• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengakuan dan Pengaturan Class Action Dalam Hukum Positif Indonesia

Dalam dokumen TESIS MILIATER SIMALANGO NPM (Halaman 31-43)

Untuk pertama kalinya pada tahun 1997, Indonesia mengakui dan memperkenalkan mekanisme pengajuan gugatan ke pengadilan secara class action melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan tanggal 19 September 1997 (“Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup”).

32 I Nyoman Nurjaya, Jurnal 40/XIII/2007, January 3, 2008 33 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 139

34 Emerson Yuntho, op. cit., hal. 11

25

Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur mengenai hak dari masyarakat untuk mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mengajukan gugatan perwakilan adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.35

Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa class action untuk kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah sebuah hak. Hak itu dimiliki oleh sekelompok kecil masyarakat untuk menjadi wakil masyarakat yang jumlahnya besar (ratusan, ribuan atau puluhan ribu) bertindak sebagai penggugat. Syaratnya ialah pertama, bahwa para wakil itu memiliki kesamaan permasalahan yaitu mengalami kerugian akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Kedua, kesamaan fakta hukum (question of law). Yang dimaksud adalah fakta bahwa hukum lingkungan cq peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang telah dilanggar, dan ketiga adalah kesamaan tuntutan. Maksudnya tuntutan wakil kelas adalah apa yang menjadi tuntutan dari mereka yang diwakilinya.36

Jika mau diuraikan, maka unsur-unsur dari gugatan perwakilan menurut Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah terdiri dari (a) sekelompok kecil masyarakat; (b) mewakili masyarakat korban; (c) berdasarkan kesamaan masalah, fakta hukum dan tuntutan; (d) kerugian karena pencemaran atau perusakan lingkungan. 37

35 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor 23 Tahun 1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699, ps. 37

36 Hyronimus Rhiti, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Cet.I. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2006, hal. 96

37 NHT Siahaan, Hukum Lingkungan, Cet. I, Jakarta : Pancuran Alam, 2006, hal. 218.

26

Penyebutan sekelompok masyarakat, adalah mereka-mereka di antara korban yang bertindak sebagai wakil kelas (representatives class) atas sejumlah korban yang sama-sama menderita yang disebut anggota kelas (class member) berdasarkan adanya kesamaan (commonality) peristiwa atau permasalahan kerugian yang timbul karena adanya pencemaran atau perusakan lingkungan seperti limbah pabrik.

Sebelum adanya ketentuan hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai class action, terdapat beberapa kasus yang penyelesaiannya diajukan dengan mekanisme class action, antara lain : (1) Kasus Bentoel Remaja yang diajukan oleh R.O. Tambunan tahun 1980-an, (2) Kasus gugatan demam berdarah yang diajukan oleh Dr. Muchtar Pakpahan terhadap Gubernur DKI Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta, dan (3) Kasus Pemadaman Listrik Jawa Bali tanggal 13 April 1997.

Meskipun pada saat itu hukum positif di Indonesia belum ada yang mengatur secara tegas mengenai class action, namun kasus-kasus yang diajukan secara class action seperti diuraikan di atas, tetap dapat diproses, diperiksa dan diadili, karena sesuai dengan ketentuan pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasan Kehakiman, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya.

Pada tahun 1999 perkembangan pengaturan class action di Indonesia tergolong pesat, setidaknya dalam kurun waktu tahun 1999 pemerintah mengeluarkan 3 (tiga) peraturan dalam bentuk undang-undang sebagaimana yang akan penulis uraikan lebih lanjut secara ringkas di bawah ini.

27

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diundangkan tanggal 20 April 1999 (“Undang-Undang Perlindungan Konsumen”). Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai dimungkinkannya sekelompok konsumen mengajukan class action, yang dengan tegas menyebutkan :38

(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

a. Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. (2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen,

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c atau huruf d, diajukan kepada peradilan umum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) huruf b ditegaskan bahwa gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.

38 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999, LN Nomor 42 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, ps. 46.

