• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1. Perbedaan dalam tari-tarian

Perpecahan Kerajaan Mataram mengakibatkan adanya perpecahan di dalam tari Jawa menjadi dua, yaitu gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta.1 Sering seseorang dikenali berdasarkan latar belakang seni budayanya, atau seni menjadi bagian penting dalam perjalanan hidup. Demikianlah sesuatu gaya pergelaran tari atau drama dapat menjadi suatu bagian penting dari identitas-kelompok seseorang.2

1

Soedarsono, Djawa dan Bali: Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 1972, hlm. 51

2

Brakel-Papenhuyzen, Clara, Seni Tari Jawa: Tradisi dan Peristilahannya, Leiden University Press, Belanda., hlm 40

Tari klasik adalah tari yang dipelihara di istana raja-raja dan bangsawan-bangsawan yang telah mendapat pemeliharaan yang baik sekali bahkan sampai terjadi adanya standarisasi di dalam koreografinya.3 Masing-masing kerajaan memiliki “pakem-pakem” yang tidak bisa diubah tanpa ada perintah resmi dari raja untuk mengubah atau memberikan tambahan dalam suatu koreografi tari.

Jenis-jenis tari klasik sangat beranekaragam artinya diperlukan suatu penggolongan tari klasik Jawa. Cara menggolongkan tari klasik Jawa yang paling diterima umum yaitu yang didasarkan kepada pelaksanaan pergelaran tari-tarian keraton itu:4

a. Beksan putri (tarian putri)

Penyebaran tari klasik berlanjut bukan hanya dimiliki oleh keraton saja namun mulai dikembangkan dan dipopulerkan keluar tembok istana dengan berbagai cara. Tetapi tidak semua jenis tari dapat dipergelarkan secara bebas di luar tembok keraton. Terdapat dua macam tari keramat Bedhaya Sanga yang dimiliki oleh Yogyakarta yaitu Tari Bedhaya Semang dan Surakarta yaitu Tari Bedhaya Ketawang5. Keduanya menceritakan tentang hubungan sakral antara Sultan Agung dengan Ratu Laut Kidul. Bedhaya Semang gubahan HB I diklaim sebagai tarian yang lebih tua dari Bedhaya Ketawang karena menggunakan perangkat gamelan yang lebih lengkap.6 Namun di samping dua tari bedhaya tersebut masih banyak tari bedaya lain. Selain tari bedhaya, berkembang pula tari

3

Soedarsono, op.cit, hlm. 20 4

Brakel-Papenhuyzen, Clara, op.cit, hlm. 44 5

Ibid, hlm. 47, Di Surakarta Bedhaya Ketawang dipergelarkan setiap tahun untuk memperingati penobatan Susuhunan. Dan masih sering diadakan latihan teratur setiap tiga puluh lima hari pada hari Anggara Kasih (gabungan hari-hari Selasa Kliwon).

6

srimpi yang memiliki fungsi berbeda dengan bedaya. Srimpi biasa dipergelarkan pada upacara yang tidak begitu bersifat sakral.

Tari Bedhaya Semang dan Ketawang yang sifatnya sangat sakral bagi kedua kerajaan ini memiliki pakem-pakem misalnya tentang kriteria orang yang menarikannya harus seorang perawan dan dalam keadaan bersih (tidak haid saat berpentas). Hal tersebut demi menjaga sifat kesucian dari tarian ini yang merupakan lambang hubungan sakral yang dibangun oleh raja pertama Mataram Islam dengan Ratu Kidul. Perbedaan antara keduanya bahwa walau tari Bedhaya Sanga yang sungguh sakral ini awalnya hanya ditarikan oleh penari wanita namun Bedhaya Semang Yogyakarta pernah ditarikan oleh penari pria yang keluar dari Bangsal Purwaretna menuju Bangsal Kencana. Sedangkan di Surakarta tari Bedhaya yang sakral ini hanya ditarikan oleh penari wanita saja.7

Komposisi penari dalam Bedhaya Sanga memiliki istilahnya sendiri-sendiri yaitu endhel, batak, jangga, apit ngajeng, apit wingking, dhadha, endhel wejangan ngajeng, endhel wejangan wingking dan buntil, namun sedikit perbedaan di Surakarta istilah penari buntil disebut buncit.8 Masing-masing nama bagi komposisi penari Bedhaya Sanga ini memiliki makna sendiri-sendiri. Sembilan penari merupakan simbolisasi dari 9 lubang pada tubuh manusia dan 9 pintu masuk utama keraton.9 Antara Bedhaya Ketawang dan Bedhaya Semang sendiri muncul keanehan bahwa walau dasar cerita sama namun memiliki perbedaan nama.

