• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS MILIATER SIMALANGO NPM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TESIS MILIATER SIMALANGO NPM"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION

DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN

Studi Kasus Putusan Pengadilan Atas Gugatan Perwakilan Kelompok

Korban Tabrakan Kereta Api Tanggal 25 Desember 2001 di Brebes

(Perkara No. 1440 K/Pdt/2006. Jo. No. 87/PDT/2004/PT.DKI.

Jo. No. 114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst)

TESIS

MILIATER SIMALANGO

NPM 0606006431

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

JAKARTA

DESEMBER 2008

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh:

Nama

:

Miliater Simalango

NPM

:

0606006431

Program Studi

:

Ilmu Hukum

Judul Tesis

:

Penggunaan Gugatan Class Action

Dalam Rangka Perlindungan Konsumen

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Atas

Gugatan Perwakilan Kelompok Korban

Tabrakan Kereta Api Tanggal 25

Desember 2001 di Brebes.)

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima

sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

Magister Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.H. (...)

Penguji

: Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LLM (...)

Penguji

: Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H.

(...)

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal

: ... Januari 2009

(3)

ii

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat, kasih dan karuniaNya-lah, penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini dapat terselesaikan berkat bantuan, dukungan, partisipasi dan bimbingan dari berbagai pihak.Oleh karena itu sudah pada tempatnya dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan sedalam-dalamnya terutama kepada Bapak Dr. Inosentius Samsul, SH.,MH., yang telah meluangkan waktu dan dengan sabar membimbing, mengarahkan dan mendorong penulis agar segera menyelesaikan tesis ini.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Sudaryatmo Public Interest Lawyer Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) atas kesediaanya meluangkan waktu untuk memberikan informasi dan data kepada penulis berkaitan dengan pelaksanaan isi putusan pengadilan atas gugatan class action korban tabrakan kereta api tanggal 25 Desember 2001 di Brebes. Kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan data dan informasi mengenai perkara-perkara gugatan class action, penulis juga tak lupa menyampaikan terima kasih.

Penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus kepada rekan-rekan kerja penulis di kantor Suyanto Simalango Patria & Partners, atas pengertian dan dorongan semangat serta fasilitas yang diberikan selama penulis mengikuti studi program fasca sarjana di Universitas Indonesia sampai dengan selesainya tesis ini.

Secara khusus penulis juga menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada istri penulis Farini Dwiningsih yang senantiasa dan tiada henti-hentinya memberikan dorongan dan perhatian sehingga penulis tetap semangat dan terpacu untuk segera meneruskan dan menyelesaikan penulisan tesis ini. Demikian juga buat anak-anak penulis Rizky Falita Simalango dan Putra Permata Hasiholan Simalango yang secara tidak langsung memberikan semangat dan inspirasi kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana ini. Semoga hasil yang dicapai ini dapat berguna dan menjadi pendorong semangat di masa yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa keterbatasan kemampuan dan waktu jualah sehingga tesis ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahana hati, kritik dan saran dari berbagai pihak, senantiasa penulis harapkan demi penyempurnaan tesis ini.

(4)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS

AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Miliater Simalango

NPM :

0606006431

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exlusive Royaltry Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Penggunaan Gugatan Class Action Dalam Rangka Perlindungan Konsumen”. beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 5 Januari 2009 Yang menyatakan,

(Miliater Simalango)

(5)

i

ABSTRAK

Dalam hukum positif Indonesia, gugatan class action baru diakui sejak tahun 1997 melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setelah undang-undang ini, tercatat ada 3 (tiga) Undang-Undang yang secara eksplisit mengakui mengenai gugatan class action yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Saat ini penerapan penggunaan mekanisme gugatan class action baru diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002.

Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 diatur bahwa wakil kelas tidak memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok dalam mengajukan gugatan di pengadilan. Ketentuan ini pada umumnya menjadi salah satu peluang bagi tergugat untuk mengajukan keberatan terhadap penggunaan mekanisme gugatan class action, dengan alasan dalam hukum acara perdata yaitu HIR yang kedudukannya setingkat undang-undang ditentukan bahwa untuk bertindak di pengadilan mewakili orang/pihak lain, maka harus ada surat kuasa khusus dari pihak yang diwakilinya.

Dalam gugatan class action yang diajukan oleh korban tabrakan kereta api di Brebes tanggal 25 Desember 2001, pengadilan dengan tegas telah mengakui kedudukan para penggugat selaku wakil kelas dan telah mengadili perkara dengan menggunakan mekanisme gugatan class action.

ABSTRACT

In positive law in Indonesia, class action is just admitted since 1997 through law No. 23 Year 1997 concerning Live Environment Management. After this law, there are three (3) laws explicitly acknowledge concerning class action, those are Law Number 8 Year 1999 concerning Customers Protection, Law Number 18 Year 1999 concerning Construction Service, and Law Number 41 Year 1999 concerning Forestry. This time, the application of class action mechanism is regulated through Supreme Court Regulation Number 1 Year 2002.

In PERMA Number 1 Year 2002 regulated that class representative does not need power of attorney from group members applying law suit in court. This stipulation generally has become one of opportunities for defendant to apply objection for the use of class action mechanism, with the reason civil law is HIR has a position as a level as law determined that to act in court represent by other parties, so power of attorney from the represented parties should be existed.

In class action, applied by train accident victim happened in Brebes Regency, on December 25,2001, the court explicitly has acknowledged that position from plaintiff as class representative and has adjudicated that case by using class action mechanism.

(6)

iii

DAFTAR ISI

Abstrak……….………. i

Kata Pengantar ……….……… ii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Penelitian …...….………..………..……… 1

B. Perumusan Masalah ………...…. 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..……… …………..……..……. 4

D. Kerangka Teoritis ……… 5

E. Metode Penelitian ……….…….….… 10

F. Sistematikan Penulisan……….…..…….… 11

BAB II PENGATURAN GUGATAN CLASS ACTION……… 13

A. Pengertian Class Action …...….……….……….….. 13

B. Sejarah Perkembangan dan Pengaturan Class Action………. 18

1. Perkembangan Class Action di Beberapa Negara………. 18

2. Perkembangan dan Pengaturan Class Action Dalam Hukum Positif Indonesia………... 24

C. Ketentuan Pengajuan Gugatan Class Action……… 36

1. Hukum Acara Yang Berlaku Dalam Gugatan Class Action………….. 36

2. Persyaratan Mengajukan Gugatan Class Action……… 38

3. Persyartan Formal Gugatan Class Action……….. 38

4. Prosedur Pengajuan dan Pemeriksaan Gugatan Class Action………… 44

5. Manfaat Penggunaan Gugatan Class Action ……….… 55

BAB III HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION………... 59

A. Beberapa Perkara Gugatan Yang Diajukan Dengan Menggunakan Mekanisme Class Action Sebelum Adanya Pengakuan dan Pengaturan Gugatan Class Action………... 59

