• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2. Tata cara berbusana

Cara berbusana merupakan bagian dari usaha membentuk identitas. Orang dapat dikenali dari caranya mengenakan pakaian dan berbagai aksesori yang dipakainya. Di dalam masing-masing kerajaan baik Yogyakarta maupun Surakarta, proses pengaturan teritorial diiringi oleh sejumlah besar peraturan-peraturan keraton internal yang secara metodis tumbuh pada akhir abad ke 18 dan seterusnya peraturan-peraturan mengenai cara berpakaian, standar-standar status dan peraturan tingkah laku.69 Di Keraton Surakarta motif-motif batik, model keris, dan gaya berpakaian ditetapkan dengan terperinci sementara keraton menganugerahkan hak-hak memakai pakaian istimewa kepada pejabat-pejabat keraton yang semakin halus dan bertingkat70 demikian pula di Yogyakarta ketentuan busana untuk para peserta upacara (mereka yang menghadiri jalannya upacara), disesuaikan menurut kedudukan dan tingkat umur masing-masing individu.71

Pemakaian busana yang kentara perbedaannya tampak pada yang dikenakan rakyat. Karena umumnya rakyat hanya memakai pakaian yang “ala kadarnya”. Perempuan memakai selembar kain menutupi kaki sampai dada dengan mengikat rambut berbentuk sanggul. Kebanyakan pria mengenakan kain yang dipakai di pinggang dan memasukannya diantara dua kaki dan selain itu

69

Pemberton, John, JAWA: On The Subject Of Java, Cornell University Press, Ithaca, 1994, hlm. 70

70 Ibid 71

Mari .S. Condronegoro, Busana Adat Kraton Yogyakarta 1877-1937: Makna dan Fungsi dalam berbagai upacara, Yayasan Pusataka Nusatama, Yogyakarta, 1995, hlm. 24

tanpa kain apapun.72 Terlepas dari itu perkembangan pakaian untuk rakyat kemudian mengerucut pada suatu titik di mana Yogyakarta dan Surakarta (Jogja dan Solo) diidentikkan dengan pakaian Jawa yang umum; blangkon, kain batik, dan baju Surjan. Inilah yang kemudian dalam perkembangan kebudayaan masing-masing pihak menjadi semakin berbeda.

Secara umum dapat ditemukan beberapa perbedaan di antara kedua pihak berdasarkan identifikasi masa kini. Blangkon (ikat kepala) Yogya dan Solo dalam perkembangannya berbeda terdiri dari dua tipe, menggunakan Mondholan dan Trepes. Blangkon dengan Mondholan yaitu adanya tonjolan pada bagian belakang blangkon yang berbentuk seperti onde-onde dianggap gaya Yogya, sedangkan Trepes yaitu, tonjolan di belakang kepala tipis dan dianggap gaya Surakarta. Sebagai penutup kepala yang biasa dipakai orang Jawa pada dasarnya sifat dan fungsi blangkon sama antara Yogya dan Solo. Perbedaan ini terjadi ketika Surakarta dianggap memodifikasi bentuk blangkon disesuaikan dengan rambut orang sesuai dengan perkembangan zaman yang cenderung pendek, jadi mondholan sebagai tempat mengikat rambut sedikit disesuaikan dengan perkembangan waktu. Blangkon memiliki makna filosofis pula dan menggambarkan pula karakter pemakainya, bagian atas blangkon mulai dari depan memanjang/terbelah dua disebut jengger atau pidhikan ada juga yang menyebutnya dengan istilah waton. Jengger ini sangat menentukan ciri dan karakter pengguna blangkon.73

72

Stockdale, Joseph, Eksotisme Jawa: Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa, Penerbit Progresif Book, Yogyakarta, 2010., hlm. 31, terjemahan dari buku Island of Java. 73

Gambar xiv. Blangkon khas Yogyakarta (kiri) dan blangkon Khas Surakarta/Solo (kanan)