28

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Demikian juga halnya mengenai penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dengan menggunakan class action mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam 45 dan 48 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Dari ketentuan tersebut di atas, diketahui bahwa gugatan sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum, dengan demikian ketentuan hukum acara yang digunakan mengacu kepada hukum acara perdata biasa yaitu Herziene Inlands Reglemen (HIR) yang memang sampai saat ini masih berlaku sebagai hukum positif. Dalam mengajukan gugatan sengketa konsumen ada satu persyaratan khusus yaitu harus ada dokumen yang membuktikan bahwa konsumen benar-benar dirugikan salah satu di antaranya yaitu bukti transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha.

Undang-Undang Perlindungan Kosumen merumuskan mengenai kerugian sebagai berikut :39

a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dana/atau kerugian konsumen, akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenisnya atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan, dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

39 Ibid., ps. 19.

29

Meskipun tidak diatur secara eksplisit, namun dari ketentuan pasal 19 tersebut terlihat dengan jelas bahwa ganti rugi yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanyalah ganti rugi materil. Sebagai contoh, jika sesorang keracunan dan harus masuk rumah sakit, maka kerugian yang dapat dituntut adalah kerugian berupa penggantian biaya pengobatan dan perawatan. Menurut penulis hal tersebut tidak fair. Seharusnya konsumen yang bersangkutan juga dapat menuntut kerugian berupa keuntungan yang seharusnya didapatkan yang dia tidak dapatkan karena tidak dapat masuk kerja dan/atau tidak dapat melaksanakan/menjalankan bisnisnya, atau atas kerugian berupa beban pikiran yang dia alami akibat dari keracunan tersebut yang tentunya sangat sulit dinilai dengan uang (kerugian immateril).

b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, diundangkan tanggal 7 Mei 1999

(“Undang-Undang Jasa Konstruksi”).

Undang-Undang Jasa Konstruksi memungkinkan sekelompok orang untuk mengajukan gugatan class action. Ketentuan mengenai pengajuan gugatan class action dirumuskan sebagai berikut :

Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara (a) orang perorangan; (b) kelompok orang dengan pemberian kuasa; (c) kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.40

Tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan

40 Indonesia, Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi, Nomor 18 Tahun 1999, LN Nomor 54 Tahun 1999, TLN Nomor 3833, ps. 38.

30

undangan yang berlaku. Khusus gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat berupa tuntutan ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain yaitu :41

§ Memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan pekerja konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja konstruksi;

§ Menyatakan seseorang (salah satu pihak) telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam kontrak kerja konstruksi;

§ Memerintahkan seseorang (salah satu orang) yang melakukan usaha/kegiatan jasa konstruksi untuk membuat atau memperbaiki atau mengadakan penyelamatan bagi para pekerja jasa konstruksi.

Apabila dibaca secara seksama, ketentuan pasal 38 dan penjelasan pasal 39 ayat (1) tidak singkron atau saling bertentangan satu sama lain. Dalam pasal 38 disebutkan “masyarakat yang

dirugikan, baik perorangan maupun kelompok orang (berdasarkan

kuasa atau perwakilan kelompok) dapat mengajukan gugatan. Akan tetapi dalam penjelasan pasal 39 ayat (1) justru kelompok orang yang mengajukan gugatan perwakilan kelompok tidak diperbolehkan menuntut ganti rugi. Ketentuan ini juga menegaskan bahwa gugatan perwakilan kelompok dalam Jasa Konstruksi tidak mengenal adanya tuntutan ganti kerugian baik kerugian materil maupun immateriil. Dengan demikian gugatan class action di bidang Jasa Konstruksi tidak termasuk ke dalam kategori gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

41 Ibid., ps. 39.

31

c. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, diundangkan tanggal 30 September 1999 (“Undang-Undang Kehutanan”).

Dalam Undang-Undang Kehutanan diatur bahwa masyarakat yang merasa dirugikan akibat dari kerusakan hutan dapat mengajukan gugatan class action. Ketentuan mengenai pengajuan gugatan perwakilan dirumuskan sebagai berikut :

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.

(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbatas pada tuntutan pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.42

Selain gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat,

undang-undang ini juga memungkinkan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dan organisasi bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat mengajukan gugatan perwakilan.

Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan/atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.43

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan.

(2) Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :

42 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kehutanan, Nomor 41 Tahun 1999, LN Nomor 167 Tahun 1999, TLN Nomor 3888, ps. 71.

43 Ibid., ps. 72.

32

§ Berbentuk badan hukum;

§ Organisasi tersebut dalam anggaran dasar dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan; dan

§ Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasar.44

d. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (“PERMA Nomor

1 Tahun 2002”. PERMA Nomor 1 Tahun 2002 merupakan suatu

terobosan baru yang mengatur mengenai tata cara pengajuan gugatan class action.

Dalam salah satu pertimbangan PERMA Nomor 1 Tahun 2002, disebutkan bahwa sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian ketertiban dan kelancaran dalam memeriksa gugatan perwakilan kelompok, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung.45

Meskipun hanya berbentuk sebuah PERMA dan sifatnya “sementara”, namun keberadaannya untuk sementara waktu dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi para praktisi hukum khususnya bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili gugatan

44 Ibid., ps. 73.

45 Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan

Kelompok, PERMA Nomor 1 Tahun 2002, bagian Menimbang huruf f.

33

perwakilan kelompok sambil terus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta menunggu diaturnya acara gugatan class action dalam bentuk Undang-Undang yang lebih mempunyai kekuatan mengikat dan lengkap. PERMA Nomor 1 Tahun 2002 mengatur secara lebih lengkap mengenai class action atau gugatan perwakilan kelompok, mulai dari pengertian, prosedur dan tata cara pengajuan gugatan, proses pemeriksaan dan pengambilan serta pelaksanaan putusan gugatan pewakilan kelompok.

Secara keseluruhan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, hampir sama dengan ketentuan class action yang berlaku di Amerika Serikat. Hal ini sangat beralasan, karena sebelum PERMA Nomor 1 Tahun 2002 dibentuk, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah melakukan penelitian di empat Negara bagian Amerika Serikat dalam rangka pembuatan Peraturan Mahkamah Agung tentang prosedur gugatan class action, yang hasilnya secara ringkas dapat disampaikan sebagai berikut :46

a. Class action di Negara Bagian California.

§ Gugatan class action harus diajukan oleh private attorney, yang khusus menangani class action. Pada umumnya Private attorney tidak menerima bayaran jika gugatannya ditolak oleh pengadilan.

§ Perkara yang dapat diajukan secara class action harus memenui persyaratan-persyaratan : (1) numerousity, yang tidak ditentukan banyaknya tetapi sedemikian besar sehingga tidak efisien jika digugat secara sendiri-sendiri, dan similarity, kesamaan-kesamaan harus dominan dan menonjol, jika tidak akan ditolak, disamping pribadi class representative yang pantas dan setelah melalui proses sertifikasi/notifikasi. Proses sertifikasi yaitu proses pembuktian bahwa perkara tersebut dapat diterima untuk diajukan secara class action atau tidak. Notifikasi yaitu pemberitahuan (dapat melalui pemberitahuan umum, melalui surat kabar, berita radio, tv atau pemberitahuan umum lainnya) kepada class members tentang diajukannya gugatan.

46 Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XVII. Nomor 201, 2002, hal 127-135

34

§ Notifikasi akan dilakukan oleh penggugat setelah hakim memutuskan perkara tersebut dapat diajukan secara class action. Draft Notifikasi harus mendapat persetujuan dari Hakim, dan selalu harus mencantumkan jangka waktu tertentu untuk memberi kesempatan kepada class member yang tidak mau ikut dengan gugatan tersebut mengajukan opt out.

§ Class member yang tidak bersedia ikut, tidak terikat pada putusan pengadilan, dan ia jika mau dapat mengajukan gugatan tersendiri. Class members yang pasif terikat dengan isi putusan pengadilan.

§ Jika gugatan dikabulkan pada umumnya hakim menentukan jumlah ganti kerugian yang harus dibayar oleh tergugat.

§ Jika anggota class representative mempunyai conflict kepentingan terhadap tergugat, hakim dapat memerintahkan untuk mengganti anggota class representative tersebut.