B. Beberapa Perkara Gugatan Yang Diajukan Dengan Menggunakan Mekanisme Class Action Setelah Adanya Pengakuan dan Pengaturan Gugatan Class Action……….. 64

C. Hambatan-Hambatan Dalam Penggunaan Gugatan Class Action………... 81

1. Tentang Surat Kuasa Dari Anggota Kelompok Kepada Perwakilan Kelompok……. ………. 81

2. Tentang Surat Gugatan………. 82

3. Mempersamakan Gugatan Class Action Dengan Gugatan Legal Standing…... 82

4. Tentang Prosedur Acara Pemeriksaan……..………. 84

5. Tentang Notifikasi Atau Pemberitahuan ……… 85

6. Tentang Implementasi Putusan Pengadilan ….………. 85

7. Kesulitan Dalam Mengelola………... 87

8. Dapat Menyebabkan Ketidakadilan……….…... 88

9. Dapat Menyebabkan Kebangkrutan Pada Tergugat……… 88

10. Publikasi Gugatan Class Action Dapat Menyudutkan Pihak Tergugat…... 88

(7)

iv

BAB IV IMPLEMENTASI PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION

OLEH KONSUMEN PENGGUNA JASA KERETA API……. ………. 92

A. Posisi Kasus………...……….. 92

B. Putusan Pengadilan……….. 97

C. Analisis Kasus………. 98

1. Mengenai Keberatan Para Tergugat Terhadap Penggunaan Mekanisme Gugatan Class Action……..……… 98

2. Mengenai Pembukitan PerbuatanMelawan Hukum ………. 101

3. Mengenai Ganti Rugi……….... 107

BAB V PENUTUP .………..………... 109

A. Kesimpulan ………..……. 109

B. Saran ……….. 111

Daftar Pustaka ……… 113

(8)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian, pada bagian Menimbang huruf b disebutkan bahwa perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang ditata dalam sistem transportasi nasional, mempunyai karakteristik pengangkutan secara massal dan keunggulan tersendiri, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat.1

Dengan karakteristik dari sistem pengangkutan kereta api yang dapat melakukan pengangkutan secara massal, relatif lebih cepat dan murah dibanding dengan transportasi (darat) lainnya, membuat transportasi ini menjadi pilihan utama bagi pengguna jasa transportasi umum. Meningkatnya minat dari pengguna jasa kereta api tidak diikuti atau tidak sebanding dengan peningkatan sarana dan prasarana termasuk fasilitas yang diperlukan agar sarana kereta api dapat dioperasikan dengan baik. Fasilitas sarana dan prasarana kereta api sering mempengaruhi kinerja pelayanan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang menyebabkan sering terjadi ketidaknyamanan dalam menggunakan jasa kereta api, seperti kecelakaan kereta api.

Pada tanggal 25 Desember 2001 telah terjadi tabrakan hebat di Stasiun Ketanggungan Barat, Kabupaten Brebes antara Kereta Api Empu Jaya dengan Kereta Api Gaya Baru Malam yang mengakibatkan sekurang-kurangnya 31 (tiga puluh satu) orang meninggal dunia, 5 (lima) orang harus masuk ICU, 44 (empat

1 Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian.

(9)

2

puluh empat) orang menjalani rawat inap, dan 20 (dua puluh) orang menjalani rawat jalan.

Pada tanggal 28 Maret 2002, perwakilan kelompok korban tabrakan antara Kereta Api Empu Jaya dengan Kereta Api Gaya Baru Malam, mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana terdaftar dalam register perkara nomor 114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst. Gugatan diajukan oleh 5 (lima) orang penggugat yang masing-masing mewakili : (1) sub class anggota kelompok korban penumpang Kereta Api Empu Jaya yang meninggal dunia yang diwakili oleh Agus Yustianingsih selaku penggugat I, (2) sub class anggota kelompok korban penumpang Kereta Api Gaya Baru Malam yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang berdomisili di Jakarta/Bekasi sekitarnya yang diwakili oleh Eko Suyanto selaku penggugat II, (3) sub class anggota kelompok korban penumpang Kereta Api Empu Jaya yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang berdomisili di Jawa Tengah/ D.I,Yogyakarta dan sekitarnya yang diwakili oleh Kholil Rahman selaku penggugat III, (4) sub class anggota kelompok korban penumpang Kereta Api Gaya Baru Malam, yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang berdomisili di Jawa Timur dan sekitarnya yang diwakili oleh Hartoyo selaku penggugat IV, dan (5) sub class anggota kelompok korban penumpang Kereta Api Empu Jaya yang mengalami rawat inap/rawat jalan/luka/cacat tetap yang berdomisili di Jakarta/Bekasi dan sekitarnya yang diwakili oleh Mulyadi selaku penggugat V.

Gugatan diajukan terhadap PT. Kereta Api selaku tergugat I, Menteri Perhubungan Republik Indonesia selaku tergugat II, Menteri Negara Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selaku tergugat III dan Menteri Keuangan Republik Indonesia selaku tergugat IV.

Gugatan class action yang diajukan oleh para korban tabrakan kereta api tersebut telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 6 Januari 2003 yang pada intinya mengabulkan sebagian tuntutan antara lain menyatakan PT. Kereta Api Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum yang

(10)

3

menimbulkan kerugian bagi para penggugat. Terhadap putusan tersebut, baik penggugat maupun tergugat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang terdaftar dalam perkara nomor 87/PDT/2004/PT.DKI. Permohonan Banding tersebut telah diputus oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada tanggal 3 September 2004 yang isinya menguatkan putusan pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 114/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst, tertanggal 6 Januari 2003. Kemudian terhadap putusan banding tersebut, PT. Kereta Api Indonesia mengajukan upaya hukum kasasi pada tanggal 6 April 2006. Permohonan Kasasi yang diajukan oleh PT. Kereta Api Indonesia ditolak oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Putusan Nomor 1440 K/Pdt/2006 tertanggal 3 Januari 2007, sehingga dengan demikian putusan pengadilan atas gugatan class action yang diajukan oleh perwakilan kelompok korban tabrakan api tersebut, telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht) dan oleh karenanya secara hukum putusan tersebut telah dapat dilaksanakan (executable).

