• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respons Kebijakan

Dalam dokumen Majalah Bank Indonesia tahun 2012 (Halaman 30-32)

Berbagai pencapaian positif pada kinerja perekonomian nasional pada tahun 2012 tidak terlepas dari berbagai langkah yang ditempuh Bank Indonesia serta koordinasi kebijakan dengan Pemerintah. Dari sisi Bank Indonesia, perumusan kebijakan tetap ditempuh dengan melakukan bauran kebijakan yang terdiri dari kebijakan moneter, kebijakan nilai tukar, kebijakan makroprudensial, penguatan koordinasi, dan komunikasi kebijakan.

Kebijakan moneter diarahkan agar pergerakan inlasi ke depan tetap berada dalam sasaran yang telah ditetapkan dan mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Bank Indonesia pada Februari 2012 menurunkan BI Rate 25 bps sebagai langkah antisipatif lanjutan untuk memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah menurunnya kinerja ekonomi global dan tetap terkendalinya inlasi. Pada saat yang sama, Bank Indonesia juga menurunkan koridor bawah suku bunga operasi moneter Bank Indonesia sebesar 50 bps menjadi 3,75%. Penurunan koridor bawah suku bunga operasi moneter tersebut dimaksudkan untuk mendorong pembiayaan antar bank dan mengurangi risiko likuiditas bank, sekaligus memperluas sumber pendanaan. Pada Maret 2012, ekonomi Indonesia dihadapkan pada melambungnya ekspektasi inlasi yang dipicu oleh adanya rencana kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah terkait kebijakan subsidi BBM. Menghadapi kondisi tersebut, Bank Indonesia mengambil langkah kebijakan untuk mengantisipasi dampak peningkatan ekspektasi inlasi jangka pendek melalui penguatan operasi moneter untuk mengendalikan ekses likuiditas jangka pendek. Selanjutnya untuk menjaga kestabilan ekonomi makro, sejak Maret 2012, BI Rate juga dipertahankan pada tingkat tingkat 5,75%.

Kebijakan nilai tukar diarahkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi. Dalam menjaga kestabilan nilai tukar, Bank Indonesia terus memantau perkembangan nilai tukar rupiah dan melakukan langkah stabilisasi di pasar valuta asing (valas) secara terukur. Untuk membantu upaya ini, ketersediaan pasokan valas yang lebih berkesinambungan menjadi sangat penting. Dalam rangka tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan terkait penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang mulai efektif pada Januari 2012. Sesuai dengan kebijakan DHE, eksportir wajib menerima seluruh DHE melalui bank devisa di dalam negeri. Selain itu, untuk memperkuat struktur pasokan devisa, sejak Juni 2012 Bank Indonesia secara reguler melakukan lelang Term Deposit (TD) valas. Instrumen ini dimaksudkan untuk memperkaya instrumen valas domestik dan menjadi outlet penempatan devisa untuk memfasilitasi masuknya devisa, termasuk yang berasal dari hasil ekspor. Bank Indonesia juga melakukan relaksasi terhadap ketentuan pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valas oleh bank untuk mendukung penguatan pasokan valas melalui pendalaman pasar valas domestik1. Perubahan

Peraturan Bank Indonesia dilakukan sebagai salah satu upaya dengan memberikan leksibilitas bagi pelaku pasar dalam melakukan lindung nilai (hedging) atas kegiatan ekonominya di Indonesia. Hal ini juga merupakan upaya memperkuat keterkaitan antara transaksi valas di pasar domestik dengan kegiatan ekonomi.