7

Soedarsono, Wayang Wong: Ritual Tari Tradisional Kenegaraan di Yogyakarta, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1997, hlm. 148

8

Ibid, hlm. 145 9

Pada dasarnya beksan putri memiliki beraneka macam bentuk tarian dan jenisnya. Hanya saja yang membedakan antara gaya tari putri Yogyakarta dan Surakarta adalah perihal teknis pelaksanaannya yang berbeda. Sebagai contoh, kebanyakan srimpi Yogyakarta melukiskan suatu peperangan, sedangkan srimpi Surakarta lebih bersifat abstrak dan tidak ada sangkut-pautnya dengan pahlawan-pahlawan tertentu.10 Artinya perbedaan terletak pada tema yang hendak diangkat dan disampaikan pada tari yang dipertunjukkan.

b. Beksan Putra (Tarian Putra)

Sama halnya seperti tari yang dibawakan oleh wanita, beksan putra juga memiliki berbagai jenis tari yang bermacam-macam. Namun pada dasarnya jenis tari laki-laki Jawa selalu membawakan tari yang melukiskan perang menggunakan dan tidak menggunakan senjata. Menurut tradisi Yogyakarta semua tari perang laki-laki mendapat sebutan beksan, sedangkan Surakarta mengadakan pembedaan wireng, yaitu tarian keprajuritan dan pethilan, yaitu tari perang yang melukiskan lakon-lakon tertentu dari cerita babad. Tarian perang ini biasa dilakukan oleh para prajurit sebagai latihan seni bela diri yang distilisasikan. Tari perang menggunakan senjata yang paling terkenal adalah tari wireng lawung, senjata yang digunakan adalah tombak. Menurut cerita lisan Surakarta Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820) adalah pencipta tarian ini, sedangkan menurut cerita lisan Yogyakarta tari ini diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792). Terlepas dari saling klaim penciptaannya, tari lawung adalah tari yang termasuk tari keraton karena raja sendiripun kadang kala ikut serta menarikannya.

10

Tari lawung Surakarta terdiri dari dua komposisi bagian. Pertama adalah beksan wireng lawung ageng, yang ditarikan oleh empat orang laki-laki besar-besar, dan dengan gaya yang gagah dan bersemangat. Kedua adalah beksan wireng lawung alit, yang ditarikan empat orang berperawakan ramping dan dengan gaya halus. Pada tari lawung Yogyakarta yang dinamakan Beksan Trunajaya dibagi dalam tiga komposisi; pertama beksan lawung ageng, tarian oleh enam belas laki-laki yang berperawakan besar dan ditarikan dalam gaya perkasa, kedua beksan lawung alit, tarian oleh enam belas laki-laki ramping dengan gaya yang halus, ketiga beksan sekar Madura, tarian oleh delapan orang bertubuh besar dan ramping dengan gaya lamban tanpa perang.11 Tarian ini kadang juga dipertunjukkan di luar keraton tetapi penarinya tidak sebanyak enam belas namun tetap mempertahankan pada komposisi genap.

c. Beksan Wayang (Tarian Wayang)

Pada bagian ini tarian bukan saja hanya menonjolkan gerak-gerik yang distilisasi saja tetapi juga mengedepankan iringan musik, dan lagu yang dibawakan oleh para pesinden. Sebenarnya beksan wayang digolongkan lagi menjadi dua jenis, yaitu beksan wayang dan drama tari. Beksan Wayang merupakan koreografi-koreografi yang berdasarkan kepada sesuatu tema dari wayang atau dari sastra, dan penari memainkan tokoh pahlawan-pahlawan wayang. Sedangkan drama tari adalah teater tradisional yang menggunakan gerak-gerik tari yang melakonkan sebuah drama selengkapnya didukung oleh