Yang menarik, dalam putusan tersebut, selain menyatakan PT. Kereta Api telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, pengadilan juga memerintahkan para penggugat dan para tergugat untuk membentuk Komisi Pembayaran Ganti Rugi yang keanggotaannya terdiri dari 2 (dua) orang wakil dari penggugat, 2 (dua) orang wakil dari PT. Kereta Api Indonesia dan 1 (satu) orang wakil dari Menteri Perhubungan RI selaku tergugat II), yang tentunya dalam pelaksanaannya mungkin akan mengalami persoalan-persoalan baru.

Selanjutnya penulis akan melakukan penelitian dan analisis hukum serta studi kasus terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) tersebut, untuk kemudian mencoba menemukan jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang telah penulis rumuskan sebagaimana diuraikan pada bagian B di bawah ini.

(11)

4

B. Perumusan Permasalahan.

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan gugatan class action dalam rangka perlindungan konsumen ?

2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat/kendala dalam proses penggunaan gugatan class action dalam rangka perlindungan konsumen ?

3. Bagaimana implementasi penggunaan gugatan class action korban tabrakan kereta api tanggal 25 Desember 2001 di Brebes ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban tentang pengaturan mengenai gugatan class action termasuk mengenai syarat-syarat dan prosedur pengajuan gugatan class action. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat/kendala dalam penggunaan gugatan class action serta bagaimana implementasi penggunaan gugatan class action perwakilan kelompok korban tabrakan kereta api antara Kereta Api Empu Jaya dengan Kereta Api Gaya Baru Malam yang terjadi di Brebes tanggal 25 Desember 2001.

Penelitian ini diharapkan juga akan bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan perkeretaapian khususnya masyarakat pengguna jasa kereta api dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian. Bagi masyarakat pengguna jasa kereta api, diharapkan hasil penelitian ini dapat menimbulkan kesadaran akan hak dan kewajibannya selaku konsumen. Di sisi lain bagi Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat yang pada akhirnya dapat menunjang, mendorong dan menggerakkan pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat.

(12)

5

D. Kerangka Teoritis.

Untuk pertama kalinya pada tahun 1997, melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-Undang

Lingkungan Hidup) di Indonesia telah diperkenalkan mekanisme pengajuan

sengketa lingkungan hidup ke pengadilan secara perwakilan, yakni pengajuan gugatan oleh sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah yang besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.2

Kemudian pada tahun 1999 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (“Undang-Undang

Perlindungan Konsumen”). Pasal 46 ayat (1) huruf b dan ayat (2)

Undang-Undang Perlindungan Kosumen mengatur mengenai dimungkinkannya sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama mengajukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada pasal 4 butir (a) dan butir (h) diatur mengenai hak konsumen atas kenyamanan, keamaman, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, dan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai hak dari setiap konsumen atau sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha untuk mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.3

Selain dan Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, gugatan perwakilan kelompok juga dikenal

2

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkunqan Hidup, Nomor 23 Tahun 1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699, ps. 37.

3 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999, LN Nomor 42 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, ps. 46pasal 45 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (1) butir b

(13)

6

dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

(Undang-Undang Kehutanan) yaitu dalam pasal 71 ayat 1 yang mengatur pengajuan

gugatan oleh masyarakat dalam bidang kehutanan secara perwakilan.

Masalahnya sistem hukum acara untuk class action atau gugatan perwakilan belum dikenal bahkan berlainan dengan sistem hukum acara yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari isi pasal 123 ayat (1) HIR atau 147 ayat (1) RBg yang menentukan bahwa setiap orang yang menghadap ke pengadilan untuk mengajukan gugatan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain mempunyai surat kuasa khusus. Pasal ini menentukan pula tentang kemungkinan penunjukan sebagai kuasa atau wakil di dalam persidangan bilamana diajukan secara lisan. Kasus yang melibatkan banyak pihak, baik penggugat maupun tergugat, lazim disebut akumulasi subjektif, dimana setiap individu dari subjek-subjek ini berkapasitas sebagai pihak. Berbeda dengan class action dalam sistem itu semua individu atau subjek sebagai anggota kelas (class members) tidak perlu dipandang sebagai pihak, karena sudah ada wakil kelas yang mewakilinya. Dengan demikian anggota kelas tidak perlu memberikan kuasa kepada wakil kelas untuk mewakilkan dirinya di pengadilan.4

Dalam prakteknya class action ini terasa cukup penting ketika sejumlah besar manusia menjadi korban suatu perbuatan melanggar hukum, dan mereka berusaha menuntut hak-haknya melalui proses gugatan di pengadilan. Dengan melibatkan sejumlah besar orang yang menjadi korban dalam proses pengajuan gugatan, secara sosial akan lebih efektif dan efisien cara mengakses keadilan yang bersifat prosedural, daripada kalau dilakukan secara individual. Secara individual mungkin korban tidak berani menggugat. Keberanian individual untuk mengajukan gugatan sendiri-sendiri pun akan berbenturan dengan berbagai jenis kendala prosedural, diantaranya soal pembuktian dan kendala hukum lainnya.5

4 Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab

Produk). Cet. I. Jakarta : Panta Rei, , hal. 244

5 Rhiti, Hyronimus. Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Ed. I, 2006, hal. 92

(14)

7

Pengaturan mekanisme pengajuan gugatan perwakilan kelompok (class action) dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Jasa Konstruksi, merupakan suatu kemajuan dalam sistem hukum acara perdata di Indonesia. Namun demikian dalam ketiga Undang-Undang tersebut, tidak mengatur secara tegas mengenai mekanisme dan tata cara pengajuan gugatan perwakilan kelompok (class action).

Pada tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan suatu terobosan baru dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 yang mengatur mengenai acara gugatan perwakilan kelompok (class action). Meskipun hanya berbentuk sebuah PERMA, namun keberadaannya untuk sementara waktu dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi para praktisi hukum khususnya bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili gugatan perwakilan kelompok sambil terus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta menunggu diaturnya acara gugatan class action dalam bentuk Undang-Undang yang lebih mempunyai kekuatan mengikat dan lengkap.

Dalam Pasal 1 huruf a PERMA Nomor 1 Tahun 2002 disebutkan bahwa gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atas dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.

Menurut Mas Achmad Santosa, class action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injunction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya 1 atau 2 orang) sebagai perwakilan kelas (class reperesentatives) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban.6

6 Santosa, Mas Achmad. Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class

Action), Jakarta : ICEL, 1997.