Kebijakan makroprudensial ditujukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, sekaligus untuk mendukung keseimbangan eksternal. Untuk mencegah terjadinya risiko pada stabilitas sistem keuangan yang bersumber dari meningkatnya kredit perbankan secara drastis serta mendukung

1 Peraturan Bank Indonesia No. 14/ 10/PBI/2012 tanggal 8 Agustus 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/14/PBI/2008 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank

upaya mengurangi tekanan terhadap deisit transaksi berjalan, khususnya di sektor- sektor yang konsumtif, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan makroprudensial melalui pengaturan besaran loan- to-value ratio (LTV) dan minimum down payment

(DP). Kebijakan tersebut mengatur tentang besaran rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada pemberian kredit kepemilikan rumah (KPR) dan minimum down payment (DP) untuk kredit kendaraan bermotor (KKB) yang berlaku sejak Juni 2012. Kebijakan tersebut kemudian diperluas bagi perbankan syariah. Selain itu, kebijakan serupa juga dikeluarkan oleh Bapepam-LK yang berlaku untuk perusahaan pembiayaan.

Kebijakan makroprudensial tersebut juga didukung oleh kebijakan mikroprudensial perbankan dan sistem pembayaran. Di bidang mikroprudensial perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (KPMM) dan kewajiban pemenuhan Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA) minimum bagi kantor cabang bank asing (KCBA) yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan bank dalam

mengantisipasi, memitigasi, dan menyerap risiko. Bank Indonesia juga mengeluarkan kebijakan untuk memperkuat ketahanan dan daya saing perbankan melalui penataan struktur kepemilikan bank serta pengaturan penyesuaian kegiatan usaha dan perluasan jaringan kantor bank berdasarkan modal.

Di bidang sistem pembayaran, kebijakan diarahkan untuk meningkatkan keamanan, eisiensi,

perluasan akses, dan perlindungan konsumen dalam sistem pembayaran dan mendukung upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Kebijakan dimaksud antara lain dilakukan melalui persiapan implementasi Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) Generasi II, pengembangan Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway-NPG), interkoneksi dalam penyelenggaraan uang elektronik, persiapan

implementasi standar nasional kartu ATM/Debet berbasis chip, perluasan akses BPR dalam sistem pembayaran, dan penyempurnaan ketentuan untuk lebih meningkatkan penerapan aspek perlidungan konsumen. Upaya menjaga stabilitas sistem keuangan juga dilakukan dari sisi pembayaran tunai. Untuk memenuhi kebutuhan uang kartal masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, pecahan yang sesuai, layak edar dan tepat waktu, kebijakan Bank Indonesia diarahkan untuk memperkuat tiga pilar kebijakan pengelolaan uang, yaitu : i) tersedianya uang rupiah yang berkualitas; ii) distribusi dan pengolahan uang yang aman dan terpercaya; dan iii) layanan kas prima.

Penguatan koordinasi dengan Pemerintah dan komunikasi kebijakan juga terus dilakukan untuk mendukung efektivitas kebijakan moneter. Penguatan koordinasi dilakukan agar kebijakan moneter

Bank Indonesia dapat saling mendukung dengan kebijakan iskal maupun kebijakan ekonomi lainnya yang ditempuh Pemerintah dalam rangka menjaga kestabilan ekonomi makro serta momentum

pertumbuhan ekonomi. Penguatan koordinasi dalam pengendalian inlasi baik di tingkat pusat maupun daerah dilakukan melalui forum Tim Pengendali Inlasi (TPI) dan Tim Pegendali Inlasi Daerah (TPID). TPI secara aktif melakukan pemantauan serta merumuskan dan merekomendasikan respons kebijakan yang perlu diambil untuk mengendalikan tekanan inlasi. Sementara itu, TPID yang tersebar di seluruh Indonesia memusatkan programnya untuk mendorong stabilisasi harga melalui operasi pasar, penguatan pasokan dan distribusi barang, serta penguatan strategi komunikasi. Selanjutnya, dalam kerangka pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia telah memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait dalam memperkuat protokol manajemen krisis tingkat nasional melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Sementara itu, Bank Indonesia juga terus memperkuat strategi komunikasi kepada masyarakat untuk mendukung efektivitas kebijakan.

Prospek, Tantangan, dan Arah Kebijakan

Dalam dokumen Majalah Bank Indonesia tahun 2012 (Halaman 30-32)