Perkembangan cara berbusana rakyat mulai berkembang dan kebanyakan sudah memakai pakaian dengan model seperti Eropa. Baju Surjan merupakan sebutan untuk pakaian yang biasa dipakai laki-laki. Perbedaan pakaian adat Yogyakarta dan Surakarta pada istilah nama pakaian tersebut, di Yogyakarta disebut baju surjan sedangkan di Surakarta disebut dengan baju beskap. Surjan sendiri memiliki dua jenis yaitu surjan lurik dan surjan kembang. Surjan yang sering dipakai sehari-hari oleh kalangan bawah biasanya adalah surjan lurik namun untuk surjan kembang biasanya dipakai oleh seseorang dengan tingkat ekonomi yang baik. Beskap merupakan bentuk perubahan model baju adat Jawa yang dipengaruhi oleh model Eropa karena modelnya mirip dengan jas. Beskap dianggap sebagai bagian dari akulturasi dengan budaya Eropa, beskap berasal dari kata kata beschaafd yang berarti civilized atau berkebudayaan.74 Penggunaan bahan kain pada beskap dan surjan pun berbeda pula, beskap memakai bahan kain yang lebih tebal dari pada surjan. Pada beskap biasanya tidak menggunakan

74

http://genioinspira.blogspot.com/

http://kamusjawa.com

motif-motif bordiran (polos) tetapi pada surjan biasanya terdapat motif bordiran dengan tema tumbuh-tumbuhan.

Gambar xv. Surjan Lurik (kiri) dan Surjan Kembang (kanan)

Gambar xvi. Beskap Surakarta http://culturetraditional.blogspot.

http://minetss.blogspot.com/

Untuk kain yang saat ini secara umum dipakai sebagai penutup badan atau kaki biasanya disebut dengan kain batik karena bermotifkan batik. Tiap daerah memiliki kekhasan masing-masing yang sangat dipengaruhi oleh alam, lingkungan, tradisi, masyarakat, budaya daerah, keagamaan, dan lapisan strata sosial masyarakatnya.75 Kain batik Yogyakarta dan Surakarta dapat dibedakan pula. Beberapa penamaan pola batik berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta, pola yang di Surakarta disebut Parang sarpa, di Yogyakarta dikenal sebagai golang galing. Pola liris cemeng di Surakarta, di Yogyakarta disebut rujak senthe. Perbedaan yang sangat nyata adalah dalam hal mengenakan wastra batik pola parang dan lereng. Pada gaya Surakarta, wastra batik dililitkan dari kanan atas miring ke kiri bawah, sedangkan gaya Yogyakarta miring dari kiri atas ke kanan bawah.76 Dalam desain batik Yogyakarta akan terlihat corak geometris dominan ditambah warna yang digunakan adalah coklat sogan. Materi corak batik Yogyakarta mengambil bahan olahan berupa materi-materi yang lebih beraroma magis sedangkan corak batik Surakarta sangat dipengaruhi oleh adat istiadat dan tata krama keraton, sehingga mencerminkan corak-corak batik yang sopan, tenang, dan lembut.77 Perbedaan lainnya, di Yogyakarta warna soganya dominan berwarna coklat sangat tua bahkan sampai mempunyai kecenderung ke merah tua.78 Pada umumnya batik Yogyakarta lebih berisi padat, seakan-akan tidak memberi kesempatan hadirnya ruang kosong pada lembaran desainnya yang

75

Anesia .A. Dofa, Batik Indonesia, PT Golden Terayon Press, Jakarta, 1996, hlm. 25 76

http://jawaampuh.blogspot.com/ 77

Anesia A. Dofa, op.cit, hlm 31 78

kemudian ditempatkan isen pada setiap titik yang terluang itu.79 Batik ini dahulu juga merupakan bagian dari pusaka keraton di mana hanya orang ningrat yang mampu memilikinya namun dalam perkembangannya orang dapat memperoleh hak memiliki kain batik.

.