(15)

8

Dari ketentuan Pasal 1 huruf a PERMA 1 Tahun 2002, persyaratan untuk gugatan perwakilan kelompok sama dengan persyaratan class action yang dimuat dalam US Federal of Civil Procedure, yaitu :7

a. Numerosity, artinya jumlah penggugat sedemikian banyaknya (bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan orang), sehingga tidak praktis dan tidak efisien apabila gugatan diajukan sendiri-sendiri, dan oleh karenanya dipandang cukup apabila gugatan diajukan oleh satu orang atau beberapa orang selaku wakil kelompok (class representation) yang mewakili selaku anggota kelompok (class members).

b. Commonality, artinya harus ada kesamaan fakta maupun peristiwa dan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili dan pihak yang diwakili dalam pengajuan gugatan.

c. Typicality, artinya harus terdapat kesamaan tuntutan maupun pembelaan dari seluruh anggota yang diwakili (class members). d. Adequacy of Representation, artinya harus ada kelayakan

perwakilan yaitu mewajibkan perwakilan kelas (class of representatives) untuk menjamin secara jujur dan adil serta mampu melindungi kepentingan mereka yang diwakilkan.

Lebih lanjut N.H.T Siahaan, dalam bukunya Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk), menyebutkan bahwa elemen-elemen penting yang patut diketahui dari class action adalah menyangkut jumlah penggugat, kesamaan fakta dan hukum di antara yang mewakili (representative party) dengan jumlah anggota korban, tuntutan kelompok dan adanya kelayakan (adequacy) termasuk kesungguhan dari mereka yang mewakilinya.8

Sesuai dengan ketentuan pasal 157 ayat 1 Undang-Undang Perkeretaapian, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api. Hal ini sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur

7 Abdullah, Ujang. Gugatan Perwakilan Kelompok Dan Hak Gugat Organisasi Dalam

Kaitannya Dengan Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara. Varia Peradilan Majalah Hukum

Tahun Ke XXII Nomor 254 Januari 2007, hal. 51.

8 Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab

Produk). Cet. I. Jakarta : Panta Rei, hal. 239.

(16)

9

bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Namun Undang-Undang Perkeretaapian tidak mengatur mengenai gugatan perwakilan kelompok (class action). Dengan demikian apakah seseorang atau sekelompok orang dapat mewakili kepentingan para pengguna jasa kereta api yang mengalami kerugian atau yang menjadi korban dalam pengoperasian kereta api, mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.

Dalam pasal 1 butir 2 dan 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lainnya, dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam penjelasannya, diatur bahwa di dalam kepustakaan ekonomi, dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Sedangkan yang dimaksud dengan Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama, melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Lebih lanjut dalam penjelasannya, disebutkan pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.

Dari ketentuan tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa pengguna jasa kereta api sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir 12 Undang-Undang Perkeretaapian, masuk ke dalam pengertian konsumen sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Demikian juga halnya, dengan pengertian Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam

(17)

10

pasal 1 butir 17 Undang-Undang Perkeretapaian masuk ke dalam pengertian pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sehingga dengan demikian seseorang atau sekelompok orang dapat mewakili kepentingan para pengguna jasa kereta api yang mengalami kerugian atau yang menjadi korban dalam pengoperasian kereta api, mengajukan gugatan class action terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.

E. Metodologi Penelitian.

Dalam penelitian ini akan dilakukan pembahasan yang menyeluruh dari suatu permasalahan yang ada sehingga dapat ditemukan kedalaman maknanya, untuk nantinya akan dapat ditarik suatu kesimpulan.

a. Jenis Yuridis Normatif.

Dalam penelitian ini pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya, dikaitkan dengan kondisi dan fakta di lapangan. b. Data Yang Diperlukan.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan topik penelitian. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang diperoleh peneliti dari hasil riset di lapangan terhadap obyek penelitian dan bahan hukum yang menunjang pembahasan permasalahan yang berasal dari studi kepustakaan berupa putusan-putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht), buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah, surat kabar, artikel di warta internet, makalah-makalah seminar, termasuk wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan topik di atas.

(18)

11 c. Cara Pengumpulan Data.

Dalam proses penelitian ini digunakan tehnik pengumpulan dari bahan normatif yaitu peraturan perundang-undangan, yang selanjutnya digabungkan dengan data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Selanjutnya dilakukan pembahasan secara sistematis agar dapat diperoleh sesuai dengan tema penelitian dan perumusan masalah yang diangkat dalam Penelitian ini.

d. Metode Analisis Data.

Analisis yang digunakan adalah dengan metode deskriptif-normatif analisis, yang artinya memberikan penjelasan atas keadaan yang terjadi di lapangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tersedia kemudian membedahnya agar didapatkan sebuah pemahaman makna yang sesungguhnya terjadi. Kemudian menguraikan peraturan perundang-undangan tersebut pada kasus yang diangkat pada penelitian ini dengan kriteria yang sesuai dengan materi penelitian. Selanjutnya dianalisis dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan melalui penguraian unsur-unsur dalam pasal dikaitkan dengan substansi permasalahan yang akan dibahas berdasarkan bahan yang ada kemudian hasil akhir ini akan dipaparkan secara deskriptif.

F. Sistematika Penulisan.

Guna memudahkan dalam memahami isi dari Tesis ini, berikut disajikan Sistematika Penulisan yang dibagi ke dalam 5 Bab dan masing-masing Bab dibagi lagi ke dalam beberapa sub Bab.

BAB I PENDAHULUAN

Di dalam bab pertama sebagai bab pendahuluan diuraikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, kerangka teoritis dan sistematika penulisan.

(19)

12

BAB II PENGATURAN GUGATAN CLASS ACTION DALAM

RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN.

Di dalam Bab Kedua ini diuraikan mengenai sejarah, pengertian dan pengaturan gugatan class action, termasuk mengenai pihak-pihak, asas-asas, syarat-syarat dan prosedur dalam pengajuan gugatan class action.

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT ATAU KENDALA

DALAM PENGGUNAAN GUGATAN CLASS ACTION Di dalam bab ketiga ini akan disajikan beberapa putusan pengadilan mengenai yang diajukan dengan menggunakan mekanisme class action dan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penggunaan gugatan class action.

BAB IV IMPLEMENTASI PENGGUNAAN GUGATAN CLASS

ACTION KORBAN TABRAKAN KERETA API

Di dalam bab keempat ini akan diuraikan dan dibahas mengenai implementasi atau pelaksanaan gugatan class action dalam rangka tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh perwakilan kelompok korban tabrakan kereta api yang terjadi di Brebes tanggal 25 Desember 2001.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Di dalam bab ini akan disajikan kesimpulan yang merupakan pernyataan singkat yang diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Selain itu disajikan pula saran yang merupakan rekomendasi dari penulis bagi penelitian lanjutan dan juga merupakan sumbangan pemikiran penulis tentang gugatan class action khususnya di bidang perlindungan konsumen.

(20)

13

BAB II

PENGATURAN GUGATAN CLASS ACTION A. Pengertian Class Action.

