• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belanja Pemda

Dalam dokumen Majalah Bank Indonesia tahun 2012 (Halaman 172-176)

Komponen belanja negara yang meningkat paling signifikan pada tahun 2012 adalah transfer ke daerah. realisasi transfer ke daerah meningkat dari 31,8% pada tahun 2011 menjadi 32,4% dari total belanja, mempertegas arah peningkatan perimbangan alokasi anggaran kepada daerah, sejalan dengan semangat kebijakan otonomi daerah4 (Grafik 7.6).

Kenaikan transfer khususnya terjadi untuk kawasan Jawa dan KTI. Kenaikan alokasi transfer tersebut didorong oleh adanya pemekaran struktur organisasi dan peningkatan program pembangunan serta pendapatan SDA di daerah.

4 Kebijakan desentralisasi fiskal yang tertuang dalam UU No. 25/1999 tentang Fiskal Desentralisasi merupakan salah satu cara mengatasi ketimpangan antara pusat dan daerah dan ketimpangan antar daerah.

Transfer ke daerah, khususnya dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), memiliki peran yang semakin besar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, peningkatan DAU tersebut lebih banyak dialokasikan untuk belanja pegawai. Pada tahun 2012, secara rata-rata alokasi belanja pegawai di daerah mencapai 40,7% dari APBD. Di beberapa daerah tertentu bahkan belanja pegawai memiliki alokasi yang sangat besar terhadap keseluruhan belanja (hampir mencapai 60%). Dibandingkan dengan total belanja, pangsa belanja pegawai menunjukkan peningkatan di seluruh wilayah (Grafik 7.7). Sebaliknya, pangsa belanja modal dalam

APBD relatif rendah dan tidak banyak mengalami perubahan, bahkan di sebagian besar wilayah justru cenderung menurun. Hanya sebagian wilayah Kalimantan dan Jakarta yang menganggarkan belanja modal hingga 30% dari APBD pada tahun 2012 (Grafik 7.8).

Merujuk pada kajian Bank Indonesia di 20125,

besarnya alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dan belanja pegawai memiliki hubungan yang positif dengan kenaikan pendapatan perkapita walaupun dengan level korelasi yang kecil. Hal itu ditunjukkan oleh pola sebaran alokasi DAU yang terkonsentrasi di sejumlah daerah yang memiliki pangsa alokasi belanja pegawai yang besar, meskipun tidak selalu diikuti dengan peningkatan pendapatan perkapita di daerah tersebut. Bahkan terdapat daerah yang menerima alokasi DAU cukup besar namun relatif tidak mengalami kenaikan pendapatan perkapita. Selain DAU, faktor urbanisasi dan aglomerasi (interaksi antar daerah) juga signifikan memengaruhi kegiatan ekonomi daerah.

Selain karena kenaikan alokasi transfer ke daerah, kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga turut

5 Kajian Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Grup Riset Ekonomi Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, 2012.

Pangsa Belanja Modal Terhadap Total Belanja

menyebabkan kenaikan pendapatan daerah pada tahun 2012. Peningkatan pendapatan Pemerintah Daerah terjadi di seluruh kawasan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan ekspansi PAD dari pajak dan retribusi. PAD yang meningkat terutama terjadi di kawasan Jawa dan KTI, dimana sumber penerimaan pajak dan retribusi daerah didukung oleh sektor utama kawasan. Di kawasan Jawa, peningkatan pajak dan retribusi berasal dari sektor konstruksi, sektor pengangkutan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa. Selain itu, kuatnya konsumsi rumah tangga juga mendukung penerimaan pajak di kawasan Jawa, terutama dari penjualan kendaraan bermotor. Adapun di KTI, penerimaan pajak dan retribusi didorong oleh laju pertumbuhan sektor pertambangan (Grafik 7.9).

Secara total, realisasi belanja daerah pada tahun 2012 mengalami sedikit perbaikan didukung oleh upaya percepatan penyerapan anggaran yang dikoordinasikan oleh tim dibawah Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) meski masih terdapat indikasi pemanfaatan yang belum optimal. Realisasi belanja daerah pada 2012 lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya namun masih berada di bawah rata-rata kinerja selama lima tahun terakhir. Hal ini tampak dari penurunan rasio posisi mutasi rekening pemda di bank umum dibandingkan dengan realisasi transfer

Realisasi defisit tahun 2012 berada di bawah target APBN-P, namun untuk pertama kalinya keseimbangan primer telah mencapai posisi negatif. Meski realisasi defisit tahun 2012 lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi tahun 2011, namun capaian defisit sebesar 1,8% PDB masih tergolong moderat. Peningkatan defisit lebih disebabkan oleh capaian penerimaan yang berada di bawah target APBN-P dibandingkan dengan capaian tahun lalu yang melampaui target APBN-P. Berdasarkan data historis, realisasi defisit cenderung berada di bawah target. Dengan capaian defisit hanya sebesar 76,8% dari target dan capaian pembiayaan sebesar 94,7% dari target, terdapat Sisa Lebih Pembiayan Anggaran (SILPA) sebesar Rp34 triliun.

Perlu dicermati bahwa untuk pertama kalinya, keseimbangan primer mencatatkan posisi negatif. Keseimbangan primer adalah rasio yang hanya menggambarkan upaya fiskal pada periode tersebut karena keseimbangan primer mengeluarkan biaya bunga yang besarnya ditentukan oleh kebijakan fiskal pada periode-periode lalu. Di tengah rasio utang terhadap PDB yang masih moderat, keseimbangan primer yang negatif menggambarkan bahwa penerimaan tahunan pemerintah tidak mampu membiayai belanja murni di tahun 2012 dan memberikan sinyal perlunya kewaspadaan akan kesinambungan fiskal.