Gambar xvii. Motif batik Truntum Solo (kiri) dan motif batik Truntum Yogya (kanan)

Berbagai aksesori pendukung biasanya digunakan pula oleh rakyat kebanyakan, tentunya sesuai dengan tingkat perekonomiannya. Seperti tusuk kondhe, yang biasanya selain untuk mengencangkan atau mengunci sanggul juga berguna sebagai tambahan aksesoris. Tetapi yang perlu pula dilihat perihal keris yang merupakan senjata tradisional orang Jawa. Keris biasa dibawa kemanapun seseorang akan pergi dan diletakan di belakang atau di bagian pinggang. Bentuk keris sendiri pada dasarnya terlihat seperti senjata tikam/ tusuk karena hanya berbentuk kecil dan tidak terlalu panjang. Beberapa keris memiliki bentuk yang melengkung-lengkung, walaupun tidak semua keris memiliki lengkungan itu. Lengkungan itu biasa disebut luk. Sedangkan beberapa bagian-bagian keris terdiri dari keris (bilah logam), ukiran (hulu atau ganggang keris), dan Warangka (sarung

79

Anesia A. Dofa, op.cit, hlm 32

http://umzaragallery.wordpress.com http://putralaweyan.files.wordpress.com

atau rangka keris).80 Selain itu bagian-bagian atau rincikan sebuah keris itu memiliki banyak sebutan atau nama dengan banyaknya pula berbagai bagian yang ada pada keris.

Perbedaan di antara keris Jogja dan Solo dalam perkembangannya semakin jelas, beberapa pendapat mengemukakan bahwa keris buatan Jogja merupakan keris yang mengadopsi gaya Mataram Senopaten dan Mataram Sultan Agung, oleh karenanya lebih sederhana pada hiasan warangka/sarungnya. Sedangkan keris Solo / Surakarta lebih condong pada gaya empu Brojoguno yang berasal dari Madura yang merupakan perpaduan antara gaya Madura-Singosari.81 Pada dasarnya keris gaya Yogyakarta lebih ramping dan lebih kecil dibandingkan dengan keris dari Surakarta hal ini karena adopsi gaya Mataram yang lebih kental, sehingga bentuk dan hiasannya terlihat lebih kecil, ramping dan sederhana dibandingkan dengan gaya Surakarta. Secara keseluruhan bagian ukuran keris Jogja relatif lebih kecil dibandingkan dengan keris gaya Solo dilihat dari ukiran (hulu keris), ganja, dan warangkanya. Kesan yang dihhasilkan dari ukuran keris yang berbeda inilah yang membentuk image bahwa keris gaya Yogyakarta lebih terlihat sederhana dan tegas, sedangkan bentuk ukuran keris gaya Surakarta yang besar memberikan kesan lebih “penuh gaya”, pernes dan tenang-lembut.

Beberapa bagian dari keris maupun warangkanya antara gaya Yogyakarta dan Surakarta memiliki perbedaan. Pada bagian leng-lengan warangka, keris yang bergaya Yogyakarta memiliki leng-lengan yang lebih kecil dari gaya Surakarta.

80

Ragil Pamungkas, Mengenal Keris: Senjata “Magis” Masyarakat Jawa, Penerbit Narasi, Yogyakarta, 2007, hlm 56

81

Lalu pada bagian bentuk pendok8 2 gaya Yogyakarta lebih ramping dan lebih runcing ujungnya dibandingkan Surakarta.83

Gambar xviii. Keris Gayaman gaya Surakarta (kiri) dan Yogyakarta (kanan)

Gambar xix. Keris Ladrang Solo (kiri) dan Branggah Jogja (kanan)

82

Pendok adalah lapisan pelindung bagian gandar dari warangka keris. Biasanya lapisan ini terbuat dari logam perak, tembaga, kuningan atau emas.