11

banyak pemain-penari, demikian juga pemain karawitan, penyanyi serta seringkali juga ada narator (dalang).12

Perbedaan aktualisasi budaya pada seni tari Yogyakarta dan Surakarta lebih terlihat pada kategori drama tari. Terdapat beberapa jenis drama tari antara lain: wayang topeng yang mengutamakan cerita melalui karakter pada topeng yang dipakai, wayang wong yang mengutamakan cerita dengan berusaha menghadirkan peristiwa melalui kejadian yang distilisasi lengkap dengan penggunaan bahasanya, dan langendriya yang sama dengan wayang wong hanya saja menggunakan tembang dan lagu dalam menyampaikan dialog peran-perannya dalam pergelaran. Wayang topeng mulai redup pesonanya bagi kalangan istana semenjak Mataram terpecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta.13 Wayang wong merupakan seni tari yang oleh Yogyakarta maupun Surakarta masih dipertahankan dan dilestarikan oleh bantuan para seniman-seniman dan perkumpulan seni komersil di luar keraton. Gaya gerak-gerik wayang wong umumnya mengikuti salah satu di antara dua tradisi pokok, yaitu Surakarta atau Yogyakarta.14

Wayang wong gaya Surakarta menggunakan antawacana1 5 yang sama seperti dalang, sedangkan di keraton Yogyakarta dikembangkan suatu macam antawacana khusus untuk tokoh-tokoh wayang yang berbeda. Wayang wong di Surakarta mengalami penyebaran yang baik karena praktis kesenian ini dapat pula

12

Ibid, hlm 60 13

Soedarsono, Djawa dan Bali: Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia, op.cit, hlm 67

14

Brakel-Papenhuyzen, Clara, op.cit, hlm 74 15

Antawacana adalah intonasi khusus yang digunakan pada pagelaran agar sesuai dengan gaya atau karakter peran yang dimainkan, biasanya dipakai dalang pada wayang kulit.

dipertunjukkan keluar tembok istana, berbeda dengan Yogyakarta yang hanya terbatas pada kalangan istana dan hanya raja yang mempunyai andil untuk mengubah wayang wong akibatnya menjadi sulit berkembang dan sangat terbatas. Di Yogyakarta dikembangkan penulisan Serat Kandha atau teks yang digunakan oleh dalang (pemaos kandha) agar mampu mengungkapkan cerita di hadapan Sultan dengan tingkatan bahasa yang baik, selain itu juga dikembangkan suatu tulisan berupa Serat Pocapan yang berisi dialog lengkap dari peranan-peranan yang ditampilkan di atas pentas.16

Beberapa hal yang terlihat membedakan gaya wayang wong Yogyakarta dan Surakarta adalah:

1. Menurut tradisi Yogyakarta seluruh lakon dan dalang mengandalkan ingatan terhadap serat kandha dan serat Pocapan, sedangkan yang mengikuti tradisi Surakarta hanya menggunakan sebuah bagan alur lakon yang terbagi di dalam adegan dan isinya dikembangkan secara improvisasi oleh para pemain dalam pergelaran. Di Yogyakarta dikembangkan penulisan Serat Kandha teks yang digunakan oleh dalang (pemaos kandha) agar mampu mengungkapkan cerita di hadapan Sultan dengan tingkatan bahasa yang baik, selain itu juga dikembangkan suatu tulisan berupa Serat Pocapan yang berisi dialog lengkap dari peranan-peranan yang ditampilkan di atas pentas.