Capaian pembiayaan dalam negeri tercatat di atas target, yaitu sebesar 102,4%, sementara realisasi pembayaran pembiayaan luar negeri jauh melampaui target yaitu sebesar 431,6%. Sepanjang tahun 2012, Pemerintah melakukan pembayaran pokok utang luar negeri sebesar Rp51,2 triliun atau 102,9% dari target Rp49,7 triliun, sementara penarikan pinjaman luar negeri baru (bruto) hanya sebesar Rp34,2 triliun atau 63,6% dari target. Dari capaian tersebut, tampaknya Pemerintah cenderung menitikberatkan penggunaan ke daerah meski saldo rekening pemda di bank

umum masih terus meningkat. Saldo total rekening Pemerintah Daerah di bank umum pada akhir Desember 2012 mencapai Rp99 triliun, atau naik Rp18,7 triliun dari posisi akhir tahun 2011. Dengan transfer ke daerah yang telah terealisasi sebesar Rp411,1 triliun, maka dana dari Pemerintah Pusat yang belum digunakan oleh Pemda di bank umum per Desember 2012 hanya sebesar 4,6%, turun dari posisi tahun 2011 sebesar 5,3%. Rasio belanja pemda terhadap dana perimbangan mencapai 95,4%, lebih tinggi dari posisi Desember tahun lalu sebesar 94,7% namun masih di bawah rata-rata tahunan selama 5 tahun terakhir sebesar 98,5% (Grafik 7.10).

Berbagai permasalahan penyerapan anggaran di daerah terutama terkait dengan mekanisme dan proses pengadaan. Sementara permasalahan pada realisasi belanja modal bersumber dari sulitnya proses pengadaan lahan dan administrasi pelaksanaan proyek. Realisasi belanja modal daerah pada tahun 2012 juga relatif lebih baik walaupun belum sepenuhnya mampu mendukung pembiayaan pembangunan infrastruktur publik yang dinilai strategis di daerah.

Graik 7.10 Perkembangan Rasio Belanja Pemda

Graik 7.11 Perkembangan Pembiayaan

pembiayaan dari dalam negeri yang relatif lebih bebas dari risiko nilai tukar (Grafik 7.11).

Secara keseluruhan, penerbitan SBN sampai dengan Desember 2012 telah mencapai 96,3% dari target bruto penerbitan SBN, sedikit lebih rendah dibandingkan penerbitan tahun 2011 yang mencapai 96,9%. Namun, capaian penerbitan SBN dari target neto APBN-P telah sedikit terlampaui, yaitu telah mencapai 100,1% dan lebih tinggi dari capaian target neto tahun 2011 sebesar 94,6%. Hal tersebut seiring dengan capaian defisit APBN-P 2012 yang lebih tinggi dibandingkan realisasi defisit tahun 2011. Secara keseluruhan pada tahun 2012, Pemerintah memperoleh Rp212,9 triliun, atau 76% dari SBN domestik, dan Rp55,9 triliun dari SBN global, atau sebesar 24% dari total SBN. Sebagaimana periode- periode sebelumnya, Pemerintah masih melakukan strategi front loading untuk mengantisipasi

pembiayaan belanja di awal tahun di tengah masih minimnya penerimaan.

Antusiasme investor domestik dan global terhadap SBN masih tinggi yang tampak dari total bid to cover ratio yang mencapai 2,4 kali, meski turun dibandingkan dengan rasio tahun 2011 sebesar 2,8 kali. Pasar domestik yang kondusif serta peringkat kredit Indonesia yang membaik menyebabkan imbal

hasil SBN domestik dan global pada tahun 2012 relatif stabil dan lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 2011. Imbal hasil rata-rata tertimbang SPN 3 bulan mencapai 3,2% sementara imbal hasil SUN rata-rata mengalami penurunan (Grafik 7.12). Penerbitan Samurai Bonds6 dan sukuk global7 pada

tahun 2012 terbilang sukses dan lebih baik dari lelang sejenis sebelumnya. Dari Samurai Bonds tersebut Pemerintah memperoleh pembiayaan sebesar 60 miliar yen atau sekitar Rp7,2 triliun. Situasi yang kondusif juga terjadi pada lelang sukuk global dengan

bid to cover ratio mencapai 5,3 kali dan imbal hasil lebih rendah dari prakiraan awal.

Dengan kondisi tersebut, rasio utang pemerintah terhadap PDB pada tahun 2012 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 23,3%, meskipun jumlah utang meningkat dari Rp1.809 triliun menjadi Rp1.991 triliun. Penurunan rasio ini menunjukkan peningkatan kapasitas ekonomi yang masih lebih besar

6 Berjangka waktu 10 tahun dan diterbitkan dengan format private placement dengan garansi dari Japan Bank for International Corporation (JBIC). Penerbitan Samurai Bonds sebelumnya dilakukan pada November 2010.

7 Berjangka waktu 10 tahun dan merupakan penerbitan sukuk internasional ketiga sejak 2009. Penerbitan sukuk global terakhir dilakukan pada November 2011.

Graik 7.14

Graik 7.15

Perbandingan Rasio Keseimbangan Primer Terhadap PDB Beberapa Negara Berkembang

Perkembangan Rekening Pemerintah Pusat di BI

Graik 7.13 Perkembangan Utang Pemerintah

dibandingkan peningkatan utang pemerintah atau menyiratkan tingkat kesinambungan fiskal yang masih terjaga (Grafik 7.13).

Dalam dokumen Majalah Bank Indonesia tahun 2012 (Halaman 172-176)