• Tidak ada hasil yang ditemukan

Graik 6.21 Inlasi Bahan Makanan Negara Kawasan

Dalam dokumen Majalah Bank Indonesia tahun 2012 (Halaman 157-163)

Inlasi Indonesia dan Negara Kawasan

Graik 6.20 Graik 6.21 Inlasi Bahan Makanan Negara Kawasan

Sumber: CEIC

Inflasi Indonesia turun cukup tajam dalam beberapa tahun terakhir, meskipun relatif masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara kawasan. Dalam lima tahun terakhir inflasi IHK atau headline Indonesia turun dari 6,6% di tahun 2006 menjadi 4,3% di tahun 2012 (Grafik 6.20). Penurunan inflasi secara signifikan terjadi pada kelompok bahan makanan dari 10,7% di tahun 2006 menjadi 5,7% pada tahun 2012.18

18 Inflasi bahan makanan Indonesia menggunakan data inflasi bahan makanan BPS. Inflasi bahan makanan negara kawasan menggunakan data CEIC.

logistik sebagaimana yang telah dilakukan negara kawasan. Selain itu, perlu diatasi hambatan struktural mikro yang menyebabkan inflasi Indonesia masih lebih tinggi melalui peningkatan efisiensi dan mengurangi ekonomi biaya tinggi, harmonisasi regulasi pusat dan daerah, perbaikan infrastruktur dan kecukupan pasokan energi, serta peningkatan produktivitas. Untuk menjaga kesinambungan proses disinflasi menuju tingkat inflasi yang lebih rendah dan semakin setara dengan negara kawasan, sasaran inflasi ditetapkan menurun masing-masing sebesar 4,5%; 4,5%; dan 4,0% dengan deviasi ± 1% untuk tahun 2013, 2014 dan 201519.

19 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 66/PMK.011/2012 tanggal 30 April 2012 tentang Sasaran Inflasi untuk Tahun 2013, 2014 dan 2015.

Memahami Ketahanan Pangan di Indonesia Melalui Pendekatan Model Panel Data Spasial Boks 6.1

Pemahaman terhadap status/kondisi ketahanan pangan di suatu wilayah/negara mempunyai peranan yang sangat krusial bagi pengambil kebijakan dan masyarakat. Namun demikian, hingga saat ini di Indonesia belum ada studi formal untuk mengkaji status ketahanan pangan dimaksud. Adapun metode konvensional yang ada yaitu Neraca Bahan Makanan memiliki isu terkait perkiraan yang terlalu tinggi terhadap data pasokan pangan dan perkiraan yang terlalu rendah terhadap data permintaannya (Rosner dan McCulloch, 2008). Oleh karena itu, pendekatan alternatif dengan menggunakan informasi harga dalam menganalisis status ketahanan pangan baik di tingkat daerah maupun nasional perlu untuk dieksplorasi1.

Sebagaimana diketahui, secara teoritis harga dapat merepresentasikan kondisi ketersediaan (ketahanan) pangan di suatu pasar.

Berangkat dari pemikiran di atas, Bank Indonesia melakukan studi untuk memahami ketahanan pangan terhadap lima komoditas pangan (beras, gula pasir, minyak goreng, bawang merah dan cabai merah) dengan menggunakan pendekatan Model Panel Data Spasial2. Keunggulan utama

dari metodologi ini adalah kemampuannya untuk menjelaskan isu keterkaitan (interdependensi) antar daerah yang dapat terjadi melalui mekanisme perdagangan antar daerah dan efek rambatan (spill-over). Sementara metode ekonometrika klasik cenderung mengabaikan faktor interdependensi antar daerah tersebut, dan pengabaian

1 Ketahanan pangan dalam penelitian ini lebih diarahkan pada aspek ketersediaan komoditas pangan di pasaran, yang terutama dilihat dari dimensi kuantitas dan harga. 2 Ridhwan, M.M., M.N. Nugroho, T. Winarno, dan M.V.

Grace (2012), “Analisis Status Ketahanan Pangan di Indonesia dengan Aplikasi Model Panel Data Spasial”, Working Paper Bank Indonesia, Desember 2012.

interdependensi dapat mengakibatkan hasil estimasi yang bias dan tidak konsisten (Anselin, 2006). Menggunakan data 26 propinsi dari Triwulan I/2002 hingga Triwulan IV/2010, Model Panel Data Spasial menghasilkan estimasi koefisien otokorelasi spasial yang bertanda positif dan secara statistik signifikan untuk kelima komoditas yang dikaji. Temuan tersebut menunjukkan kuatnya co-movement harga komoditas antar daerah dimana apabila terjadi perubahan harga komoditas di suatu daerah akan berdampak pada perubahan harga komoditas di daerah lain dengan arah yang sama. Selanjutnya, dengan membandingkan harga hasil estimasi tersebut dengan harga ‘fundamentalnya’ yang didekati dengan tren jangka panjangnya maka akan dapat ditentukan apakah suatu daerah mengalami surplus atau defisit. Ketahanan pangan di suatu daerah dikatakan mempunyai kecenderungan surplus jika harga estimasi yang diperoleh lebih rendah dari harga fundamentalnya dan demikian sebaliknya. Selanjutnya, kondisi ketahanan pangan dari setiap propinsi di Indonesia dapat dipetakan menjadi: Propinsi Surplus (S) dengan area bergradasi gelap, Propinsi Defisit (D) dengan area bergradasi terang, dan Propinsi Antara S/D dengan area bergradasi sedang. Melalui proses tersebut, dapat diperoleh peta ketersediaan nasional untuk kelima komoditas, yakni : Beras, Gula, Minyak Goreng, Bawang Merah, dan Cabai Merah.

