibatkan mereka menjadi anggota kelompok dengan segala konsekuensinya. Mereka akan terikat dengan utusan yang dijatuhkan oleh hakim. Apabila gugatan dikalahkan atau digugat balik, maka mereka juga harus menanggung akibatnya.

3. Dapat menyebabkan kebangkrutan pada tergugat.

Jumlah tuntutan ganti kerugian pada gugatan class action dapat mengakibatkan tergugat bangkrut apabila gugatan dikabulkan, di mana tergugat wajib memberikan ganti kerugian atau melakukan tindakan tertentu kepada seluruh anggota kelompok yang jumlahnya sangat banyak.

4. Publikasi gugatan class action dapat menyudutkan pihak tergugat. Pemberitaan media massa dan adanya pemberitahuan gugatan class acion di media massa dapat menjadi serangan bagi kedudukan atau kekuasaan pihak tergugat. Biasanya pembaca media akan mempunyai prasangka yang tidak baik. Padahal belum tentu tergugat adalah pihak yang bersalah karena benar tidaknya tergugat masih harus menunggu pembuktian di pengadilan.

89

Menurut penulis faktor-faktor lain yang menjadi penghambat dalam penggunaan gugatan class action antara lain dipengaruhi oleh (1) rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai adanya hak-hak konsumen yang dijamin oleh undang-undang khususnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (2) tingginya biaya yang harus dikeluakan dalam proses beracara di pengadilan, serta (3) belum adanya peraturan setingkat Undang-Undang yang mengatur mengenai tata cara pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme class action.

Faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai adanya hak-hak konsumen yang dijamin oleh undang-undang khususnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah kurangnya sosialisasi terhadap undang-undang dan/atau ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak-hak konsumen termasuk mengenai hak konsumen untuk mengajukan upaya hukum gugatan class action. Dalam upaya penulis untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kasus-kasus konsumen yang diselesaikan dengan menggunakan mekanisme gugatan class action, penulis menemukan fakta di lapangan, masih ada beberapa pegawai pengadilan yang tidak tahu apa itu “class action”.

Faktor lain yang ikut menentukan rendahnya tingkat kesadaran hukum konsumen adalah budaya hukum masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia memandang bahwa berperkara di pengadilan adalah suatu hal yang “aib” karena mengganggu harmoni hubungan diantara sesama warga masyarakat. Sikap enggan berperkara di pengadilan ini juga berpengaruh terhadap sikap para konsumen yang menjadi korban produk yang cacat, sebagian besar enggan menyelesaikan perkara mereka di pengadilan. Rendahnya kepercayaan warga masyarakat terhadap perlindungan konsumen, ditambah dengan rasa tidak yakin bahwa melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen hak-hak mereka yang dilanggar dapat dipulihkan, juga berpengaruh terhadap kesadaran hukum konsumen Indonesia.91

91 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2008, hal. 232 -

233

90

Biaya yang dikeluarkan dalam proses pengajuan gugatan class action termasuk biaya untuk pengacara memang dapat dan/atau akan ditanggung oleh anggota wakil kelas. Namun tidak bisa dipungkiri, tersedianya upaya hukum bagi kedua belah pihak untuk mengajukan upaya hukum yaitu upaya hukum banding dan kasasi bahkan upaya hukum peninjauan kembali serta tidak adanya pembatasan waktu yang secara tegas, berapa lama suatu perkara gugatan class action harus diselesaikan (diputus) di pengadilan negeri atau tingkat pertama, berapa lama di tingkat banding, berapa lama di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali, secara tidak langsung akan mengakibatkan besarnya biaya yang timbul yang harus ditanggung oleh penggugat yang pada akhrinya akan dibebankan kepada konsumen. Dari kasus-kasus yang penulis sajikan di atas, ada suatu kasus yang oleh pengadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan menggunakan mekanisme class action, karena penggugat tidak dapat melakukan notifikasi. Penggugat tidak dapat melakukan notifikasi hanya karena pertimbangan biaya, sebagaimana dapat dilihat dalam putusan pengadilan terhadap gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Riau terhadap PT. Adel Plantation Industri, dkk., dalam kasus kabut asap Pekanbaru.

Saat ini ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme pengajuan gugatan class action ke pengadilan adalah PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Meskipun dalam salah satu pertimbangan (konsideran) dari PERMA Nomor 1 Tahun 2002, dengan tegas disebutkan bahwa PERMA Nomor 1 Tahun 2002 sifatnya hanya sementara sambil menunggu adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur acara peradilan secara class action, namun faktanya sampai sekarang (2008) belum ada tanda-tanda ke arah pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Dari beberapa kasus konsumen yang diselesaikan melalui pengadilan dengan mengunakan mekanisme gugatan class action sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya pada bab ini, pada umumnya tergugat masih mempertanyakan mengenai keberadaan dari PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Kedudukan PERMA jauh di bawah Undang-Undang atau

91

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (HIR) di mana dalam pasal 123 HIR dengan tegas disebutkan mengenai kewajiban penggugat untuk mendapat kuasa dari pihak yang diwakilikannya untuk bersidang di pengadilan.

Belum terbitnya peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Kehutanan yang mengatur mengenai mekanisme pengajuan gugatan class action dan/atau belum adanya peraturan yang mengatur mekanisme pengajuan gugatan setingkat undang-undang, yang mengatur secara lengkap mengenai prosedur pengajuan gugatan class action, mengakibatkan kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat termasuk para praktisi hukum baik pengacara maupun hakim mengenai pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme class action. Terbukti dari beberapa kasus/perkara yang disajikan di atas, terdapat beberapa kasus yang dalam gugatan secara tegas disebutkan bahwa gugatan diajukan dengan menggunkan mekanisme class action, namun penggugat tidak dapat menguraikan gugatan tersebut ke dalam masing-masing unsur-unsur dari sutau gugatan class action yang pada akhirnya mengakibatkan gugatan ditolak atau tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya membuka peluang bagi penggugat untuk mengajukan tangkisan (eksepsi).

Jika seandainya saja, ketentuan hukum acara class action yang diatur dalam PERMA Nomor 1 tahun 2002, dituangkan ke dalam suatu peraturan setingkat undang-undang, dan diikuti dengan sosialisasi yang baik dan cukup kepada masyarakat, penulis yakin hambatan-hambatan khususnya yang berkaitan dengan proses pengajuan gugatan class action akan dapat diminimalisir.

92

BAB IV

IMPLEMENTASI PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION

Dalam dokumen TESIS MILIATER SIMALANGO NPM (Halaman 88-99)