§ Jika tidak jelas siapa-siapa yang menjadi class member maka gugatan akan ditolak. Oleh karena itu dalam gugatan harus dirinci dengan jelas siapa-siapa yang menjadi class member dan sub class member.

b. Class action di State Lousiana, New Orleans.

§ Kelemahan dari US class action adalah keharusan adanya kesamaan yang harus dominan, jika tidak dominan akan ditolak. Padahal untuk membuktikan adanya kesamaan yang dominan, memakan waktu yang lama dan berlarut-larut bahkan ada yang sampai bertahun-tahun. Jika kerugian masing-masing anggota kelas berbeda, kemungkinan besar akan ditolak, karena tidak memenuhi persyaratan.

§ Jika terjadi perdamaian antara tergugat dengan class representative, berarti perdamaian tersebut akan mengikat seluruh class member, kecuali perdamaian itu ditolak oleh hakim karena dianggap kurang adil bagi kedua pihak.Hakim juga dapat mengusulkan untuk memperbaiki isi perdamaian.

§ Gugatan class action tidak selalu menuntut ganti kerugian berupa uang, bisa saja ganti rugi untuk memperbaiki sesuatu keadaan, atau untuk menghentikan suatu tindakan. Dalam hal ini tidak diperlukan adanya notifikasi karena tidak ada ganti kerugian yang harus dibagikan kepada class member.

35

c. Class action di Negara Bagian Florida.

§ Gugatan class action secara garis besarnya dapat diilustrasikan sebagai berikut (1) Preliminary Hearing untuk menentukan apakah perkara tersebut dapat diajukan secara class action atau tidak, (2) disetujui atau ditolak, jika ditolak selesai, jika dikabulkan disusul dengan hakim menerbitkan class sertification order untuk melakukan notifikasi kepada anggota kelas, (3) dilakukan settlement hearing atau final hearing, (4) pembayaran/pemberitahuan kepada class member (6) penentuan attorney fee (7) cypress (jika ada) akan diberikan kepada lembaga yayasan mana.

§ Untuk kepentingan umum, attorney general atau pengacara pemerintah dapat mengajukan class action, tetapi umumnya yang diminta bukan ganti kerugian berupa uang yang dapat dibagikan kepada class member, akan tetapi untuk melindungi kepentingan umum/publik, seperti dalam perkara gugatan class action di bidang persaingan usaha.

§ General attorney atas nama masyarakat dapat melakukan gugatan class action pengusaha tertentu dan menuntut ganti kerugian atau untuk memperbaiki keadaan, bila terjadi pelanggaran hukum di bidang konsumen.

d. Class action di Washington.

§ Konsep class action sudah lama dikenal dan diatur dalam Civil Procedure Act, tetapi sejak tahun 1966 diperluas dan melibatkan juga peraturan-peraturan hukum publik. Bahkan dalam perkara gugatan melanggar compentation law, ganti kerugian dapat ditentukan sampai tiga kali (treble damages).

§ Pada umumnya perkara-perkara gugatan class action tidak sampai pada tingkat kasasi, kecuali ada perbedaan atau tidak ada kekompakan antara majelis hakim atau saling memberi tafsiran yang berbeda terhadap peraturan hukum.

§ Ada rancangan Undang-Undang yang menghendaki bahwa gugatan ganti kerugian yang lebih kecil dari $2 juta harus diajukan di Federal District Court. Pihak yang menentang dan tidak setuju dengan perubahan ini menyatakan lebih baik mengajukan di State Court karena state court lebih mengetahui keadaan daerahnya dari federal court dan hakim-hakim di Federal court lebih tidak professional daripada di State Court.

36

§ Di Amerika Serikat perubahan suatu Undang-Undang tergantung dari kehendak partai yang berkuasa. Jika partai Demokrat yang berkuasa, maka class action lebih cenderung berpihak kepada class members atau publik yang kecil, sebaliknya jika partai Republik yang lebih berkuasa maka class action lebih cenderung berpihak pada pengusaha.

Dalam dokumen TESIS MILIATER SIMALANGO NPM (Halaman 31-43)