Istilah class action atau disebut pula dengan action popularis diartikan dalam bahasa Indonesia dengan gugatan perwakilan, gugatan kelompok atau ada juga yang menyebutkan dengan gugatan berwakil.9 Ada beberapa pengertian yang mencoba menjelaskan pengertian class action, baik menurut kamus hukum, pendapat para ahli hukum maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Black’s Law Dictionary, definisi class action disebutkan sebagai berikut :

“Class action, a lawsuit in which the court authorizes a single person or a small group of people to represent the interests of a larger group; specif, a lawsuit in which the convenience either of the public or of the interested parties requires that the case be settled through litigation by or against only a part of the group of similarly situated persons and in which a person whose interests are or may be affected does not have an opportunity to protect his or her interests by appearing personally or through a personally selected representative, or through a person specially appointed to act as a trustee or guardian.10

Mas Achmad Santosa, pakar hukum lingkungan menterjemahkan istilah class action sebagai gugatan perwakilan dan mendefinisikannya sebagai berikut :

Class action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injunction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya satu atau dua orang sebagai perwakilan kelas (class representatives) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan dengan class members. 11

Sementara dalam bukunya yang lain, Mas Achmad Santosa mendefinisikan class action sebagai berikut :

9 NHT Siahaan, Hukum Lingkungan. Jakarta : Pancuran Alam, 2006, hal. 214.

10 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Ed. West Publishing Co, 2004, hal. 267 11 Mas Achmad Santosa, et. al., Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (Class

Actions). Cet.I. Jakarta : ICEL, 1999, hal. 1

(21)

14

Class action atau gugatan perwakilan (kelompok) merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural bagi satu atau sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan para penggugat itu sendiri, dan sekaligus mewakili kepentingan ratusan, ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian. Orang (tunggal) atau orang-orang (lebih dari satu/jamak) yang tampil sebagai penggugat disebut wakil kelas (class representative), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut sebagai class members.12

Stuart Sime dalam bukunya A Practical Approach to Civil Procedure, menyebutkan class action merupakan sinonim class suit atau representative action yang berarti :13

a. gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class representative);

b. perwakilan kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya untuk dan atas nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok yang mereka wakili, tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok;

c. dalam pengajuan gugatan tersebut, tidak perlu disebutkan secara individual satu persatu identitas anggota kelompok yang diwakili;

d. yang penting asal kelompok yang diwakili dapat didefinisikan identifikasi anggota kelompok secara spesifik;

e. selain itu, antara seluruh anggota kelompok dengan wakil kelompok terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan :

§ kesamaan kepentingan (common interest), § kesamaan penderitaan (common grievance), dan

§ apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh anggota.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menterjemahkan class action dengan gugatan perwakilan. Undang-Undang ini tidak secara spesifik mengatur mengenai definisi dari gugatan perwakilan, yang diatur adalah definisi dari “mengajukan gugatan perwakilan” yaitu :

12 Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Actions). Cet.II. Jakarta : ICEL, 1998, hal. 10

13 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Cet. I. Jakarta : Sinar Grafika, 2004, hal. 139.

(22)

15

hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.14

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menterjemahkan class action dengan gugatan kelompok. Undang-Undang ini tidak mengatur definisi dari class action atau gugatan kelompok, namun istilah class action secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang ini, yaitu dalam penjelasan pasal 46 ayat (2) huruf b.

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, istilah class action diterjemahkan dengan “gugatan perwakilan”. Undang-Undang ini hanya mengatur definisi dari “hak mengajukan gugatan

perwakilan” sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak sekelompok kecil masyarakat bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum, dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.15

Sementara dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, class action diterjemahkan dengan gugatan perwakilan kelompok, dan mendefinisikannya sebagai berikut :

Gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri, dan sekaligus mewakili sekelompok orang banyak yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.16

14 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor 23 Tahun 1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699, ps. 37.

15 Indonesia, Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi, Nomor 18 Tahun 1999, LN Nomor 54 Tahun 1999, TLN Nomor 3833, ps. 38.

16 Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan

Kelompok, PERMA Nomor 1 Tahun 2002, ps. 1 huruf a.

(23)

16

Dari ketentuan pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung tersebut, dapat dilihat persyaratan untuk gugatan perwakilan kelompok sama dengan persyaratan class action yang dimuat dalam US Federal of Civil Procedure, yaitu :17

a. Numerosity, artinya jumlah penggugat sedemikian banyaknya (bisa

puluhan, ratusan bahkan ribuan orang), sehingga tidak praktis dan tidak efisien apabila gugatan diajukan sendiri-sendiri, dan oleh karenanya dipandang cukup apabila gugatan diajukan oleh satu orang atau beberapa orang selaku wakil kelompok (class representation) yang mewakili selaku anggota kelompok (class members).

b. Commonality, artinya harus ada kesamaan fakta maupun peristiwa dan

dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili dan pihak yang diwakili dalam pengajuan gugatan. Amerika Serikat dan Inggris memiliki perbedaan konsep mengenai kesamaan hukum dan fakta. Inggris mengartikannya secara ketat dengan menentukan bahwa salah satu indikatornya adalah satu kontrak yang sama (absolute commonality). Dengan demikian konsumen yang mengajukan gugatan haruslah berdasarkan kontrak yang sama. Dengan dasar pemikiran yang demikian, maka representative action cocok untuk suatu pernyataan (declaration) atau injuction (atau sanksi melakukan sesuatu).18

c. Typicality, artinya harus terdapat kesamaan tuntutan maupun pembelaan

dari seluruh anggota yang diwakili (class members).

d. Adequacy of Representation, artinya harus ada kelayakan perwakilan

yaitu mewajibkan perwakilan kelas (class of representatives) untuk menjamin secara jujur dan adil serta mampu melindungi kepentingan mereka yang diwakilkan.

Dari definisi-definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa class action adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang bertindak untuk dirinnya sendiri dan sekaligus mewakili kelompok tertentu untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan yang didasarkan atas adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili kelompok tersebut dengan kelompok yang diwakilinya.

17 Ujang Abdullah, Gugatan Perwakilan Kelompok Dan Hak Gugat Organisasi Dalam

Kaitannya Dengan Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara. Varia Peradilan Majalah Hukum

Tahun Ke XXII Nomor 254 Januari 2007, hal. 51.

18 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab

Mutlak. Cet.I. Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal.

221

(24)

17

Dari beberapa pengertian class action, maka didapatkan unsur-unsur class action yang terdiri dari :19

1. Gugatan secara perdata.

Gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri (eigenrichting). Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hal yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah penggugat dan tergugat. Pihak di sini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang.

2. Wakil Kelompok (Class Representative).

Adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari wakil kelompok sebagai penggugat aktif.