Peta Ketersediaan Beras Nasional

Untuk komoditas beras, berdasarkan analisa spasial tersebut dapat ditunjukkan bahwa wilayah Jawa dan Sumatera secara umum cenderung mengalami surplus (pasokan yang memadai di pasaran) beras, serta sebagian di wilayah Kalimantan dan Sulawesi selama periode pengamatan. Surplus di Jawa berkaitan erat dengan dominasi Jawa sebagai sentra produksi pangan dan juga sebagai pusat perdagangan dan distribusi beras (khususnya di Jakarta dan Surabaya) ke seluruh nusantara.

Gambar 1 Peta Ketersediaan Beras Nasional

Peta Ketersediaan Gula Nasional

Kondisi ketersediaan gula hampir serupa dengan kondisi ketersediaan beras dimana Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, NTB dan Papua teridentifikasi sebagai daerah surplus gula. Sentra produksi gula selain Jawa, yaitu Lampung, tidak teridentifikasi sebagai daerah surplus melainkan berimbang (balance). Hal ini diperkirakan karena hasil produksi gula dari wilayah Lampung didistribusikan ke berbagai wilayah lain, termasuk wilayah sekitarnya seperti Sumatera Selatan dan Bengkulu, sehingga ketersediaan gula di wilayah-wilayah tersebut relatif berimbang. Selain itu, produk gula dari wilayah Lampung juga mengalir ke Jakarta sebagai sentra perdagangan dan distribusi gula. Selanjutnya, stok gula yang terkonsentrasi di Jakarta dan Surabaya disalurkan ke wilayah-wilayah yang membutuhkan, termasuk Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, NTB dan Papua, sehingga wilayah-wilayah tersebut menjadi surplus gula.

Peta Ketersediaan Minyak Goreng Nasional

Hasil pemetaan tersebut menunjukkan bahwa provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Jawa Barat, NTB, NTT, Kalimatan Tengah dan Sulawesi Selatan merupakan wilayah yang surplus minyak goreng. Namun demikian, Indonesia secara umum dapat dikategorikan mengalami defisit minyak goreng. Hal ini agak mengkhawatirkan mengingat Indonesia adalah pemasok utama ke pasar global untuk komoditas kelapa sawit/CPO yang merupakan bahan baku minyak goreng.

Gambar 3 Peta Ketersediaan Minyak Goreng Nasional

Gambar 2 Peta Ketersediaan Gula Nasional

Peta Ketersediaan Bawang Merah Nasional

Hasil pemetaan menunjukkan bahwa Jawa pada umumnya merupakan wilayah yang mengalami surplus bawang merah. Hal ini cukup relevan mengingat 78% dari produk bawang nasional (2011) dihasilkan di Jawa3. Namun Jawa Tengah

sebagai sentra produksi bawang merah (utamanya Brebes) justru teridentifikasi sebagai daerah yang

balanced dan bukan daerah surplus. Ini diperkirakan karena perdagangan antar daerah sehingga dibawa melalui Jakarta dan Surabaya untuk selanjutnya didistribusikan ke wilayah luar Jawa.

3 Bahan presentasi Kementerian Pertanian dalam Focus Group Discussion (FGD) 7 Februari 2012 di Bank Indonesia.

Gambar 4 Peta Ketersediaan Bawang Merah Nasional

Peta Ketersediaan Cabai Merah Nasional

Hasil pemetaan menunjukkan bahwa wilayah yang teridentifikasi mengalami surplus cabai merah adalah Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, yang memang merupakan daerah penghasil cabai merah. Wilayah surplus lainnya adalah Bali, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Namun, wilayah- wilayah tersebut bukan merupakan penghasil cabai merah sehingga diperkirakan pasokan cabai merah didatangkan dari wilayah lain. Sementara itu, wilayah yang merupakan produsen cabai merah namun tidak termasuk wilayah yang surplus adalah Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jambi dan NTB yang termasuk dalam wilayah yang balanced (daerah Antara S/D), serta Jawa Timur, Sumatera Barat dan Lampung yang bahkan teridentifikasi sebagai daerah defisit.

Gambar 5 Peta Ketersediaan Cabai Merah Nasional

Selain analisis spasial di atas, analisis antar waktu (temporal) mendapatkan hasil yang sesuai teori dimana kondisi ekses permintaan akan diikuti oleh tren kenaikan harganya (mengalami kondisi defisit), dan sebaliknya, ekses suplai akan diiringi oleh penurunan harga (mengalami kondisi surplus) untuk kelima komoditas tersebut. Untuk menguji predictive power (robustness), harga hasil estimasi model di-tracking dari setiap periode dan dibandingkan dengan perkembangan harga aktualnya. Melalui kriteria yang digunakan, secara umum model estimasi yang digunakan relatif robust dalam menentukan status ketahanan (ketersediaan) pangan baik di tingkat daerah maupun di nasional.

Hasil studi ini juga menyimpulkan bahwa faktor penyebab variasi ketersediaan pangan baik antar daerah dan antar waktu tersebut, selain disebabkan oleh faktor-faktor yang menyebabkan tidak berimbangnya antara pasokan dan permintaan di daerah itu sendiri, juga dikarenakan oleh adanya mekanisme arbitrase spasial terutama melalui interaksi hubungan dagang antar daerah. Berangkat dari hasil temuan studi ini, sejumlah rekomendasi kebijakan yang perlu dilakukan antara lain adalah: perbaikan distribusi dan tata niaga pangan, perbaikan manajemen stok (logistik), peningkatan kualitas infrastruktur dan transportasi, dan dalam jangka panjang, gerakan perubahan budaya khususnya untuk diversifikasi pangan non beras perlu terus diintensifkan.

Bab 7

Dalam dokumen Majalah Bank Indonesia tahun 2012 (Halaman 157-163)