83

Bambang Hasrinuksmo, Ensiklopedi Keris, Gramedia Putaka Utama, Jakarta, 2004, hlm. 362

http://harizant.multiply.com/ http://harizant.multiply.com/

Dalam hal penamaan bagian dari keris pun antara Jogja dan Solo berbeda, di Jogja hulu keris atau ukiran atau gagang biasa disebut sebagai deder sedangkan gaya Surakarta atau Solo menyebutnya Jejer.8 4 Deder atau jejer memiliki fungsi sebagai tempat memegang keris agar tidak melukai tangan pemakainya. Jenis warangka antara gaya Jogja dan Solo juga memiliki perbedaan, di Yogyakarta menyebut warangka yang memiliki bentuk angkup8 5 sebagai warangka Branggah sedangkan Surakarta menyebutnya Ladrang.86 Sedangkan bentuk angkup warangka ladrang dan branggah Yogyakarta-Surakarta juga berbeda, angkup Yogyakarta memiliki tingkat lengkungan yang lebih daripada angkup pada warangka gaya Yogyakarta yang cenderung lebih terbuka dan tidak membentuk bulatan. Perbedaan juga terdapat pada hal penyebutan jenis pamor, pamor Satriya Pinayungan di Surakarta oleh ahli keris gaya Yogyakarta disebut sebagai pamor Satriya Kinayungan. Hal tersebut disertai pula adanya perbedaan dalam menilai pamor sebuah keris terutama pamor Satriya Pinayungan. Di Yogyakarta Pamor Satriya Kinayungan untuk menyebut pamor dengan gambaran berupa tiga bulatan yang berjajar melintang di pangkal bilah dan empat sampai lima bulatan membujur bilah. Sedangkan di Surakarta Pamor Satriya Pinayungan adalah sebutan untuk pamor dengan gambaran huruf V terbalik di pucuk dan sedikit Pamor Wos Wutah mengelompok di pangkal bilah.87

84

Ibid, hlm. 497 85

Bentuk ujung bagian ganja yang membentuk lengkungan ke dalam. 86

Ibid, hlm. 108 87

Gambar xx. Contoh Hulu Keris Yogyakarta (kiri) dan Surakarta (kanan)

Bentuk hulu keris antara Jogja dan Solo terlihat memiliki perbedaan, hulu keris Jogja cenderung lebih kecil dan mulai pada bagian Sirah Ageng, Batuk dan Jiling terlihat begitu melengkung dan membentuk bulatan yang lonjong. Pada hulu keris gaya Solo lebih terlihat besar dan bagian Sirah Ageng, Batuk dan Jilingnya lebih membentuk sudut dibandingkan dengan hulu keris Jogja.8 8 Umumnya keris dengan gaya Surakarta lebih terlihat mewah dan menampilkan kesan glamour menonjolkan kekuatan kekayaan dengan intan, permata, efek-efek kuning keemasan atau berbagai hiasan lain. Hal ini tidak terlepas dari adanya usaha untuk menampilkan kesan kemewahan gaya Surakarta karena hal demikian dapat ditemukan pula pada aktualisasi budaya gaya Surakarta. Tetapi perlu dilihat pula bahwa dalam perkembangannya terlihat bahwa keris Jogja berusaha memperindah kerisnya agar lebih menarik konsumen artinya ada usaha mengikuti pasar.

88

Ibid, hlm. 498-499, lihat pula gambar 7.

Pada bagian-bagian tertentu keris diberikan suatu ukiran-ukiran dengan berbagai motif tertentu yang dalam etika perkerisan disesuaikan dengan berbagai faktor, misalnya dengan sifat-watak pemiliknya, bentuk hulu keris, bentuk ganja, motif pada warangkanya. Terdapat bermacam-macam nama atau jenis motif ukiran pada keris. Masing-masing memiliki maknanya sendiri dan dibuat berdasarkan berbagai faktor di atas. Pendok memiliki ukiran yang berbeda-beda motifnya. Motif ukiran yang biasa digunakan pada keris gaya Surakarta mengutamakan tema-tema tentang fauna sedangkan keris dengan gaya Yogyakarta mengangkat tema-tema flora.