3. Anggota Kelompok (Class Members)

Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif.

4. Adanya kerugian.

Untuk dapat mengajukan class action, baik pihak wakil kelompok (class representative) maupun anggota kelompok (class members) harus benar-benar atau secara nyata mengalami kerugian atau diistilahkan concrete injured parties. 5. Kesamaan peristiwa atau fakta dan dasar hukum.

Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members).

19 Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar, Makalah Disampaikan Pada Kursus HAM Untuk Pengacara X, Jakarta, 2005, hal. 2

(25)

18

B. Sejarah Perkembangan dan Pengaturan Class Action. 1. Perkembangan Class Action di Beberapa Negara.

Class action dikenal di banyak negara yang menganut sistem hukum common law. Hal tersebut sesuai dengan sejarah diperkenalkannya lembaga class action untuk pertama kalinya, yakni di Inggris, Negara tempat lahirnya system common law sekitar tahun 1700-an. Kebanyakan Negara-negara bekas jajahan Inggris kemudian ikut menganutnya.20

a. Inggris.

Inggris memperkenalkan prosedur class action berdasarkan judge made law dan khususnya untuk perkara-perkara berdasakan equity yang diperiksa oleh Court of Chancery. Saat itu Court of Chancery mengadili suatu perkara yang melibatkan pihak penggugat yang jumlahnya puluhan dan ratusan orang secara kumulasi. Pengadilan secara administrasi mengalami kesulitan untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap gugatan tersebut. Maka mulailah pengadilan menciptakan prosedur class action, dimana puluhan atau ratusan orang yang mempunyai kepentingan sama tersebut, tidak semuanya maju ke pengadilan melainkan cukup diwakili oleh satu atau beberapa orang.21

Ketentuan mengenai class action pertama kali dimulai tahun 1873 diatur dalam Supreme Court of Judiciatur Act 1873. Esensinya memberi kemungkinan dan kewenangan bagi pengadilan menjatuhkan putusan yang bersifat deklaratif atas pemulihan yang adil (equitable remedies), yaitu berupa pemulihan terhadap suatu hal yang diderita kelompok yang anggotanya berjumlah banyak (numerous). Kemudian tahun 1965 terjadi perubahan substansial dan diatur kembali dalam The English Rule

20 E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan

Penerapannya di Indonesia), Jogjakarta: Universitas Atma Jaya, 2002, hal. 10

21 Emerson Yuntho, op. cit., hal. 10

(26)

19

of the Supreme Court (ERCS), 1965. Esensinya mengatur representative action, yaitu gugatan perwakilan kelompok yang berpatokan pada syarat : anggota kelompoknya banyak (numerous members), terdapat kesamaan kepentingan (same interest in one action), gugatan itu untuk kepentingan seluruh anggota (such action on behalf of benefit of all members).22 Amerika Serikat dan Inggris memiliki perbedaan konsep mengenai kesamaan hukum dan fakta. Inggris mengartikannya secara ketat, salah satu indikatornya adalah satu kontrak yang sama (absolute commonality).23

b. Kanada

Kanada mulai mengenal prosedur class action pertama kali di propinsi Ontario dengan dikeluarkannya the Ontario Judicatur Act 1881, yang kemudian diperbaharui dengan Supreme Court of Ontario Rules of Practice (SCORP), 1980. Ketentuan tentang class action kemudian diatur lebih lengkap dalam Ontario Class Proceedings Act (OCPA) tahun 1992. Di Ontario kemudian dibentuk Ontario Law Reform Commission yang salah satu tujuannya adalah mengembangkan model-model class action di Negara tersebut. Dalam rangka mewujudkan prosedur class action yang seragam untuk seluruh propinsi di Kanada, the Uniform Law Conference of Canada telah berhasil membuat class Proceeding Act pada tahun 1996 yang diharapkan dapat diberlakukan di seluruh propinsi di Kanada.24

Dalam OCPA 1992, pengaturan class action mencakup : adanya sejumlah orang yang mempunyai permasalahan hukum yang sama, permasalahan hukum itu timbul dari fakta atau

22 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 137. 23 Inosentius Samsul, op. cit., hal. 221. 24 Yuntho, Emerson. op. cit.

(27)

20

peristiwa yang sama, dan dalam hal seperti itu satu atau lebih anggota kelompok, dapat tampil mengajukan gugatan mewakili seluruh anggota kelompok yang bersangkutan.25

c. Amerika Serikat

Negara Amerika Serikat, mengatur prosedur class action untuk system peradilan federal, yakni di dalam the United State of Federal Rules of Civil Procedure (FRCP), 1938, yang kemudian direvisi pada tahun 1966. Pada awalnya (berdasarkan FRCP) tahun 1938) di peradilan Federal Amerika Serikat dikenal adanya tiga jenis class action, yakni true class action, hybrid class action serta spurious class action. Di dalam FRCP tahun 1966 ketiga jenis class action tersebut dihapuskan, sehingga hanya dikenal satu jenis class action, sebagaimana diatur dalam Rule 23 FRCP 1966. Ada tiga puluh dua Negara bagian yang mengikuti ketentuan Rule 23 FRCP 1966. Enam belas Negara bagian mengadopsinya secara murni tanpa mengadakan modifikasi, enam belas Negara bagian lainnya telah membuat modifikasinya26

Di Amerika Serikat, sejak awal tahun 1970-an jumlah gugatan class action semakin meningkat. Peningkatan tersebut sejalan dengan perubahan dalam hukum materiil yang membuka peluang mengajukan gugatan melalui class action, serta tuntutan pembayaran biaya perkara yang semakin besar. Dalam perkembangannya, class action dapat digunakan untuk masalah-masalah sosial atau isu-isu lainnya yang sedang menjadi perhatian publik seperti masalah lingkungan, hak-hak perdata, dan gugatan di bidang ketenagakerjaan.27

25 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 138.

26 Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindunan Konsumen, Kajian Teoritis dan

Perkembangan Pemikiran, Banjarmasin : Nusa Media, 2008, hal. 144

27 Inosentius Samsul, op. cit., hal. 221-222

(28)

21

Kasus-kasus gugatan class action yang menarik perhatian publik di Amerika Serikat antara lain kasus Agent Orange (1987), kasus Dalkon Shield (1989) dan kasus the Smokers versus Tobacco Companies (1997).28

Kasus Agent Orange (1987) adalah gugatan class action yang diajukan oleh lebih dari seribu kaum veteran perang Vietnam terhadap pabrik kimia beracun yang memproduk defoliant sebagai senjata dalam perang Vietnam. Penggugat mendalilkan bahwa bahan kimia beracun defoliant yang disebut agent orange (salah satu jenis dioxin) menimbulkan cacat fisik dan trauma psikologis yang serius bagi para penggugat. Kendati kemudian gugatan ini memerlukan pembuktian yang kompleks, hakim pengadilan pada akhirnya memutuskan untuk memenuhi gugatan class action penggugat dengan pemberian kompensasi sejumlah US $ 250.000.000, yang didistribusikan dalam 2 bentuk, yaitu : (1) pemberian santunan secara tunai dan langsung kepada para penggugat (class members), dan (2) memberi pelayanan rehabilitasi dan perawatan kesehatan bagi para korban perang Vietnam yang telah dikenali maupun yang belum dikenali (future claimants).