2. Wayang wong gaya Yogyakarta sangat terpaku pada teks antawacana yang ada sehingga tidak ada kemungkinan untuk dilakukan improvisasi oleh para pemain perannya di atas panggung karena bahasa yang digunakan sudah

16

Soedarsono, Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta, op.cit, hlm. 34-35

terpaku pada naskah. Di Surakarta penggunaan bahasa pada pergelaran wayang wong lebih mendekati pada bahasa sehari-hari oleh karenanya kesempatan untuk dapat berimprovisasi lebih banyak.17 Gerak-gerik tarian yang menghiasi pergelaran wayang wong Yogyakarta mengedepankan kegagahan dan sifat-sifat yang tegas, sementara di Surakarta dengan sifat dasar tariannya yang lebih halus, lembut. Sedangkan dari segi isi cerita secara umum membawakan cerita yang diambil pada karya Mahabrata dan Ramayana.18 Walaupun dalam perkembangannya ditambahi kreatifitas cerita yang sesuai dengan masa yang ada.

3. Pemain wayang wong Yogyakarta sempat hanya terdiri dari pemain laki-laki semua, termasuk mereka memainkan peranan perempuan. Sultan Hamengku Buwana V melatih para pemain wayang wong laki-laki untuk memainkan peran wanita dan juga untuk menarikan tari Bedaya Semang yang keramat.19 Sedangkan di Surakarta semua pemain terdiri dari perempuan dan bahkan tokoh-tokoh ksatria alusan diperankan oleh seorang perempuan. Di Yogyakarta pemilihan pemain wayang wong dengan mengutamakan pemain laki-laki sebagai pemegang peranan wanita pada pertunjukan wayang wong kemungkinan disebabkan oleh; tidak dibenarkannya wanita dan pria berkumpul akrab di depan umum, karena wayang wong adalah pertunjukan ritual keraton sehingga menuntut penari selalu dalam kondisi bersih secara rohani, oleh karena pria selalu dalam keadaan bersih maka sewaktu-waktu

17

Soedarsono, Djawa dan Bali: Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia, op.cit, hlm 59

18

Soedarsono, Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta, op.cit, hlm. 28

19

dapat mempergelarkan tari atau wayang wong.20 Di Surakarta pemilihan pemain perempuan karena disesuaikan dengan karakteristik gaya tari Surakarta yang lemah lembut, halus yang biasanya dimiliki perempuan. Walaupun demikian pada perkembangannya memang tidak selalu semua pemain laki-laki ataupun perempuan. Terlebih pada seni wayang wong komersial yang ada di luar tembok keraton yang biasanya hal yang menyangkut kemampuan tari pemainnya kurang terlihat baik. Karena pertunjukan seni yang ada di luar tembok keraton cenderung berfungsi sebagai hiburan rakyat.

4. Jumlah pemain dalam pergelaran di Yogyakarta cenderung jauh lebih banyak dibandingkan dengan pergelaran rombongan Surakarta. Perbedaan jumlah pemain ini merupakan cerminan bagaimana di Yogyakarta suatu pergelaran wayang wong ditampilkan lebih spesifik dan mungkin juga rumit. Dan memang terlihat pula dalam berbagai komposisi-komposisi tari ciptaan Sultan Hamengku Buwono I yang memerlukan banyaknya penari laki-laki. Jumlah pasti dari penari (pemain) dari wayang wong yang utuh pada masa Sultan Hamengku Buwana I tidak diketahui tetapi dapat diperkirakan bahwa satu produksi wayang wong ditarikan (dimainkan) oleh lebih dari seratus orang penari.21 Terlebih lagi dalam mempergelarkan wayang wong Sultan dapat mengeluarkan biaya 30.000 gulden (dibandingkan dengan harga satu kilogram beras adalah tiga sen) belum termasuk dengan busana tari.22 Sedangkan sebaliknya di Surakarta yang memiliki jumlah pemain yang lebih

20 Ibid 21 Ibid, hlm. 151 22 Ibid, hlm 167

sedikit dari Yogyakarta mencerminkan bahwa pergelaran wayang wong di Surakarta ditampilkan secara “sederhana”. Sehingga tidak membutuhkan banyak sekali tambahan pemain yang memainkan perannya dalam suatu pergelaran. Dilihat pula bahwa penyebaran seni wayang wong di Surakarta lebih luas karena kurangnya sifat keramat dari wayang itu sendiri bagi keraton berbeda dengan Yogyakarta.