Kasus Dalkon Shield adalah gugatan class action yang diajukan para penggugat terhadap perusahaan yang memproduk kontraseptif (intrautrine contraceptive device). Alat kontraseptif ini ternyata menimbulkan sterilitas para penggunanya dan cacat pada bayi yang dilahirkan para ibu yang menggunakan kontraseptif tersebut. Gugatan class action ini dimenangkan oleh para penggugat dengan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang kepada kelompok penggugat.

28 I Nyoman Nurjaya, Jurnal 40/XIII/2007, January 3, 2008

(29)

22

Kasus Smokers versus Tobacco Companies (1977) adalah gugatan class action Norma Broin (42 tahun) mantan pramugari American Airlaines yang menderita kanker paru-paru karena menjadi perokok pasif (secondhand smoker) selama bertugas sebagai pramugari. Ia mewakili dirinya sendiri dan teman-teman sekerjanya yang menderita maupun belum terkena kanker paru-paru. Pengadilan Negeri Miami, Florida memutuskan kepada perusahaan-perusahaan rokok membayar sebanyak US$ 300.000.000 untuk melakukan studi tentang penyakit-penyakit yang disebabkan oleh rokok, sedangkan kompensasi untuk dirinya sendiri (individual compensation) tidak dikabulkan pengadilan.

d. Australia

Australia pertama kali mengakui prosedur class action pada tahun 1970 tepatnya di Negara bagian New South Wales dan diatur di dalam New South Wales Supreme Court Rules (NSWSCR), 1970. Peradilan Federal kemudian juga memperkenalkan class action dan diatur di dalam Federal Court of Australia Act (FCAA), 1976.29 Part 8 Rule 13 (1) dari NSWSCR menentukan dalam hal ada sejumlah besar orang mempunyai kepentingan yang sama, satu atau lebih dari mereka dapat mengajukan gugatan atau digugat, mewakili kepentingan seluruhnya. Negara bagian Victoria mengatur prosedur class action secara sumir, yakni di dalam Order 18 Victoria Supreme Act (VCSA), 1986, yang secara keseluruhan menentukan bahwa apabila ada sejumlah orang mempunyai kesamaan kepentingan tiap-tiap gugatan, maka gugatan-gugatan tersebut dapat diajukan dan diteruskan dalam sebuah gugatan oleh atau terhadap seorang atau lebih yang mempunyai kesamaan kepentingan sebagai wakil dari keseluruhan. Negara bagian

29 Emerson Yuntho, op. cit., hal.11

(30)

23

Australia Selatan mengatur prosedur class action di dalam section 34.01 dari South Australia Civil Procedures (SACP), 1992. Menurut ketentuan tersebut, dimana ada sejumlah orang mempunyai kesamaan permasalahan fakta dan hukum, satu atau lebih dari mereka dapat mengajukan gugatan mewakili keseluruhan.30

Dalam pengadilan tingkat Federal di Australia, berdasarkan The Federal Court of Australia Act 1976, Part IV A dan s. 43 (14) ditentukan kriteria gugatan class action adalah :31

(1) Thera are “7 or more persons” with potential claim, rather the common law requirement of “numerous” person at the commencement of proceedings;

(2) The claims arise out of “the same” similar or circumtances”, instead of the common law equirement of “common interest;

(3) The claims give rise to at least on substantive issue of law or of fact, instead of the common law test of a “common grievance”.

(1) Ada “tujuh orang atau lebih, dengan tuntutan potensial disamping persyaratan common law mengenai jumlah banyak orang pada saat permulaan gugatan hukum; (2) Suatu tuntutan timbul dari keadaan yang sama, keadaan

serupa atau keadaan terkait, disamping persyaratan common law tentang kepentingan bersama, atau common interest;

(3) Tuntutan timbul, sedikitnya dari satu persoalan substantive hukum fakta hukum, di samping persyaratan common law tentang keluhan bersama.

e. Filipina

Mahkamah Agung Filipina pada tahun 1993 juga mengakui prosedur gugatan class action dalam kasus sengketa lingkungan Minor Oposa. Kasus ini melibatkan penggugat yang terdiri dari 14 anak-anak di bawah umur (minor) yang didampingi oleh para orang tua mereka mengajukan gugatan terhadap Menteri

30 Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hal. 146-147

31 Indro Sugianto, Class action – Membuka Akses Keadilan Bagi Rakyat, Jakarta : In TRANS Press, 2008, hal. 9

(31)

24

Lingkungan Hidup Filipina (Secretary of the Department of Environment and Natural Resources/DENR) mengenai pembatalan ijin penebangan hutan (logging) dengan mengatasnamakan kelompok penggugat dan sekaligus generasi mendatang yang memiliki kepentingan dan kepedulian yang sama bagi kelestarian hutan di Filipina.32

f. India

Di India, class action mulai dikenal tahun 1908 dan diatur dalam Rule of Order of Civil Procedure, 1908.33 Ketentuan tersebut kemudian diubah dan disempurnakan pada tahun 1976. Menurut ketentuan tersebut, yang dimaksud dengan class action adalah gugatan yang diajukan oleh atau terhadap seseorang yang merupakan anggota dari suatu kelompok untuk mewakili seluruh kepentingan kelompok tersebut dengan syarat : (1) ada sejumlah besar orang, (2) mempunyai kepentingan yang sama, (3) pengadilan mengijinkan orang tersebut untuk menjadi wakil kelompok, (4) ada kewajiban memberitahukan kepada seluruh anggota kelompok.34

2. Pengakuan dan Pengaturan Class Action Dalam Hukum Positif Indonesia

Untuk pertama kalinya pada tahun 1997, Indonesia mengakui dan memperkenalkan mekanisme pengajuan gugatan ke pengadilan secara class action melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan tanggal 19 September 1997 (“Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup”).

32 I Nyoman Nurjaya, Jurnal 40/XIII/2007, January 3, 2008 33 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 139

34 Emerson Yuntho, op. cit., hal. 11

(32)

25

Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur mengenai hak dari masyarakat untuk mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mengajukan gugatan perwakilan adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.35

Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa class action untuk kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup adalah sebuah hak. Hak itu dimiliki oleh sekelompok kecil masyarakat untuk menjadi wakil masyarakat yang jumlahnya besar (ratusan, ribuan atau puluhan ribu) bertindak sebagai penggugat. Syaratnya ialah pertama, bahwa para wakil itu memiliki kesamaan permasalahan yaitu mengalami kerugian akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Kedua, kesamaan fakta hukum (question of law). Yang dimaksud adalah fakta bahwa hukum lingkungan cq peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang telah dilanggar, dan ketiga adalah kesamaan tuntutan. Maksudnya tuntutan wakil kelas adalah apa yang menjadi tuntutan dari mereka yang diwakilinya.36

Jika mau diuraikan, maka unsur-unsur dari gugatan perwakilan menurut Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah terdiri dari (a) sekelompok kecil masyarakat; (b) mewakili masyarakat korban; (c) berdasarkan kesamaan masalah, fakta hukum dan tuntutan; (d) kerugian karena pencemaran atau perusakan lingkungan. 37

35 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor 23 Tahun 1997, LN Nomor 68 Tahun 1997, TLN Nomor 3699, ps. 37

36 Hyronimus Rhiti, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Cet.I. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2006, hal. 96

37 NHT Siahaan, Hukum Lingkungan, Cet. I, Jakarta : Pancuran Alam, 2006, hal. 218.

(33)

26

Penyebutan sekelompok masyarakat, adalah mereka-mereka di antara korban yang bertindak sebagai wakil kelas (representatives class) atas sejumlah korban yang sama-sama menderita yang disebut anggota kelas (class member) berdasarkan adanya kesamaan (commonality) peristiwa atau permasalahan kerugian yang timbul karena adanya pencemaran atau perusakan lingkungan seperti limbah pabrik.

Sebelum adanya ketentuan hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai class action, terdapat beberapa kasus yang penyelesaiannya diajukan dengan mekanisme class action, antara lain : (1) Kasus Bentoel Remaja yang diajukan oleh R.O. Tambunan tahun 1980-an, (2) Kasus gugatan demam berdarah yang diajukan oleh Dr. Muchtar Pakpahan terhadap Gubernur DKI Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta, dan (3) Kasus Pemadaman Listrik Jawa Bali tanggal 13 April 1997.

Meskipun pada saat itu hukum positif di Indonesia belum ada yang mengatur secara tegas mengenai class action, namun kasus-kasus yang diajukan secara class action seperti diuraikan di atas, tetap dapat diproses, diperiksa dan diadili, karena sesuai dengan ketentuan pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasan Kehakiman, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya.

Pada tahun 1999 perkembangan pengaturan class action di Indonesia tergolong pesat, setidaknya dalam kurun waktu tahun 1999 pemerintah mengeluarkan 3 (tiga) peraturan dalam bentuk undang-undang sebagaimana yang akan penulis uraikan lebih lanjut secara ringkas di bawah ini.

(34)

27

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diundangkan tanggal 20 April 1999 (“Undang-Undang Perlindungan Konsumen”). Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai dimungkinkannya sekelompok konsumen mengajukan class action, yang dengan tegas menyebutkan :38

(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

a. Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. (2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen,

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c atau huruf d, diajukan kepada peradilan umum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) huruf b ditegaskan bahwa gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.

38 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999, LN Nomor 42 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, ps. 46.

(35)

28

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Demikian juga halnya mengenai penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dengan menggunakan class action mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam 45 dan 48 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Dari ketentuan tersebut di atas, diketahui bahwa gugatan sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum, dengan demikian ketentuan hukum acara yang digunakan mengacu kepada hukum acara perdata biasa yaitu Herziene Inlands Reglemen (HIR) yang memang sampai saat ini masih berlaku sebagai hukum positif. Dalam mengajukan gugatan sengketa konsumen ada satu persyaratan khusus yaitu harus ada dokumen yang membuktikan bahwa konsumen benar-benar dirugikan salah satu di antaranya yaitu bukti transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha.

Undang-Undang Perlindungan Kosumen merumuskan mengenai kerugian sebagai berikut :39

a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dana/atau kerugian konsumen, akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenisnya atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan, dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

39 Ibid., ps. 19.

(36)

29

Meskipun tidak diatur secara eksplisit, namun dari ketentuan pasal 19 tersebut terlihat dengan jelas bahwa ganti rugi yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanyalah ganti rugi materil. Sebagai contoh, jika sesorang keracunan dan harus masuk rumah sakit, maka kerugian yang dapat dituntut adalah kerugian berupa penggantian biaya pengobatan dan perawatan. Menurut penulis hal tersebut tidak fair. Seharusnya konsumen yang bersangkutan juga dapat menuntut kerugian berupa keuntungan yang seharusnya didapatkan yang dia tidak dapatkan karena tidak dapat masuk kerja dan/atau tidak dapat melaksanakan/menjalankan bisnisnya, atau atas kerugian berupa beban pikiran yang dia alami akibat dari keracunan tersebut yang tentunya sangat sulit dinilai dengan uang (kerugian immateril).

b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, diundangkan tanggal 7 Mei 1999

(“Undang-Undang Jasa Konstruksi”).

Undang-Undang Jasa Konstruksi memungkinkan sekelompok orang untuk mengajukan gugatan class action. Ketentuan mengenai pengajuan gugatan class action dirumuskan sebagai berikut :

Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara (a) orang perorangan; (b) kelompok orang dengan pemberian kuasa; (c) kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.40

Tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan

40 Indonesia, Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi, Nomor 18 Tahun 1999, LN Nomor 54 Tahun 1999, TLN Nomor 3833, ps. 38.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam memberikan pelayanan yang optimal kepada konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tentang kewajiban pelaku usaha kepada konsumen dan

Hak pelaku usaha di dalam pasal 6 undang-undang perlindungan konsumen diatas dimaksudkan agar konsumen juga dapat memahami hak-hak produsen, sehingga

Pengaturan tanggung jawab yuridis dari pelaku usaha adalah pada Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga menjelaskan bahwa

1. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Hal Pelaku Usaha Yang Mengalami Pailit Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Perlindungan

Karena maskapai penerbangan merupakan pelaku usaha jasa penerbangan yang memiliki kewajiban yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

Definisi pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : “Pelaku usaha adalah setia orang perorangan atau badan usaha, baik yang

Hak Pelaku Usaha Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah mengatur mengenai hak-hak bagi pelaku usaha, yaitu: 1Hak untuk menerima pembayaran yang

Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian yang dialami oleh konsumen di atur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu dalam Pasal 19 mengatur bahwa tanggung jawab pelaku usaha